Sifat-Sifat Insan Berkualitas

Sifat-Sifat Insan Berkualitas

Tanya: Jalan seperti apa yang harus kita tempuh agar sifat-sifat baik menjadi bagian dalam fitrah kita? [1]

Jawab: Baik untuk mendapatkan akhlak mulia ataupun pada kekhususannya dalam kehidupan ibadah kita, menjadi insan yang sungguh-sungguh dan berwibawa, bersikap hati-hati dan memiliki rasa kepuasan batin serta menjadikan sifat-sifat ini sebagai sebuah dimensi dalam fitrah kita, merupakan suatu keharusan untuk menyatukannya dengan jati diri kita. Bagaimanapun, meraih hal ini dan mencapai derajat tertentu serta mempertahankannya setelah menggapai tingkatan tersebut adalah suatu hal yang sangat sulit.

Untuk menunjukkan jalannya kepada kita, Rasulullah shallallāhu alaihi wasallam memberi arahan agar karakter-karakter tersebut menjadi bagian dari fitrah kita dengan sabda Beliau: “Sungguh Al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kalian membacanya, menangislah. Jika kalian tidak dapat menangis, maka berusaha keraslah untuk menangis.” (HR. Ibnu Majah, Iqamah/176; Zuhud/19).

Dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an dengan kalbu yang tenteram dan jiwa yang tenang. Berangkat dari kesimpulan ini, kita dapat mengambil langkah-langkah rekaan dahulu sebagai usaha untuk mencapai sifat yang disebutkan dalam hadis tersebut. Hanya saja pembahasan seperti ini dapat dikritik oleh orang-orang yang tidak memahami kedalaman permasalahan ini. Akan tetapi, ketika sedang berada di jalan untuk mencapai-Nya, Anda tidak boleh terpaku pada hal-hal seperti ini.

Mari kita membuka subjek pembahasan sedikit lebih dalam dengan memberikan beberapa permisalan dalam hal akhlak mulia yang sedang kita bahas ini. Saya rasa, sikap sedikit berbicara merupakan hal terdepan dalam pembahasan mengenai prinsip-prinsip terkait akhlak mulia. Berdasarkan Sabda Rasulullah, mereka yang banyak berbicara akan membuat banyak kesalahan.[2] Kesalahan-kesalahan yang banyak itu tanpa disadari dapat mengantarkan manusia masuk ke dalam neraka. Oleh karena itu, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam tidak pernah berbicara jika tidak ada yang mengajukan pertanyaan kepada Beliau atau jika tidak ada maslahat yang ingin disampaikan. Para sahabat yang senantiasa mengambil teladan dari Beliau pun selalu bertindak dengan cara yang sama.

Misalnya, dikatakan bahwa pahlawan kesetiaan, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, memasukkan sebuah batu kecil ke dalam mulutnya agar tidak terlalu sering membicarakan hal yang tak penting. Jika akan berbicara, maka beliau akan mengeluarkan batu itu. Namun, setelah selesai berbicara beliau akan meletakkan kembali kerikil itu ke dalam mulutnya. Meskipun saya belum pernah menemukan riwayat ini dalam kitab-kitab sahih, tetapi saya tidak merasa aneh dengan adanya periwayatan semacam ini, bahkan jika cerita ini tidak benar. Ya, orang yang sangat berhati-hati seperti beliau sangat mungkin melakukan hal seperti itu untuk menempatkan dirinya dalam keseriusan dan kedisiplinan. Bisa jadi kisah ini memiliki dasar dari sumber-sumber sahih di mana selepas hijrah, selama Sayyidina Abu Bakar berada di samping Baginda Nabi shallallāhu alaihi wasallam, jumlah kata yang pernah beliau (Sayyidina Abu Bakar) utarakan hanya berkisar beberapa ratus kata saja.

Saat seseorang menjelaskan sesuatu tentang kehidupan kalbu, spiritual, dan intelektualnya, serta penjelasannya tersebut berhasil membuka wawasan cakrawala lawan bicaranya, maka itu artinya pembicaraannya tersebut memiliki manfaat. Kalau tidak, semua pembicaraannya dapat dipertimbangkan sebagai israf-u kalam atau perkataan yang sia-sia belaka. Mohon maaf, sebagaimana  agama ini memerintahkan kita untuk tidak menyia-nyiakan air meskipun seseorang itu mengambil wudu di sungai yang mengalir sekalipun, maka Ia pun takkan mungkin mengizinkan kata dalam pembicaraan yang jauh lebih bernilai daripada penggunaan air secara sia-sia! Jika demikian, melakukan pembicaraan tak bermakna dan sia-sia dapat kita pandang sebagai perbuatan yang perlu dihindari. Pembicaraan kosong semisal: “Tadi kami naik taksi dari sini; Kemudian kami pergi ke kota Bekasi. Lalu dari sana kami ke kota Bogor. Ketika di Bogor, ada sebuah truk lewat... dst”, tentu saja melakukan pembicaraan yang tidak memiliki pesan dan kedalaman informasi seperti ini pastilah tidak disarankan. Jika demikian, sebagaimana kita harus penuh perhitungan atau berhemat dalam makanan, pakaian, maupun berpenampilan, maka demikian pula dalam berbicara, seharusnya ia juga diucapkan dengan penuh perhitungan. Misalnya tema atau pokok bahasan ini, kira-kira dapat dijelaskan dalam berapa kata; bagaimana cara penyampaian pembicaraannya, hal seperti ini juga harus diperhitungkan. Seperti inilah seharusnya suatu topik dibicarakan, agar jangan sampai terjadi israf-u kalam (pembicaraan yang sia-sia) dan israf-u zaman (pemborosan waktu).

Sebagaimana para waliyullah ketika menyampaikan tiga prinsip “Qillat’ul kalām (sedikit bicara), Qillat’ul taam (sedikit makan), dan Qillat’ul nāam (sedikit tidur)” yang merupakan prinsip penting bagi kehidupan dunia dan akhirat seorang manusia, mereka juga menjadikannya sebagai prinsip hidup.[3]

Demikianlah, setiap kata akan ditimbang & disaring; setiap kalimat yang keluar dari lisan akan dipertimbangkan; karena berbicara adalah bagian dari akhlak. Agar manusia berhasil meraih akhlak ini dan menjadikannya sebagai bagian dari fitrahnya sungguh membutuhkan banyak waktu dan usaha.

Seperti halnya itu, hidup zuhud yang memiliki makna meninggalkan kesenangan duniawi dan menentang kecondongan jasmani adalah juga sebuah akhlak yang sangat penting. Kerangka umum zuhud yang memiliki tempat sangat penting dalam dunia tasawuf, di mana ia menjadi salah satu cabang penting dalam pemikiran tasawuf, jauh sebelum itu ia telah muncul dengan jelas sebagai jiwa dan spirit dalam personalitas Sang Nabi. Jika kita menggunakan pendekatan Ustaz Said Nursi pada pembahasan ini, maka beliau menyampaikan: “Dünyayı kesben değil, kalben terk etme” yang bermakna: “Tinggalkan dunia bukan dengan tak melakukan apa-apa, tapi tinggalkan ia dari segi tautannya dengan kalbu”. Pernyataan ini memiliki makna tidak memberi perhatian kepada dunia dan segala isinya; menjalankan zuhud dengan orientasi akhirat tanpa memiliki harapan duniawi serta tidak meninggalkan apapun setelah kepergiannya. Sifat ini adalah sebuah karakter yang harus dimiliki dan tak bisa diabaikan oleh seorang mukmin, apalagi oleh para ksatria hizmet (jalan khidmah) yang telah menyerahkan hatinya kepada dakwah suci ini.

Pada awalnya, bersikap menjauhi harta benda, pangkat jabatan, ketenaran dan lain-lain seperti ini, serta segala sisi duniawi lainnya bisa jadi sangatlah sulit. Akan tetapi, ketika ia dimulai perlahan-lahan dari hal paling sederhana, lalu terus berlanjut hingga akhirnya akan sampai pada suatu hari di mana sikap ini telah menjadi keharusan tak terpisahkan dari diri seorang manusia. Seperti halnya seseorang yang mampu berkata, “Hari ini aku memiliki satu stel pakaian, aku tidak perlu memiliki satu stel pakaian lainnya”. Kalau tidak, besok nafsu kita akan meminta yang ketiga, lalu yang keempat, hingga akhirnya pemikiran ini dapat melilit kehidupan kita. Demikianlah, dengan cara selangkah demi selangkah pada akhirnya kita mampu mempraktikkan akhlak Sang Nabi, yaitu zuhud, dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan.

Setelah dua contoh akhlak mulia ini, selanjutnya adalah bersikap sungguh-sungguh (serius), menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan, tidak bersikap sombong, dan sifat-sifat serupa lainnya yang bisa disebutkan.

Adapun ketika sampai pada masalah ibadah; salat misalnya. Maka salatlah tepat pada waktunya. Tegakkan salat dengan penuh penghayatan, seakan sedang menyesap sedikit demi sedikit intisarinya, hal ini pun membutuhkan latihan atau pembiasaan. Dengan kata lain, menunaikan salat tidak dengan pemikiran untuk sekedar melepaskan beban di pundak lalu dikerjakan tanpa gairah. Sebaliknya, tegakkanlah salat seakan Anda sedang mengetuk pintu ijabah Ilahi dengan penuh rasa cinta dan semangat. Tentu saja hal ini bukanlah sebuah level puncak yang dapat diraih seketika. Akan tetapi, manusia dapat meraihnya dengan mencobanya selangkah demi selangkah, kemudian menjadikannya sebagai bagian dari fitrah dirinya; atau lebih tepatnya ia harus benar-benar mengusahakan karakter tersebut untuk berhasil dimiliki. 

Sebagai kesimpulan, meski manusia memiliki nafsu dan syahwat ketika menjalani kehidupan, tetapi ia harus menjalaninya dengan jalan memenuhi hak dari potensi iradatnya. Untuk itu, sifat atau karakter-karakter yang meneguhkan manusia menjadi sebenar-benar manusia harus betul-betul dipraktikkan dan dijadikan sebagai bagian dari kehidupannya di bawah bimbingan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/seviyeli-insanin-vasiflari

[2] “Barangsiapa yang banyak bicaranya niscaya akan banyak salahnya, dan barangsiapa yang banyak salahnya maka akan banyak dosanya, dan barangsiapa yang banyak dosanya maka lebih pantas masuk neraka” (HR Thabrani) 

[3] Abu Ishaq Al Khowwash berkata: إن الله يحب ثلاثة ويبغض ثلاثة ، فأما ما يحب : فقلة الأكل ، وقلة النوم ، وقلة الكلام ، وأما ما يبغض : فكثرة الكلام ، وكثرة الأكل ، وكثرة النوم Sesungguhnya Allah mencintai tiga hal dan membenci tiga hal. Perkara yang dicintai adalah sedikit makan, sedikit tidur dan sedikit bicara. Sedangkan perkara yang dibenci adalah banyak bicara, banyak makan dan banyak tidur. [HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 5: 48]

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.