Alim yang Sejati dan Tanggung Jawab Sosialnya

Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan alim yang sejati? Dalam kehidupan sosial, apa saja fungsi yang diperankan oleh para alim sepanjang sejarah manusia? Tanggung jawab apa saja yang masyarakat masa kini harapkan dari mereka?[1]

 

Jawaban: Perlu segera disampaikan bahwasanya ketika membahas tentang siapa zat yang mengetahui segala hal (Al-Alim) maka yang muncul pertama kali di benak kita adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Terdapat tiga nama asmaul husna yang memiliki akar kata ilmu, yaitu Al-’Âlim, Al-’Alîm, dan Al-’Allâm. Dua asmaul husna yang terakhir berasal dari sighat mubalaghah[2]. Nama-nama tersebut menjadi bukti bahwasanya Allah adalah pemilik ilmi muhit (Allah adalah Zat yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, kemampuan-Nya, kasih sayang-Nya, dan pemaksaan-Nya) yang menembus ufuk cakrawala pengetahuan kita. Selain itu, nama ‘Allamul Ghuyub yang disematkan kepada Allah Yang Mahamulia menunjukkan bahwa Dia adalah Zat yang ilmunya tidak hanya meliputi alam syahadah, melainkan juga meliputi alam-alam gaib yang tak mampu dijangkau oleh akal. Dari sisi ini, Dia mengetahui, mengendalikan, dan mengelola segala sesuatu yang ada di alam semesta hingga level atom-atom terkecil, termasuk pergerakan eritrosit di dalam saluran pembuluh darah kita. Itulah mengapa Al-Qur’an mengisyaratkannya dalam ayat

 

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

 

Artinya: “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16). 

 

Ilmu Hakiki dan Ilmu Idhofi (Relatif)

Untuk itu, ketika membahas alim dalam makna hakikinya maka yang pertama muncul di benak kita adalah Allah ta’ala. Sedangkan dalam makna idhofi[3] (relatif)-nya, alim adalah para nabi, yaitu sosok yang mengetahui segala sesuatu dengan baik, dengan tepat, serta mampu berhubungan dengan Pemilik ilmu yang sejati, khususnya para nabi yang disebut sebagai Ulul Azmi, yaitu Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dalam sebuah ayat pada surat al Ahzab terdapat fokus bahasan terkait nabi-nabi ulul azmi:

 

 وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Artinya “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh (QS Al Ahzab: 7).”

 

Pada ayat ini disampaikan bahwa Allah yang Mahamulia telah mengambil perjanjian yang teguh dari nabi-nabi ulul azmi tersebut. Dia membicarakan secara khusus, memuliakan, dan mengagungkan mereka. Dari sisi ini, mereka adalah ciptaan khusus yang memiliki posisi istimewa di sisi ilahi. Oleh karena itu penting untuk mengenal mereka dari posisi tersebut untuk kemudian memuliakan dan menghormati mereka.  

 

Bila dijelaskan kembali, mereka yang termasuk ke dalam golongan alim idhofi dimulai dari nabi-nabi ulul azmi dan dilanjutkan oleh seluruh nabi dan rasul yang telah diutus oleh Allah. Hal itu karena mereka memiliki hubungan dengan ilmul muhit-nya Allah. Melalui wahyu, mereka ternutrisi dari sumber Ilmu. Mereka memiliki kemampuan unggul dalam memahami makna-makna yang ditunjukkan kepada mereka serta memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari sumber tersebut. Dengan demikian, mereka pun memahami wahyu yang datang dari Allah secara benar dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang diharapkan. Apabila para nabi yang menjadi pemilik ilmu idhafi tidak menafsirkan ilmu hakiki yang terdapat dalam kitab-kitab samawi secara benar, maka tidak mungkin bagi kita untuk memahami pengetahuan di dalamnya secara menyeluruh dan benar. Apabila Al-Quran tidak ditafsirkan dan ditakwilkan oleh Rasulullah, maka kita akan membuat banyak kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya.

 

Ketika tiba pada pembahasan ini, perlu disampaikan bahwasanya terdapat beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai “Muslim Qur’ani” dan mengesampingkan serta meremehkan Sunah. Dalam memahami Al-Qur’an, mereka tidak memberi porsi yang seharusnya terhadap tafsir dan takwil Rasulullah. Hal ini menunjukkan betapa jauhnya mereka dari hakikat dan betapa asingnya mereka dari roh agama. 

 

Ya, meskipun pada awalnya kita bersandar kepada hakikat ilmu yaitu Allah dan ilmu idhafi yaitu para nabi dan rasul, kita tetap menggunakan istilah al-âlim bahkan al-allâmah kepada tokoh-tokoh agung yang memiliki ilmu dari sisi idhafi. Al-Qur’an sendiri memberi perhatian khusus kepada mereka yang mendalam ilmunya dalam ayat berikut ini:

 

 وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا

 

Artinya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal (QS Al Imran: 7).”

 

Dalam ayat tersebut, terdapat dua penafsiran berdasarkan pada ada atau tidaknya waqaf setelah Ismul Jalalah. Dalam terjemahan tersebut, makna disebutkan demikian berdasarkan keberadaan waqof. Menurut terjemahan ini, Allah jalla jalaluhu memberi tahu bahwasanya para ulama yang mendalam ilmunya dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabih (ayat-ayat yang samar dan sulit dipahami) memilih untuk menghindari tafsir yang mendetail serta menyerahkan makna hakikinya kepada Allah. Sedangkan apabila tidak terdapat waqaf atau dibaca secara washal maka makna yang bisa disimpulkan adalah: “Zat yang mengetahui makna hakiki dari ayat-ayat mutasyabihat adalah Allah, sedangkan mereka yang mampu memahami ayat-ayat mutasyabih dari makna nisbinya adalah para alim yang mendalam ilmunya.“   

 

Tradisi Ulama

Untuk itu, ada banyak alim besar yang dididik dan dilahirkan, baik di masa Asr Saadah maupun di periode-periode setelahnya. Mereka memiliki satu atau lebih bidang yang didalami, tergantung dari kemampuan dan kapasitasnya masing-masing. Misalnya, kita tidak mungkin memahami kedalaman ilmu dari Sayyidina Abu Bakar. Barangkali, beliau pun tidak menyadari kedalaman ilmunya karena ketawadukan dan kerendahan hatinya yang luas. Oleh karena itu, sewaktu-waktu ia bertanya mengenai detail dari beberapa permasalahan kepada Rasulullah. Contohnya, ia datang dan bertanya apakah menggunakan pakaian panjang yang sedang dikenakannya membuatnya termasuk sebagai orang yang sombong. Padahal beliau adalah sosok tawaduk luar biasa yang sebanding dengan keluasan dan kedalaman  ilmunya; beliau benar-benar sosok yang rendah hati dan tawaduk. Ini karena dirinya benar-benar menyadari bahwa rahasia dari kunci kebaikan adalah tawaduk, sedangkan kunci dari segala keburukan adalah kesombongan.   

 

Di waktu yang sama, Sayyidina Abu Bakar adalah seorang pemimpin negara yang adil dan sukses. Aku ingin mengingatkan sebuah hakikat yang pernah kusampaikan sebelumnya melalui berbagai kesempatan. Sepanjang sejarah manusia, sangat sulit menemukan sosok kedua yang sebanding dengan prestasi yang pernah dicapainya dalam memimpin negara. Beliau mengelola negara di masa di mana masalah demi masalah datang silih berganti. Dalam tempo waktu dua tahun, berkat izin dan inayat Allah ia berhasil melewati masalah-masalah tersebut. Selain itu, beliau sangat unggul dalam hal ibadah. Barangkali bukan ibadah, istilah penghambaan nampaknya lebih cocok disematkan kepadanya. Ini karena ia telah menjadi representasi dari Rasulullah, ia seakan - jika boleh disebut demikian - menyatu dengan salat, puasa, dan haji. Sebagaimana perawakannya mirip dengan Rasulullah, kehidupan ibadahnya pun jengkal demi jengkal selaras dengan ibadahnya Rasulullah.  

 

Para khalifah yang menggantikan Sayyidina Abu Bakar pun - mereka adalah Sayyidina Umar, Usman, dan Ali radhiyallahu anhum - selain menjadi pemimpin negara mereka juga merupakan orang-orang yang memiliki kedalaman ilmu. Masing-masing dari mereka memiliki fadhilah yang spesial. Misalnya Sayyidina Ali, ia merepresentasikan wilayah Rasulullah melalui kedalaman ilmu laduni-nya. Keutamaan ini tidak terbatas pada empat khalifah. Di antara sahabat, terdapat sosok seperti Abdullah bin Mas’ud, Abdullah ibnu Abbas, dan Muaz bin Jabal yang termasuk ke dalam golongan sahabat ahli ilmu. Salah satu di antara mereka adalah Abu Hurairah, yaitu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Sayyidah Aisyah merupakan salah satu sumber rujukan utama dan otoritatif dalam hukum Islam. Demikian utamanya, di bidang keilmuannya seakan tidak ada satupun hal yang tidak diketahui olehnya. Bagaimana Rasulullah memilihnya di umur yang muda, memperistrinya, serta mengajarkan masalah-masalah kewanitaan / yang terkait dengan ihwal perempuan kepada umat melalui dirinya bukanlah perkara-perkara yang bisa dianggap kebetulan. Mengaitkan pernikahan ini dengan sebab kecondongan jasmani semata menandakan telah tertutupnya mata akal, logika, dan keadilan. Melalui firasat dan fatanah-nya yang agung, beliau berhasil menemukan bahwasanya Sayyidah Aisyah akan mengemban banyak tugas di masa mendatang. Untuk itu, beliau pun meminang Sayyidah Aisyah ke dalam kediamannya yang penuh cahaya. Khususnya pasca Rasulullah wafat, ia menjadi salah satu orang yang banyak ditanya dan menjadi pusat konsultasi perkara-perkara keilmuan. Imam-imam besar generasi tabiin banyak menghadiri majelis ilmunya. Sayyidah Aisyah mengajar mereka dari balik tirai atau sutrah    

 

Namun, pada masa tersebut para alim merupakan cendekiawan tanpa julukan. Untuk itu, tidak ada satupun dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai alim. Mereka juga tidak menyematkan julukan “al-allamah” satu sama lain. Pada saat yang sama, di masa tersebut belum ada lembaga khusus untuk mendidik para alim seperti halnya Darul Funun[4]. Sebagaimana ada banyak alim di antara para sahabat, pada masa tabiin pun terdapat banyak alim.

 

Baik para pendahulu, yaitu para cendekiawan tak bertitel/bergelar yang melanjutkan eksistensinya, maupun tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ulama di masa-masa kemudian memiliki posisi yang sangat besar di dunia Islam. Khususnya para alim besar hingga abad ke-5 hijriah, mereka telah merealisasikan banyak pengabdian penting dalam menjelaskan perintah-perintah tasyri maupun dalam memahami perintah-perintah takwini. Mereka menulis tafsir Al-Qur’an, melakukan kodifikasi hadis, mengeluarkan hukum-hukum fikih dari Al-Qur’an dan Hadis, menyusun ushul dan prosedurnya, serta mewariskan semua itu kepada generasi berikutnya. Tak cukup dengannya, bersama dinamika yang diambilnya dari Al-Qur’an dan Sunah mereka mengecek dengan rinci perintah-perintah takwini. Demikian luar biasanya mereka dalam menguak prinsip-prinsip sains ketika meneliti benda dan peristiwa serta tingginya kecintaan mereka terhadap hakikat dan penelitian. Semua usaha mereka itu turut menjadi jalan bagi terjadinya renaisans barat. Mereka juga membangun jembatan supaya jalan ini bisa dilalui. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, Al-Jabar, Ar Razi[5], dan Al-Zahrawi[6] selain memahami perintah-perintah tasyri dengan sangat baik, karya-karya yang dihasilkan demi memenuhi perintah takwini telah memberikan pengaruh signifikan kepada Barat selama berabad-abad. Hari demi hari fakta-fakta ini perlahan muncul. Banyak biografi tentang mereka kemudian dituliskan. Museum-museum pun didirikan untuk mengabadikan temuan mereka.     

 

Terpisahkannya Sekolah, Madrasah, dan Majelis Zikir

Meskipun tradisi ulama terus berlanjut hingga hari ini dan terjaga urgensinya secara parsial, adalah sebuah kenyataan bahwa bidang-bidangnya mengalami penyempitan khususnya setelah abad ke-5 hijriah. Seperti halnya di akhir siang cahaya berubah menjadi gelap dan berkesudahan dengan terselimutinya langit oleh gulita, hari demi hari kegiatan ilmiah pun semakin layu dan berkurang intensitasnya. Dinamika yang terlihat pada kegiatan ilmiah di lima abad pertama hijriah perlahan-lahan kehilangan bekas di periode berikutnya.

 

Madrasah agama memandang ilmu-ilmu sains tidak bermanfaat dan mengusirnya dari bidang kajian. Di waktu yang sama, masyarakat semakin menjauh dari kehidupan kalbu dan roh Islam. Hal tersebut benar-benar menjadi musibah yang lengkap bagi kita. Padahal mereka yang mampu menjadi representasi dari sisi kalbu dan jasmani serta duniawi dan ukhrawi dalam makna yang hakiki sebagai seorang muslim adalah orang-orang yang mampu hidup di level kalbu dan roh. Sayangnya madrasah-madrasah agama telah berubah menjadi tempat yang hanya mempelajari ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’[7], balaghah, serta fikih, tafsir, kalam, dan hadis dalam porsi yang sedikit. Tugas para alim tak lebih dari mengajar serta memberi ceramah dan nasihat kepada orang-orang. Kehidupan roh Islam dibatasi hanya dalam lingkup di majelis-majelis zikir, sedangkan perintah-perintah tasyri dipisahkan dari perintah-perintah takwini.

 

Madrasah, sekolah, dan majelis zikir merupakan tiga wajah yang merepresentasikan satu hakikat. Ketika mereka dipisahkan, maka persatuan dan kesatuan pun rusak. Perpecahan dan perceraian merupakan sebab bagi terputusnya pertolongan dan taufik ilahi. Sebagaimana persatuan dan kesatuan merupakan prasyarat paling tepat supaya Allah berkenan menganugerahi kesuksesan kepada manusia, demikian juga apabila kehidupan roh Islami, ilmu-ilmu positif, dan ilmu-ilmu agama dipisahkan serta ditindaklanjuti melalui jalan yang berbeda-beda maka hal itu akan menjadi sebab bagi terputusnya taufik ilahi.

 

Seperti dipahami bahwasanya pada hari ini tidak tersisa sosok individu yang mampu merepresentasikan tiga wajah hakikat tersebut secara sekaligus. Untuk itu, nampaknya sulit untuk mengatakan bahwasanya pada hari ini masih ada orang-orang yang bisa disebut sebagai alim yang sejati. Beberapa orang alim hanya mengetahui ilmu-ilmu positif sehingga memiliki kecondongan pada naturalisme. Sebagian lainnya sibuk hanya dengan ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah. Sedangkan sebagian lagi berusaha merepresentasikan kehidupan roh islami di beberapa majelis zikir dan majelis tarekat. Pada hari ini, kondisi tersebut menciptakan kerinduan akan hadirnya ulama yang hakiki. Dibutuhkan pembaharuan koordinasi supaya tiga bagian ini bisa kembali bersatu dan berdampingan. Demikian juga dengan usaha bahu-membahu dan akal kolektif insya Allah akan dapat memfasilitasi terjadinya renaisans kedua bagi masyarakat muslim.

 

Pemuka Masyarakat yang Sejati

Ketika melihat sekilas sejarah Islam, para alim memainkan peranan penting dalam mengarahkan masyarakat. Contohnya pada masa Khulafaur Rasyidin, meskipun mereka merupakan sosok yang alim dan memiliki ufuk ilmu yang berkapasitas untuk memecahkan beragam masalah, para Khulafaur Rasyidin senantiasa mengumpulkan para sahabat yang terkemuka keilmuannya dan bermuzakarah dengan mereka ketika mencari solusi dari setiap masalah yang muncul. Para sahabat radhiyallahu anhum selain tidak pernah merasa sungkan untuk bertanya kepada mereka yang lebih berpengetahuan, mereka juga tak pernah merasa gentar untuk memperbaiki setiap kesalahan dan kekurangan yang mereka lihat, termasuk memberi peringatan kepada para pemimpin negara.  

 

Pada prinsipnya, para pemimpin negara yang menimba ilmu dari para ulama dan usaha para ulama dalam mendidik masyarakat secara nisbi masih berlanjut di masa-masa berikutnya. Misalnya Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Wazir Kesultanan Seljuk yang bernama Nizam al Mulk. Mereka mengangkat guru dari Imam Ghazali, yaitu Imam Haramain al-Juwaini sebagai pimpinan madrasah. Setelah Imam Haramain al-Juwaini menyelesaikan tugasnya di Madrasah Nizamiyah, mereka menunjuk Imam Ghazali sebagai penggantinya. Mereka menunaikan tugasnya di Madrasah Nizamiyah dengan sangat baik. Masyarakat pun mengakui ketinggian penguasaan ilmu mereka berdua. Pada suatu waktu, Imam Ghazali meyakini suatu jalan lain yang menurutnya lebih baik dalam melayani agama Islam. Untuk itu, beliau pun mengundurkan diri sebagai pimpinan Madrasah Nizamiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan gagasannya terus membimbing masyarakat dan menjadi petunjuk bagi para pimpinan negara.

 

Di Negeri Usmani, sejak awal permulaannya posisi ulama di tengah masyarakat dan di hadapan pejabat negara berada pada tempat yang terhormat. Misalnya, Usman Ghazi (Pendiri Kesultanan Usmani) banyak mengambil manfaat serta menikahi putri dari seorang tokoh terkemuka di masa itu, yaitu Syekh Edebali. Demikian besar manfaat yang diberikan, nasihat-nasihatnya kepada Usman Ghazi masih menjadi inspirasi bagi para pemimpin negara hingga saat ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sultan Murat II (rahimahullah). Beliau senantiasa berkonsultasi dengan Haji Bayram Wali. Demikian juga dengan Sultan Mehmet al Fatih. Beliau senantiasa didampingi oleh sosok-sosok seperti Molla Hüsrev[8] dan Aksyamsuddin. Sekalipun Sultan Sulaiman Al Qanuni memiliki kapasitas yang sangat luar biasa, tetapi sebelum bertindak beliau selalu mengambil fatwa dari Ebussuud Efendi[9].  Sultan Salim I (Yavuz Sultan Selim) bahkan tidak bertindak tanpa konfirmasi dari Syekh Zenbili Ali Efendi.

 

Dewasa ini terdapat pribadi-pribadi yang dipandang sebagai alim dan pemuka masyarakat. Tak ada keraguan bahwasanya mereka telah menunaikan banyak pengabdian sesuai dengan posisi mereka di tengah masyarakat. Mereka bukanlah orang biasa. Namun, perlu juga disampaikan bahwasanya pada hari ini masih belum muncul seorang alim dari tengah-tengah masyarakat yang mampu mengisi kekosongan besar yang terjadi. Sayangnya, dewasa ini manusia mengalami kecanggungan dalam kekosongan yang luar biasa. Manusia pada hari ini telah jatuh ke dalam sumur yang lebih dalam daripada sumurnya Nabi Yusuf. Dibutuhkan firasat dan kebijaksanaan luar biasa supaya manusia bisa menyelamatkan dirinya dari sumur seperti ini. Namun, sayangnya masyarakat kita alpa akan pemuka masyarakat yang kadar ilmu dan pikirannya berada pada level seperti ini.

 

Masyarakat bisa saja bertawajuh kepada pribadi-pribadi yang mereka pandang mulia. Rakyat bisa saja meletakkan mereka di posisi yang istimewa. Mereka pun bisa saja menggunakan kepercayaan ini untuk melakukan segala hal. Namun, yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat adalah sosok yang mampu menutrisi pemikiran dan perasaannya, mengarahkan masyarakat ke jalan yang benar, serta tidak membiarkan masyarakat untuk melakukan kesalahan. Apabila sebuah bangsa mampu mendidik alim dan pemuka masyarakat dengan kriteria seperti ini, maka bangsa itu akan selamat dari beragam kesalahan serta akan tinggal di jalan yang mustakim. Alim yang demikian selain akan melakukan bimbingan kepada masyarakat, mereka juga akan meraih kepercayaan dari orang-orang yang mengelola masyarakat dan negara. Dengan demikian pengaruh baiknya akan diterima oleh tokoh-tokoh sentral tersebut. Kemudian, kepercayaan ini akan menjaga para pejabat negara dari populisme, tindakan tirani, serta mendorong mereka untuk selalu menggunakan kekuasaannya demi kemaslahatan masyarakat.

 

Tidak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sekalipun mengangkat Sayyidina Abu Bakar dan Umar sebagai wakilnya. Tindakan ini memberikan pelajaran penting kepada kita[10]. Sabda nabi berikut memberikan penjelasan kepada kita mengenai hakikat ini:

 

 إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهِ غَيْرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرْهُ وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ

 

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang pemimpin, maka Allah akan memberikan kepadanya menteri yang jujur, dia akan mengingatkannya ketika lupa, dan membantunya saat dia ingat. Sebaliknya  jika Allah menghendaki lain, maka Allah akan memberikan kepadanya menteri yang buruk, dia tidak mengingatkannya ketika lupa, dan tidak membantunya ketika ingat (HR. Abu Daud, Nasai, dan Ahmad )”

 

Dalam hal ini, apabila seorang pemimpin merasa dirinya memiliki cukup  kemampuan dalam mengelola bidang yang digelutinya, sesungguhnya hal itu merupakan dalil bagi ketidakcakapannya. Pada akhirnya, orang yang demikian tak diragukan lagi akan menemui kehancuran. Sayangnya, akhir-akhir ini dapat kita saksikan betapa banyak diktator yang berseru “cukuplah dengan saya” pada akhirnya menenggelamkan diri dan masyarakatnya ke dalam fiasko atau kegagalan total. Jalan supaya bisa terselamatkan dari fiasko semacam ini adalah dengan memastikan kehadiran sosok-sosok seperti Imam Ghazali, Zenbili, Aksyamsuddin, Ebussuud Efendi, Shah Waliullah al-Dihlawi (d. 1762) serta mengambil jalan keselamatan sesuai masukan dan evaluasi dari mereka. Di sisi lain, para ulama dan pemuka masyarakat harus menampilkan kehidupan yang memberi referensi bagi orang yang melihatnya bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat diandalkan. Mereka tidak boleh terjebak dalam pusaran politik serta mengorbankan gagasannya karena alasan politis. Kepercayaan yang mereka raih hanya boleh digunakan untuk mengarahkan para pemimpin negara ke jalan yang benar.

 

Sayangnya di kedua sisi tersebut kita mengalami kekurangan yang amat serius. Sebagaimana lubang tempat kita jatuh ternyata teramat dalam, terdapat juga kehampaan baik di sisi pengelola negara maupun di sisi orang-orang yang bertugas membimbing masyarakat. Parahnya lagi, mereka tak menyadari kehampaan ini. Ketika kehampaan demi kehampaan berkumpul menjadi satu, solusi tepat bagi permasalahan-permasalahan yang muncul pun berubah menjadi persamaan yang sama sekali tak dikenali. Namun, meskipun demikian bangsa kita hingga hari ini telah mendidik banyak alim dan pejabat negara yang memainkan peran sentral. Mereka telah menunaikan pengabdian demi pengabdian kepada Islam. Pencapaian kebaikan dan keindahan semacam ini di masa lalu merupakan referensi paling kuat nan tak menipu bagi ditunaikannya kebaikan dan keindahan serupa di masa mendatang.  

 

 

[1] Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/gercek-alim-ve-sosyal-sorumluluk

[2] Sighah mubalaghah adalah Isim musytaq yang dibentuk dari fi’il tsulasi maupun ruba’i dengan kandungan makna ‘sangat/banyak/kuat/lebih.

[3] Alim yang ilmunya berasal dari Allah.

[4] Gagasan pembukaan sekolah tinggi selain madrasah agama pada masa Kesultanan Usmani pertama kali ditemukan dalam program pendidikan yang disusun Meclis-i Muvakkat-i Maarif (Dewan Pendidikan Sementara) pada tahun 1845, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Abdülmecid. Menurut laporan yang disetujui oleh Meclis-i Vala, “Darul Funun” merupakan sekolah tinggi yang levelnya berada di atas sekolah dasar dan menengah. Selama gedung Darul Funun berada dalam masa pembangunan, dibentuklah dewan penasehat yang bertugas untuk memilih dan menyiapkan buku pelajaran. Siswa-siswa dikirim ke Eropa sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar. Nama yang diberikan kepada lembaga ini adalah "Darul Funun", yang berarti "rumah sains." Penamaan ini muncul dari gagasan supaya ia terlihat secara mencolok sebagai lembaga yang terpisah dari madrasah agama. Hal ini terkait dengan prasyarat dan kondisi di masa  itu. Pada tahun 1933, nama Darul Funun berubah menjadi Istanbul University

[5] Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi (di Barat dikenal sebagai Rhazes), lahir di Al Rayy, sebuah kota di lereng selatan pegunungan Elburz dekat Teheran, Iran. Ar-Razi menjadi pionir dalam beberapa bidang kedokteran mulai dari kesehatan mental hingga cacar. Ia termasuk orang pertama yang memberikan pengobatan kesehatan mental. Ia mengobati pasien dengan hormat, kepedulian, dan empati. Pasien yang sudah pulang diberi sejumlah uang untuk membantu kebutuhan mendesak. Ini adalah referensi atau catatan pertama mengenai perawatan setelah psikiatri. Selama hidup, ar-Razi menulis lebih dari 224 buku tentang berbagai mata pelajaran. Karyanya yang paling penting adalah ensiklopedia medis yang dikenal sebagai Al-Hawi fi al-Tibb, yang dikenal di Eropa sebagai Liber Continens. Buku-bukunya di bidang kedokteran, filsafat, dan alkimia dinilai sangat mempengaruhi peradaban manusia, terutama di Eropa.

[6] Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi atau Al-Zahrawi adalah salah satu pakar kedokteran pada masa Islam abad pertengahan. Di dunia barat, ia dikenal sebagai Abulcasis, dengan karyanya yang terkenal berjudul Al-Tasrif liman Ajiza an-at-Ta'lif dan menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.

[7] Secara garis besar, ilmu badi’ ini mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan keindahan bahasa. Ilmu Badi’ merupakan penghias lafadz atau makna dengan bermacam-macam corak kehidupan lafadz dan makna.

 

Kesimpulannya, ilmu badi’ dibagi menjadi dua, yaitu: muhassinat maknawiyah yang bertujuan untuk memperindah makna (konsentrasi pada makna), baru kemudian pada lafadz. Yang kedua, muhassinat lafdziyah yang memfokuskan pada segi memperindah lafadz, baru kemudian pada makna

 

[8] Molla Hüsrev (Dalam Bahasa Arab: مُلا خُسْرُو ) adalah seorang alim, fakih, dan negarawan. Molla Hüsrev, adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah hukum Usmani. Beliau menghasilkan karya-karya di bidang bahasa dan sastra Arab, puisi, dan kaligrafi. Setelah Molla Fanari dan Molla Fahrettin Acemi, beliau merupakan Syekh Al-Islam ketiga dari Kekaisaran Osmani. Beliau adalah salah satu sosok yang menyiapkan program kurikulum dari Madrasah Sahn-ı Seman yang dibangun pasca penaklukan Istanbul oleh Sultan Mehmet Al-Fatih. Karya-karyanya di bidang fikih digunakan sebagai buku wajib di madrasah-madrasah Usmani. Selain itu, karyanya yang berjudul Dürü'l-ĥükkâm berfungsi sebagai sumber hukum yang digunakan hakim ketika menyelesaikan perselisihan di bidang hukum syar'i pada periode Usmani. Di antara murid-murid yang pernah belajar darinya adalah Zenbilli Ali Efendi, Fenari Hasan Celebi, Molla Hasan Samsuni, Yusuf bin Junaid at-Tokadi dan Molla Muhyiddin.

[9] Ebussuud Efendi adalah seorang ahli fikih bermazhab Hanafi Maturidi dari Kesultanan Usmani. Beliau adalah penafsir Al-Qur'an yang menjabat sebagai Qadi Istanbul dari tahun 1533 hingga 1537. Beliau kemudian diangkat menjadi Syekh al-Islam dari Kesultanan Usmani dari tahun 1545 hingga 1574

[10] Baca di Tirmizî, manaqib 17; al-Hakim, al-Mustadrak 2/290

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.