Refleksi Idulfitri

Pertanyaan: Apa yang akan Anda rekomendasikan untuk memastikan bahwa hari raya, yang merupakan hari sukacita dan kegembiraan, dapat dirasakan dan dihayati dengan baik dan dimanfaatkan sesuai dengan muhkamat agama? [1]

 

Jawaban: Dalam Islam, setiap ibadah dan perintah memiliki maknanya masing-masing. Kemampuan menyimak makna terdalam dalam setiap ibadah pertama-tama bergantung pada kualitas iman, dan kedua pada gagasan pembaharuan dengan memberikan ruang bagi iradat kita untuk melawan kestatisan dan kejenuhan. Itu karena hanya pikiran mereka yang dapat terus memperbarui diri dalam hal keimanan dan akal budi yang bisa mendengar segala sesuatu saja yang masih bisa dijaga kesegarannya. Dengan kata lain, agar sesuatu dapat dikatakan jadid, maka ia haruslah jadid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

 

إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ

 

Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakanmu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikanmu) [QS Ibrahim 14:19).

 

Melalui ayat tersebut, Dia mengajak kita untuk memperhatikan orang-orang yang tidak menumpul, tidak menua, tidak statis dan jenuh, serta senantiasa menyimak kedalaman agama dengan sepenuh jiwa. Oleh karena itu, memahami nilai Ramadan ataupun Idulfitri serta memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, pertama-tama bergantung pada keimanan yang kuat dan yang kedua bergantung pada kontinuitas pembaharuan diri dalam keimanan. Bagi mereka yang telah kalah oleh kestatisan dan kejenuhan ataupun bagi orang-orang yang hanya melihat agama sebagai sesuatu yang pernah mereka saksikan dari leluhurnya akan sulit untuk merasakan kesegaran hari raya idulfitri.  

 

Hubungan antara Ramadan dan Hari Raya Idulfitri

Meskipun terdapat kritik dari segi kriteria hadis, tetapi mari menyimak sabda nabi berikut ini:

 

 جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ بِلَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ

 

Perbaharuilah iman kalian dengan La ilaha illallah (HR. Tirmidzi, Nawâdir al-Ushûl, 2/204).

 

Makna hadis tersebut adalah sebagai berikut: Tinjaulah kembali posisi Anda, hubungan Anda dengan Tuhan Yang Maha Esa, pandangan Anda tentang perintah-perintah takwini dan perintah-perintah tasyri, dan cobalah untuk melanjutkan hidup Anda dengan iman yang benar-benar baru dengan terus menerus mengevaluasi diri dan ucapkan "bismillah" sekali lagi setiap hari. Ia juga bisa dipahami dengan hadis nabi lainnya: “Merugilah orang yang pada hari ini sama dengan hari kemarin (Ali al-Muttaqi, Kanzul-Umâl, 16/214, hadis no: 44236).” Oleh karena itu, sangat penting bagi seseorang untuk membuat sedikit kemajuan secara konsisten setiap hari dibandingkan dengan hari sebelumnya supaya mereka mampu mendengar dan merasakan keindahan agama dengan lebih baik. Mereka yang akan mampu menyimak Ramadan sebagai Ramadan dan Idulfitri sebagai Idulfitri adalah mereka yang mengejar tujuan dan maksud dari hadis ini.

 

Di sisi lain, karena Idulfitri mengandung esensi menyeluruh dari Ramadan, maka tersimaknya Idulfitri dengan segala keindahannya akan bergantung pada sejauh mana seseorang ter-ramadan-isasi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwasanya hanya orang yang telah ter-ramadan-isasi-lah yang dapat merayakan Idulfitri dalam makna yang sebenarnya. Ya, hati beriman yang telah mampu menjalin hubungan hangat dengan Ramadan, memenuhi bulan Ramadan dalam cakrawala keimanan dan ihtisab hanya semata-mata berharap rida Allah, di mana mereka kemudian menunaikan ibadah puasa, tarawih, dan ibadah-ibadah lainnya dalam kerangka taabbudi dengan penuh rasa tanggung jawab, kemudian mengevaluasi dirinya dengan berkata: "Ya Allah, kami tidak tahu apakah kami telah berbuat adil terhadap bulan Ramadhan atau kami justru telah menyia-nyiakannya? Kami tidak tahu apakah sudah menunaikan tugas di bulan suci ini dengan baik sehingga puasa kami kemudian bertransformasi menjadi perisai yang melindungi diri dari keburukan seperti dijanjikan oleh Rasulullah?”. Melalui evaluasi tersebut di satu sisi mereka mengalami kepahitan karena harus kehilangan bulan Ramadan padahal mereka masih merasa belum menunaikannya dengan baik; di sisi lain, mereka melihat Idulfitri sebagai referensi untuk mendapatkan maghfirah-Nya sambil memenuhi dadanya dengan perasaan raja.

Idulfitri: Ajang untuk Berzikir dan Bersyukur

 

Idul Fitri adalah masa penuh keajaiban di mana nikmat dan karunia Ilahi dilimpahkan kepada para hamba-Nya. Sikap yang harus dilakukan ketika menghadapi nikmat dan karunia Ilahi ini adalah memenuhi diri dengan perasaan syukur dan memuji-Nya tanpa henti. Jika tidak, maka kita akan melakukan kesalahan karena hanya menganggapnya sebagai hari untuk bersenang-senang belaka. Ya, hari raya adalah suatu referensi maghfirah. Ia adalah hari pengampunan yang dianugerahkan Allah ta’ala kepada manusia. Oleh karena itu, pada hari ini seseorang harus menghabiskan waktu-waktu yang diberkati ini dengan memelihara kewaspadaan hati dan perasaan serta hidup dalam kedalaman ukhrawi dan keluasan dimensi metafisik dari alam akhirat. Al-Ustaz Badiuzzaman juga mengajak kita memperhatikan poin ini dengan pernyataannya berikut: “Selama melewati hari raya, supaya kita tidak diserang oleh kelalaian dan agar kita tidak terjerumus ke wilayah yang dilarang agama, maka kita diminta untuk melakukan zikrullah dan bersyukur dengan teramat sangat. Dua hal tadi diperlukan supaya nikmat sukacita dan kegembiraan tersebut berubah menjadi rasa syukur selama hari raya. Dengan demikian nikmat tersebut akan bertahan bahkan meningkat. Itu karena rasa syukur akan menambah nikmat sedangkan kelalaian akan menghilangkannya."    

 

Tradisi Hari Raya Ditinjau dari Segi Agama

 

Sesungguhnya, baik di zaman Rasulullah maupun di abad-abad setelahnya, tidak ada kegiatan dan aktivitas yang mirip dengan yang ada di zaman sekarang, kecuali masalah-masalah yang diungkapkan dalam kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan hari-hari raya yang diberkahi ini. Artinya, pada abad-abad pertama Islam, kita tidak menemukan adanya praktik seperti perjalanan mudik, perayaan pesta makan-makan, menghabiskan malam di bawah sinar kembang api, pergi dari rumah ke rumah dan mencium tangan para kerabat, serta membagikan uang angpau untuk anak-anak di hari Idulfitri. Namun, ketika orang-orang Turki masuk Islam, mereka menyaring adat istiadatnya dengan muhkamat agama dan kemudian menjadi Muslim dengan mempertahankan beberapa adat istiadat yang telah melewati saringan dalil-dalil syariah. Demikianlah, nenek moyang kita tidak melihat adanya larangan agama dalam kelanjutan beberapa kebiasaan seperti mencium tangan kerabat yang tua, saling berkunjung, menyambut tamu-tamu dengan sukacita dan senyuman, dan hal ini pun terus berlanjut dari masa lampau hingga masa kini dalam rupa tradisi dan adat istiadat.

 

Suasana Toleransi yang Hangat untuk Merangkul Semua Kalangan

 

Karena hari raya Idulfitri adalah waktu yang penuh berkah di mana kebajikan yang dilakukan akan dibalas berkali-kali lipat, maka setiap momennya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin demi mewujudkan cinta, persahabatan, persaudaraan, dan khairat wal hasanat sehingga kita bisa mendapatkan manfaat dari berkah yang luar biasa ini. Misalnya, dalam suasana Idulfitri yang lembut dan hangat, yang merangkul dan terbuka untuk semua orang serta dapat menghilangkan kebencian, beberapa kegiatan dapat direncanakan untuk memastikan kohesi di antara anak manusia. 

 

Kita bisa mengambil hati orang-orang yang lebih tua melalui kunjungan, hati anak-anak kecil dapat digembirakan dengan pujian apresiasi dan ragam hadiah, bahkan untuk masyarakat non muslim, jembatan dialog yang istimewa pun dapat dibangun. Dalam suasana idulfitri, kita dapat menciptakan suasana damai dan menunjukkan bahwa kita tidak memelihara tendensi negatif terhadap mereka. Tidak diragukan bahwa respek terhadap agama, keimanan dan kebenaran kerasulan Nabi Muhammad memiliki posisi khusus dan penting. Namun, manusia yang merupakan cermin dari ahsani taqwim juga merupakan makhluk mulia yang layak dan harus dihormati. Terutama di masa ketika kekejaman terhadap sesama manusia jumlahnya naik berlipat ganda, di saat berbagai jenis bom digunakan untuk berperang melawan umat manusia, virus buatan diinfeksikan kepada manusia melalui penggunaan senjata biologis, dunia membutuhkan perdamaian yang begitu universal. Ya, kita harus memecah gelombang-gelombang negatif ini dengan pemecah gelombang tertentu demi mencegah kebinasaan umat manusia akibat benturan gelombang yang sangat mematikan.

 

Fakta bahwa kegiatan-kegiatan seperti itu tidak dilakukan pada hari raya pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam dan pada abad-abad berikutnya, dan bahwasanya kegiatan-kegiatan tersebut tidak termasuk dalam kajian kitab-kitab fikih, tidak menghalangi kita untuk mengambil kesempatan pada waktu-waktu yang diberkahi ini. Ini adalah waktu ketika hati kita menjadi lembut. Kita perlu melihatnya sebagai sebuah kesempatan dan kesempatan yang penting untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang baik. Kenyataannya pada masa sebelumnya tidak ada program khusus yang dirancang demi meraih keberkahan beberapa malam mulia seperti yang kita lakukan saat ini. Kita juga tidak bisa menemukan adanya referensi pada kitab-kitab utama yang membahas adanya ibadah khusus yang ditunaikan pada malam-malam tersebut. Namun, tidak ada salahnya merekomendasikan beberapa hal atas nama ibadah seperti misalnya banyak membaca doa, Al-Qur’an, tasbih, dan menunaikan beragam salat sunah pada malam-malam ini. Malam-malam mulia tersebut layaknya amplop di mana amplop tersebut dapat menambah nilai amal yang dilakukan di dalamnya. 

 

Hal yang sama juga berlaku dalam hal tempat. Anda sebenarnya dapat berdoa di mana saja. Namun, berdoa di tempat seperti padang Arafah tidak bisa dibandingkan dengan keutamaan berdoa di tempat lain. Berdoa di Arafah dapat menyucikan seseorang sedemikian rupa sehingga ia menjadi sebersih saat dilahirkan oleh ibunya. Jika ada noda dan luka yang tertinggal di sana, Muzdalifah akan menghapusnya. Tawaf mengelilingi Ka'bah adalah kesempatan penyucian lainnya. 

 

Seperti yang dapat dilihat dari contoh-contoh tersebut, beberapa tempat dapat menambah nilai ganjaran pada amal perbuatan. Dari sudut pandang ini, sangat penting untuk berlari menuju Allah Ta'ala di beberapa tempat mustajab dan pada waktu-waktu yang penuh berkah seperti malam pertama bulan rajab, malam mikraj, nisfu sya’ban, lailatul qadar, bulan Ramadan dan pada hari-hari raya di mana pada waktu dan tempat tersebut kita dapat membangun jembatan cinta, persaudaraan, dan kemanusiaan demi meraih keridhaan-Nya.

 

[1]  Diterjemahkan dari artikel:

https://herkul.org/kirik-testi/bayram-mulahazalari/

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.