Dakwah Sebagai Tanda Orang Mukmin

Dakwah Sebagai Tanda Orang Mukmin

Seorang mukmin yang mengetahui berbagai macam keutamaan memberi petunjuk, niscaya akan menjelaskan kebenaran kepada masyarakat yang berada di sekitarnya. Ia akan menerangkan kebenaran kepada orang-orang yang terdekat dengannya, karena pekerjaan ini merupakan hakikat keimanannya. Juga merupakan jaminan atas keselamatan muslim lain dari gangguan lisan maupun tangannya yang akan menghasilkan perbuatan yang baik.

Jadi, orang-orang beriman yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah Saw.. Apabila ada bagian dari tubuh itu yang tengah menderita sakit, maka bagian tubuh lainnya pun akan ikut merasakan sakit. Karenanya, setiap mukmin harus peduli kepada sesama mukmin dalam kondisi apa pun. Seorang mukmin akan bergembira dengan kegembiraan saudaranya, dan akan ikut bersedih dengan kesusahan yang menimpa saudaranya.

Jika demikian kondisinya, bagaimana seorang mukmin tidak peduli dengan mukmin lainnya, apakah ia akan dimasukkan ke dalam surga, ataukah justru akan dimasukkan ke dalam neraka? Oleh karena itu, setiap Mukmin wajib menunaikan tugas sucinya, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, seperti yang telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah berserta Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sebab sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS al-Taubah [9]: 71).

Sebenarnya, seluruh mukmin laki-laki maupun perempuan menjadi wali (penolong) antara yang satu dengan yang lain. Jadi, posisi perwalian itu dapat mereka wujudkan dalam bentuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar . Sebab, tugas tersebut merupakan perintah wajib yang harus dilakasanakan oleh setiap mukmin.

Setiap mukmin tidak akan melupakan saudaranya dari tugas suci tersebut. Sebab, hanya dengan cara itu seorang mukmin akan melaksanakan semua perintah agamanya dengan baik. Jika semua anggota masyarakat muslim mempunyai sifat dan sikap yang baik seperti itu, maka masyarakat akan teratur dengan baik, serta mereka akan diliputi rahmat dari sisi Allah Swt. sepanjang masa.

Sebaliknya, jika sifat dan sikap orang-orang mukmin sudah menyerupai kaum munafik, maka hidup mereka tidak akan sebaik orang-orang beriman yang sejati. Seperti telah digambarkan oleh Allah „Azza wa Jalla di dalam firman-Nya berikut ini, “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama. Mereka senantiasa menyuruh berbuat yang munkar, dan melarang dari berbuat yang ma'ruf, serta mereka menggenggamkan tangan (berlaku kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik,” (QS al-Taubah [9]: 67).

Menurut firman Allah „Azza wa Jalla di atas, orang-orang munafik dengan sesama mereka tidak saling mendukung dan bersikap peduli seperti seharusnya seorang mukmin terhadap sesamanya. Masih menurut firman Allah di atas, sifat orangorang munafik yang paling utama adalah menyuruh berbuat keburukan. Tentunya, hal ini berbeda dengan sifat orang-orang beriman yang selalu menyuruh berbuat kebaikan, dan mencegah dari berbuat keburukan. Sebagaimana yang tercermin dalam tugas suci mereka, yaitu menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.

Orang-orang munafik itu cenderung menilai segala betuk ibadah dan perbuatan baik sebagai kemunduran. Sebaliknya, mereka akan menilai segala perbuatan buruk sebagai kebajikan dan kemodernan. Mereka menilai seorang wanita muslimah yang menutup aurat mereka dan berpakaian dengan busana muslimah sebagai bentuk kemunduran peradaban bagi kaum wanita. Cerminan ini disimbolkan melalui kemunduran akibat tidak pernah bergaul secara luas dengan kaum wanita yang berpenampilan terbuka. Mereka menilai orang-orang mukmin yang saling mencintai sebagai kelompok yang berpikiran mundur.

Pada saat mereka menilai semua perbuatan baik sebagai perbuatan yang buruk, dan perbuatan yang buruk mereka nilai sebagai perbuatan yang baik, maka mereka bagaikan orang-orang yang sakit di tengah orang-orang sehat (beriman). Oleh karena itu, Allah Swt. telah menilai mereka itu sebagai kelompok yang paling rendah secara lahir maupun batin. Seperti yang telah disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin serta manusia. Mereka mempunyai qalbu, akan tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah. Dan mereka mempunyai mata, akan tetapi tidak mereka pergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Dan mereka juga mempunyai telinga, akan tetapi tidak mereka pergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat (hina) lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai,” (QS al-A'râf [7]: 179).

Oleh karena itu, sudah seharusnya orang-orang yang mengaku dirinya beriman mempertahankan keimanan dan keislaman mereka dari kejatuhan pada tingkatan yang paling hina, yaitu; ketika sesama mereka saling menyuruh berbuat keburukan dan melarang dari melakukan kebaikan. Maka, untuk membina suatu masyarakat yang bahagia, yang aman, sudah seharusnya setiap mukmin menyingkirkan segala bentuk kemunkaran dari kalangan mereka. Sebab, kalau tidak, maka setiap bentuk kemunkaran akan berkembang dengan cepat, seperti wabah penyakit yang menular akan melanda kepada suatu kaum secara keseluruhan.

Bahkan, jika kemunkaran itu sengaja dibiarkan, maka kemunkaran dimaksud akan tersebar di seluruh lapisan masyarakat, sehingga akan menimbulkan kekacauan di antara mereka yang sangat sulit untuk dikendalikan. Hal itu dapat kita lihat dalam sejarah bangsa-bangsa yang sudah hancur, yang pada umumnya di antara mereka membiarkan kemunkaran melanda dan menyebar secara luas di antara mereka.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini perlu kami sebutkan sebuah hadis Rasulullah Saw. sebagai berikut, “Sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan Bani Isra'il di masa lalu adalah, ketika ada seseorang yang berbuat kemunkaran pada mulanya diperingatkan oleh temannya. Kemudian, jika kemunkaran yang sama terjadi lagi, maka mereka membiarkan, sehingga kemunkaran itu menjalar dan tersebar luas di kalangan mereka. Dan pada saat itulah Allah „Azza wa Jalla menurunkan siksa-Nya, seperti yang telah disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini, „Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra'il dengan lisan Daud dan „Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu,” (QS al-Mâidah [5]: 78- 79).”

Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, “Demi Allah, kalau kalian tidak mau menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka pasti Allah akan memberi kesempatan kepada orang-orang yang zhalim di antara kalian untuk menindas kalian.”[1]

Hadis di atas mengisyaratkan kepada orang-orang yang beriman betapa pentingnya nilai ber-amar ma'ruf nahi munkar . Sehingga Bani Isra'il yang tidak mau menunaikan ibadah atau tugas suci ini menjadi umat yang tertindas dan terhina di setiap tempat maupun pada segala kondisi.

Ketika seseorang melihat orang lain berbuat kemunkaran, kemudian ia melarangnya, maka ia termasuk orang yang bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Kemudian, pada waktu yang lain, pada saat ia mendapati kemunkaran, namun ia mendiamkannya, sehingga perbuatan munkar tersebut makin lama semakin meluas di kalangan masyarakat, bahkan pada saat itu tidak lagi ada seorang pun yang bersedia melarang terjadinya tindak kemunkaran dimaksud, sampai murka Allah „Azza wa Jalla tiba kepada mereka semua, maka Allah memunculkan di dalam sanubari sebagian orang menjadi musuh kepada sebagian yang lain, sehingga terjadilah pertumpahan darah yang masif di antara mereka. Kejadian semacam ini dapat kita saksikan setiap saat berlaku di sekeliling kita.

Allah Swt. telah menimbulkan kekafiran di sanubari seorang Yahudi yang tidak mau mencegah adanya tindak kemunkaran, sehingga di antara mereka timbul perpecahan. Demikian pula yang dialami oleh kaum Nashrani. Dalam sejarah tercatat, bahwa kaum Yahudi dan Nashrani pernah menjadi kaum yang tertindas di bawah pemerintahan Babilonia. Padahal, sebelum itu, mereka juga tertindas di masa pemerintahan zhalim lainnya. Alhasil, jika suatu kaum tidak mau menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka pasti akan timbul perpecahan di antara mereka, meskipun mereka satu bangsa dan satu negara. Dalam kesempatan ini, Rasulullah Saw. sengaja memperingatkan kepada umat Islam dari cobaan yang akan mereka alami, jika mereka tidak bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar.

Dalam catatan sejarah juga telah diukir, bahwa Bani Isra'il selalu tertindas di mana pun mereka berada. Mereka tidak pernah bersatu dengan sesamanya sampai diutus-Nya Nabi Allah Musa as. di tengah-tengah mereka. Adapun jika kini mereka berhasil mendirikan suatu negara yang tampaknya mereka saling bersatu dengan sesama, padahal sesungguhnya secara internal mereka saling terpecah-belah.

Demikian pula di negara-negara Islam yang belakangan ini terlihat saling bermusuhan akibat keengganan mereka menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, sehingga di antara mereka terjadi berbagai bencana berupa wabah penyakit, kemiskinan, dan kesengsaraan. Sudah seharusnya mereka semua kembali kepada risalah Islamiah yang pernah menyatukan orang-orang sebelum mereka, dan membahagiakan umat Islam di masa lalu. Jika mereka mau kembali kepada risalah Islamiah yang sesungguhnya, maka Insya Allah mereka akan jaya kembali, seperti kejayaan umat Islam pada zaman keemasan Islam.

Setiap peristiwa menunjukkan, bahwa ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah satusatunya jalan yang menyebabkan kejayaan umat Islam di awal eranya. Seperti yang terjadi di masa pemerintahan Abu Bakar al-Shiddiq ra, ketika mengatakan, “Wahai manusia, kalian telah membaca firman Allah Swt. berikut ini, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian! Tidak akan pernah orang-orang yang tersesat itu sanggup memberi madharat kepada kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk dari sisi-Nya. Hanya kepada Allah kalian kembali, semuanya. Maka Dia akan menerangkan kepada kalian apa saja yang telah kalian lakukan,” (QS al-Mâidah [5]: 105).”

Selanjutnya Abu Bakar mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak memahami dengan benar firman Allah Swt. di atas, padahal aku pernah mendengar Rasulullah Saw. sendiri bersabda, „Demi Tuhan yang memegang jiwaku di dalam genggaman tangan-Nya, kalau kalian tidak mau ber-amar ma'ruf nahi munkar, maka pasti Allah akan mendatangkan siksa bagi kalian. Kemudian kalian memohon pertolongan dari sisi Allah, namun sayang permohonan yang kalian ajukan itu tidak akan pernah dikabulkan oleh- Nya.'”[2]

Maksud dari firman Allah „Azza wa Jalla di atas adalah, hendaknya kalian peduli kepada kelalaian diri kalian sendiri! Pada tahap awal, jangan peduli kepada kelalaian kaum lain. Oleh karena itu, sebaiknya kalian selalu mengoreksi diri kalian sendiri, agar kalian memahami firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw. di atas.

Imam al-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah Saw., “Demi Tuhan yang memegang jiwaku di dalam genggaman tangan-Nya, kalau kalian tidak mau beramar ma'ruf nahi munkar, maka pasti Allah akan mendatangkan siksa-Nya bagi kalian. Kemudian kalian akan memohon pertolongan dari sisi Allah, tapi sayang permohonan kalian itu tidak akan pernah dikabulkan oleh-Nya.”[3]

Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw. juga pernah bersabda, “Pasti Allah akan mendatangkan siksa bagi kalian, kemudian kalian memohon pertolongan dari sisi Allah, namun permohonan kalian itu tidak akan dikabulkan oleh-Nya.”[4]

Penjelasan dari hadis di atas adalah, kalau ada suatu masyarakat, dan pada mereka banyak terjadi kemunkaran, akan tetapi kemunkaran itu tidak pernah dicegah, maka Allah Yang Mahakuasa akan menurunkan bencana bagi masyarakat itu, sehingga mereka saling bermusuhan serta saling membunuh. Sampai orang-orang yang buruk mengalahkan orangorang yang baik. Maka, pada saat seperti itu, orang-orang yang baik akan berdo'a, akan tetapi do'a mereka tidak akan diterima oleh Allah „Azza wa Jalla, sampai masa siksaan tersebut telah dinyatakan berakhir.

Jika kita renungkan isi hadis di atas, tentu dapat kita simpulkan apabila suatu kemunkaran dibiarkan terjadi begitu saja, tanpa ada yang bersedia menghalanginya, sehingga kemunkaran itu semakin membudaya di kalangan masyarakat, maka pada saat itulah Allah Yang Mahakuasa menurunkan bencana-Nya bagi masyarakat tersebut. Pada saat itu, ketika sebagian orang yang baik menangis dan berdo'a kepada Allah, akan tetapi do'a mereka tidak segera dikabulkan oleh-Nya, sampai berakhirnya masa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri bagi mereka.

Kesimpulannya, setiap kemunkaran mengandung konsekuensi dosa, dan setiap perbuatan yang mengandung dosa menyebabkan hubungan seseorang terputus dengan Allah Swt.. Padahal, tujuan utama diciptakannya manusia adalah untuk menunaikan tugas sucinya, yaitu ber-amar ma'ruf nahi munkar. Akan tetapi, jika di tengah-tengah suatu masyarakat masih ada orang-orang yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka pasti Allah akan menurunkan rahmat-Nya di antara mereka.

Akan tetapi, jika suatu kemunkaran sudah cenderung diremehkan, maka Allah Yang Mahamulia akan menurunkan siksa-Nya secara merata. Dan pada saat itu, orangorang yang baik akan menangis serta meminta ampun agar terhindar dari siksa Allah, akan tetapi do'a-do'a mereka tidak segera dikabulkan oleh Allah „Azza wa Jalla.

Betapa banyak jumlah bangsa yang dahulunya diberi anugerah kejayaan oleh Allah Swt., akan tetapi setelah mereka meremehkan kemunkaran yang terjadi di antara mereka, mereka dibiarkan tersesat oleh Allah. Sebab, mereka sudah tidak peduli dengan hukumhukum Allah, dan mereka dianggap hanya peduli dengan harta serta kepentingan nafsu masing-masing.

Berapa banyak pula bangsa yang dahulunya kuat, kemudian dijajah oleh bangsa yang lemah, sehingga di antar mereka ada yang menyesali perbuatan mereka dengan menangis di seputar Ka'bah. Akan tetapi, karena mereka tidak pernah menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka dampak negatifnya mereka rasakan sendiri. Sebaliknya, jika ada sebagian orang yang masih bersedia menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka Allah Yang Maha Penyayang tidak akan segan untuk mengabulkan do'a orang-orang yang berdo'a.

Pada bahasan terdahulu pernah saya sebutkan, bahwa di antara umat-umat yang dibinasakan oleh Allah Swt., ada sebagian dari mereka yang selalu menaati Allah. Akan tetapi, karena mereka tidak menegakkan amar ma'ruf nahi munkar di antara mereka, maka ketika Allah menurunkan siksa-Nya kepada orang-orang yang suka berbuat dosa, mereka pun ikut termasuk orang-orang yang dibinasakan oleh Allah. Meskipun Allah „Azza wa Jalla tidak akan menyiksa suatu kaum akibat perbuatan dosa yang dilakukan oleh sebagian kecil di antara mereka, akan tetapi, kalau tugas ber-amar ma'ruf nahi munkar tidak dilaksanakan dengan baik, maka Allah tidak akan segan menurunkan siksa-Nya secara merata di antara mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan sebuah hadis sebagai berikut, “Sesungguhnya, jika sebagian orang menyaksikan suatu kemunkaran, kemudian mereka tidak mencegahnya, maka Allah tidak segan untuk menurunkan siksa-Nya secara merata di antara mereka.”[5]

Sabda Rasulullah Saw. di atas didukung oleh firman Allah Swt. berikut ini, “Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah, bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya,” (QS al-Anfâl [8]: 25).

[1] Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Malâhim, hadis nomor 17. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah, pada pembahasan mengenai al-Fitan, hadis nomor 20.
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-Fitan, hadis nomor 9. Juga dalam kitab al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 5, hadis nomor 388.
[3] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-Fitan, hadis nomor 9. Juga dalam kitab al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid 5, hadis nomor 388.
[4] Lihat lebih lanjut dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 7, halaman 266.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad, Jilid 1, hadis nomor 25. Juga oleh Imam Abu Dawud, pada pembahasan mengenai al-Malâhim, hadis nomor 17.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.