Nafas Kebangkitan di Dunia

Nafas Kebangkitan di Dunia

Tanya: Bagaimana Anda mengevaluasi nilai-nilai akhlak dan spiritual yang seharusnya dijalani terkait gerakan kebangkitan di zaman modern saat ini? [1]

Jawab: Ada dua sisi, pertama tugas yang diamanahkan kepada kita; Kedua, tugas yang berada di luar kemampuan kita. Pertama, tugas yang diamanahkan kepada kita ini semata-mata dikerjakan untuk melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta'ala. Tugas melaksanakan perintah Allah ini memaksa kita menahan rasa kantuk, merenggut kenyamanan, menghilangkan nafsu makan dan minum, serta membuat tubuh kita lelah. Jika seluruh tugas melaksanakan perintah Allah ini tidak dilakukan untuk mencari rida Allah dan untuk menyampaikan agama-Nya, maka semua kelelahan itu akan berakhir sia-sia.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam al-Quran ‘Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,’ (QS al-Anfal:24). Benar, ini sebuah ihya (usaha menghidupkan/mengisi), yaitu berhubungan dengan semangat kebangkitan dan membangkitkan semangat orang lain. Kebangkitan yang dijelaskan dalam ayat al-Quran ini hanya bisa diwujudkan dengan wasilah agama dan menghidupkan agama dalam kehidupan sehari-hari. 

Untuk mendapat martabat yang paling tinggi yaitu derajat mencapai rida Allah, kita harus melakukan tugas itu tanpa mencampuradukkannya dengan nafsu dan pemikiran pribadi. Misal, dijerumuskannya orang-orang tak beragama ke dalam neraka akan menghasilkan kesedihan/kekecewaan terhadap sebagian orang yang ruhnya terlalu sensitif dimana hal tersebut dapat membuka jalan menuju ketidakseimbangan. Begitu juga kebencian kita terhadap zina membuat kita memaksa membatasi hal-hal yang halal; pembatasan pada hal-hal yang halal juga berpotensi mengganggu keseimbangan. Oleh karena itu, kita hanya melaksanakan apa yang diperintahkan dan di dalam batasan-batasan yang diperintahkan kepada kita. 

Tugas berikutnya, berada di luar kemampuan kita. Misalnya: memberi pemahaman kepada orang-orang mengenai pesan yang ingin disampaikan. Sedangkan masalah diterima atau tidaknya penjelasan kita itu adalah urusan Allah. Ia berada di luar dari kuasa dan kemampuan kita. Sebagaimana Allah mampu membuat orang memahami penjelasan kita, tidak diterimanya penjelasan kita oleh orang tersebut juga urusan Allah. Ya, dalam hal diterimanya penjelasan kita maka pemikiran bahwa penjelasan tersebut diterima karena cara penyampaian kita, ilmu kita, dan kemampuan kita harus dijauhkan dari dalam diri. Itu semua terjadi tidak lain tidak bukan melainkan anugerah dari Allah subhanahu wa ta'ala. Sebaliknya, ketika penjelasan kita tidak dipahami, maka kita harus mengevaluasi diri kita, perasaan kita, niat kita, dan ibadah kita; senantiasa melakukan muhasabah (mengevaluasi) dan muraqabah (menginspeksi) diri sendiri; jangan sampai kita terjatuh dalam keputusasaan. Orang-orang pilihan dan alim ulama besar yang pernah ada sebelumnya, bahkan mereka memiliki pengikut yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Begitu juga para tokoh sumber inspirasi yang datang sebelum kita. Di belakang mereka hanya ada 1-2 orang pengikut. Namun terkait iman, ia adalah cahaya yang Allah subhanahu wa ta'ala nyalakan di hati setiap hambanya. Dan yang bisa menyalakan api iman ini yaitu Dia, ya hanya Allah yang bisa menyalakannya. 

Dakwah ini dimulai dari Rasul shallallahu alaihi wasallam. Jika kita telusuri maknanya, sosok yang senantiasa mengantarkan kepada hakikat iman dan Al-Qur’an (Ustaz Bediuzzaman Said Nursi) muncul pada abad ke-20 dengan mengemban misi yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang senantiasa mengingatkan Al-Qur’an, sunah, dan memahami hikmah adalah sosok tersebut. Ia menjalankan seluruh hidupnya untuk meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan dengan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala dia menelusuri jalan tersebut serta tidak sekalipun terbesit bahwa itu semua hasil jerih payahnya sendiri. Bahkan ia senantiasa merasa harus untuk menghisab dan mengevaluasi dirinya sendiri seraya berkata kepada nafsunya: “Allah bisa saja menegakkan agama ini melalui hamba-Nya yang penuh dosa; kamu pun harus menganggap bahwa dirimu juga berlumur dosa” dan juga “dirimu bukanlah penyebab hakiki bahkan dirimu hanyalah perantara belaka.”  

Generasi selanjutnya menemukan diri mereka berada di dalam dakwah ini dan menunggu sambil berharap “Apakah Allah subhanahu wa ta'ala juga akan menugaskan dakwah ini kepada kita?”. Sekali lagi Allah subhanahu wa ta'ala menggunakan caranya sendiri dan dengan pertolongan-Nya pula kita berada pada titik pencapaian saat ini. Bisa dibilang pencapaian kita saat ini tidak terlepas dari hasil kerja kerasnya para muqarrabin (orang-orang yang senantiasa mendekat kepada Allah), kedisiplinan ulama besar, serta jerih payah para Abrar (Peniti jalan kebaikan).

Ketika Tuhan terlibat, semua urusan dipermudah;
Ia munculkan sebab, seketika muncullah anugerah. 

Dakwah ini tidak akan terwujud jika ditemui orang-orang yang mudah bosan, orang yang sering berkata: “mari kita tinggalkan saja dakwah ini”, orang yang menengok ke belakang, orang yang berharap untuk mundur ketika tertinggal serta orang yang bermasalah dengan pribadi lain. Meskipun dari dakwah ini didapati keikhlasan, kehormatan, dan kedudukan secara kelompok, tapi jelas semua itu adalah anugerah dari Allah. Siapapun tidak punya hak untuk mencampur-adukkan urusan ini dengan pendapatnya sendiri. Ketakutan dan harapan akan masa depan serta siapa pun tidak boleh mengacaukan dakwah ini dengan niat buruk. Jika saja hal tersebut tidak mengacaukan dan mencampuradukkan tugas ini, semestinya hujan karunia yang sampai saat ini turun begitu derasnya sudah mencukupi keselamatan ukhrawi mereka. Bagaimana pun juga kebaikan tersebut cukup memenuhi kebutuhan maknawi dan ukhrawi generasi setelah kita. Namun, ketika kita campur adukkan hal diatas, keberkahan dan kebaikan tersebut tidak akan bermanfaat baik hari ini maupun esok. 

Dalam hal ini, kita harus duduk bermuraqabah dan bermuhasabah, serta menghisab diri kita sendiri. Ya, itu harus dilakukan. Hujan karunia yang turun di atas kita, harus lebih mampu memperingatkan kesadaran ubudiyah kita, memperdalam kekhusyukan ibadah kita, sujud-sujud harus kembali menjadi titik pertemuan dengan-Nya, dan nikmat akan bertambah dengan memperbanyak syukur kita. Sebaliknya, ketika kita salat dengan tergesa-gesa, kita terbawa ke dalam perasaan syahwat nafsu yang menyesatkan. Jika kita senantiasa makan-minum dan bersenang-senang dalam takaran orang awam, berarti kita telah mencemari tugas ini-hafizanallah-.


[1] Diterjemahkan dari artikel:

http://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/dunyada-dirilis-soluklari

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.