Sumber-sumber Utama Warisan Budaya Kita

Fethullah Gülen: Sumber-sumber Utama Warisan Budaya Kita

Ada sebuah ungkapan terkenal yang menyatakan bahwa "budaya" adalah kumpulan aturan dan kaidah yang mengatur perilaku sosial dan moral yang dihasilkan dan dibuat oleh satu umat tertentu di tengah sejarahnya yang panjang, serta menjadikannya seiring dengan perjalanan waktu memiliki salah satu dimensi eksistensinya atau mengubahnya menjadi hal-hal yang termasuk pada ranah ketidaksadaran (unconsciousness)[1].

Meski ada beberapa ciri khas mendasar yang dimiliki budaya berdasarkan definisi ini mengandung kebaikan di seluruh dunia, akan tetapi telah jelas pula bahwa masing-masing masyarakat di suatu posisi geografis tertentu, selalu memiliki budaya mereka sendiri. Dan telah diketahui bersama bahwa ciri khas budaya semacam ini merupakan elemen yang memiliki pengaruh kuat terhadap pola pikir masyarakat. Itulah sebabnya, pikiran yang terhubung dengan budaya tertentu yang dimiliki seorang individu, selalu dianggap sebagai interpretasi dari jati diri individu yang bersangkutan melalui kerangka tertentu.

Ada banyak ahli yang menjelaskan tentang budaya dan kaitannya dengan pemikiran tertentu, bahwa budaya adalah kumpulan kondisi yang diekspresikan oleh umat tertentu, baik dengan seluruh maupun sebagian besar cara berekspresi, untuk menunjukkan nilai-nilai moral, mazhab (atau keyakinan), pemikiran, serta pandangan mereka mengenai wujud, alam semesta, dan manusia. Budaya juga bentuk ekspresi dari sikap sosial-politik serta landasan perilaku umat.

Selain itu ada pula yang menyatakan bahwa budaya adalah kumpulan hal-hal yang diraih suatu umat dari alur sejarah dalam kerangka keharusan berpikir dan kesadaran jati diri. Contohnya: pemikiran, seni, kebiasaan, adat, dan tindakan. (Terdapat beberapa kaitan antara kebiasaan, adat, dan tindakan, yang akan kami bahas di bagian mendapat).

Sesungguhnya rumus hubungan antara "manusia – semesta – Allah" –dengan cara membaca sepintas yang tidak mementingkan urutan antara yang mengikuti dan yang diikuti- merupakan landasan utama dalam sistem kebudayaan kita. Bahkan semua aktivitas mental, pikiran, dan tindakan kita berkaitan erat dengan rumus hubungan ini. Sementara itu, logika Eropa modern –yang merupakan warisan utuh dari peradaban Yunani kuno- selalu mengaitkan berbagai pandangannya dengan manusia, benda-benda, dan kejadian-kejadian. Itulah sebabnya, Eropa tidak pernah menganggap adanya peran Tuhan, atau kalau pun mereka menerima peran Tuhan, maka peran itu mereka anggap sebagai elemen sekunder yang tidak terlalu penting.

Sementara itu, konsep "manusia – semesta"[2] dalam sistem pemikiran kita menjadi sebuah penunjuk, buku, atau penjelasan yang menjelaskan dalam bahasa kejadian-kejadian. Dengan teknik penjelasan seperti ini, maka ia menjadi semacam lidah atau etalase yang memperkenalkan Zat yang Wajib Ada (al-Dzât Wâjib al-Wujûd) yang mulia dan agung keadaan-Nya, selalu menampakkan jejak ciptaan-Nya, dan selalu menyampaikan tindakan dan keadaan-Nya.

Di sana, di dalam filsafat Yunani dan logika barat modern yang menjadikan filsafat Yunani sebagai dasarnya, ada yang disebut Akal Faal yang didampingi oleh konsep ketuhanan yang mandul. Sementara di dalam kebudayaan kita, yang bertolak belakang dengan konsep barat, selalu ada kesesuaian antara ciptaan dan sang Pencipta, antara dampak dan penyebab dampak, dan antara sang Pencipta dan makhluk.

Kita, dalam sistem pemikiran kita selalu menganggap bahwa manusia dan alam semesta adalah instrumen yang akan membawa kita menuju cakrawalan 'irfan. Selain itu dengan keduanya pula kita akan dapat ber-tawajuh kepada sang Pencipta yang agung serta selalu menjadi dambaan dan tujuan kita. Sedangkan orang-orang barat selalu berhenti pada hasil aktivitas dari konsep ketuhanan, dan mereka selalu mengembalikan semua masalah kepada "benda-benda dan kejadian". Selain itu, kita selalu menghubungkan antara semua masalah yang ada dengan al-Kitab, Sunnah, dan berbagai sumber syariat lainnya sebagaimana tuntunan yang kita terima dari al-Kitab dan Sunnah, bukan kepada Akal Faal. Sedangkan orang-orang barat selalu menganggap bahwa akal dan semua yang tampak adalah penyebab tunggal bagi ilmu, sehingga dengan demikian mereka telah mempersempit jalan ilmu dan makrifat.

Alhasil, budaya adalah himpunan berbagai konsep, kaidah, dan kecenderungan yang dipelajari oleh manusia lalu ia yakini dan kemudian diterapkan dalam kehidupan sehingga menjadi –dengan berbagai elemen baik yang primer maupun yang sekunder- bagian dari karakternya, hingga akhirnya semua itu berubah menjadi sumber pengetahuan dalam ranah ketidaksadaran (unconsciousness) yang merupakan sebuah fenomena epistomologis yang keberadaan dan dampaknya selalu dapat dirasakan di sepanjang waktu, termasuk ketika kesadaran (consciousness) dan kehendak individu sudah tidak ada.

Berapa banyak keyakinan, kebiasaan, dan adat-istiadat yang merasuk ke dalam jiwa lalu mengendap di dalam ketidaksadaran kita, untuk kemudian ia melahirkan berbagai dorongan intrinsik kepada akal dari waktu ke waktu melalui berbagai pendorong dan penyebab dari apa yang didapat oleh manusia itu. Setelah itu ia akan memotivasi, mengaktivasi, menciptakan, dan membentuk dalam berbagai macam bentuk. Terkadang dalam bentuk seperti aslinya dan terkadang dalam bentuk yang mirip dengan bentuk aslinya dalam corak warna yang lebih pudar.

Berbagai hal yang didapat oleh manusia itu, meski merasuk ke dalam tabiat manusia, tapi ia tidak akan tampak dengan bentuk aslinya, karena setiap hari manusia selalu semakin mengetahui dirinya, baik pengetahuan itu menjadikannya mampu melihat ke dalam dirinya sendiri maupun justru membuatnya kehilangan dirinya!

Itulah sebabnya, kita tidak ingin mengulangi semua hal yang kita dapat yang mengendap di dalam ketidaksadaran kita sebagai sesuatu yang terjadi di masa lalu sebagaimana adanya, tetapi kita selalu menambahkan sesuatu terhadapnya sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Bahkan adalah lebih benar jika dikatakan bahwa kita akan hidup dengan berbagai hal yang kita dapat itu dengan menambahkan warna dan kedalaman tertentu yang lebih tepat dengan tetap berdasarkan pada kondisi aslinya di masa lalu.

Sekarang mari kita lihat sebuah kesalahan yang berkali-kali kita –sebagai umat- terperosok ke dalamnya; yaitu bahwa kita –alih-alih menjadikan "yang lama" sebagai landasan untuk mendirikan "yang baru" sehingga kita dapat mengembangkan "yang baru" dengan dukungan dari "yang lama"- kita justru sering kali memisahkan keduanya menjadi dua hal yang terpisah sama sekali. Terkadang kita menampilkan salah satu di antara keduanya, dan terkadang kita menghidupkan yang satu sembari mematikan yang lain, hingga akhirnya kita kembali berhadapan dengan berbagai macam masalah pada dasar yang kita gunakan.

Ketika kita berkata: "Yang baru selalu dicium aromanya lalu dibuang begitu saja, sedangkan yang lama terus menebarkan semerbak wangi kesturi dan amber setiap kali Anda mengguncangnya sehingga menyebarlah aromanya." Dan setelah itu kita bersikap berlebihan terhadap berbagai berbagai hal yang muncul pada suatu masa, atau kita berkata: "Tidak ada faeadah dari berbagai hal yang muncul dulu bagi zaman yang sekarang. Kebaikan hanya ada di dunia yang baru." Lalu kita pun mengabaikan sama sekali salah satu bagian dari zaman yang kita lupakan itu, karena kita mengabaikan konsep "zaman absolut" (waktu absolut) dan kita berpura-pura lupa pada dimensi universal alam semesta.

Yang terjadi saat ini adalah kita semua selalu menyediakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi sebuah zaman kebudayaan baru yang akan mengembangkan kehidupan pemikiran kita, dengan penafsiran yang lebih mendalam terhadap kebudayaan kita serta menakarnya dengan lebih cermat, bukan semata-mata berdasarkan kesadaran posisi geografis kita, melainkan untuk membangun jembatan penghubung yang kokoh antara kita dengan peradaban dunia. Dengan kata lain, untuk membangun pemahaman kebudayaan yang lebih kuat, tepat, lurus, dan awet bagi umat, kita tidak boleh mengorbankan nilai-nilai masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang yang kita miliki antara yang satu dengan yang lainnya, karena kita harus selalu menjaga prinsip prioritas untuk masa depan kita. Selain itu kita juga harus menjaga kesinambungan dan pertumbuhan secara seimbang.

Pada hakikatnya "zaman kebudayaan" sama sekali tidak berhubungan dengan konsep "sebelum" atau "kemudian". Tentu saja pemahaman ini sama sekali berbeda dengan konsep "zaman" yang kita kenal. Oleh sebab itu, saya berpendapat bahwa akan jauh lebih tepat jika kita menyebut zaman jenis ini dengan istilah "sesuatu yang di atas zaman". Bahkan akan lebih benar jika kita melihat "zaman" jenis ini sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih unggul dari zaman dalam pengertian sehari-hari. Karena pada kenyataannya, kelestarian sebuah budaya selalu berhubungan langsung dengan kebebasan atau kemerdekaan budaya yang bersangkutan.

Akan tetapi, kita semua tentu telah mengetahui adanya sebuah kerangka dalam bentuk referensi yang membentuk bangunan kebudayaan yang benar-benar merdeka dan juga akan membentuk hubungannya dengan berbagai hal. Dari sisi ini dan dalam kerangka seperti ini, kita dapat mengatakan bahwa kebudayaan adalah: kumpulan berbagai macam konsep, jalan pemikiran, sudut pandang, karya seni, dan nilai moral yang semuanya berhubungan dengan interpretasi yang bermacam-macam.

Seiring dengan itu, ada beberapa dasar kuat yang kita temukan ketika kita menemukan diri kita senantiasa mengaitkan diri dengan segenap kandungan, pemahaman, pola pikir, interpretasi, dan pendekatan yang kita miliki, dengan dasar-dasar yang kuat itu. Itulah sebabnya kita lihat betapa budaya kita dengan berbagai corak warnanya yang beraneka ragam selalu mengitari pusat orbitnya, minum dari sumber airnya, menyerap nutrisinya, dan bertumbuh bersamanya, untuk kemudian berubah menuju kondisi yang mengungguli zaman dan tempat.

Dasar-dasar kuat yang kita maksud di sini adalah al-Kitab dan Sunnah (kami akan menjelaskan mengenai kedua hal ini secara singkat pada bagian mendatang). Selain kedua pilar utama itu (Al-Qur`an dan Sunnah), kita temukan beberapa pilar lain yang berada di dalam kerangka kedua pilar utama, yaitu: tafsir, hadis, ushul tafsir, ushul hadis, fikih, dan ushul fikih...

Kami akan menjelaskan secara khusus mengenai fikih dan ushul fikih karena keduanya ---sebagai buah dari kerja keras yang dilakukan pada ulama Islam, sehingga menjadikan keduanya tidak ada tandingannya dalam sejarah--- laksana dua mata air yang tidak pernah kering, dua sumber yang selalu dapat diperluas, dan kekayaan luar biasa yang akan membuat semua bangsa yang memiliki kedua sumber ini menjadi penguasa elemen kehidupan yang terpenting.

Jika setiap peradaban memiliki kebanggan dengan nilai-nilai khas yang mereka miliki, maka fikih dan ushul fikih adalah salah satu sumber nilai paling menonjol yang dimiliki peradaban kita. Bahkan menurut hemat saya, jika seandainya kita perlu menyebutkan karakter peradaban kita ---berdasarkan apa yang kita miliki di masa lalu--- maka saya menganggap bahwa amatlah tepat jika kita menyatakan bahwa peradaban kita adalah "peradaban fikih dan ushul fikih".

Ya. Peradaban kita adalah sebuah peradaban fikih dan ushul fikih yang gerbangnya selalu terbuka bagi pemikiran, hikmah, dan filsafat. Seandainya peradaban Yunani kuno, Babilonia, dan Harran unggul dalam bidang Gnostisisme ('irfan), peradaban Eropa unggul dalam ilmu dan teknologi, maka peradaban kita yang terbentang selama ribuan tahun merupakan peradaban fikih dan ushul fikih yang selalu mengitari pusat orbitnya dalam bentuk pemikiran, akal, logika, dan penentuan hukum.

Sesungguhnya kerja keras dalam bidang ushul fikih yang kita lakukan ---sebagaimana yang ditegaskan oleh banyak pakar seperti Sayyid Bek dan Ustadz Muhammad Hamidullah--- adalah salah satu kerja keras paling utama yang digunakan untuk membangun dan mengembangkan sistem hukum yang sempurna. Ushul fikih adalah semacam ilmu hukum yang tidak mengandung kekurangan, sehingga ia dapat dikembangkan untuk menghadapi setiap masa. Bahkan ilmu yang satu ini, dengan keistimewaannya yang memiliki sifat selalu terbuka, telah menjadi sumber peradaban dan kebudayaan lain, karena ia juga mempengaruhi pembentukan berbagai macam ilmu pengetahuan.

Seiring perjalanan waktu, berbagai masyarakat yang berbeda telah memiliki sistem hukum mereka sendiri. Bangsa-bangsa Romawi, China, Hindustan, dan Yunani kuno adalah beberapa di antaranya. Akan tetapi, tidak ada satu pun di antara peradaban-peradaban Yunani kuno dengan tulisan mereka, Romawi dengan hukum Casius, bahkan tidak pula dunia modern dengan hukum-hukum yang mereka gunakan, yang mampu menghubungkan hukum-hukum yang mereka miliki dengan dasar-dasar (ushûl) atau kaidah-kaidah mapan tertentu seperti yang dimiliki oleh fikih Islam. Itulah sebabnya, kita tidak akan pernah menemukan umat lain memiliki sebuah ilmu seperti ilmu yang kita miliki yang didasarkan pada al-Qur`an, Sunnah, dan ijtihad salaf shalih.

Sesungguhnya filsafat dalam berbagai tahap perkembangannya, merupakan hasil dari olah logika yang terus berkembang untuk menjawab kebutuhan tahap perkembangan yang bersangkutan. Dalam peradaban kita, ushul fikih telah memainkan peran seperti ini dalam sistem hukum kita di sepanjang perjalanan sejarah. Fikih dan hukum yang kita miliki berimplikasi pada munculnya tugas untuk mengatur masyarakat dengan menggunakan kaidah-kaidah yang mengatur mereka. Dalam kondisi seperti itu, ushul fikih berperan mengarahkan fikih dan hukum. Adapun entitas yang menentukan dasar-dasar dan patokan yang harus diikuti menurut masalah yang dihadapi, tidak lain adalah "akal sehat". Telah jelas bagi kita bahwa dasar-dasar ini (ushul fikih) memiliki pengaruh yang kuat dan nyata dalam proses memahami hukum secara benar. Dan kenyataan telah menunjukkan bahwa semua pembahasan mengenai fikih dan ushul fikih selalu menyentuh semua ilmu lain yang berhubungan dengan al-Qur`an al-Karim dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Berbagai studi telah muncul dan bermacam-macam aturan telah dikembangkan di sekitar literatur warisan masa silam yang menjadi porosnya, akan tetapi berbagai usaha intensif yang dilakukan dan berbagai penafsiran terhadap Al-Qur`an dan Sunnah selalu berlangsung di sepanjang masa dengan berbagai hal yang layak diapresiasi. Sesungguhnya Al-Qur`an ---baik dengan penafsiran-penafsiran yang berasal dari riwayat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maupun berbagai penafsiran dan takwil yang dilakukan berdasarkan kaidah Bahasa Arab serta asbab nuzul-nya- selalu menjadi sumber penting bagi kekayaan pemikiran kita. Bahkan bagi mereka yang memandang Al-Qur`an hanya pada permukaannya saja, tetap akan dapat melihat betapa kitab suci ini menjadi sumber kekayaan yang luar biasa. Hal yang sama juga terjadi dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Akan tetapi tentu saja berbagai ilmu seperti itu harus dilindungi oleh intelegensia yang memadai dan kompeten. Karena kalau tidak, maka umat kita pasti tidak dapat menghidari kehidupan yang sulit di tengah kekayaan tersebut, jika ternyata kedua sumber yang cemerlang dan berlimpah ini terus dinodai kesuciannya dan diabaikan eksistensinya disebabkan adanya sikap permusuhan dari orang-orang yang membenci Islam atau adanya sikap diam dari teman-teman kita.

Salah satu sumber kekayaan kebudayaan kita yang lain adalah berbagai sumber sekunder yang berputar dalam kerangka dua sumber utama ini. Contohnya adalah ilmu kalam dengan berbagai masalah di dalamnya yang berterima di kalangan Ahlu Sunnah. Ilmu inilah yang telah memberikan banyak bukti baik aqli maupun naqli yang menunjukkan kebenaran akidah Islam serta menangkal berbagai bentuk syubhat dan tuduhan palsu yang ditujukan terhadap agama kita. Ilma kalam-lah yang telah melawan pemikiran filsafat menyimpang yang sesat seperti paham inkarnasi dan sinkretisme. Ilmu ini juga mampu membuktikan kebenaran sifat-sifat Allah serta meletakkan kerangka untuk memahaminya. Selain itu ada pula topik-topik seperti "Kebaikan Ideal", "Baik dan Buruk", dan sebagainya. Selain ilmu kalam, kami juga dapat menambahkan beberapa sumber lain seperti: kemaslahatan, istihsan, 'urf (kebiasaan), adat, dan tindakan...

Sebenarnya tidaklah cukup ruang dalam satu buku untuk menjelaskan setiap sumber ini. Akan tetapi di sini kami akan menyampaikan sebuah penjelasan singkat sekedar cukup memberi gambaran sekilas bagi Anda.

1-Al-Kitab (Al-Qur`an)

Yang dimaksud dengan "al-Kitab" adalah: ayat-ayat suci yang terhimpun di dalam Al-Qur`an. Yaitu firman Allah yang terlihat oleh mata batin, menembus perasaan, dan memperluas pemikiran. Al-Qur`an adalah sebuah sumber yang sangat kaya yang merangsang kerja pikiran. Dengan prinsip fleksibilitas yang melekat pada berbagai macam penjelasan yang terkandung di dalamnya, Al-Qur`an selalu relevan di setiap masa. Semua itu tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur`an yang beragam sifatnya: muhkam, mutasyabih, nash, zhahir, mujmal, mufashshal, dan sebagainya. Begitu pula dengan kandungan implisit ayatnya yang tertuang dalam isyarat, tanda-tanda, permisalan, perumpamaan, majas, kinayah, dan sebagainya... Namun tentu saja manfaat terbesar yang dapat digali dari Al-Qur`an selalu sepadan dengan kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya.

Ya. Al-Qur`an adalah sebuah kitab yang berada di atas zaman dan tempat. Meski terkadang penyimpangan niat dan pandangan terhadapnya membuat Al-Qur`an jatuh dari kedudukannya yang mulia ke dalam kerangkeng pemikiran manusia yang sempit. Orang-orang yang memandang Al-Qur`an secara sempit dan picik atau mereka yang memiliki niat menyimpang, pasti tidak akan pernah mengetahui kedalaman maknanya yang mampu menaklukkan akal manusia. Jiwa-jiwa terpenjara yang pikirannya terkungkung oleh berbagai aturan yang sudah usang pasti tidak akan pernah dapat mengetahui berbagai rahasia yang terdapat di dalam kandungan makna ayat-ayat kitab suci yang ajaib ini. Orang-orang seperti itu tidak pernah dapat menjangkau ketinggian mukjizat Al-Qur`an sampai kapan pun dan di masa yang mana pun mereka berada.

Al-Qur`an selalu menjadi kitab pemuncak yang berada di ketinggian yang melampauian cakrawala akal manusia. Al-Qur`an adalah sebuah penjelasan yang tiada bandingnya dengan berbagai penafsiran dan takwilnya yang muncul dalam gelombang yang bermacam-macam. Tapi semua itu hanya akan tampak bagi mereka yang membuka hatinya dengan ikhlas dan penuh keyakinan. Al-Qur`an adalah sebuah bentuk kemurahan Ilahi bagi manusia. Pengetahuan mengenai Al-Qur`an dan kesempatan untuk kembali kepadanya ketika kita menghadapi bermacam-macam masalah adalah sebuah keberuntungan luar biasa yang mengungguli segala bentuk keberuntungan lain yang kita miliki...

Namun, duhai saudaraku, berapa banyak dari kita yang menyadari dan mengetahui keberuntungan ini? Padahal sudah pasti bahwa tidak ada satu masalah pun yang dihadapi manusia yang dapat mencari solusi selain dari cahaya Al-Qur`an. Tidak ada kebahagiaan abadi yang dapat diraih manusia jika tidak didirikan di atas dasar penjelasan Al-Qur`an yang berlimpah.

Berapa banyak guru besar tutur bahasa yang ---di sepanjang perjalanan zaman---mendirikan bangunan kata-kata yang menakjubkan. Berapa banyak pemikir yang mendirikan sistem filsafat... Tapi ternyata kemudian bangunan-bangunan itu runtuh menjadi puing-puing, sebagaimana sistem yang mereka bangun juga porak-poranda, sehingga semua itu menjadi sekadar kenangan dalam lembaran sejarah.

Tidak ada satu pun penjelasan yang dapat terjaga kekuatannya, selain Al-Qur`an. Jika memang ada sebuah penjelasan yang tetap terjaga kekuatannya sejak kemunculannya di ufuk kemanusiaan, maka itu hanyalah Al-Qur`an. Tidak ada satu pun aturan yang mampu menggerakkan bahtera umat manusia menuju pantai keselamatan, selain kandungan Al-Qur`an, kitab yang penuh berkah ini. Di dalam penjelasannya yang menarik dan cahayanya yang menakjubkan, semua kata-kata selain Al-Qur`an menjadi seperti permainan yang tak berarti ketika bersanding dengannya. Para pencipta aturan dan pemikiran berubah menjadi orang-orang miskin ketika berhadapan dengan kandungan Al-Qur`an yang kaya.

Inilah kitab yang menafsirkan hakikat manusia, entitas, dan alam semesta, serta menelisik hakikat manusia dengan sangat detail. Al-Qur`an meluruskan banyak hal dan kejadian dengan sangat cermat dan seimbang, sehingga membuat setiap orang ---dengan sedikit perenungan--- dapat melihat dan menyentuh ketakterbatasan di belakang semua penjelasan yang disampaikan Al-Qur`an.

Itulah sebabnya para ahli rohani dan spiritualitas yang memasuki dunia Al-Qur`an --yang mampu menundukkan kecerdasan manusia--- selalu melihat segala sesuatu, merasakan dengannya, dan merasakan di dalam jiwa mereka seperti rangkaian kosa kata yang runut. Mereka lalu menelaah semuanya secara teperinci di dalam buku alam semesta untuk kemudian mereka rasakan lagi. Mereka pun melewati kehidupan mereka dalam dunia simbol dan tanda-tanda, dalam sebuah gerak lari-lari kecil menuju Al-Qur`an sebagaimana layaknya seseorang yang berjalan di permukaan bumi.

Ya. Inilah kitab yang menerangi cakrawala 'irfan kita, karena manusia –ketika berjalan di atas petunjuknya ke arah "Singgasana Kesempurnaan" hatinya- tidak mudah melewatinya disebabkan perjalanan yang mengerikan. Dan Al-Qur`an melakukan semua itu tanpa mengekang pemikiran dan tanpa membelenggu jiwa manusia.

Manusia akan tetap berjalan di jalan ini yang di situ mereka tetap merasakan bertambahnya ilmu yang berpadu dengan perasaan gembira yang meluap, keimanan yang disertai musyahadah, beratnya beban dengan ketenangan, kesetiaan mengikuti aturan dengan perasaan aman... Manusia akan terus mendaki ke atas menuju puncak hingga berhasil mencapai ketinggian yang didambakan... Ia akan mencapai cakrawala ketinggian di mana ia dapat melihat keberhasilannya yang menggembirakan.

Inilah kitab –untuk menjelaskan beberapa hal pada posisinya yang tepat- yang mengirimkan banyak sinyal untuk mengajak manusia bergerak menuju kedalaman jiwa manusia dan semesta, ke arah keluasan roh umat manusia, ke arah dimensi kehidupan mereka dalam bentuk indra, kehendak, dan hati. Ia juga mengirim banyak tanda kepada manusia agar bergerak menuju tujuan dan makna dari penciptaan dari makhluk yang sempurna (manusia) ini yang sebenarnya merupakan makhluk baru di tengah luasnya jagad raya, ke arah ketinggian persiapannya, keluasan lingkup aktivitasnya, keagungannya yang tersembunyi, kesenangan, cita-cita, dan hasrat jiwanya... Al-Qur`an-lah yang mampu mengirimkan banyak pertanda kepada manusia yang tidak dapat dilakukan oleh ilmu filsafat, sosiologi, biologi, psikologi, dan ilmu pendidikan.

Saya sama sekali tidak mengira bahwa seseorang yang mengenal kitab ini membutuhkan sumber lain untuk menjelaskan tentang hal-hal mendasar yang berhubungan dengan manusia – alam semesta – dan Allah... kecuali hanya untuk merinci ayat-ayatnya yang belum dirinci. Meski tentu saja, untuk merinci ayat-ayat Al-Qur`an yang belum dirinci, kita tetap harus menyandarkan upaya itu dalam kedudukan Al-Qur`an sebagai rujukan utama dan dilakukan dengan merujuk pada penjelasan yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kesaksian yang kuat, penerapan hukum yang tepat, atau penggunaan dalil akal yang kokoh. Dengan demikian, maka semua itu tetap dilakukan pada garis edar di sekeliling Al-Qur`an itu sendiri.

Inilah kitab yang penurunannya kepada orang-orang yang mendapat berkah paling besar dan paling bahagia di antara seluruh umat manusia, pada satu titik perubahan terpenting dalam perjalanan sejarah, ditujukan untuk mengatur kehidupan dan masyarakat manusia, baik manusia pada ranah individu, komunitas, politik, pemerintahan, ekonomi, rohani-spiritual, dan pemikiran... Dan ternyata Al-Qur`an memang berhasil mencapai tujuan tersebut dalam satu gebrakan dan dalam satu embusan nafas.

Al-Qur`an telah menjadi sumber inspirasi yang istimewa bagi semua perubahan yang terjadi di tengah begitu banyak masyarakat yang masih terbelakang. Namun seiring dengan itu Al-Qur`an juga menyediakan banyak contoh yang dapat diikuti oleh semua masyarakat yang sudah maju. Sampai hari ini, Al-Qur`an masih tetap menjadi sandaran yang kuat, kaya, dan terhormat, dalam mewujudkan berbagai hal yang hendak diwujudkannya.

Ya. Al-Qur`an memang tidak tertandingi dari segi kekayaan dan keluasan penjelasannya mengenai hubungan antara manusia, alam semesta, dan Allah ta'ala. Namun seiring dengan itu Al-Qur`an juga tetap menjaga relevansi yang harus ada dalam berbagai masalah yang dijelaskan serta diberi solusi olehnya.

Jika kita menggunakan penjelasan Badi' al-Zaman Sa'id Nursi, maka Al-Qur`an adalah: Suara alam semesta yang berbentuk seperti sebuah himpunan yang padu atau sebuah istana yang megah; dengan segenap inti kandungan, penafsiran, ringkasan singkat dari penjelasan mengenai masalah penciptaan, takwil, dan kunci emas yang mengandung rahasia "tempat" (space) alam semesta yang dapat kita saksikan, dan rahasia "waktu" (time) yang menjadi hal relatif di tengah semesta. Al-Qur`an adalah lisan paling petah dan penjelasan paling gamblang tentang Zat Allah ta'ala dengan seluruh sifat dan asma-Nya. Al-Qur`an adalah satu-satunya menara pengawas yang dapat digunakan untuk mengetahui rahasia di balik tirai seluruh benda dan kejadian. Ia adalah pesan lembut dari hadirat Allah jalla jalâluh dari luar alam semesta yang Dia kirimkan ke dalam hati dan lidah kita.

Al-Qur`an adalah sumber cahaya, udara, dan sinar bagi dunia Islam kita yang hebat. Ia adalah syarat utama bagi kelestarian agama ini sampai kapan pun. Ia adalah peta petunjuk dan pembimbing bagi semua dunia di luar Islam yang selalu ditunggu-tunggu oleh umat manusia, baik dengan penuh kerinduan dan ketekunan menelisik, maupun dengan keraguan dan ketakutan.

Bagi seluruh dunia yang dihuni manusia, Al-Qur`an adalah kitab pendidikan, jurnal makrifat, kamus ilmu, dan lingkaran pengetahuan yang tidak pernah menyesatkan seorang pun dalam perjalanan menuju kesempurnaan manusia (al-Insân al-Kâmil). Dan bagi dunia Islam secara khusus, Al-Qur`an adalah sumber ilmu, 'irfan, dan hikmah yang paling suci.

Singkatnya, Al-Qur`an adalah kumpulan hukum yang mengatur dan mengarahkan kehidupan kaum muslimin, baik pada ranah individu, keluarga, sosial, ekonomi, politik, maupuan pemerintahan di sepanjang masa. Ia adalah petunjuk jalan dan perilaku dengan segenap kandungannya yang berupa doa, zikir, pemikiran, dan munajat. Ia adalah sebuah kitab mukjizat yang menuntun ke arah penjelasan paling rinci tentang segala sesuatu dan kejadian-kejadian. Ia mampu menjelaskan dengan sangat detail tanpa mengandung ketidakjelasan sama sekali. Ia sangat kaya, tapi juga sangat pemurah kepada kaum mukminin. Ia sangat memadai di setiap masa dan tempat, tapi ia juga selalu berada di atas setiap masa dan tempat.

Al-Qur`an adalah kitab yang dibutuhkan oleh setiap makhluk; baik malaikat, roh, maupun jin. Ia adalah sumber warisan budaya kita yang pertama dan utama; yang paling luas kandungannya, paling dalam isinya, paling suci ayat-ayatnya, yang gelombang ombaknya tidak pernah berhenti bergerak seperti lautan tanpa sedikit pun ternoda.

Inilah beberapa hal yang dapat kami jelaskan mengenai sumber penuh berkah yang bernama Al-Qur`an ini, yang tentu saja hanya berupa isyarat-isyarat kecil yang jauh dari cukup.

2-Sunnah

Menurut istilah fikih, yang dimaksud dengan "Sunnah" adalah: kumpulan sabda, perbuatan, perintah, atau sesuatu yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Menurut pendekatan lain, Sunnah adalah: Sabda, perbuatan, dan perilaku Hadhrat Ruh Sayyid al-Anam Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang belum dijelaskan bahwa statusnya adalah fardhu atau wajib, sehingga boleh ditinggalkan pada waktu tertentu.

Sunnah yang termasuk aspek ibadah disebut "Sunan al-Hudâ", yang termasuk bagian dari kebiasaan Rasulullah disebut "Sunan az-Zawâid". Sementara kalangan ahli ushul memiliki pendekatan lain yang menghubungkan Sunnah dengan sabda, perbuatan, dan ketetapan. Sunnah yang berbentuk sabda disebut "Sunnah Qauliyyah", Sunnah yang dijelaskan menggunakan perbuatan disebut "Sunnah Fi'liyyah", dan Sunnah yang tidak dikomentari oleh Rasulullah padahal beliau melihat sesuatu yang bersangkutan disebut "Sunnah Taqrîriyyah".

Sunnah, dengan segenap cabangnya, yang berhubungan dengan tindakan atau akhlak, atau berupa penjelasan yang muncul seputar pendidikan dan adab, atau berisi aturan tertentu yang bertujuan pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pendidikan spiritual (tarbiyah al-rûh), merupakan sumber yang tidak pernah kering dalam setiap ruang yang luas dan selalu menerangi mata dan hati kita. Kita terus meminum dari sumber yang penuh berkah ini dan menjadi sandaran sejak sekian lama, sampai ketika kita mengatakan bahwa ia adalah contoh hidup bagi Sunnah, maka pernyataan itu tidaklah salah.

Ya. Sunnah adalah sama baik dengan keluasan ruangnya di dalam syariat maupun dengan kekenyalannya yang dapat ditafsirkan dengan berbagai macam versi. Sunnah terus menjadi sumber penuh berkah yang tidak dapat kita temukan tandingannya di agama atau umat manapun juga. Ia adalah sumber bagi tafsir, fikih, keyakinan, akhlak, zuhud, takwa, atau keikhlasan.

Kami cukupkan pembahasan ini sampai di sini. Kami akan memperluas pembahasan dalam bab ini ke dalam tulisan lain atau penjelasan yang akan ditulis tentang Sunnah.

3-Ijma' (Konsensus)

Secara etimologis, kata "ijmâ'" memiliki beberapa arti berbeda, antara lain: kesepakatan, tujuan, tekad, kesamaan. Secara terminologis, ijma' adalah: Kesepakatan ulama Islam yang termasuk mujtahid pada satu masa atas satu masalah keagamaan tertentu. Ijma' dengan pengertian seperti ini adalah salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki umat Islam ini. Ijma' bukanlah perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang, khususnya kalangan awam. Ijma' adalah kesepakatan "kalangan khusus" yang mampu menetapkan dan mengukur masalah tertentu dengan menggunakan dalil-dalil pokok lalu mereka menyatukan pendapat atas masalah tersebut. Itulah sebabnya, kesepakatan kaum awam terhadap suatu masalah tertentu tidak dapat dianggap sebagai ijma'. Sebagaimana halnya ijma' juga tidak dapat ditetapkan atas suatu masalah yang sudah disepakati tapi berlawanan dengan dalil syariat.

Selain itu, ijma' tidak dapat dibenarkan jika ternyata masalah yang bersangkutan telah dijelaskan oleh nash, atau masalah yang bersangkutan termasuk pada perkara yang telah diketahui umum. Ijma' juga tidak boleh dilakukan pada masalah-masalah seperti kebaruan alam semesta dan ketidakkekalannya. Ada pula beberapa perkara yang tidak perlu di-ijma', seperti hakikat wujud Allah, keesaan Allah, dan kenabian. Ijma' juga tentu tidak dapat dilakukan terhadap hal-hal yang dipahami dari penjelasan Syari' (Allah dan Rasulullah) seperti kondisi akhirat, tanda-tanda Hari Kiamat, serta macam-macam nikmat dan siksa di akhirat.

Di sini kami akan menyampaikan beberapa dalil yang menunjukkan keabsahan ijma' sebagai hujjah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: "Umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan, dan tangan Allah bersama jama’ah."[3] Terdapat banyak atsar yang menunjukkan bahwa dukungan Ilahi hanya diberikan kepada jama’ah khusus.

Maksudnya, ijma' yang melahirkan pendapat menyimpang dari beberapa kelompok tertentu tidak boleh diterima; atau ijma' dalam bentuk penafsiran menyimpang yang dikeluarkan kaum syi'ah; atau ijma' aliran zhahiriyah yang dilakukan pada waktu tertentu. Tapi tentu saja, semua bentuk "ijma'" yang menyimpang seperti itu tidak dapat menggugurkan status ke-hujjah-an ijma' sebagai sumber penting bagi kebudayaan kita. Meski hal itu tidak berarti bahwa kita boleh menganggap remeh atas adanya berbagai pertentangan ini dan tanggapan jumhur ulama terhadapnya. Sayangnya untuk merinci masalah ini kita tentu tidak dapat memaparkannya dalam tulisan ini karena penjelasan yang lengkap mengenai masalah ini membutuhkan berjilid-jilid buku yang telah berkali-kali dibahas oleh para ulama yang mendalami masalah ini. Adapun yang ingin kami sampaikan di sini hanyalah untuk menunjukkan kepada Anda bahwa ijma' adalah salah satu sumber penting bagi warisan budaya kita.

4-Qiyas (Analogi)

Definisi qiyas adalah: Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan mengaitkannya atas satu hukum atau nilai yang sama di antara keduanya.

Adapun secara termonologis adalah: menetapkan hukum satu perkara atau perbuatan atas sesuatu yang serupa atau sama dengannya. Dalam ilmu ushul fikih, yang pertama disebut "al-maqîs 'alaih" atau "al-ashl", sedangkan yang kedua disebut "al-maqîs" atau "al-far'". Sementara sisi kesamaan antara kedua hal yang bersangkutan atau hal yang menghubungkan keduanya disebut: "manâth al-hukm".

Dengan pengertian seperti ini, maka qiyas adalah sebuah ruang luas dan penting untuk menyibak kekayaan yang terkandung di dalam al-Kitab dan Sunnah karena keduanya memang tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Ya. Qiyas adalah sumber melimaph yang selalu menjadi tempat rujukan umat dalam kerangka al-Kitab dan Sunnah untuk memenuhi kebutuhan yang selalu muncul mengikuti waktu dan tempat. Tentu saja masalah tidak langsung selesai dengan munculnya qiyas, karena qiyas adalah sebuah pintu terbuka bagi orang-orang yang berpengalaman untuk berhadapan dengan yang tidak sepakat dengan mereka di sepanjang waktu dan masa.

Terkadang, letak keserupaan dalam beberapa masalah yang sama atau serupa terlihat jelas sehingga dapat mudah ditemukan dan dipahami tanpa kesulitan. Itulah sebabnya, para ahli ushul menyebut qiyas jenis ini dengan nama "al-Qiyâs al-Jaliy". Tapi terkadang, letak keserupaan antara "al-maqîs" dan "al-maqîs 'alaih" sangat samar sehingga tidak dapat dipahami dengan mudah dan membutuhkan penelitian yang mendalam, bahkan terkadang memunculkan upaya ekstra. Itulah sebabnya, para ahli ushul menyebut qiyas jenis ini dengan nama "al-Qiyâs al-Khafiy". Qiyas, dengan kedua "sayap"-nya ini merupakan sebuah ruang luas dan kekayaan yang kita miliki.

Perlu diketahui bahwa qiyas tidak berlaku pada syariat yang berhubungan dengan hukum jinayat (tindak kriminal), karena penggunaan qiyas pada kawasan ini dapat menyebabkan munculnya tindak kriminal dan sekaligus hukuman baru. Tapi di luar kondisi khusus ini, qiyas adalah sumber yang absah sebagai hujjah dan dapat dijadikan rujukan di setiap masa. Para jumhur ahli fikih juga telah bersepakat atas status qiyas sebagai hujjah.

Kami cukupkan penjelasan tentang qiyas ini sampai di sini. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut silakan ke literatur yang ada.

5-Istihsan

Secara etimologis, "istihsân" berarti: menganggap baik sesuatu; tapi terkadang kata ini dipakai untuk menyebut ketakjuban atas sesuatu. Adapun bagi kalangan ahli ushul, "istihsân" memiliki beberapa pengertian berbeda. Banyak dari fukaha yang menggunakan istilah "istihsân" untuk menyebut qiyas khafiy yang merupakan antonim dari qiyas jaliy.

Terkadang, istihsan muncul dalam bentuk pengambilan dalil yang lebih kuat dari apa yang ditetapkan oleh qiyas pada masalah tertentu; atau dalam bentuk takhshish terhadap hukum yang sudah ditetapkan oleh qiyas; atau tindakan mengambil dalil yang lebih kuat; atau meninggalkan qiyas –dalam kerangka syariat secara umum-; atau meninggalkan yang sulit dan mengambil yang mudah yang berarti memilih yang mudah daripada yang sulit ketika ada kondisi yang membolehkan keduanya.

Banyak ahli fikih yang –dengan Imam Abu Hanifah sebagai yang terdepan- menyatakan kehujjahan istihsan. Sementara para ahli fikih yang tidak mengakui kehujjahan istihsan biasanya membawa istihsan ke dalam sumber syariat yang lain dengan berbagai istilah yang berbeda meski sama maknanya. Tapi penolakan mereka itu hanya sebatas kata-kata yang tidak menodai kesucian sumber hukum yang jernih ini.

Kami cukupkan penjelasan tentang istihsân ini sampai di sini, dan kami serahkan penjelasan lanjutan mengenai masalah ini kepada para ahli.

6-Mashlahah (Kemaslahatan)

Mashlahah adalah: "Perantara atau jalan menuju kemaslahatan, manfaat, kesalehan, atau kebaikan." Adapun posisi mashlahah sebagai sumber ijtihad telah muncul dari masa-masa awal Islam ketika qiyas dan ra`yu juga dijadikan sebagai sumber hukum. Itulah sebabnya banyak imam mazhab yang menyatakan bahwa mashlahah adalah sumber hukum yang layak diikuti dan terlepas dari sumber dalil syariat yang lain.

Karena mashlahah ----sebagaimana yang dapat dipahami dari maknanya---- merupakan sebuah sumber yang dapat mewujudkan manfaat bagi manusia serta mengeksplorasi kebaikan dan kemaslahatan mereka. Oleh sebab itu maka posisi amatlah penting dalam kehidupan keberagamaan. Allah yang Mahabenar telah menurunkan hukum-hukum ---dalam kenyataannya--- untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Itulah sebabnya, maka mashlahah harus menjadi sumber hujjah dalam ushul fikih.

Meskipun mashlahah tidak pernah naik ke tingkat yang setara dengan dalil-dalil syariat yang lain dalam posisinya sebagai sumber dalil hukum, akan tetapi ada banyak ahli fikih ---dengan para ulama mazhab Maliki sebagai yang terdepan--- yang menempatkan mashlahah dalam posisi khusus. Meski Imam Syafi'i tidak pernah memusatkan perhatian secara khusus pada mashlahah sebagai sebuah dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi ia menggunakan mashlahah dalam cara tersendiri yang diletakkan pada kerangka qiyas, untuk kemudian ia gunakan. Sementara itu para fukaha dari mazhab Hanafi menerima mashlahah sebagai sumber hukum meski mereka berbeda pendapat dalam tafsir dan takqil. Adapun pendapat Imam Ahmad bin Hanbal pada masalah ini serupa dengan pendapat Imam Syafi'i, sebagaimana yang juga terjadi pada banyak masalah lainnya.

Dengan berbagai perbedaan pendapat yang bersifat relatif seperti itu mengenai status mashlahah sebagai dalil, tapi dapat disepakati bahwa semua mazhab mengakui keabsahan mashlahah sebagai dalil yang harus diikuti, meski terkadang mereka menggunakan istilah yang berbeda, jika kemaslahatan yang digunakan itu memang berterima dan sama sekali tidak bertentangan dengan dalil syariat yang lain.

Tidak diragukan lagi bahwa mashlahah telah menjadi sumber penting bagi kebudayaan kita sesuai dengan berbagai makna yang diberikan oleh Syari' terhadapnya beserta fungsi-fungsi yang disematkan oleh para fukaha terhadapnya. Sayangnya, meski ada perlunya untuk menjelaskan masalah secara lebih teperinci, tapi tulisan ini tentu tidak cukup untuk menampung penjelasan itu.

7-Tashawwuf (Tasawuf)

Di sini kita tentu tidak bisa menjelaskan definisi tasawuf secara lengkap sebagaimana yang terdapat di dalam berbagai kitab dan risalah yang membahas mengenai tasawuf. Berikut ini kami hanya menjelaskan kandungan tasawuf secara sekilas:

Tasawuf, yang dari perspektif teoretik kita dapat menyebutnya dengan istilah "ath-tharîqah" (tarekat), sementara dari perspektif praktik kita menyebutnya dengan istilah "al-darwasyah" (kedarwisan), adalah salah satu sumber penting bagi makrifat dan budaya kita pada ruang luas yang terbentang dari kehidupan rohaniah sampai pada ranah akhlak dan adab dalam pergaulan.

Tasawuf memiliki beberapa penafsiran yang bermacam-macam. Di antara penafsiran itu menyatakan bahwa tasawuf adalah:

"Kematian pada jiwa, ego, serta kepalsuan, dan kehidupan pada hati dan roh"; atau:

"Penyerahan jiwa salik kepada kehendak Allah ta'ala seperti layaknya mayat di tangan orang yang memandikannya, dengan tetap adanya keinginan parasial dalam kerangka yang relatif"; atau:

"Menghindari semua akhlak buruk yang dikecam oleh al-Qur`an al-Karim, dan mengisi diri dengan akhlak yang baik."; atau:

"Kesadaran pada kedekatan Ilahi di dalam hati kita yang disebut dengan istilah 'al-qurbah' dan menjangkau 'dimensi kemanusiaan' yang tersembunyi –menurut manusia- di dalam hati dan jiwa kita."; atau:

"Sikap istiqamah dalam meniti jalan arahan al-Kitab dan Sunnah, serta setia mengikuti perintah Rabba dalam kehidupan kita, alih-alih mengikuti hawa nafsu."; atau:

"Melakukan tawajuh yang sempurna kepada sang Sebab dari segala sebab, serta meletakkan sebab-sebab di luar dampak dari perbuatan."; atau:

"Melepaskan diri –sesuai kemampuan- dari semua hasrat fisik-badaniah dan mengisi diri dengan sifat-sifat malaikat."

Jika kita mengedepankan pendekatan akhlak, maka kita dapat menyatakan bahwa tasawuf adalah:

"Penjagaan berkesinambungan terhadap kesucian hati dalam menghadapi godaan setan dan hawa nafsu."

"Mengekang nafsu dari kecenderungan khasnya dan mempersempit ruangnya sekuat kemampuan."

"Melanjutkan perjalanan di jalan naik menuju 'kemanusiaan' yang hakiki dengan usaha terus-menerus untuk tetap berada pada tingkat 'kehidupan sanubari dan rohani'."

"Membentuk kehidupan untuk mewujudkan kebahagiaan material dan moral bagi orang lain, dengan sekuat tenaga dalam kesempatan bersama Allah ta'ala."

"Mengikuti manhaj kenabian tanpa menunggu balasan hingga mencapai usaha paling jujur dan paling tulus pada perbuatan yang paling besar dan berat."

"Tekad untuk selalu berjalan di bawah naungan misykat (ceruk cahaya) Muhammadiyyah s.a.w. dalam jalan penghambaan diri kepada Allah ta'ala."

"Menyatakan penghambaan yang jernih dan tulus tanpa ada maksud atau imbalan apapun di dalamnya, dengan mengaitkan diri sekuat-kuatnya dalam kesempatan bersama Allah ta'ala dengan mengetahui kedudukan antara Pencipta dan makhluk, penyembah dan yang disembah, yang meminta dan yang diminta, serta yang menginginkan dan yang diinginkan."

"Melakukan dengan sepenuh ketabahan dan kesabaran upaya melawan kemaksiatan."

"Melaksanakan ibadah dan ketaatan dalam kenikmatan seakan-akan semua itu adalah tujuan dan sasaran dari kehidupan."

"Menerima sebuah bala dan musibah dengan senyum serta sikap lapang dada atas kekuasaan dan kelembutan Allah secara setara."

"Mengaitkan segala jenis usaha dan keinginan dengan pengharapan atas kebaikan Allah ta'ala, bukan dengan nilai-nilai kemanusiaan."

"Bersabar dalam menghadapi lambatnya zaman seperti kesabaran ayam yang sedang mengerami telurnya."

Dengan berbagai makna seperti tersebut di atas, tasawuf memiliki tempat utama baginya yaitu di dalam buku-buku dan risalah-risalah yang ditulis seputar "Reruntuhan Zamrud yang Dimiliki Hati".

Tasawuf adalah sebuah telaga istimewa sangat luas yang berisi ilmu dan irfan, serta didukung oleh penjelasan, bukti, dan irfan. Ia mengayomi, memberi makan, dan memperkaya seluruh kehidupan. Mata air tasawuf ini tidak memiliki tandingan dalam kedalamannya baik dengan "imajinasi spiritual" di timur, maupun dengan "aliran filsafat" di barat.

8-Ilmu Kalam

Secara etimologis "kalâm" berarti: ucapan, percakapan, bahasa, Al-Qur`an, atau perintah dan larangan Ilahi.

Secara terminologis "kalâm" berarti: "Kumpulan pengetahuan yang ditujukan untuk membela keyakinan Islam dengan menggunakan dalil aqli dan naqli, menjaga keistikamahan pemikiran kaum mukmin, menangkal syubhat dan keraguan yang menyerang atau cenderung untuk menyerang agama, serta menjaga akidah Islamiyah yang benar dalam kerangka Sunnah dalam menghadapi aliran filsafat yang salah."

Dari pendekatan lain "kalâm" berarti: "Kumpulan aturan dan hukum yang terdiri dari teori ilmiah dan makrifat yang mengikat semua dasar-dasar agama dengan al-Kitab, Sunnah, dan pendapat para salaf al-shalih yang muncul di bawah naungan keduanya (al-Kitab dan Sunnah). Banyak ulama, pemikir, dan filsuf Islam yang telah mengumpulkan aturan-aturan kalamiyah ini di banyak tulisan, dan telah banyak diajarkan di "sekolah-sekolah agama".

Sekelompok pemikir dan ulama sangat menginginkan untuk tetap berada dalam kerangka al-Kitab dan Sunnah tanpa sedikit pun mereka mengemukakan pendapat pribadi dalam masalah-masalah ini. Padahal sekelompok pemikir dan ulama lain menganggap bahwa tidaklah mengapa untuk memperluas penjelasan dengan bukti-bukti, memperkayanya dengan 'irfan, serta memperluasnya dengan berbagai hasil dari sufisme dan filsafat. Bahkan mereka berpendapat bahwa sibuk dengannya dengan bentuk seperti itu adalah sebuah pelayanan terhadap agama. Adalah benar jika dikatakan bahwa perluasan dengan bentuk seperti ini, telah memasukkan ke dalam sistem pemikiran Islam berbagai bentuk pemikiran sesat yang menjadi sampah peninggalan masa lalu. Akan tetapi adalah kenyataan pula bahwa ia telah membuka cakrawala kaum muslimin yang besar dan luas.

Kami tentu tidak ingin berdebat mengenai faedah ilmu kalam atau pun bahayanya. Karena tujuan yang ingin kami capai dalam tulisan ini adalah sekedar mengingatkan bahwa ilmu kalam merupakan sebuah sumber yang penting bagi warisan budaya kita. Dan kami tentu tidak ingin membahas hal-hal yang dapat menbuka pintu perdebatan baru.

9, 10, 11- 'Urf (kebiasaan), Adat, dan Amal

Yang dimaksud dengan 'urf adalah: adat, kondisi, dan perilaku yang dihadapi manusia dengan penerimaan yang baik serta mendapat penghormatan umum tanpa ditentang oleh akal, tabiat yang lurus, dan agama, meski ia tidak berbentuk hukum. Para ahli fikih dari kalangan mazhab Hanafi mendefinisikan 'urf dari sisi lain sebagai: "Kumpulan perkara yang dianggap baik oleh akal dan syara' dan tidak disangkal oleh akal sehat".

Terdapat beberapa perbedaan yang jelas antara adat, perbuatan, dan 'urf. Karena istilah 'urf atau "al-ma'rûf" digunakan untuk menyebut kumpulan adat kebiasaan yang baik. Padahal kita tahu adat dan amal (perbuatan) terkadang tidak baik. Perbedaan dapat kita lihat pada beberapa sifat pembeda yang mengikat kata adat atau amal. Misalnya frasa "adat yang baik", atau "adat yang buruk", atau "amal saleh", atau "amal rusak", dan seterusnya. Sementara kita tidak menemukan penyematan sifat-sifat semacam itu terhadap kata 'urf.

Selain itu, 'urf ada yang berbentuk ucapan (qauliy) dan ada yang berbentuk perbuatan ('amaliy). Sementara adat dan amal hanya terbatas pada tindakan dan perbuatan. Selain itu, adat dan amal memiliki satu sisi yang berhubungan dengan "Akal Penganggur" karena bersandar pada taklid dan sikap menerima kebiasaan lama. Al-Qur`an dengan tegas mengecam tindakan seperti ini melalui beberapa ayatnya serta mencela kaum kafir dengan taklid dan sikap mengikuti secara membabi-buta seperti ucapan mereka: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (QS az-Zukhruf [43]: 23). Tapi ternyata al-Qur`an memuji 'urf dengan menyebutnya dengan kata "al-ma'rûf" seraya mewasiatkannya.

Di sini kami tidak bermaksud menunjukkan 'urf, adat, dan amal dari aspek posisi ketiganya sebagai sumber penetapan syariat dan penyandaran beberapa jenis hukum kepada ketiganya, melainkan untuk menunjukkan bahwa 'urf bersifat bebas (muthlaq), sedangkan adat dan amal bersifat terikat (muqayyad) dengan syarat tidak berlawanan dengan ajaran agama, yang ketiganya dapat menjadi sumber penting bagi warisan kebudayaan kita.

Semua topik ini amatlah luas sehingga membutuhkan beberapa tulisan atau penelitian yang panjang. Tapi untuk melakukan itu kami tidak sanggup karena bukanlah di sini tempatnya.

Adapun tujuan kami dari apa yang kami paparkan di sini dengan penjelasan yang sangat singkat yang beberapa di antaranya bahkan hanya berisi judul dan penjelasan tentang definisi, adalah hanya untuk mengingatkan sumber-sumber kebudayaan kita yang kita warisi serta struktur bangunan dalam yang dimiliki sumber-sumber ini yang disampaikan dalam sebuah tulisan singkat.

Seiring dengan itu di sini kami juga ingin mengingatkan karakter khas yang kita miliki dengan mengingatkan pada prisip kesatuan antarberbagai sumber yang berbeda bagi kebudayaan kita yang terkesan terpisah antara satu sama lain. Dalam penjelasan ini kami sengaja membatasi diri untuk tidak tenggelam dalam dunia fantasi serta menghindari kepura-puraan atau yang semacam itu. Kami sengaja mengarahkan tujuan kami untuk berkonsentrasi pada dimensi epistemologi, sehingga kami berusaha untuk mengingatkan kesesuaian antara berbagai ranah yang berbeda baik pada warisan budaya maupun pada pemikiran kita.

Berdasarkan pentingnya upaya untuk mengingatkan berbagai topik ini, maka kami sengaja membatasi ruang bagi setiap topik untuk kemudian kami paparkan secara holistik seraya menyerahkan penjelasan yang lebih rinci kepada para ahli. Di bagian mendatang, kami akan mengikat arah pemikiran kami menuju perincian topik-topik ini jika memang hal itu perlu dilakukan, karena sebenarnya kami cukup menggunakan beberapa tetes air untuk menunjukkan lautan.

[1] Istilah unconsciousness (ketidaksadaran) sebagai konsep dalam psikologi pertama kali diperkenalkan oleh Goethe yang akhirnya mengilhami Freud, penerj
[2] Yang dimaksud di sini adalah konsep yang memadukan antara humanisme – unversalisme tanpa adanya pemisah, yang tentu saja mengarah kepada materialisme.
[3] HR. Ibnu Majah, al-Fitan, 8; at-Tirmidzi, al-Fitan, 7; al-Musnad karya Abd bin Hamid, hlm. 367; ash-Shahîh karya Ibnu Hibban, 10/438.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.