Menghadapkan Diri Hanya Kepada Allah

Menghadapkan Diri Hanya Kepada Allah

Ketika menjalankan tugas mereka, para nabi dan rasul tak pernah menunggu upah atau imbalan tertentu, baik berupa materi maupun non-materi. Salah satu semboyan mereka yang diabdikan oleh al-Qur`an dalam beberapa ayatnya adalah ungkapan yang pernah dilontarkan oleh beberapa rasul yang berbunyi: “…Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka...” (QS Yunus [10]: 72 dan QS Hud [11]: 29). Sementara kita, kalau pun kita tak mengharap imbalan materiil atas sebuah amal, maka kita sering mengharapkan imbalan non-materi dalam bentuk pahala. Hal seperti itu sama sekali tidak pernah ada pada diri para rasul. Mereka sama sekali tak pernah mengharapkan imbalan dari siapapun, karena apa yang mereka lakukan sepenuhnya merupakan perintah Allah. Kalau pun kita ingin membayangkan sesuatu yang mustahil seperti misalnya andai saja para nabi dan rasul tahu bahwa mereka akan masuk ke dalam neraka, maka hal itu pastilah tidak akan membuat mereka ragu untuk menunaikan tugas mereka dan tidak akan membuat mereka lari dari tujuan meski hanya sesaat.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang selalu siap siaga. Mereka selalu siap mengorbakan seluruh jiwa raga mereka di jalan dakwah yang mereka tempuh. Jadi, harapan masuk surga atau takut akan neraka bukanlah faktor yang menggerakkan mereka untuk berusaha melaksanakan tugas berat yang mereka pikul. Alih-alih berharap pamrih, keridhaan Allah dan perkenan-Nya merupakan puncak dari segala yang mereka harapkan.

Ya. Semua amal yang dilakukan para nabi memang ikhlas dilakukan hanya karena Allah. Terlebih pada diri Rasulullah Muhammad Saw., prinsip seperti ini telah mencapai puncaknya. Ketika masih di dunia, Rasulullah berkata: “Umatku…” dan kelak di padang mahsyar Hari Kiamat, beliau kembali berkata: “Umatku… umatku…”[1] Jadi silakan Anda bayangkan betapa tingginya tingkat keikhlasan Rasulullah, sebab ketika pintu surga telah terbuka lebar merindukan beliau masuk ke dalamnya, ternyata beliau justru terus saja masygul dengan nasib umat Islam. Demi kitalah kelak Rasulullah rela berlama-lama berapa di Padang Mahsyar daripada berleha-leha di dalam surga. Dan hebatnya Rasulullah tidak melakukan semua itu hanya untuk para kerabat beliau saja, melainkan juga terhadap seluruh umat beliau termasuk para pendosa di antara mereka.

Ya. Jendela-jendela jiwa para nabi dan rasul memang hanya terbuka bagi satu tujuan yang sama, yaitu keridhaan Allah. Sedangkan terhadap segala hal yang selain itu, jiwa mereka selau tertutup rapat. Oleh sebab itu, bagi siapapun yang saat ini melakukan dakwah dan tablig seperti yang dulu dilakukan para rasul, hendaklah mereka selalu berhati-hati dan peka terhadap masalah ini, sebab ia merupakan sebuah perkara yang sangat penting dan sensitif. Ingat, besar atau kecilnya efek dari ucapan yang dilontarkan seseorang tidak bergantung pada kefasihan dan kecanggihan struktur bahasanya, melainkan berhubungan langsung dengan keikhlasan orang yang mengucapkannya.

Al-Qur`an menyinggung hal ini dalam ayat: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Yasin [36]: 21).

Ya. Ikutilah para nabi yang bertahta di ketinggian langit penyerahan diri dan hidayah Allah, karena mereka tidak pernah meminta imbalan duniawi dari kalian. Pertimbangkanlah masak-masak sebelum Anda mengikuti jejak seseorang. Sosok yang Anda ikuti haruslah orang yang selalu berserah diri kepada Allah, hari-harinya hanya diisi dengan amal baik di jalan Allah, tidak silau pada gemerlap dunia, dan selalu mencurahkan segenap energinya demi kejayaan generasi mendatang. Sosok yang Anda jadikan panutan itu tidak boleh memiliki sifat hubb al-dunyâ (cinta dunia) dan hatinya harus dilingkupi sikap berserah kepada Allah. Oleh sebab itu, telitilah para pemimpin Anda siapa di antara yang memiliki sifat seperti itu sebelum Anda memilih seorang panutan.

Rasulullah adalah pribadi yang selalu berserah diri kepada Allah. Perut beliau tak pernah kenyang, walau hanya dengan roti gandum kasar sekali pun. Seringkali hari, pekan, bahkan bulan berlalu tanpa ada asap yang mengepul dari dapur Rasulullah Saw.[2]

Abu Hurairah ra. meriwayatkan:

Suatu ketika aku menemui Rasulullah yang sedang shalat sambil duduk. Aku berkata: “Wahai Rasululah, kulihat kau shalat sambil duduk. Ada apa denganmu?” Rasulullah menjawab: “Aku kelaparan.” Aku pun menangis mendengar itu. Tapi Rasulullah menukas: “Janganlah kau menangis wahai Abu Hurairah, karena kerasnya hisab di Hari Kiamat tidak akan menyentuh orang yang kelaparan jika dia bersabar di dunia atas apa yang menimpanya itu.”[3]

Ummul Mukminin Aisyah ra. meriwayatkan:

Suatu ketika seorang wanita Anshar menemuiku dan melihat alas tidur Rasulullah berupa kain kasar. Beberapa saat kemudian, wanita itu mengirimkan alas tidur berlapis wol. Rasulullah lalu datang dan bertanya: “Apa ini wahai Aisyah?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, tadi ada seorang wanita Anshar yang datang kesini lalu melihat alas tidurmu. Setelah dia pulang, dia mengirimkan ini ke sini.” Rasulullah pun menukas: “Kembalikanlah alas tidur ini.” Tapi aku tidak mengembalikan alas tidur itu, dan ternyata hal itu membuat Rasulullah terkejut sehingga beliau kembali memerintahkan agar aku mengembalikan alas tidur itu. Beliau mengulang itu sampai tiga kali. Rasulullah berkata: “Kembalikanlah alas tidur itu wahai Aisyah. Demi Allah, andai saja aku mau, Allah pasti bersedia memberiku gunung emas dan perak.”[4]

Ya. Seandainya Rasulullah mau, beliau sebenarnya dapat menjalani hidup yang menyenangkan dan sejahtera, tapi beliau tidak menginginkan itu.

Abu Hurairah meriwayatkan:

Suatu ketika Jibril duduk bersama Rasulullah Saw. Sesaat kemudian tampak malaikat turun dari langit. Jibril berkata: “Malaikat itu tidak pernah turun sejak diciptakan kecuali hanya saat ini.” Sesampainya malaikat itu di hadapan Rasulullah, ia berkata: “Wahai Muhammad, Tuhanmu telah mengirimku padamu untuk bertanya apakah kau ingin menjadi seorang raja yang sekaligus nabi ataukah seorang hamba yang sekaligus rasul?” Jibril menukas: “Bertawaduklah pada Tuhanmu, wahai Muhammad.” Rasulullah menjawab: “Aku ingin menjadi hamba yang sekaligus rasul.”[5]

Hingga akhir hayatnya, tak pernah sekalipun Rasulullah makan sampai kenyang. Abu Umamah meriwayatkan:

Suatu ketika ada seorang wanita yang ucapannya busuk dan gemar mencaci kaum laki-laki. Wanita itu lewat di dekat Rsaulullah yang sedang menyantap bubur di atas roti kering. Wanita itu berkata: “Lihatlah orang itu. Dia duduk seperti duduknya seorang hamba (budak) dan makan seperti makannya seorang hamba.” Rasulullah menyahut: “Apakah ada hamba yang lebih hamba dibandingkan aku?”[6]

Lembaran kehidupan Rasulullah memang penuh dengan contoh sikap berserah diri kepada Allah. Siapapun yang ingin mempelajari contoh teladan itu, dapat menemukan penjelasan di ratusan kitab yang ada. Ya. Semua nabi –dengan Rasulullah menjadi yang terdepan- memang hidup dalam penyerahan diri kepada Allah. Mereka sama sekali tidak pernah mengharapkan balasan dunia dan akhirat atas semua yang mereka lakukan. Inilah sebenarnya rahasia dibalik kekuatan yang mereka miliki dalam mempengaruhi dan meyakinkan umat. Siapapun yang ingin ucapannya memiliki daya ubah serta dapat menjadi eliksir kehidupan, hendaklah ia mengenyampingkan harapan akan imbalan atau upah dari apa yang dilakukannya.

[1] Al-Bukhari, al-Tauhîd, 32; Muslim, al-Îmân, 326.
[2] Al-Bukhari, al-Riqâq, 17; Muslim, al-Zuhd, 28.
[3] Kanz al-Ummâl, al-Hindi 7/199.
[4] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Ibnu Katsir 6/60.
[5] Al-Musnad, Imam Ahmad 2/231; Majma’ al-Zawâ`id, al-Haitsami 9/18-19.
[6] Majma’ al-Zawâ`id, al-Haitsami 9/12.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.