Gerak Dan Pemikiran

Gerak Dan Pemikiran

Sebagai kaum pewaris bumi, tampaknya kita dapat merangkum seluruh upaya yang kita lakukan dalam dua kata, yaitu: "gerak" dan "pemikiran". Secara faktual, eksistensi alam semesta hanya dapat terealisasi melalui segenap gerak dan pemikiran yang dapat mengubah diri kita sendiri dan semua entitas yang lain. Di sisi lain, kita dapat menemukan fakta bahwa segala entitas yang ada di alam semesta merupakan hasil dari rangkaian gerak dan sistem tertentu yang bergerak secara teratur. Bahkan kesinambungan segala entitas bergantung pada gerak dan sistem ini.

Jadi, "gerak" merupakan komponen terpenting dalam hidup kita. Amatlah penting bagi kita untuk selalu bergerak di bawah berbagai tekanan yang kita hadapi. Dengan bergerak kita dapat memikul berbagai tugas dan tanggung jawab sembari tetap berlapang dada ketika berhadapan dengan rintangan yang menghadang. Kita memang harus selalu bergerak dan berpikir, meski mungkin kita telah banyak berkorban dalam melakukan kedua hal tersebut. Jika kita tidak bergerak, maka kita pasti akan terjebak dalam kejumudan pemikiran dan kemudian akan tergilas oleh gerak laju orang lain sehingga kita terpaksa mengikuti gerak mereka.

Sikap diam berkepanjangan biasanya muncul dalam bentuk ketidakpedulian pada semua yang terjadi di sekitar kita atau ketidakikutsertaan dalam segala hal yang mengelilingi kita. Ketika seseorang bersikap diam, maka dia telah menjadikan dirinya seperti es yang menyerah pada air meski air itu membuat dirinya meleleh sampai habis. Tentu saja, ketidakmampuan kita untuk melindungi diri dari keterpurukan seperti itu dan selalu menyerah terhadap apapun yang terjadi, sama sekali bertentangan dengan jati diri kita. Siapapun yang ingin jati dirinya tetap eksis, harus berusaha sekuat tenaga dengan mengerahkan seluruh tekad, hasrat, jiwa, gerak, dan pemikirannya. Semua itu harus dilakukan karena eksistensi segala entitas pasti akan membuat inti kemanusiaan kita bergetar.

Ya. Segala entitas pasti harus berawal pada satu titik tertentu. Tapi kesinambungan eksistensi manusia menuntut adanya gerakan tangan, kaki, hati, dan kepala.[1] Jika dari sekarang kita tidak berkorban apa-apa dengan "hati" dan "kepala" demi eksistensi kita di masa mendatang, maka pasti akan ada pihak lain yang tanpa rasa malu menuntut kita untuk menyerahkan "hati" dan "kepala" kita dalam sebuah kondisi yang sama sekali tidak berguna bagi kita.

Keistimewaan terpenting yang dimiliki gerak dan pemikiran umat Islam ialah: hendaknya eksistensi kita merupakan jati diri kita sendiri, dan kita juga harus menjadikan segala hal yang kita harapkan juga merupakan harapan seluruh dunia. Dengan demikian, pasti kita akan melihat langkah dan gerak yang kita lakukan selalu berjalan beriringan dengan dunia di sekitar kita. Selain itu kita juga akan selalu bergerak di jalan kita sendiri di antara sekian banyak jalan yang ditempuh oleh umat lain. Dengan kata lain, kita dapat menjaga keyakinan kita sambil tetap hidup di tengah masyarakat dunia.

Siapapun yang tidak memiliki ikatan dengan dunianya sendiri di tengah semesta yang luas, dan juga tidak memiliki ikatan dengan alam semesta, lalu merasa cukup dengan keinginan individual-parsial yang diinginkannya ketika berhadapan dengan realitas di sekelilingnya, pasti akan memutuskan hubungan dirinya sendiri dengan dunia di sekitarnya untuk kemudian terperosok pada egoisme yang membahayakan dirinya.

Padahal tidak perlu diragukan lagi, satu-satunya hal yang mendorong manusia untuk hidup bersendirian dan memutuskan hubungan dengan alam sekitarnya ialah nafsu jasmani dan berbagai konflik yang terjadi pada tataran fisik.

Dunia tempat hidup dan kebahagiaan seseorang yang banyak bergerak dan berpikir pasti memiliki ragam warna yang meliputi seluruh semesta dan terus berlanjut sampai kapan pun juga. Bagi orang seperti itu, seakan-akan dunianya tidak memiliki awal dan akhir sehingga dunianya akan melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Itulah sebabnya, ketika kita membayangkan sosok orang seperti itu, kita akan langsung mengatakan bahwa yang bersangkutan adalah "orang yang bahagia". Lantas, bagaimana mungkin sebuah "kebahagiaan" dapat disebut sebagai kebahagiaan sejati jika memiliki akhir atau awal?

Secara ideal, yang disebut "pergerakan" adalah kepedulian seseorang terhadap alam sekitarnya dengan sikap yang setulus-tulusnya sembari terus menempuh jalan yang mengantarkannya pada keabadiaan yang dilanjutkan dengan meletakkan dunianya dalam tujuan penciptaan yang sejati dengan mengerahkan seluruh kecerdasan dan tekad yang berasal dari dimensi keabadiaan.

Pada hakikatnya, pemikiran adalah sebuah gerak internal dalam diri manusia. Pemikiran yang sistematis dan konstruktif ialah pemikiran yang menuntun pada pertanyaan mengenai alam semesta, yaitu pada hal-hal absurd yang ditemukan di alam sekitar untuk kemudian menemukan jawabannya. Atau dengan kata lain, pemikiran yang baik ialah pemikiran yang mendorong pada eksplorasi atas segala fenomena yang ada di seluruh semesta berdasarkan kedekatan orang yang bersangkutan dengan alam sekitarnya.

Jiwa manusia pasti selalu bersinergi dengan dunia melalui dan dengan menggunakan pemikiran untuk kemudian mendalami jati dirinya sendiri. Dengan pemikiran, seseorang akan melepaskan diri dari belenggu yang menghimpitnya untuk keluar ke alam bebas. Dengan pemikiran, manusia akan mampu membebaskan diri dari pelbagai keraguan yang melumpuhkan untuk kemudian memasuki kedalaman batinnya. Jiwanya akan bebas merengkuh harmoni bersama kebenaran yang jauh dari kesesatan.

Dengan kata lain, pemikiran adalah tindakan mengosongkan batin seseorang demi memperluas ruang bagi eksplorasi metafisik di kedalaman relung batin tersebut. Inilah tingkat paling dasar dari kegiatan "berpikir", adapun tingkat tertinggi dari rangkaian tersebut adalah sebuah tingkat yang disebut dengan istilah "pemikiran aktif" (active thinking).

Sesungguhnya dinamika gerak kehidupan dan pemikiran kita adalah inti dari kehidupan spiritual kita. Tentu saja, semua itu terjadi dalam kondisi yang tidak memisahkan antara kehidupan spiritual dengan pemikiran keberagamaan kita. Berbagai bentuk pertarungan telah terjadi di sepanjang sejarah demi terwujudnya eksistensi kita sebagai umat –khususnya generasi kita sekarang- yang kesemuanya dilakukan dengan kembali pada semangat dan inti ajaran Islam.

Setiap kali kembali ke ajaran Islam, generasi kita pasti akan dapat memunculkan potensi yang kita miliki. Hal ini serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tunas ketika ia bersemayam di dalam tanah, dan serupa dengan kuntum bunga yang merekah ketika diterpa cahaya mentari pagi. Tentu saja kematangan seperti ini dapat menumbuhkembangkan segala potensi yang terpendam dalam diri umat Islam untuk kemudian menjadi jaminan bagi keberlangsungan eksistensi kita semua di dunia.

Sebagaimana halnya eksistensi umat Islam yang dapat terjaga dengan melakukan ibadah, berzikir, dan berpikir, demikian pula halnya hati dan roh juga ikut memainkan perannya dalam kehidupan internal kita semua. Ketika kita mampu menjangkau semua entitas di sekitar kita, lalu kita dapat mendengarkan "diri kita" hingga ke detak jantung, atau kita merasakan "diri kita" hingga ke setiap sel dalam otak, niscaya kita akan menjadi terikat dengan ibadah, kesungguhan zikir, dan pikiran yang ada dalam benak kita.

Sebagaimana telah kita ketahui, setiap perbuatan yang dilakukan seorang mukmin sejati adalah ibadah, setiap pikirannya adalah muraqabah, setiap ucapannya adalah munajat dan senandung makrifat, setiap kesaksiannya terhadap entitas di sekitarnya adalah harapan dan pembelajaran, dan setiap pertemuan yang dia lakukan dengan orang lain adalah kerinduan yang penuh kasih sayang Ilahi.

Tentu saja, pencapaian derajat kasih sayang setinggi itu berkaitan langsung dengan tingkat keterbukaan terhadap segala hal yang dapat diindra yang berlanjut pada logika dan tindakan; dari logika dan tindakan kemudian berlanjut lagi pada ilham (ketajaman intuisi) dan anugerah ilahiah lainnya.

Dengan kata lain, amatlah sulit bagi siapapun untuk mencapai ketinggian kualitas spiritual seperti ini, selama orang yang bersangkutan tidak pernah melewati keadaan yang menguji kejernihan akalnya, akalnya tidak mau tunduk pada "al-Fathanah al-'Uzhmâ", logikanya tidak patuh pada cinta, dan selama cintanya tidak pernah berubah menjadi kerinduan ilahi.

Ketika hal ini terwujud, maka dari sudut pandang ini kita akan melihat ilmu sebagai salah satu dimensi yang sekaligus menjadi pelayan bagi agama. Akal akan menjadi spektrum cahaya yang selalu dapat dijangkau oleh ilham di mana pun ia berada, dan semua hal yang dialami selalu merefleksikan inti dari segala entitas. Ketika itu terjadi, maka segala sesuatu akan menyenandungkan senandung makrifat, cinta, dan rasa batin yang dalam.

Meski seandainya sebagian individu di antara kita –yang berada di tengah komunitas tertentu- memiliki perasaan dengan pikiran yang sama, lalu mereka juga memiliki kondisi kejiwaan yang sama, tapi kemudian mereka tidak bertindak positif sebagaimana yang seharusnya dengan berbagai titik temu yang ada di tengah kita, atau bahkan mungkin mereka justru terkadang terperosok dalam berbagai bentuk penyimpangan dan hal-hal negatif, maka yang harus kita lakukan adalah mencari biang keladi atas hilangnya nilai-nilai keimanan secara mendasar.

Semua tingkah laku seorang mukmin sejati pasti selalu dinamis sebagaimana halnya setiap geraknya selalu berputar pada poros pemikiran yang sehat, dan semua itu akan tetap berlangsung dalam kondisi sekeras apapun dan meski banyak aral yang merintanginya.

Itulah sebabnya, para pewaris bumi yang akan membangun masa depan dunia harus mengetahui betul dunia seperti apa yang akan mereka bangun di masa mendatang, dan mereka juga harus mengetahui "perhiasan" seperti apa yang layak mereka gunakan untuk "menghias" dunia masa depan itu. Semua itu harus mereka lakukan agar mereka tidak kembali merusak segala yang sebelumnya sudah mereka bangun.

Perlu Anda ketahui bahwa sesungguhnya semua landasan moral dan pondasi kehidupan kita untuk seribu tahun ke depan sudah dapat kita ketahui. Jadi yang harus dilakukan oleh para arsitek masa depan adalah berusaha sekuat tenaga mendayagunakan pikiran mereka –selain kemampuan mereka yang lain- untuk mengarahkan kembali gerak laju sejarah umat manusia –yang menjadi landasan bagi kehidupan agama dan semangat patriotisme yang kita anut- menuju nilai-nilai Islam seperti dulu. Selain itu mereka juga harus menemukan sudut pandang yang tepat, merasakan "detak jantung", dan menyimak semua kewajiban yang harus mereka lakukan. Semua itu dapat mereka lakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip fleksibitas, kekenyalan, dan universalitas dalam memperkokoh konstruksi gerak laju umat Islam sembari menjaga apa yang telah disampaikan oleh Kitabullah, Sunnah Rasulullah, dan pelbagai ijtihad jernih yang dilakukan para salaf al-shalih. Tentunya dengan memperhatikan situasi dan kondisi masa kini. Jika semua itu berhasil dilakukan, maka umat Islam tidak akan terus-menerus hidup di "alam Barzakh" karena tak kunjung mampu bangkit dari kematian!

Namun patut diingat bahwa sebelum semuanya dimulai, umat Islam harus lebih dulu menanggalkan segala bentuk beban kejiwaan yang memberatkan mereka dan selalu membuka rohani mereka sembari menerawang dunia yang tengah mereka hadapi dengan kesadaran bahwa dunia hanyalah sebuah "ruang tunggu" dalam perjalanan panjang menuju akhirat.

Dengan kata lain, semua ini hanya dapat kita realisasikan dengan memperhatikan ibadah kita, bukan hanya dari segi kuantitasnya namun juga pada segi kualitasnya; dan juga dengan menghilangkan kekurangan yang disebabkan oleh kebiasaan kita menghitung-hitung wirid dan doa secara matematis menuju dimensi abadi dengan menggunakan niat yang ikhlas dan ketulusan yang sempurna, serta dengan makrifat, kesadaran, dan keyakinan penuh atas semua doa dan munajat yang kita panjatkan dalam kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang paling dekat dengan kita.

Tentu saja kesadaran seperti ini hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang mampu merasakan shalat mereka sebagai wahana untuk menempuh mikraj, mampu menikmati penunaian zakat seperti layaknya seseorang yang dititipi barang atau seorang petugas pembagi bingkisan, mampu menjadikan ibadah haji sebagai sebuah muktamar internasional yang menjadi ajang pemecahan berbagai masalah yang dihadapi dunia Islam, serta mereka yang ketika hidup di dunia telah mampu menemukan cahaya dan dimensi akhirat.

Kesadaran atas semua hal ini, yang dilanjutkan dengan penerapannya dalam kehidupan nyata, selalu berhubungan erat dengan para "dokter moral" yang mampu mengobati dan menyingkirkan cacat pada jasmani dan rohani kita. Selain itu, kesadaran seperti ini juga selalu berhubungan erat dengan para mursyid (penunjuk jalan spiritual) yang tak pernah lelah menunjukkan kepada kita jalan menuju akhirat.

Para mursyid itulah orang-orang yang memiliki alam pikiran yang membentang dari alam materi sampai alam spiritual, dari fisika sampai metafisika, dan dari filsafat sampai tasawuf. Merekalah orang-orang yang berada di balik kemegahan bangunan peradaban sejak zaman dulu sampai sekarang. Dan kelak mereka pula yang akan berada di balik layar kemajuan peradaban manusia di masa depan.

Semua itu hanya dapat terealisasi jika umat Islam memiliki sikap sebagai berikut:

-mau menggali berbagai teori hukum baru dari dua sumber agung: Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Hanya kedua sumber suci itulah yang mampu mengobati pelbagai penyakit dan sekaligus mampu menghadapi semua tantangan masa depan.

-mau mengisi wawasan mereka dengan berbagai konsep mengenai dunia baru.

-mau mengembangkan pengetahuan dan seni yang sesuai dengan universalitas ajaran Islam.

-mau meningkatkan semangat nasionalisme dan kesadaran dalam perspektif Islam.

-memiliki sikap tajrîd.[2]

Dengan semua sikap itu, maka peradaban Islam yang kita miliki akan merangkum seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat sekaligus sebagaimana yang telah diwariskan dari khazanah yang telah berusia lebih dari seribu tahun dan terus berlanjut hingga kini.

Jika semua ini dapat dilakukan, maka dalam waktu singkat kita pasti akan mampu tampil di tengah masyarakat dunia dengan keunggulan dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan kehidupan spiritual kita. Jika semua ini dapat dilakukan, maka kita akan mampu meletakkan seluruh aspek kehidupan kita di jalan yang benar, sehingga kita akan dapat meletakkan generasi setelah kita di arah yang tepat baik mereka yang terpelajar maupun yang tidak. Dengan begitu, para penerus perjuangan umat Islam pasti akan menjadi tokoh masa depan dalam bidang pemikiran, industri, sains, dan seni budaya.

Ketika generasi baru yang unggul telah lahir, maka setiap pelosok dunia Islam akan dapat menghirup udara makrifat karena setiap gang yang ada di sekitar kita seakan-akan telah berubah menjadi sekolah tempat mereka belajar, bahkan semua rumah tahanan yang kita miliki akan berubah menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan, dan setiap sudut rumah kita akan menjadi begitu indah bak taman surga.

Ketika hal itu terwujud, maka di setiap tempat agama akan berjalan bergandeng tangan bersama ilmu pengetahuan; keimanan dan rasionalitas akan dapat menyebarkan buahnya yang manis ke segala penjuru; masa depan akan tumbuh merekah dalam pelukan cita-cita luhur dengan segala keindahan yang tidak pernah terbayangkan bahkan oleh teori "al-mudun al-fâdhilah";[3] semua siaran televisi, radio, dan berita di koran serta majalah akan selalu mengisi hari-hari dengan berkah dan cahaya kebenaran; dan air dari telaga al-Kautsar akan mengalir ke dalam setiap hati para penghuni surga seperti yang dulu pernah terjadi dalam sejarah manusia.

Dunia baru itu kelak akan lahir dari nilai, peradaban, tamadun, dan romantisme yang kita miliki saat ini. Semua itu akan muncul sebagai sebuah gerakan spiritual pada masa-masa mendatang meski harus berhadapan dengan kezaliman dan penindasan dari segala penjuru. Dunia baru itu kelak akan lahir dari tekad yang saat ini bersemayam dalam hati kita yang selalu dihiasi dengan iman dan telah siap untuk bergerak kapan pun saatnya tiba.

Sebelum semuanya dimulai, perlu Anda ketahui bahwa implementasi misi penting ini sebenarnya berhubungan erat dengan upaya memotivasi setiap jiwa individu muslim yang saat ini tengah menjalani kehidupan. Tampaknya, segala upaya yang telah kita lakukan selama lima sampai enam puluh terakhir ini telah mencapai hasil yang cukup baik meski semua itu harus diraih dengan susah payah. Jadi agaknya pantas jika sekarang kita menyenandungkan sebuah syair gubahan M. Akif Ersoy yang berbunyi: "Ayo ayunkan pangkurmu hai sobat! Sudah banyak yang kita lakukan... tinggal sedikit lagi!"

Jadi, gerak pertama yang penting untuk kita lakukan adalah gerak spiritual dan gerakan jiwa kita. Saat ini ke mana pun kita pergi, gerakan massal ini selalu menyampaikan salam selamat datang kepada kita dengan segala benderang cahaya langit yang dikandungnya dan dengan segala sejuk angin musim semi yang menentramkan. Waktu yang kita tunggu-tunggu akan segera tiba. Waktu ketika semua kaum tertindas akan kembali merdeka. Waktu ketika cinta dan kasih sayang akan menyebar ke segala penjuru dunia.

Saat ini, seakan-akan segala kekuatan dunia tengah meleleh dan menyerah kalah di hadapan kebenaran. Ya. Tentu saja kekuatan memiliki hikmah tersendiri. Kita tidak mungkin dapat menyelesaikan begitu banyak masalah tanpa kekuatan. Jadi, meskipun malapetaka dan marabahaya sering muncul dari kekuatan yang telah menyimpang dari kebenaran, tapi kita selalu menyadari bahwa kekuatan yang bersatu dalam kebenaran akan dapat menjadi kebenaran itu sendiri. Sebuah keberanian yang muncul dari kekuatan yang bersatu dalam kebenaran pasti akan melindungi mereka yang tertindas dan bukan melindungi para penindas. Kekuatan seperti itu pasti akan menjadi lidah yang selalu menyampaikan kebenaran. Dan yang terpenting dibandingkan semua itu, kekuatan yang menyatu dalam kebenaran akan menjadi "bala tentara" pemikiran dan pergerakan yang membela kebenaran.

Insyaallah, saya akan menjelaskan tentang "bala tentara" pergerakan ini dalam tulisan mendatang.

[1] Tampaknya yang dimaksud penulis dengan penyebutan empat organ tubuh ini adalah: cipta, karsa, rasa, dan rasionalitas.
[2] Tajrîd: sikap menarik diri sepenuhnya dari segala sesuatu selain Allah. Lihat: Sufi Terminology (Amatullah Armstrong: 1995)
[3] Al-Madînah al-Fâdhilah adalah sebuah konsep tata negara yang banyak dielaborasi oleh Ibnu Khaldun dan Al-Farabi.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.