Ghairatullah

Ghairatullah

Pertanyaan: Dalam sebagian tulisan dan ceramah Anda, terdapat pembahasan bahwasanya sebagian dosa dan kezaliman dapat mengundang ghairatullah[1]. Apa saja makna yang terdapat pada istilah “Ghayur” dan “memicu ghairatullah?[2]

 

Jawaban: Sebagaimana diketahui, dalam asmaul husna tidak terdapat nama “Ghayur”.  Nama ini juga tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an, hadis, maupun dalam bahasan tentang nama-nama Allah yang dibahas panjang lebar oleh Muhyiddin Ibnu Arabi[3]. Ia bahkan tidak ditemukan dalam nama-nama ilahi pada kitab doa Jausyan, baik berupa isim sifat maupun isim fail sighat mubalaghah[4].


Bagaimanapun, ketika sebuah nama tidak ditemukan dalam daftar asmaul husna bukan berarti nama tersebut tidak eksis. Meskipun Allah mengajarkan nama-nama-Nya melalui Al-Qur’an dan memberitahukan sebagian nama-nama-Nya kepada Sang Nabi, masih terdapat banyak nama yang hanya diketahui oleh-Nya dan tersimpan di sisi-Nya. Alam yang diciptakan oleh Allah tidak hanya alam lahiriah yang kita ketahui saja. Masih ada nama-nama yang bertajali di beraneka ragam alam lainnya yang berada di luar pengetahuan kita. Namun, boleh jadi karena tidak berkaitan dengan keimanan maka Dia tidak mengajarkannya kepada kita.

 

Perbuatan-Perbuatan yang akan Memicu Ghairatullah

Bersama dengan itu, dalam beberapa hadis terdapat pembahasan terkait pertanyaan tentang ghairat-nya Allah tadi. Oleh karenanya, ia dipahami sebagai salah satu sisi penting dari Sang Pencipta. Misalnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

 

 إِنَّ اللهَ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ

artinya: “Allah itu punya rasa cemburu dan cemburunya Allah adalah bila seorang hamba-Nya melakukan apa yang diharamkan Allah kepadanya

(HR Bukhari, Bab Nikah 6; HR Muslim, Bab Taubat 36; Riyadhus Shalihin hadis ke-1806).

 

مَا أَحَدٌ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ وَمِنْ غَيْرَتِه حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

artinya “Tak ada seorang pun yang lebih pencemburu dari Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, yang lahir maupun yang batin

(HR Bukhari, Nikah 107; HR Bukhari Muslim, Taubah 32-36).

Masih berkenaan dengan bahasan ini, pada suatu hari Rasulullah menanggapi pernyataan Sayyidina Saad bin Ubadah tentang penjagaan kehormatan keluarga. Beliau bersabda:

 أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي

 artinya “Apakah kalian merasa heran karena kecemburuan Saad? Demi Allah, aku benar-benar lebih cemburu dari dia. Dan Allah, lebih cemburu dari aku.

(HR Bukhari, Bab Hudud 42; HR Muslim, Bab Talak 17)

 

Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang salim. Dia meletakkan beberapa larangan kepada manusia. Dia juga menunjukkan jalan hidup yang bersih lagi penuh ifah tanpa perlu masuk ke dalam dosa. Apabila manusia tidak mematuhi batasan-batasan yang ditetapkan oleh Allah untuk mereka serta melakukan perbuatan dosa yang kemudian merusak fitrah suci yang datang sejak lahir dan mengotori kalbu serta hati nuraninya, maka hal itu akan memicu rasa cemburunya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana orang tua bersikap terhadap anaknya yang nakal dan mengotori bajunya ketika bermain.

 

Apabila kita kaji lebih jauh, Allah menciptakan kita dari ketiadaan. Tidak hanya menciptakan, Dia juga menganugerahi kita hidup dan kesadaran, memberi kita akal dan pikiran, serta di waktu yang sama Dia menunjukkan kita kepada hidayah melalui perantara nabi-nabi yang diutus dan kitab-kitab yang diturunkan. Di satu sisi, Dia meminta kita menunaikan tugas penghambaan, di sisi lain Dia memberi kita segala sesuatu supaya kita bisa membangun hubungan dengan diri-Nya. Terlepas dari itu semua, saat manusia melakukan kesesatan, dosa, dan mengingkari aturan dari Allah,  dengan demikian manusia menodai fitrahnya yang suci sedari lahir. Perbuatannya ini dapat memicu ghairatullah. Ini karena Allah telah menganugerahi banyak nikmat kepada manusia. Dia juga telah menunjukkan jalan yang benar sehingga tak tersisa lagi alasan untuk berpaling dari-Nya.

 

Ketika manusia berbuat dosa ia tidak hanya mengotori fitrah suci yang diciptakan Allah untuk dirinya. Di waktu yang sama, perbuatan itu juga berarti suatu penentangan kepada diri-Nya. Melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya juga berarti sebagai pemberontakan dan kedurhakaan kepada Allah. Sebagaimana disampaikan dalam hadis Rasulullah yang disebutkan di awal, Allah akan cemburu kepada mereka yang memberontak dan durhaka kepada-Nya.

 

Tak ada keraguan bahwasanya pemberontakan dan kedurhakaan terbesar adalah berbuat syirik dan ingkar kepada-Nya. Apabila kita menelaah bagaimana Ustaz Badiuzzaman membahas permasalahan ini, beliau menyampaikan bahwasanya orang yang mengingkari Allah sama seperti menutup mata terhadap - halaman demi halaman, baris demi baris, serta kata demi kata - ayat-ayat kauniyah pada alam semesta yang menjadi dalil bagi sifat wujud dan ahad-nya Allah. Oleh karena itu, merupakan kejahatan yang amat besar ketika begitu banyak karya-karya pilihan yang mengenalkan dan menjelaskan Sang Pencipta tetapi mereka bersikap seperti orang buta, atau bersikap abai meski telah menyaksikan karya-karya ini, menutup telinga, bahkan menyepelekan dan mengingkarinya. Tak mungkin perbuatan yang demikian akan luput dari ghairatullah.

 

Ghairatullah di satu sisi dapat kita ibaratkan layaknya aparatur negara yang menjatuhkan hukuman bagi orang-orang yang melanggar aturan, menodai kemuliaan dan kehormatan negara, serta menyerang kebebasan pihak lain. Ini karena pada tabiat asli manusia terdapat naluri untuk menjaga nilai-nilai tersebut. Tidak ada satu orangpun yang dapat mentolerir tindakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat yang dimilikinya. Demikianlah, Allah pun tidak akan rida apabila aturan dan batasan yang telah ditetapkan-Nya dilanggar. Jadi sebagaimana Anda tidak akan berdiam diri terhadap kezaliman yang terjadi dan kemudian menunjukkan usaha untuk menentangnya, demikian juga dengan Allah, Dia pun akan memberikan balasan yang layak sesuai keagungan Zat Uluhiyah-Nya. Meskipun terkadang Dia memberikan tenggat waktu, pada akhirnya Dia akan menghukum kesombongan yang dilakukan kepada-Nya.

 

Pemberian Tenggat Waktu oleh Allah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak buru-buru dalam menghukum kesalahan dan dosa-dosa hamba-hamba-Nya. Dia memberikan tenggat waktu supaya mereka memiliki kesempatan untuk kembali menggunakan akal sehat serta meninggalkan kebiasaannya melakukan kesalahan dan dosa. Sayyidina Abu Bakar memuji Allah مَا اَحْلَمَكَ يَا رَبَّنَا “Ya Allah, betapa Halim-nya Engkau!”.

 

Apabila balasan atas kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh keturunan adam diserahkan kepada manusia, barangkali tidak akan ada orang yang tersisa di atas permukaan bumi. Namun, sebagai bentuk dari aturan ilahi, Allah tidak terburu-buru dalam menghukum hamba-hamba-Nya. Akhlak Ilahi ini terukir dalam ayat suci Al-Qur’an

 

 وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ 

Artinya: “Jika Allah hendak mempercepat hukuman kepada manusia atas perbuatan zalimnya, niscaya tidak akan ada satu makhluk melata pun yang tersisa di muka bumi ini. Akan tetapi, dengan keramahan dan kebijakan- Nya, Dia menunda siksa mereka hingga waktu yang telah ditentukan, yaitu saat kematian mereka. Apabila saat itu telah tiba, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sekejap sekalipun dan tidak pula mendahulukannya meski hanya sesaat (QS An Nahl 16: 61)”. 

 

Ya, karena rahmat Allah berada di depan kemarahan-Nya, Dia pun tidak terburu-buru dalam menghukum manusia. Namun, rahmat ini tidak boleh dijadikan alasan bagi seseorang yang tenggelam dalam lumpur dosa dan kezaliman untuk bermanja diri. Sebaliknya, ia harus memikirkan tenggat waktu yang dimiliki dan bergidik karenanya. Meskipun Allah memberi tenggat waktu, Dia sekali-kali tidak akan mengabaikannya. Ayat Al-Qur’an menyampaikan bahwasanya setiap pelaku kebaikan akan diberi ganjaran meski hanya sebesar zarah (QS Al Zalzalah 9: 7-8). 

 

Perlu diketahui juga bahwasanya pemberian tenggat waktu kepada seseorang yang membentangkan layar ke samudera kedurhakaan merupakan ujian tersendiri bagi dirinya. Jika seseorang merasa bahwa dirinya tidak tersentuh oleh bala musibah dan keadaan ini bisa berlanjut untuk seterusnya maka ia tidak akan mengambil langkah putar balik dari jalannya yang salah. Apabila ia terjerumus pada kelalaian yang lebih dalam, artinya ia gagal dalam ujian tersebut. Namun, jika ia bersikap penuh dengan basirah, menggunakan akal sehat, berbenah dan memperbaiki diri, serta meralat kekurangan-kekurangannya, maka ia akan meraih keberuntungan. Inilah hikmah penting mengapa Allah tidak segera menghukum hamba-hamba-Nya yang penuh dosa.

 

Jika mereka tidak berbenah dan tak segera sadar maka Allah-lah yang akan menyadarkan mereka. Hingga akhirnya tiba suatu hari di mana dosa dan kezaliman demi kezaliman menyentuh ghairatullah, maka saat itulah Allah akan menyudahi kesenangan hidup para pembangkang dan pelaku kezaliman. Rasulullah bersabda:

 

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta 'ala akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat zalim. Dan apabila Allah telah menghukumnya, maka Dia tidak akan pernah melepaskannya."

 

Kemudian Rasulullah membaca ayat QS. Hud ayat 102 yang berbunyi:

 

 وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ القُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ

“Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu sangat pedih dan keras”

 (HR. Bukhari: 4318).
 

Rasa Hormat terhadap Faal Sang Maha Suci (İcraat-ı Sübhaniye)

Memberikan tenggat waktu atau dengan kata lain tidak segera menjatuhkan hukuman merupakan sunatullah. Dalam sistem yang dibangun oleh-Nya, Dia memberikan perkenan dalam rentang waktu tertentu. Kita tidak selalu mampu memahami substansi dari segala permasalahan. Untuk itu, kita harus menghindari sikap yang mencerminkan keluhan atau pun keberatan pada permasalahan-permasalahan yang tak mampu dipahami oleh akal kita. Meskipun terkadang kita merasa heran dan ganjil dengan perkenan dari-Nya atas kezaliman yang harusnya telah menyentuh ghairatullah, maka kita harus selalu menyikapi faal Sang Maha Suci ini dengan penuh kesabaran dan berkata: “Terdapat hikmah dalam setiap peristiwa. Allah sekali-kali tidak melakukan pekerjaan yang sia-sia”. Kita harus menghadapi setiap peristiwa yang kita dengar beritanya atau bahkan kita hadapi dengan kesabaran dan rasa syukur. Bagaimana pun, kita tak boleh mengurangi rasa hormat kita kepada Sang Maha Kuasa. Kita tidak memiliki hak untuk mempertanyakan faal-Nya.

 

Sebagaimana manusia menghadapi situasi dan kondisi yang membuatnya senang, manusia juga akan menghadapi situasi dan kondisi yang membuatnya harus bersabar dan berhati-hati. Seorang mukmin harus memiliki semangat luar biasa untuk menjalankan seluruh perintah agama mulai dari A sampai Z. Mereka juga harus menunaikan setiap amal dengan dinamis, baik dari sisi lahir maupun batinnya. Seorang mukmin harus memiliki antusiasme tinggi demi meraih rida ilahi, memperkenalkan Zat Uluhiyah kepada semua orang, serta menyingkirkan semua hal yang menghalangi kalbu manusia dengan Allah sehingga mereka dapat dijembatani supaya berhasil bertemu dengan-Nya. Mereka menunaikan amanah hizmet yang dipercayakan kepadanya. Meskipun terdapat beragam rintangan, kendati beraneka macam strategi yang dikembangkan tak kunjung membuahkan hasil, walaupun semua benteng pertahanannya berhasil dibobol, mereka tetap istikamah memulai kembali hizmetnya dengan berseru: “sekali lagi kita mulai dengan menyebut nama Allah, bismillaah..”. Keberadaan kalbu pada setiap sikap yang diambil dan eksistensi semangat batin dalam setiap amal-amal yang ditunaikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan seorang muslim untuk memahami apa arti sebenarnya menjadi seorang muslim.

 

Selain itu, seorang manusia perlu berhati-hati dalam menyikapi tindakan, faal, dan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala meskipun ia harus terhempas dan tersakiti ketika menghadapinya atau bahkan Allah justru memberikan hal-hal yang berseberangan dengan apa yang ia inginkan maupun rencanakan. Hal yang harus dilakukan dalam menghadapi hal yang seperti ini, yaitu ketika menghadapi peristiwa yang tidak disukai dan membakar batin adalah menerimanya dengan kesabaran dan penuh kerelaan serta dibarengi dengan tafakur dan perenungan. Dalam keadaan demikian kita harus mengendalikan semangat dan bergerak dengan kendali penuh atas iradat kita.

 

Dan mempelajari kira-kira terdapat hikmah apa saja di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi? Makna apa saja yang ingin dijelaskannya kepada kita? Apakah penyebab terjadinya peristiwa tersebut adalah dosa, kesalahan, dan kelalaian kita? Kesalahan dan dosa yang seperti apa saja kira-kira? Ataukah Allah ingin membuka mata kita pada persoalan-persoalan tertentu? Apakah Dia ingin memperingatkan dan mengisyaratkan sesuatu sehingga kita pun menaruh perhatian pada hal tersebut? Atau apakah Dia bermaksud untuk mempertajam dan mendewasakan kita melalui bahasa masalah dan malapetaka yang tampaknya berbahaya supaya kita bisa mencapai level di mana kita mampu mengatasi masalah yang lebih besar di masa depan?

 

Demikianlah, hal-hal tersebut perlu dievaluasi dengan hati-hati untuk kemudian kita dapat melakukan apa yang harusnya dilakukan. Ini karena antusiasme yang dievaluasi di tempat nilainya sangat berharga bagi kita. Bahkan ia membantu kita untuk naik secara vertikal ke cakrawala qurbah (kedekatan dengan Sang Pencipta). Sikap antisipasi (تدبير), kehati-hatian, dan kesabaran yang digunakan pada tempatnya pun akan mengangkat kita ke cakrawala yang sama.

Misalnya, kita dapat melakukan pendekatan dengan prinsip-prinsip yang dibahas oleh Ustaz Badiuzzaman: آمَنَ بِالْقَدَرِ اَمِنَ مِنَ الْكَدَرِ  مَن (dengan tambahan bahasan terjemahnya dapat kita pahami sebagai berikut) “Barang siapa beriman kepada takdir, ia akan terbebas dari kekeruhan pikiran dan jiwa; terjaga dari kekotoran nalar; sehingga dengan demikian ia dapat meraih keselamatan dan keamanan batin.” Satu hal lagi yang perlu diingat, semua daya dan upaya yang dikerahkan untuk menjaga kesucian pikiran dan hati manusia serta membenamkan bayangan kotor akan ditulis dalam buku catatan amal manusia sebagai pahala ibadah.

 

Kapan Batas Ghairatullah mulai terusik?

Ya, kami telah menyampaikan bahwasanya Allah ta’ala memberikan tenggat waktu supaya hamba-hamba-Nya yang berkubang di lumpur dosa dan kezaliman memiliki cukup waktu untuk kembali menggunakan akalnya. Kami juga telah menjelaskan bahwasanya Allah ta’ala akan menghukum mereka yang tetap mendurhakai-Nya. Namun, kita tidak mengetahui kapan ia akan berakhir, bilamana dosa-dosa tersebut akan menyentuh ghairatullah, serta kapan orang-orang zalim ini akan diazab.

 

Terkait hal ini terdapat sebuah manqibah[5] yang diceritakan sebagai berikut: Pada suatu hari terdapat kumpulan perompak yang mencegat kafilah haji serta merampas semua harta benda dan perbekalan yang mereka bawa. Di dalam rombongan terdapat seorang waliullah. Sebelumnya ia berangkat haji seorang diri. Di tengah perjalanan ia kemudian bergabung dengan kafilah ini. Si pemimpin perompak melihat sang waliullah sebagai sosok yang tidak membahayakan. Ia juga berpikir bahwa dari orang ini hanya kebenaranlah yang akan keluar dari lisannya. Ia pun mendekati sang waliullah dan bertanya: “Apakah masih ada harta yang tersisa?”  Sang waliullah menjawab: “Kepala kafilah mengenakan pakaian dari sutra mentah yang lumayan berharga”. Mereka pun merampasnya.

 

Kepala kafilah sedikit kecewa mendapati orang yang dibantunya di tengah perjalanan ini berlaku demikian kepadanya. Namun, husnuzannya kepada sang waliullah mencegahnya untuk mengeluarkan sepatah kata sekalipun. Selang beberapa waktu kemudian pasukan penjaga keamanan negeri tersebut berhasil menangkap semua perompak. Mereka menyebarkan berita bahwa semua orang yang pernah dirampok bisa mengambil kembali barang miliknya. Kafilah haji ini pun berangkat untuk mengambil kembali barang-barang mereka yang dirampok.  Pada saat itulah si kepala kafilah kemudian bertanya kepada sang waliullah mengapa ia memberi tahu kepala perompak tentang keberadaan pakaian mahalnya itu. Berikut ini jawabannya: “Saya memperhatikan kezaliman-kezaliman yang mereka lakukan. Saya lihat jarak kezaliman tersebut supaya bisa menyentuh ghairatullah tinggal berjarak sejengkal lagi. Saya kemudian memberitahu mereka hal tersebut supaya jumlah kezaliman mereka bisa menyentuh ghairatullah.

 

Pada akhirnya kisah ini hanyalah sebuah manqibah. Urgensi manqibah alih-alih kebenaran ceritanya, ia diperhatikan karena pesan yang ingin disampaikan. Dari sini kita memahami bahwa segala sesuatu memiliki kadarnya sendiri sebelum akhirnya bisa menyentuh ghairatullah. Kezaliman dilakukan sekali, dua kali, tiga kali hingga kemudian ia menembus batas dan menyentuh ghairatullah.

 

Kualitas Tajali Ghairatullah

Kita akan merasa sakit dan tidak nyaman ketika menghadapi serangan dan hantaman yang mengusik usaha kita. Kita akan melakukan apa pun yang kita bisa untuk mencegahnya. Namun, meski istilah sakit dan tidak nyaman ini bisa digunakan untuk menggambarkan rasa yang kita  rasakan, ia tidak layak disematkan kepada Zat Uluhiyah. Meskipun demikian, Al-Qur’an membahas bagaimana Allah marah. Pada posisi ini kita harus memahami permasalahan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, kita harus mencoba memahami apa yang dilakukan seseorang ketika dia marah. Dengan pendekatan yang sama dan dengan mempertimbangkan Kemahasucian-Nya, kita pun dapat berusaha memahami kemarahan-Nya. Sebagaimana manusia menghukum mereka yang menyerang hak orang lain melalui tangan hukum dan keadilan, demikian juga dengan Allah. Dia juga akan menghukum para pembangkang dan pelaku kezaliman baik di dunia maupun di akhirat.

 

Meskipun mereka yang berada di jalan kesesatan dan penyimpangan diberi kelonggaran untuk sementara waktu, mereka akan dihukum atas kejahatan yang dilakukan ketika kezalimannya telah mengusik ghairatullah. Hukuman ini bisa berupa bala dan musibah, bisa juga berupa dicabutnya iman dari orang yang keji dan zalim ketika ia berada di detik-detik terakhir kehidupan sebelum datang kematiannya. Tidak tepat juga menantikan hukuman ini selalu akan turun di kehidupan dunia. Apalagi bagi orang-orang yang kufur, sungguh hukuman bagi mereka akan benar-benar berat di akhirat nanti.

 

Saya pernah mendengar sebuah peristiwa dari Ustaz Yaşar Tunagür yang beliau atau kerabat beliau alami. Ketika seorang anak sedang mengisi ember di sebuah mata air, datanglah seseorang untuk memberi minum kudanya. Orang itu merebut giliran si anak. Si anak memberi tahu orang tersebut bahwasanya ia masih belum selesai mengisi ember miliknya. Demi mendengarnya, orang ini meninju si anak. Si anak tanpa sempat membalasnya segera menghampiri gurunya dan menceritakan peristiwa yang baru saja menimpanya. Sepertinya guru anak ini adalah seorang waliullah. Ia menyadari peristiwa yang menimpa muridnya dan berkata: “Pergilah sekali lagi ke tempat itu dan katakan sesuatu kepadanya! Apabila balasannya diserahkan kepada takdir ilahi sungguh hukumannya akan sangat keras.” Demi mendengar penjelasan dari gurunya, si anak segera berlari ke arah mata air tadi. Namun, si anak datang terlambat. Sesampainya di sana ia melihat orang tadi telah diseret oleh sekumpulan kuda. 

 

 Di samping semua hal tadi, perlu juga disampaikan bahwasanya perasaan yang dirasakan oleh orang-orang yang terzalimi juga berpengaruh terhadap tersentuhnya ghairatullah. Terkadang kezaliman orang-orang yang zalim ternetralkan oleh kezaliman orang-orang yang terzalimi terhadap dirinya sendiri. Artinya, ketika Allah akan memberikan putusan-Nya terhadap si penindas, selain kekejamannya, Dia juga melihat apakah si tertindas benar-benar telah berlaku adil dalam posisinya. Apabila si tertindas bukanlah hamba-Nya yang loyal dan tidak benar-benar bertawajuh kepada-Nya, bahkan melakukan sebagian sikap-sikap negatif maka Allah akan menunda hukuman bagi orang-orang zalim. Dari sini dapat diketahui bahwasanya di satu sisi diperlukan kezaliman dengan takaran tertentu supaya ghairatullah mulai terguncang, di sisi lain untuk memicunya  juga diperlukan adanya sikap dan perilaku dari orang-orang yang tertindas dan terzalimi.

 

Oleh karena itu, permasalahannya berbalik kembali pada bagaimana kita menyikapi setiap peristiwa yang terjadi. Satu hal yang patut kita ketahui, Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya meski sebesar zarah sekalipun. Sekali-kali Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan hak siapa pun. Namun, tanpa disadari terkadang kita menyia-nyiakan diri kita sendiri demi sesuatu yang remeh temeh. Dari sudut pandang ini, kita seharusnya tidak melihat situasi para penindas dan terkejut ketika Allah memberi mereka kelonggaran; Sebaliknya, pertama-tama kita harus mengevaluasi situasi kita sendiri. Kita harus mengevaluasi diri dan berkata: “Apa kiranya kesalahan-kesalahan yang sudah kita lakukan sehingga masa tenggang yang demikian panjang diberikan kepada orang-orang zalim itu?” Sekalipun wajah dari perilaku ini sudah benar dan kita telah menjalani hidup layaknya monumen kebenaran, kita harus berani mengatakan, “Jika ada penyimpangan dalam diri saya dan jika saya mengganggu keharmonisan pelaksanaan hizmet atau pun menyebabkan aritmia[6] terhadapnya, sesungguhnya lebih baik bagi saya untuk dikubur di dalam tanah”  Apabila kita menyikapi peristiwa dengan pendekatan ini, maka kita akan terhindar dari sikap mengkritik takdir, mengkritik Zat Uluhiyah, serta bersuuzan kepada orang lain.

 

Catatan: Kata ghairat sebagai istilah dalam bahasa Arab dan agama memiliki perbedaan penggunaan dalam bahasa Turki. Ghairat artinya cemburu, sedangkan ghayur artinya iri. Dengan kata lain, ia memiliki arti seperti gemetar serta tidak mampu melawan orang atau sesuatu yang dicintainya dan akibatnya ia tidak dapat membantu orang lain karenanya. Kami memilih untuk tidak menerjemahkan kata tersebut untuk menjauhkannya dari konotasi seperti itu, karena tidak satu pun dari makna ini yang layak disematkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan Dia Mahasuci dari segala macam kelemahan. Periwayatannya dalam hadis bukan karena hakikat keberadaannya, tetapi lebih karena kebutuhan. Maksudnya, sama seperti seseorang yang cemburu pada orang yang dicintainya, dia menyayanginya, dan tidak rida ia menjauh darinya; Sedangkan Allah Maha Pencemburu dibandingkan dengan siapa pun. Dia tidak rida hamba-hamba-Nya menjauh dari-Nya dengan menyibukkan diri dengan dosa-dosanya (oleh Editor dari Bahasa Turki dan penerjemahnya ke Bahasa Indonesia). 

 

[1] Rasa cemburu Allah, yaitu cara dan Sifat Allah dalam menjaga agama dan hamba-hamba-Nya

[2]Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/gayretullah

[3] Ibnu Arabi telah menulis sebuah risalah berjudul “Kasyf al-Ma’na ‘an Sirri Asma’ Allah al-Husna” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Rahasia Asmaul Husna: Mengungkap Makna 99 Nama Allah” (2015)

[4] Menunjukkan makna banyak atau lebih atas apa yang telah ditunjukkan oleh isim fail

 

[5] Manqibah adalah kisah atau cerita yang menggunakan bahasa tutur luar biasa layaknya hikayat yang digunakan untuk menjelaskan keagungan sifat, akhlak, dan kehidupan seorang tokoh agama maupun tokoh pahlawan tertentu

[6] Aritmia adalah gangguan yang terjadi pada irama jantung. Penderita aritmia bisa merasakan irama jantungnya terlalu cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur, penerj.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.