Membangun Peradaban Kita
Sesungguhnya sebagai umat, saat ini kita harus mengetahui semua program dan langkah-langkah yang kita lalui menuju masa depan berikut setiap tahapan yang akan kita lewati dalam perjalanan kita. Masyarakat kita belum lama mengalami kepungan berbagai kejadian memilukan yang mengguncang kita dan membuka mata kita untuk melihat masa dalam kabut dan gemuruh guntur yang membuatnya seperti kiamat! Sungguh amatlah sulit –dengan kondisi saat ini- untuk dapat melihat dengan jelas tujuan dan sasaran yang akan "menghidupkan" umat kita. Selain itu, kita juga menjadi sulit untuk menentukan tujuan jangka pendek yang tepat yang akan mengantarkan kita ke tujuan. Kita pun menemukan diri kita tenggelam dalam kabut pekat yang menjadi episentrum gempa yang mengguncang kita. Bahkan bisa jadi sebenarnya itu adalah kondisi yang menunjukkan kenyataan internal dan eksternal umat ini.
Ya. Memang sulit atau bahkan mustahil, tapi yang mengejutkan adalah cita-cita umat untuk bangkit dan mendaki menuju puncak kepribadiannya tetap terbentuk. Bahkan umat ini mampu bersinergi dengan masa-masa sulit ini, setelah sebelumnya terseret ke arah ketidakberdayaan di semua aspek kepribadiannya sehingga ia menjadi mudah dijarah dan "layak untuk dijajah". Semua ini adalah sesuatu yang berada di luas kebiasaan. Karena perasaan individual telah goyah dari pondasinya, dan umat selalu bingung dan gundah di tengah gempa mahadahsyat yang menerpa, sementara umat manusia hancur lebur dalam kesulitan terparah yang pernah terjadi dalam sejarah manusia.
Di tengah kabut gelap sangat tebal yang tidak dapat menjadi tempat bagi terbentuknya nurani dan pola nalar kolektif, tentu tidak akan ada apa-apa selain individu-individu yang saling terputus antarsatu sama lain sembari terus bersusah payah menggapai masa depan berdasarkan motivasi: untuk mendapatkan sekerat daging dan tempat bernaung. Hal itu kelak akan membuat mereka mengira bahwa kejumudan yang mereka alami sebagai sebuah gerak maju. Mereka telah melalaikan tujuan hidup mereka dan melupakan adanya nilai-nilai luhur yang harus dikejar oleh semua makhluk hingga akhir hayat mereka. Ya. Pemikiran dan ideologi tercerai-berai, sasaran tidak jelas, keresahan merajalela, kaki langit gelap, dan hati manusia hampa. Namun dengan berbagai keterpurukan itu, di setiap hati masyarakat selalu menciptakan mimpi-mimpi baru yang menghibur mereka dengan angan-angan untuk kemudian mereka kembali dengan tangan kosong karena setiap mimpi yang muncul tidak pernah diiringi dengan rencana aksi yang jelas!
Yang muncul kemudian adalah racauan seorang pengigau. Bahkan ketika mereka berbicara tentang rencana tertentu yang terkesan bagus dan terkonsentrasi, maka isinya tetap pararel dengan periode bobrok di mana bencana datang bertubi-tubi menelanjangi habis-habisan spiritualitas mereka. Pada mulanya, setiap hal yang muncul biasanya akan menampilkan kesan sebagai reaksi atas berbagai pemikiran buruk dan keyakinan yang terpapar oleh kepura-puraan dan nurani yang tertekan. Tapi pada tahap selanjutnya akan muncul berbagai aktivitas sadar dan gerak berkesinambungan. Itulah sebabnya kita sangat layak untuk menganggap bahwa titik awal tersebut adalah sesuatu yang esensial bagi kebangkitan umat kita dari "kematian" mereka. Secara alamiah, biasanya setelah periode ini –sebagaimana yang terjadi di masa lalu- akan muncul orang-orang yang ingin menentukan arah gerakan sadar dan energi besar yang muncul dari kebangkitan jiwa dan spiritulitas ini, untuk kemudian mengarahkannya sesuai keinginan mereka. Orang-orang seperti itu pasti akan muncul. Akan tetapi komunitas manusia ini tidak akan pernah rela –sekali lagi- terperosok ke dalam lubang "layak untuk dijajah" setelah mereka menyadari jati diri dan nilai intrinsik yang mereka miliki.
Dengan segala kekeliruan dan kesalahan yang terjadi, upaya untuk memperbaiki langkah terus dilakukan dalam rangka mewujudkan kebangkitan yang terus disadari oleh umat dengan hati, spiritualitas, dan elemen-elemen intrinsik lain yang mereka mereka miliki. Kelak setiap orang –"setiap" orang tanpa kecuali- akan mengalami kelahiran jati diri baru, baik cepat maupun lambat. Adalah benar jika dikatakan bahwa kabut pekat dan asap yang tidak kunjung hilang ini masih membutakan pandangan jernih dan perasaan tulus yang dimiliki masyarakat. Tapi perlu disadari bahwa kadar kepekatan kabut dan asap yang ada saat ini tidaklah sama dengan kepekatannya di masa lalu. Dengan sedikit tekad dan usaha keras, hati manusia pasti akan dapat mereguk air kehidupan dari jati dirinya sendiri sembari membangun cita-cita mewujudkan peradaban yang selama ini mereka impikan.
Yang harus kita lalukan saat ini adalah menentukan kerangka pemahaman dari peradaban yang kita wujudkan itu. Kita harus kembali melihat substansi dari peradaban ini secara komprehensif, sebagaimana kita juga harus mengetahui esensi dan kandungan masa lalu kita berikut kekacauan yang terjadi di masa kini, agar kita dapat merancang solusi demi masa depan kita. Setelah itu kita harus mampu mendeteksi suara zaman ini sambil -di satu sisi- menjaga akar dan jati diri kita, dan –di sisi lain- melakukan terapi atas masa kini berikut segala bentuk interpretasi terhadapnya. Tentu saja semua ini adalah pekerjaan yang berat. Tapi kita pasti akan selalu mampu menaklukkan segala kesulitan yang muncul dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, asalkan kita mencurahkan jiwa dan raga di jalan ini.
Dari pendekatan antropologis[1] kita dapat menemukan bahwa peradaban –yang dapat kita jelaskan sebagai 1) sekumpulan aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan manusia, atau 2) sebagai pola pemikiran, keyakinan, dan keilmuan satu umat, atau 3) sebagai setiap karakter khusus tertentu baik materiil maupun immateriil- adalah sebuah konsep yang memiliki beragam bentuk yang berbeda-beda, sesuai dengan pandangan, konsep, falsafah, dan daya nalar yang dimiliki orang yang bersangkutan. Meski memiliki banyak versi interpretasi, tapi tidak perlu diragukan lagi bahwa "pandangan yang benar" (right vision) bukanlah bentuk kehidupan yang kita adopsi dari para penjajah yang telah merajang jiwa kita selama bertahun-tahun itu. Dan, bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut kita dari nilai-nilai luhur yang kita miliki. Karena kalau memang semua itulah yang disebut sebagai "pandangan yang benar", maka segenap perjuangan besar melawan eksploitasi dan penjajahan yang kita lakukan selama ini akan kehilangan arti dan nilainya. Padahal pada kenyataannya, tujuan perjuangan kita amatlah jelas, yaitu kemerdekaan penuh di seluruh aspek kehidupan.
Jika sekarang kita berpikir untuk kembali membangun jati diri kita, atau mencari karakter peradaban kita yang sejati, maka kita harus membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan konsep asing yang selama ini bercokol di dalam diri kita, yang telah dirancang sedemikian rupa untuk menghancurkan akar spiritualitas dan moralitas yang kita miliki. Kita harus –tidak boleh tidak- mengikuti jalan yang dapat membuat kita mampu bertindak sesuai dengan pola pikir, keyakinan, dan falsafah hidup yang kita miliki di atas bangunan peradaban kita yang khas.
Jika kita ingin mengenyampingkan semua solusi yang ditawarkan oleh antropologi modern, maka kita harus mampu –sekuat kemampuan kita- mendayagunakan segenap elemen yang dapat kita pakai untuk mencapai tujuan luhur yang telah didiktekan oleh pikiran kita sendiri, agar kita dapat menemukan solusi alternatif untuk melepaskan diri dari kekacauan yang tengah kita alami. Dan jika kita memang ingin menemukan solusi alternatif, maka kita harus mampu melihat dengan cermat segala hal yang berhubungan dengan posisi geografis dan sosiologis kita.
Adalah benar jika dikatakan bahwa peradaban menjadi indikator atau sumber dari berbagai kondisi dan karakter baik material maupun non-material, namun semua kondisi dan karakter itu juga selalu siap merespon kebutuhan individu di tengah masyarakat mulai dari kanak-kanak, generasi muda, dan orang-orang lanjut usia. Bahkan semua kondisi dan karakter itu juga siap merespon setiap periode yang berlangsung dalam kehidupan dan perkembangan manusia. Sungguh saya mengira bahwa yang paling tepat untuk dilakukan adalah melihat masalah ini dengan pandangan aktual –di samping kita juga tetap harus memperhatikan perspektif antropologis- dengan cara pandang yang terkadang melampaui ilmu antrolopologi baku. Jika kita memikirkan hal ini, maka kita tidak boleh mengabaikan kondisi faktual dari perkembangan masyarakat.
Jika kita –dengan kondisi saat ini- mengikuti dinamika perubahan negara-negara lain yang telah melampaui kita di satu rangkaian potensi peradaban yang luar biasa, sementara orang lain telah menempuh perjalanan dengan kecepatan kilat pada jalan yang kita tempuh dengan berjalan kaki atau bahkan merangkak, dan ada pula orang-orang lain yang terus mengajari kita tentang langkah-langkah dan arahan kepada kita untuk mencapai tujuan, maka saya kira kita pasti akan kembali merasakan perihnya tamparan kegagalan ketika kita kembali tidak berhasil meraih tujuan atau bahkan ketika kita tidak lagi bisa berdiri di atas kaki kita sendiri disebabkan kegagalan tersebut.
Semua masyarakat yang berkembang dan maju pada saat ini, sebenarnya juga pernah mengalami penderitaan seperti yang sedang kita alami. Mereka harus jatuh bangun seperti yang kita lakukan serta merasakan perihnya api keterbelakangan seperti yang sekarang kita rasakan. Tapi kemudian datanglah hari-hari ketika semua gerbang pembaruan terbuka lebar bagi setiap orang yang berjuang untuk itu setelah mereka merasakan kecintaan mendalam terhadap penelitian, asyiknya pengetahuan, kerja tanpa kenal lelah, dan kepedulian untuk merangkul siapapun yang berhenti di tengah jalan. Dan akhirnya, terwujudlah kesuksesan demi kesuksesan yang kemudian juga menyebabkan lahirnya kebulatan tekad dan gairah yang mendalam. Bagi mereka, lingkungan telah berubah menjadi ruang inkubator yang dapat menetaskan pikiran cemerlang. Dan muncullah pelbagai bentuk penemuan baru. Mulai dari mesin uap sampai mesin pembuat garmen. Mulai dari riset eksperimental sampai publikasi lewat media cetak. Sehingga dalam waktu singkat, mereka telah sampai pada era ilmu pengetahuan dan kecerdasan elektronik.
Ketika orang-orang yang sangat menghormati ilmu itu melakukan berbagai penemuan dan riset ilmiah, mereka pun menjadi jalan menuju terbentuknya kesiapan penuh di mana saja untuk menemukan saat yang tepat untuk bertumbuh dan berkembang. Seolah-olah seluruh penjuru negeri yang mereka diami adalah etalase bagi berbagai bentuk keajaiban yang dihasilkan oleh kerja-kerja jenius tanpa pernah ada habisnya.
Sebagaimana halnya para ilmuwan terus muncul di Dunia Islam, semisal Ibnu Sina, Farabi, Khawarizmi, Razi, dan Zahrawi, pada masa ketika kondisi seperti yang disebutkan di atas terbentuk di Dunia Islam, Dunia Barat pun mendayagunakan berbagai warisan yang mereka dapatkan dari masa lalu dengan sebaik-baiknya dan dengan seluas mungkin kemungkinan sehingga mereka berhasil membentuk beberapa abad terakhir seperti masa-masa cemerlang peradaban masa lalu.
Itulah sebabnya, adalah keliru jika kita membatasi "barat" masa kini hanya sebagai hasil dari kerja keras para ilmuwan yang memiliki kemampuan tinggi seperti Copernicus, Galileo Galilei, Leonardo da Vinci, Michael Angelo, Dante, Edison, Max Planc, dan Einstein. Sebagaimana kita juga tidak dapat mengatakan bahwa "kebangkitan sains" yang terjadi kemarin, atau "letupan sains dan teknologi" yang terjadi saat ini, semata-mata hanya sebagai hasil kerja keras segelintir orang seperti yang telah disebutkan tadi. Karena kalau kita tidak menghindari kekeliruan ini, maka kita akan menghadapi banyak masalah yang tidak dapat ditemukan jawabannya menggunakan kaidah yang disebut "proporsionalitas sempurna".
Sebenarnya, semua keberhasilan luar biasa yang terjadi kemarin dan hari ini serta berbagai kreasi internasional yang besar, selain berhubungan dengan kejeniusan individu, juga berhubungan dengan struktur sosial yang melahirkan kejeniusan itu, lingkungan yang kondusif bagi kelahiran para penemu, dan dengan nilai yang berkembang di masyarakat yang menjadi inkubator bagi berbagai kemampuan. Berdasarkan alasan ini, pembicaraan tentang lingkungan dan nilai yang berkembang di masyarakat umum akan selalu muncul setiap kali kita membicarakan tentang kekuatan tekad dan kerja keras orang-orang yang memiliki kesiapan tinggi itu. Bahkan banyak individu yang menunjukkan kecedasan dan kemampuan luar biasa dari mereka yang memiliki kemampuan super dan otak jenius, justru selalu berbanding lurus dengan kondisi lingkungan yang mereka diami. Dan ternyata, ekspektasi pada terwujudnya kenyataan yang berbeda dari fakta ini tidak pernah terjadi sampai hari ini.
Telah menjadi sebuah aksioma (pernyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mengubah kaidah-kaidah "hukum-fitrah". Karena cepat atau lambat, siapapun yang ingin melawan Hukum Alam pasti akan kalah. Kejeniusan yang berada tidak pada tempatnya yang tepat pasti hanya akan menjadi "seperti daun-daun yang dimakan ulat",[2] sebagaimana halnya sebutir bibit unggul yang ditanam di tanah gersang yang tidak pernah diberi pasokan udara, air, dan daya tumbuh.
Jadi, kita harus mencari apa yang kita cita-citakan bagi masa depan kita, pada sebuah titik yang berpadu dengan lingkungan yang kondusif, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tekad yang kuat dalam bertindak, dan penelitian yang sesuai dengan cara yang telah ditentukan. Ketika lingkungan yang kondusif, kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, dan tekad yang berkobar memberi pengaruh terhadap usaha dan prestasi, maka disebabkan semua itu hati manusia pasti akan merasakan sesitifitas di kedalamannya terhadap aktivitas menyerap yang luar biasa yang kemudian dilanjutkan dengan pembenahan sebelum direalisasikan dalam kehidupan sesuai cara yang telah ditentukan. Setelah itu, ia akan menciptakan sebuah "Lingkaran Kebaikan"[3] yang akan meningkatkan berbagai inspirasi, aksi, komponen, dan solusi yang baru... Dan semua itu akan disusul dengan –melalui proses berkesinambungan yang stabil- upaya berpikir keras dan sistem yang berharmonisasi dengan jati diri kita serta bersesuaian dengan cita-cita dan prinsip-prinsip peradaban kita.
Akan tetapi hasil yang kita raih ternyata selalu saja menunjukkan sesuatu yang mengagumkan atas apa yang dihasilkan oleh orang lain atas nama modernisasi atau kebangkitan Islam, meski sebagian besar dari pencapaian itu bertentangan dengan landasan fundamental yang kita miliki. Ternyata kita belum mampu memahami dengan baik arti "modernitas" atau "kebangkitan" berdasarkan pengertiannya yang sejati. Atau Anda juga dapat mengatakan bahwa kita terlalu "silau" terhadap kedua kata itu. Dari sisi ini kita dapat mengatakan bahwa keterbelakangan Dunia Islam kita dari apa yang telah dicapai oleh negara-negara maju, sebagaimana pula ketidakmampuan dunia kita –dengan segala susah payah yang dilakukannya- untuk mewujudkan kebangkitan yang diimpikan, bukan disebabkan posisi geografis tempat-tempat yang kita diami, kekurangan potensi, atau disebabkan tidak adanya kemampuan pada sumber daya manusia yang kita miliki. Tetapi semua itu disebabkan kekurangpahaman kita atas esensi dari modernitas, kekurangan kita dalam pemikiran, dan karena kita merasa cukup dengan bentuk-bentuk pemikiran stereotipikal sebagai pengganti dari kecintaan kita pada ilmu pengetahuan dan kerinduan pada kebenaran.
Saya kira pengetahuan kita atas sekian banyak contoh pengalaman dari negara dekat kita, Jerman dan sang Raksasa Timur Jauh, Jepang, telah membuka mata kita dari sekian banyak tirai yang menutupi kekurangan kita. Jerman telah keluar dari dua Perang Dunia dengan luka parah di tubuhnya. Pada paruh awal abad dua puluh, Jerman adalah puing-puing kehancuran setelah dihujani bom di seantero wilayahnya. Pada saat itu Jerman benar-benar seperti yang dikatakan oleh Muhammad Akif dalam syairnya:
Rumah-rumah hancur
Padang sahara sepi dan liar
Hari-hari jauh dari kerja dan usaha
Sementara malam-malam selalu dungu pada esok
Akan tetapi Jerman mampu menaklukkan segala rasa frustasi dengan mengumpulkan semua yang terserak dan menghimpun puing-puing mereka dalam waktu singkat untuk kemudian kembali menjadi negara raksasa di pentas dunia. Tidak ada seorang pun yang berbicara tentang penyatuan Jerman, ketika kita memimpikan berbagai mimpi-mimpi modernisasi pada awal abad kesembilan belas. Dan ketika tiba-tiba Jerman menjadi negeri impian yang berhasil menghadapi kehancurannya, ternyata kita masih tetap sibuk meracaukan mimpi-mimpi modernisasi.
Ada sementara orang yang menyatakan bahwa Jerman yang sudah dua kali berhasil mengubah kain kafan kematiannya menjadi sehelai pakaian indah, dapat melakukan semua itu karena Jerman adalah sebuah negara barat yang beruntung, sehingga ia mampu berkali-kali bangkit dari kematian disebabkan falsafah hidup yang mereka miliki. Orang-orang itu menganggap bahwa Jerman tidak akan mampu bangkit dari keterpurukannya kalau saja negara itu tidak memiliki kedekatan spiritual dan kultural dengan negara-negara Eropa lainnya. Jika kita menerima dugaan ini dalam kasus Jerman, lantas kenapa Jepang yang terletak nun di kawasan Timur Jauh yang sangat jauh dari Dunia Barat yang juga mengalami nasib seperti Jerman, ternyata mampu membereskan semua masalah yang ia hadapi dalam waktu relatif singkat?!
Sebenarnya, kesempatan menuju modernisasi yang kita miliki lebih cepat setengah abad dibandingkan Jepang. Karena Jepang baru berusaha bergerak membangun negara modern sekitar lima puluh atau enam puluh tahun setelah kita. Namun ternyata Jepang mampu menghalau semua aral yang melintang dan kemudian menyalip kita dalam sekejap mata meski negara ini telah mengalami dua bencana besar yang belum lama ia alami. Jepang berhasil mengambil tempat di tengah negara-negara besar dan kuat yang berperan penting di kancah internasional.
Ketika kita masih terus menghibur diri dengan nyanyian tentang kelahiran dan kebangkitan kembali, orang-orang Jepang telah mulai dapat memetik buah dari pohon kebangkitan yang mereka tanam. Ketika sebagian kita masih terus riuh berdebat –setelah seratus lima puluh tahun berlalu- mengenai titik awal mana yang akan kita ambil untuk bergerak maju, sehingga kita tidak pernah sempat membicarakan mengenai sasaran yang akan kita capai, orang-orang Jepang justru langsung menutup lubang yang menghubungkan mereka dengan Dunia Barat dalam waktu singkat yang tidak lebih dari empat puluh tahun, untuk kemudian mereka menggali seluruh potensi yang mereka miliki sehingga mereka mampu bertarung melampaui masa depan.
Hari ini, Jepang telah menjadi sebuah kekuatan raksasa dengan kekuatan ekonomi, kecepatan aksi, tingkat investasi, dan nama baik yang dimilikinya di hadapan dunia. Apa yang dilakukan oleh Jepang telah menjadi peringatan, percobaan, dan sekaligus penyelamat bagi hasrat kolektif mereka dalam mewujudkan modernisasi secara berkesinambungan yang juga menjadi berita gembira bagi bangsa Jepang atas datangnya masa depan yang cerah. Semua itu mereka lakukan dengan mengadopsi semua hal yang ada di dunia dan memang perlu diadopsi sembari menghindari segala hal yang harus dihindari. Jepang tidak pernah menganggap remeh sejarahnya, tidak pernah mengutuk masa lalunya, dan tidak pernah mengingkari akal moral dan spiritual yang dimilikinya. Alih-alih, ia justru terus berpikir dalam-dalam dengan membandingkan antara kondisi faktual yang terus berubah dengan puncak cita-cita yang hendak diraihnya. Dan semua itu ia lakukan sembari membenahi kondisinya sendiri dengan rasionalitas dan realitas yang ada, serta sekaligus merancang langkah-langkah yang dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Jepang selalu meyakini bahwa ia pasti mampu membereskan semua masalah keterpurukan yang mereka alami dengan modal masyarakatnya yang berdiri –dengan sangat kuat- di atas pondasi moralitas yang baik, sebagaimana ia juga yakin bahwa ia mampu mengisi jurang yang muncul disebabkan menurunnya kemampuan dan bertambahnya kebutuhan, dengan melakukan penguatan nasional, membangun kebersamaan, bergerak sesuai sasaran yang hendak dicapai, dan dengan mengatur semua upaya yang akan dilakukan. Dan akhirnya, Jepang pun berhasil menjaga jati dirinya serta menjadi contoh yang akan terus diingat oleh sejarah manusia sebagai satu bangsa yang berhasil melakukan berbagai hal menakjubkan yang pernah ada.
Sebenarnya, apa yang telah kita lakukan dalam beberapa puluh tahun belakangan ini adalah upaya untuk membangun peradaban di atas landasan berbagai prestasi yang telah kita miliki di masa lalu dengan segala kelebihan dan buahnya. Sementara Jepang dan negara-negara maju lainnya justru membangun segala hal di atas landasan pemikiran, konsep, dan watak peradaban yang jelas. Oleh sebab itu, saya –dengan segenap penghargaan saya atas semua yang telah kita capai hingga saat ini- tetap menyakini bahwa kesalahan cara pandang yang terjadi di Dunia Islam kita adalah biang keladi yang membuat kita terus jalan di tempat, di saat orang lain terus bergerak maju dari satu kesuksesan ke kesuksesan berikutnya. Ketika kita masih sibuk mencari jalan termudah dan termurah untuk membangun peradaban ideal, bangsa-bangsa lain yang sudah maju justru telah berhasil membangun semuanya di atas pondasi sumber daya manusia, moralitas, kualitas pendidikan, dan kultur yang kuat, untuk kemudian mereka melesat terbang di angkasa di mana kita justru telah jatuh dari situ, dan mereka naik menggapai puncak yang tidak kunjung berhasil kita capai.
Mari kita lihat masalah ini dari perspektif yang berbeda, yaitu bahwa semua pencapaian yang lahir dari suatu peradaban tertentu pada hakikatnya adalah merupakan peradaban itu sendiri. Kita tidak boleh lupa bahwa soko guru utama peradaban adalah sumber daya manusia; pondasi kokohnya yang dinamis adalah negara yang bebas merdeka; dan modalnya yang paling utama adalah waktu. Kita sama sekali tidak ragu bahwa negara-negara maju telah berhasil mendayagunakan semua komponen ini dengan sebaik-baiknya. Mereka mampu mendayagunakan semua modal yang mereka miliki dengan baik tanpa pernah mengabaikan pembagian tugas, perhatian terhadap profesionalitas, penghargaan terhadap setiap prestasi yang berhasil diraih, dan pengembangan potensi dasar yang telah Allah anugerahkan dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, ketika semua komponen yang menjadi modal kemajuan itu –yang mengungguli segala nilai- berada di tangan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak cakap merancang langkahnya dengan baik; yaitu masyarakat yang tidak pernah mau membagi tugas dengan baik, tidak mau mencari tahu mengenai kekayaannya yang masih tersembunyi, tidak memahami nilai-nilai esensial bagi manusia, dan tidak pernah mendayagunakan waktu dengan baik... Ketika hal itu terjadi, maka berbagai modal berharga yang mereka miliki itu hanya akan menjadi barang berharga yang berada di tangah seorang saudagar, tapi ia tidak pernah tahu nilainya sehingga akhirnya ia menjualnya "dengan harga murah, beberapa dirham saja..."[4]
Setiap umat yang memiliki peradaban masa lalu yang telah meninggalkan jejak gemilang yang tersemat di tengah perjalanan manusia atau di tengah peta dunia, pasti tidak akan pernah mampu mengukir namanya di atas lembaran sejarah dengan tinta emas kecuali jika mereka mampu melakukan upaya keras untuk meningkatkan kualitas dan menerapkan berbagai aturan, mengasah kemampuan untuk membangun dan mencari solusi, serta kemampuan mengerahkan spritualitas dan kecakapan moral. Di sepanjang perjalanan sejarah yang terentang sejak masa para Brahma sampai kelahiran Budhisme, dari masa Judaisme sampai masa Kristen dan lahirnya Islam, ada banyak umat yang bertumbuh kembang dalam inkubator iman, kerinduan spiritual, dan nilai-nilai moral, hingga membuat mereka mampu membuat bumi, waktu, dan manusia mencapai ketinggian yang tak ternilai harganya.
Namun secara faktual, Islam memang unggul pada banyak sisi dibandingkan semua ideologi dan sistem baik yang kuno maupun modern, baik yang mengandung nilai keagamaan maupun tidak. Saya dapat membuktikan asumsi ini dengan memulai dari adanya pengakuan umum bahwa semua gerakan pembaruan dan modernisasi yang terjadi di semua ranah sistem non-Islam, ternyata selalu menjauhkan agama dari pusat gerakannya. Sedangkan di dalam pergerakan Islam yang terjadi adalah sebaliknya. Karena di dalam pergerakan Islam, agama menjadi risalah penting yang berada di pusat orbit gerakan pembaruan yang akan selalu mengubah setiap gebrakan menjadi pematangan di masa depan dengan pasokan nutrisi berupa nilai-nilai moral dan spiritual yang terus disuntikkan secara berkesinambungan.
Sejak bertahun-tahun yang lalu sumber daya manusia yang kita miliki masih terus menunggu munculnya semangat keagamaan yang cerlang seperti itu setiap kali ia hendak melakukan suatu tindakan tertentu. Dan ternyata kita memang benar-benar dapat melihat bahwa cahaya terang yang berasal dari semangat semacam yang sedang menyingsing, meski di kejauhan; atau berupa mimpi yang menampilkan simbol-simbol tertentu di sekelilingnya, pasti sudah cukup untuk membangkitkan jiwa-jiwa yang telah mati suri selama ratusan tahun.
Lantas apa yang akan Anda lakukan jika saat ini kita melihat bahwa hasil jerih payah yang sekarang tampak melemah tapi ternyata pada hakikatnya semua itu amatlah penting?! Saya mengira bahwa berbagai macam impian yang muncul pada saat itu akan memotivasi terjadinya "kebangkitan setelah kematian", di samping ia juga akan membangkitkan tekad dan menggelorakan hati kita dengan keimanan, sehingga kita akan dapat menegakkan bangunan peradaban –yang telah kita tunggu-tunggu kemunculannya sejak ratusan tahun- satu demi satu. Tapi semua ini baru dapat terjadi jika kita tidak gampang menyerah pada berbagai rintangan yang dibuat-buat dan bersifat sementara yang ingin memupus perjalanan kita. Dan juga selama kita tidak memiliki pamrih terhadap upah duniawi atau bahkan pahala di akhirat atas semua bakti yang harus kita lakukan dengan baik, karena satu-satunya tujuan yang menjadi pamrih kita adalah datangnya ridho dari Allah ta'ala semata.
Tak ayal, konsep demokrasi dan kebebasan yang ada saat ini, meski seperti apapun bentuk rupanya, telah menyelamatkan satu bangsa yang dulu hidup dalam keterpurukan. Bahkan ia telah membekali mereka dengan berbagai bentuk kepekaan, pemikiran, dan kemampuan untuk dapat terus berjalan menuju peradaban mereka. Jadi asalkan kita tidak merusak keseimbangan yang menjaga kemaslahatan umat kita, dalam menghadapi pelbagai kondisi dan menjaga keseimbangan internal dan eksternal kita, tentu dalam waktu relatif singkat kita akan dapat berkata: "Inilah jati diri kita, pemikiran kita, cara kita membaca kehidupan, peradaban kita, dan kebudayaan kita yang sejati..."
[1] Antropologi: Ilmu yang membahas keadaan manusia dan umat manusia, penerj
[2] Dinukil dari QS al-Fil ayat 5, penerj
[3] Yang dimaksud oleh penulis dengan "Lingkaran Kebaikan" di sini adalah sebuah rangkaian siklus yang selalu melahirkan kebaikan dan menjadi lawan dari "Lingkaran Syaitan" yang merupakan siklus yang selalu melahirkan keburukan.
[4] Dinukil dari QS Yusuf ayat 20, penerj
- Dibuat oleh