Kontinuitas Kesucian Hati dan Ketulusan

Kontinuitas Kesucian Hati dan Ketulusan

Pertanyaan: Karena para relawan hizmet berangkat ke luar negeri pada usia muda bergerak dilandasi oleh semangat rela berkorban dan tanpa pamrih, mereka pun meraih kesuksesan di setiap tempat yang mereka tuju. Lalu, apa saja prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan supaya semangat ini tetap terjaga?[1]

Jawaban: Dalam pembukaan dan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan serta keberlangsungan kegiatan-kegiatan hizmet di seluruh penjuru dunia, terdapat daya dan upaya yang ditunjukkan oleh anak-anak muda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi dimana mereka telah banyak berkontribusi tanpa pamrih. Sosok-sosok penuh dedikasi ini membuka hizmet di luar negeri dengan penuh semangat dan jauh dari pamrih. Mereka fokus dengan tugas dan kewajibannya tanpa pernah memperhitungkan keuntungan untuk diri mereka pribadi di masa mendatang. Mereka berseru: “Mari kita berhizmet, untuk hasilnya biarlah Allah yang menentukan.”  Allah subhanahu wa ta’ala pun tidak menyia-nyiakan usaha tersebut. Dia membalas ketulusan dan keikhlasan mereka, satu usaha diganjar dengan ribuan hasil.

Di sisi lain, apabila kita memandangnya dari segi psiko-sosiologis, para relawan hizmet yang pergi ke beragam tempat di seluruh dunia ini harus berhadapan dengan berbagai kultur dan beragam pandangan sehingga barangkali mereka menghadapi kesulitan dalam menjaga jati diri dan nilai-nilai agungnya. Kemungkinan lainnya, adat, praktik keseharian, dan kultur masyarakat lokal tersebut justru membuat para relawan hizmet semakin mantap dan semangat dari segi perasaan, pemikiran, dan akidah. Keterpaksaan menghadapi beragam hal yang berseberangan dengan nilai-nilai yang mereka anut membuat mereka berseru: ”Hanya dengan menjadi diri sendirilah kita dapat tetap berdiri dengan kepala tegak.” Demi bisa memberi manfaat kepada masyarakat lokal, mereka merasa memiliki keharusan untuk menjaga nilai-nilai aslinya. 

Akan tetapi, seiring menuanya usia serta semakin terbukanya sebagian kesempatan duniawi, apakah kesucian hati yang demikian masih tetap dapat terjaga? Ataukah sedikit perhitungan pribadi mulai mendominasi dan kekhawatiran pada nasib di masa mendatang mulai menghampiri? Apakah pemikiran dan perasaan untuk hidup lebih nyaman, lebih bahagia; lalu pikiran duniawi supaya pondasi hidupnya lebih kokoh lagi dan bagaimana jalan untuk memiliki keluarga yang lebih bahagia mulai muncul?

Yang lebih penting lagi, apakah orang-orang terpengaruh dengan pikiran seperti ini atau bahkan ia telah menghalangi mereka dari perasaan dan pemikiran untuk berhizmet? Demi mempertahankan mereka pada posisinya, apakah mereka terperangkap dalam sikap dan perilaku ria supaya apresiasi dan pujian terus mengalir tertuju kepada diri pribadinya? Apakah mereka berbohong melalui sikap dan perilakunya demi terlihat seakan dirinya merupakan pusat hizmet dan untuk menunjukkan secara implisit bahwa dia telah menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan penting?  

Apabila kondisinya demikian, ketika perhitungan ilahi telah bercampur dengan perhitungan insani dan syahwat, maka ia dapat menghambat kegiatan-kegiatan hizmet yang sedang berlangsung dan bisa menyebabkan turunnya sebagian tamparan kasih sayang. Disebabkan beberapa kesalahan dan dosa, akibat dan musibahnya tidak hanya akan menimpa pelakunya. Sebagaimana disampaikan dalam QS Al Anfal 25, masyarakat umum pun akan terdampak olehnya: وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” Apabila kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang dampaknya harus dirasakan masyarakat umum, maka untuk mencegah musibah tersebut terjadi diperlukan kehati-hatian yang lebih serius. Pintu-pintu itu harus digerendel dari belakang.

Lebih dari itu, profil masyarakat yang selalu menerima azab dari Allah harus senantiasa dipelajari. Melalui proses pembelajaran tersebut apa saja manfaat yang bisa diambil serta kelalaian, pengabaian, dan kesalahan apa saja yang bisa mendatangkan azab tersebut segera dikenali untuk kemudian dihindari.

Kontinuitas dalam Representasi

Sayangnya performa tinggi yang diharapkan dapat hadir dari sebagian orang yang memiliki pangkat dan jabatan tertentu tidak dapat terwujud di setiap waktu. Karenanya, terkadang kita mengalami kekecewaan. Dalam keadaan demikian, ketika ada kesempatan yang baik hendaknya kita sedikit mengambil sikap dan berkata: ”Sesungguhnya Anda telah menerima beragam karunia ilahi. Untuk itu, selayaknya pencapaian Anda bukan di titik ini saja, melainkan lebih tinggi lagi. Anda juga tak boleh melupakan kedalaman penghambaan di hadapan Allah serta tidak memisahkan diri dari keikhlasan dan ketulusan beramal.”

Apabila semangat dan antusiasme orang-orang yang berada di jabatan tertentu mulai meredup, layu, dan lesu, seiring berjalannya waktu ia juga dapat mempengaruhi orang-orang yang berada di sekitarnya. Orang-orang yang menyaksikan sosok-sosok pemimpin mulai kehilangan konsistensi serta melambat dalam setiap aksi hizmet yang dikerjakannya, selang beberapa waktu kemudian orang-orang tersebut juga akan tenggelam dalam kelalaian. Bahkan tak perlu jauh-jauh ke sikap dan perilaku, niat dan tujuan para pemimpin pun dapat menjalar kepada orang-orang yang berada di bawah koordinasinya. Meskipun secara lahiriah mereka tampak senantiasa berlari atas nama hizmet, hati nurani tetap akan dapat merasakan perbedaannya dan mengambil sikap yang paling sesuai apabila sikap palsu mereka mengikuti di belakangnya.

Maka daripada itu, para pemimpin yang menyaksikan sikap dan perilaku tak layak ditampilkan oleh orang-orang yang berada di bawah koordinasinya hendaknya mengevaluasi diri mereka sendiri terlebih dahulu sebelum menyampaikan kritiknya.  Mereka tak boleh lupa bahwasanya bisa jadi sebagian kekurangan dan kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di bawah koordinasinya merupakan pantulan dari sikapnya sendiri. Setidaknya, mereka harus berpikir bahwasanya mereka tidak mampu memberikan hak dari posisi mereka yang berada di barisan depan serta tidak mampu menampilkan teladan yang baik.

Karena keteladanan yang baik - apalagi jika ia dilakukan secara konsisten - saya tidak berpikir kalau hal tersebut tidak memberikan dampak. Keteladanan yang baik dan konsisten pasti akan tercermin kepada lingkungan sekitarnya serta diterima sebagai kebaikan. Misalnya, saya memiliki kesempatan untuk mengenal, menyaksikan, dan tinggal bersama beberapa murid-murid yang pernah mengabdi kepada Badiuzzaman Said Nursi. Saya menyaksikan bagaimana mereka memberikan perhatian besar terhadap penunaian salat; pengamalan wirid dan zikirnya tak bercela; salat malam tak pernah terlewatkan; sangat sensitif ketika mengambil wudu. Setiap diri mereka merupakan sosok pribadi yang sangat menjaga kebersihan dan kesucian. Itu semua karena sosok yang mereka teladani (yaitu Badiuzzaman Said Nursi) merupakan sosok yang luar biasa sensitif pada hal-hal tersebut. Oleh karena beliau menjalani seluruh umur kehidupannya dengan kesadaran penghambaan yang amat serius, hal tersebut kemudian tercermin kepada lingkungan sekitarnya. Konsistensi dalam keteladanan tidak akan sia-sia. Jika mau, Anda dapat mengambil ini sebagai prinsip hidup.

Dari sisi ini, sebagian masyarakat dunia yang tidak mampu menyaksikan kehidupan batin orang-orang yang melakukan penghambaan dan beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas serta menjalankan pengabdian kepada kemanusiaan dengan dedikasi yang tinggi seiring berjalannya waktu akan terkejut. Padahal level keteladanan semakin ke bawah semakin turun kualitasnya. Dalam keadaan demikian, ketika kita melihat kekurangan dan kesalahan orang-orang tersebut, daripada mengeluhkan kondisi itu kepada Allah, akan lebih baik apabila mengadukan kondisi kita sendiri kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dicontohkan Nabi kita Yakub alaihis salam: إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (QS Yusuf 12:86). Bahkan kita bisa tambahkan kelalaian, kesesatan, inkonsistensi, kekurangan, dan kelemahan kita yang lain di dalamnya.

Sementara itu, patut juga untuk diingat bahwasanya setiap orang memiliki tugas, derajat, dan posisi yang berbeda-beda. Semua orang harus memandang orang lain dengan pandangan ini serta alih-alih menyelidiki orang lain, menyelidiki kondisi diri sendiri merupakan sikap yang lebih layak dipraktikkan oleh seorang mukmin.

Thulul Amal (Panjang Angan-Angan)

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam dalam hadis sahihnya bersabda لاَ يَزَالُ قَلْبُ الكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الأَمَلِ “Hati orang yang sudah tua akan selalu berjiwa muda dalam dua hal: yaitu cinta dunia dan panjang angan-angan (HR Bukhari, Bab Riqaq 5). Dalam hadisnya tersebut, beliau memperingatkan umatnya akan bahaya cinta dunia dan panjang angan-angan. Karena dibalik semua sikap dan perilaku yang menjadi oposisi dari pemikiran dan semangat beragama pasti terdapat dua hal tersebut di dalamnya. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwasanya dua hal itu tidak akan melepaskan cengkeramannya dari leher manusia hingga datangnya maut. Bahkan seiring berjalannya waktu, khususnya sikap panjang angan-angan, ia akan terus berkembang dan dapat dikatakan bisa mendorong seseorang kepada harapan-harapan duniawi yang tak pernah putus. Demikianlah, seiring berjalannya waktu ia dapat mendorong seseorang menjadi insan pamrih. Sebagian pengabdian-pengabdian yang nampaknya dikerjakan atas nama Allah sekalipun dapat menjadi sarana untuk berpamrih. Orang yang demikian tidak akan mampu menjaga ruh dari amal yaitu ikhlas dalam setiap perbuatannya. Dengan demikian, ia pun akan kehilangan jiwa istigna-nya[2].

Disampaikan oleh Badiuzzaman bahwasanya dibalik panjang angan-angan terdapat tawahum abadiyah.[3] Sebenarnya hal tersebut bersumber dari keinginan dalam diri manusia untuk hidup abadi. Manusia tercipta untuk hidup abadi. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang dapat memuaskan manusia selain Zat Yang Mahaabadi. Kecenderungan pada keabadian diberi oleh Allah supaya manusia mengejar rida ilahi, layak menjadi kandidat penghuni surga, dan jauh dari neraka. Apabila digunakan di jalan yang salah, maka ia akan mengantarkan manusia terjebak pada thulul amal.  Kemudian mulailah ia berusaha memuaskan dirinya dengan pangkat jabatan, harta benda, serta kepuasan dan kelezatan jasmani lainnya.

Seorang manusia yang tidak mampu mengarahkan kecenderungan untuk hidup abadi yang ada di dalam dirinya agar mampu meraih nikmat-nikmat ukhrawi di sisi Allah akan membuat pandangannya buram dan terbuai oleh keindahan dunia yang sifatnya sementara. Pada ayat : زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS Al Imran 3:14) digambarkan bahwasanya nikmat-nikmat duniawi sangatlah menggoda dan mampu menyihir nafsu.

Nikmat-nikmat yang disebut dalam ayat itu sebenarnya tidak baik. Hal tersebut hanyalah materi duniawi yang membangun hawa nafsu. Ia merupakan sesuatu yang menipu. Ia merupakan sarana ujian bagi manusia. Kebaikan yang berada di dalamnya hanya akan muncul apabila ia digunakan di tempat yang benar. Meskipun perintah Allah yang mereka kerjakan di jalan yang legal bisa memiliki nilai tertentu, tetapi apabila mereka mengerjakannya untuk kepuasan dirinya sendiri maka ia tidak akan memiliki nilai sedikit pun. Dalam ayat karimah tersebut disebutkan sebuah prinsip yaitu زُيِّنَ ”penuh hiasan, nampak elok, terlihat indah”; penggunaan lafal tersebut dan ungkapan pada akhir ayat mengingatkan kita bahwasanya sebaik-baik tempat kembali adalah sisi Allah. 

Dari sana, seorang manusia harus mawas diri pada hal-hal yang dapat mencondongkannya kepada dunia dan menjauhkan dirinya dari Allah; semua karunia yang berada dalam genggaman tangannya harus digunakan untuk meraih hidangan akhirat. Ia harus memaksimalkan potensi iradatnya; ia harus menunjukkan tekad yang tinggi supaya tidak tergelincir menjadi pencinta dunia, pencinta nafsu, pencinta jasmani, pencinta kelalaian, dan pencinta kehidupan keluarga secara sempit.   Kecintaan pada hal-hal duniawi seperti ini karena dapat menjerumuskan manusia serta menyebabkan seseorang nanti menerima kesedihan abadi, sehingga ia pun sama bahayanya dengan paganisme.

Di sisi lain, memandang nikmat-nikmat duniawi yang diinginkan oleh nafsu manusiawi dengan pendekatan mengekang seperti rantai yang memasung manusia juga tidaklah benar. Karena Allah azza wa jalla tidak pernah mengekang manusia dengan rantai seperti itu untuk kemudian berfirman: “Ayo keluar dari sini!” Hal itu karena yang demikian merupakan taklif ma la yutaq[4]. Dari sisi ini, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mengarahkan kita menuju akhirat dan menginginkan kita untuk berinteraksi dengan tanah air yang abadi melalui nikmat-nikmat ini, berarti itu merupakan sebuah target yang mampu dicapai oleh manusia. Cukuplah umat manusia tidak sampai larut dalam kelalaian dan meninggalkan standar dalam penghambaan.  Berpeganglah pada tali Allah dan jangan berpisah dari jalan Al-Qur’an. Dengan demikian, ia pun akan mampu merekonstruksi dunia dan akhirat dalam derajat yang sangat agung.

Kebutuhan akan Pembaharuan

Apabila kita kembali kepada pembahasan awal, saat tawahum abadiyah[5] dan thulul amal (panjangnya angan-angan) dominan, baik disebabkan oleh sudah terasa biasa (hingga merasa jenuh dalam beramal dan beribadah) maupun oleh rasa terbiasa (hingga meremehkan perbuatan dosa dan kelalaian); baik karena pesona keindahan duniawi maupun dari sumber-sumber lainnya; jika sejak awal kita tidak mampu menjaga kesucian hati dan ketulusan serta di dalam jiwa kita sedang terjadi dekomposisi, pada saat itulah penting bagi kita untuk kembali mengevaluasi dan memperbaharui diri sekali lagi.

Dari sana, kita bisa bertanya kepada diri sendiri: ”Kira-kira apa yang bisa dilakukan sehingga saya bisa kembali menghidupkan perasaan respek di dalam jiwa ini kepada nilai-nilai suci dan transedental? Apa yang harus kami lakukan sehingga kebangkitan pada dunia pemikiran, perasaan, dan jiwa dapat diwujudkan?” Dengan hal tersebut, kita harus memulai periode rehabilitasi untuk memicu gairah kehidupan beragama dan semangat berhizmet kembali energik. Kita perlu sekali lagi mengevaluasi diri dan berkumpul di lingkungan yang menumbuhkan semangat pembaharuan.

Apabila kita tidak mulai merancang beberapa program positif untuk mewujudkannya, kita tidak akan mampu mengumpulkan orang-orang di sekitar semangat tersebut; orang-orang pun akan tetap bergeming dengan beragam kekurangannya; cacat-cacat yang ada tidak diperbaiki; bagian yang rusak dan retak tak bisa kita perban. Selama kita tidak mampu melakukannya, islah dan pembaharuan tidak akan mampu kita wujudkan. Bahkan alih-alih memberi gagasan untuk selalu membuat kegiatan-kegiatan positif, selalu membahas kekurangan orang lain justru akan menyebabkan keretakan pada kekuatan maknawi antar manusia. Pada akhirnya, tidak ada manfaat yang bisa diraih.

Oleh sebab itu, daripada sibuk dengan kritik yang tidak bermanfaat dan tak ada ujung pangkalnya, seharusnya kita mendekatkan diri satu sama lain, meningkatkan usaha untuk menyempurnakan kekurangan masing-masing, dan sekali lagi mengarahkan diri untuk menjadi mukmin sejati. Al-Qur’an berseru kepada kaum mukminin: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ “Wahai orang-orang yang beriman! Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya!” (QS An Nisa 4:136)  Oleh karena seruan ini ditujukan kepada kaum mukminin, maka akan lebih tepat memahami ayat tersebut sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman! Perbaharuilah imanmu kepada Allah dan Rasul-Nya! Bertawajuhlah sekali lagi kepada Allah dan perdalamlah iman di dalam jiwa kalian yang masih berada di level taklit.” 

Tidak mungkin semua orang di dalam sebuah komunitas akan layu dan runtuh dalam waktu bersamaan. Pastilah di antara mereka terdapat orang-orang yang melanjutkan beberapa bagian darinya untuk tetap hidup meski mungkin tidak terjadi di setiap saat.  Oleh karena itu, apabila individu-individu dalam komunitas itu hadir bersama-sama dan bahu-membahu dalam kebaikan, maka mereka akan dapat saling memberi napas kehidupan satu sama lain. Seperti halnya dalam saf salat di mana sikap satu sama lain dapat saling mempengaruhi, tak diragukan lagi, kebersamaan seperti itu juga dapat memberi pengaruh penting dalam sebuah komunitas.

Akan tetapi, tidak tepat pula jika membebankan kebangkitan tersebut kepada satu-dua orang saja. Setiap orang perlu mengerjakan porsinya masing-masing dan dengannya mereka pun harus hadir dalam komunitas dengan membawa keindahan yang terdapat dalam jiwa sanubari mereka. Sebagaimana dalam acara makan potluck[6] setiap orang membawa makanan masing-masing dari rumahnya sehingga setiap orang yang datang ke acara tersebut pun bisa mencicipi beraneka ragam hidangan, demikian juga dalam pekerjaan maknawi dan ukhrawi, ketika mereka membawa keuntungan rohani dan isi di dalam hati masing-masing, maka keuntungan maknawi tersebut akan dapat dimanfaatkan lebih luas lagi. Pemulihan orang-orang yang kehilangan keberkahan dan tenggelam dalam hal-hal yang biasa tanpa rasa ataupun biasa hingga terasa bukan dosa bergantung pada hidangan maknawi yang disajikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang hanya akan hadir melalui berkumpulnya orang-orang tersebut untuk memperbaiki diri.


[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/safvet-ve-samimiyette-devamlilik/

[2] istigna adalah perasaan kaya, merasa cukup, tidak mengharapkan sesuatu pun dari makhluk

[3] tawahum abadiyah adalah imajinasi bahwa manusia akan tinggal selamanya di dunia

[4]  beban yang berada di luar batas kemampuan manusia

[5] imajinasi bahwa manusia akan tinggal selamanya di dunia

[6] Potluck adalah sebuah kegiatan atau acara di mana setiap orang atau kelompok orang saling berkontribusi untuk memberikan atau membawa makanan serta minuman kemudian dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dimakan bersama-sama. 

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.