Hal-Hal Yang Peka Dalam Tarbiyah

Dosa, Bertaubat, dan Kembali Ke Fitrah

Pertanyaan: Dalam sebuah hadist, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang berbuat dosa kemudian bertaubat, ia seperti orang yang belum pernah melakukan dosa tersebut. Ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyukai hambaNya, maka dosa seorang hamba itu kepada Allah pun tidak berbahaya.” Bagaimanakah kita harus memahami hadist ini?

Jawaban:

التَّائبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ…

 “Barangsiapa yang berbuat dosa kemudian bertaubat, ia seperti orang yang belum pernah melakukan dosa tersebut.” (HR Ibnu Majah, Bab Zuhud; At-Tabarani, Al-Mu’jamul Kabir 10/150)

Lafadz   التَّائِبُ artinya begitu seseorang terpeleset, jatuh, dan tergelincir dalam lubang dosa, ia segera berdiri dan bertaubat, menyesali kelalaiannya, dan mengarahkan dirinya kembali ke jalan kebaikan; lafadz ini menjelaskan bahwa orang yang bertaubat memiliki karakteristik: menyadari kesalahannya dan memalingkan wajahnya untuk bertawajjuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian merintih mengemis taubat. Hadist tersebut tersusun dalam bentuk jumlah ismiyah (Kalimat berbahasa Arab yang dimulai dengan kata benda). Sementara jumlah ismiyah mengungkapkan tentang keberlanjutan dan kontinuitas suatu pekerjaan. Itu artinya kalimat bercahaya ini (hadits) dalam waktu yang sama menginginkan taubat dan istigfar dilakukan secara kontinu. Yaitu, insan setiap tergelincir jatuh ke lubang dosa tanpa menunda waktu ia harus segera berlari untuk taubah[1], inabah[2], dan awbah[3].

Dalam hadits ini, kata dosa digambarkan dengan kata “zanb” dalam kalimat: الذَّنْبِ مِنْ

berasal dari akar kata yang sama dengan zanab, yang artinya ekor. Dari kondisi ini dapat dikatakan bahwa dosa adalah hal yang berlawanan dengan fitrah manusia, bertentangan dengan tabiatnya, dan oleh karenanya manusia yang melakukan dosa bagaikan menempelkan ekor di badannya. Ya, dosa membuat manusia jadi memiliki ekor. Ekor, seperti yang kita ketahui hanya dimiliki dan memang cocok dimiliki hanya oleh binatang dan ekor tidak cocok menempel pada tubuh manusia. Oleh karenanya bani adam harus mengetahui bahwa perbuatan dosanya membuat ia bagaikan menempelkan ekor di badannya sedangkan dengan taubat yang dilakukannya ia bagaikan memotong ekor dari badannya. Kalau tidak maka ia bagaikan menempelkan ekor-demi ekor pada tubuhnya dan ia pun jatuh pada kondisi tidak mampu mengembalikan fitrah manusiawinya. Demikianlah kondisinya mengingatkan pada sebuah hadits lagi: “Ketika seorang hamba berbuat dosa, ia bagai menitikkan satu noda hitam di atas hatinya.Akan tetapi jika ia bertaubat, dan memohon ampun maka hatinya akan kembali bersinar, namun jika ia kembali berbuat dosa maka noda hitamnya akan membesar dan akhirnya semua hatinya akan hitam tertutupi.” (HR Tirmizi, Tafsir al Mutaffifin). Sementara di ayat yang lain dijelaskan:

 قُلُوبِهمْ   عَلَى   اللّهُ   خَتَمَ

“Allah telah mengunci hati mereka…” (QS. Al Baqarah; 7).

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di dalam setiap dosa ada jalan menuju kekufuran, dan sejak awal Rasulullah memulai hadistnya dengan kata “التَّائِبُ ” menginginkan agar kita sejak awal memperhatikan pentingnya taubat, dan agar kita menjaga diri dari dampak buruk dosa.

Taubat Nasuha

Dalam hadits tadi dikatakan bahwa orang-orang yang bertaubat seperti orang yang tidak melakukan dosa. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa hadistnya tidak mengatakan: “tidak berbuat dosa”, tetapi haditsnya mengatakan “seperti tidak berbuat dosa”. Maksudnya, orang yang berbuat dosa artinya telah keluar dari pintu kemuliaan dan keagungan fitrah manusia. Sehingga dari gaya penyampaian ini dapat dikatakan: “Ah, seandainya saja manusia tidak pernah melakukan dosa itu, seandainya saja noda hitam dan luka ini tidak pernah menyentuh hati manusia”. Ya, seberapa banyak pahlawan taubat ini bertaubat dan beristigfar, dan seberapa bagus istigfar dan taubatnya mengobati luka dan memar yang ditimbulkan oleh dosa, tidak ada jaminan lukanya tadi tidak akan meninggalkan bekas. Ya, setiap luka pasti akan meninggalkan bekasnya di kulit manusia, demikian juga dengan dosa. Tentu saja Allah bisa memperbaharui dengan regenerasi yang luar biasa maknawi, ruhiyah, dan kalbu yang rusak. Akan tetapi hal yang seperti ini tidak memberi jaminan untuk bisa terjadi setiap saat.

Penjagaan Dari Dosa dan Cintanya Allah

Lanjutan dari hadits tadi: “Seandainya Allah mencintai satu orang hambaNya, maka suatu dosa tidak akan membahayakannya.” Dari hadis ini kita memahami bahwa ketika Allah mencintai satu orang hambaNya, buat Allah menjaga kekasihNya tadi agar tidak jatuh  ke lubang dosa menjadi suatu hal yang sangat penting. Jika Allah mencintai seorang hambaNya, maka Dia akan memasukkan ke dalam kalbu hambaNya perasaan benci untuk melakukan perbuatan dosa.  Jika hambaNya tersebut jatuh ke lubang dosa, maka Dia akan memasukkan ke dalam kalbu hambaNya perasaan menyesal yang amat dalam, kemudian menunjukkan jalan taubat kepadanya. Ya, demikian cintanya Allah kepada hambaNya tersebut, ketika ada hamba yang dicintaiNya yang tinggal selangkah lagi jatuh ke lubang dosa, Allah dengan anugerah ilham, inayah, dan riayahNya kepada hambaNya tersebut menarik dan menyelamatkannya dari lubang dosa. Atau misalnya, jika Anda melakukan perbuatan dosa, maka walaupun peristiwa itu sudah berlalu 20 tahun yang lalu, tetapi Anda setiap hari selalu merasa menderita akibat penyesalan dosa tersebut. Demikian menderitanya, sampai-sampai semua susunan syaraf merasakan penyesalan dan setiap kali akal Anda mengingat peristiwa tersebut, Anda merasa bagaikan baru saja melakukan dosa itu. Selain itu, Anda pun akan tersungkur dalam sujud, memohon dan memelas kepadaNya: “Ya Allah! Aku memohon ampunanMu! Ya Allah, kini aku meninggalkan dosa-dosaku dan kembali kepadaMu!”  Rintihan keinginan kembali hambaNya ini kepadaNya membuat Allah menulisnya sebagai ganjaran pahala untuk hambaNya tersebut. Di sini saya ingin mengingatkan sesuatu, yaitu: Bahwa mungkin saja dengan sekali taubat dan istighfar kita, Allah telah mengampuni dosa kita. Akan tetapi, seorang hamba tidak boleh puas dengan hal ini malahan ia harus bersusah payah dengan ribuan penyesalan, taubat, dan istigfarnya demi mendapatkan cinta KekasihNya.

Untuk menjadi seorang hamba yang dicintai Allah, seorang wali besar seperti Imam Hasan Syadzili berdoa di dalam wiridnya: “Ya Allah, seandainya saya melakukan dosa, jadikanlah ia seperti dosanya hamba-hambaMu yang Engkau sukai; dan janganlah jadikan ia seperti dosanya orang-orang yang tidak Engkau sukai.”  Maksud dari doa ini adalah: Mungkin saja ada orang-orang yang Allah tidak sukai melakukan perbuatan baik. Yakni, orang-orang ini mungkin punya perilaku seperti orang mukmin, tetapi Allah tidak menyukainya oleh karena mereka tidak tulus melakukannya karena Allah. Jadi, hal yang terpenting adalah bagaimana menjadi hamba yang disukai Allah. Jika Allah mencintai seorang hambanya, Allah tidak akan meninggalkan hamba itu dengan dosa-dosanya sendirian, akan tetapi Dia akan mengarahkannya ke jalan yang lurus, membersihkan kalbunya, dan mengilhamkan hambaNya agar bisa melepaskan diri dari dosa-dosanya.

Demikianlah, seperti halnya seorang ibu yang sangat perhatian kepada anaknya, ia tidak akan membiarkan baju, seragam, dan celana anaknya itu kotor, agar anaknya tidak diejek oleh orang lain. Walaupun anaknya lima puluh kali mengotori bajunya, maka sebanyak itu pula sang ibu akan mencucinya; membasuh wajah, tangan, dan rambut anaknya; menyiapkan anaknya tersebut dalam keadaan terbaik ketika bermain bersama kawan-kawannya. Padahal cinta dan kasih sayangnya Allah jauh lebih baik, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang diberikan ayah dan ibu kepada anaknya. Allah menutup jalan menuju dosa bagi hamba-hamba yang dicintaiNya. Allah tidak akan membiarkan hamba yang dikasihiNya itu terjatuh. Dalam setiap taubat hambaNya, Allah sekali lagi menghidupkan hambanya, “ba’su ba’dal maut.”

Di akhir haditsnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

 الْمُتَطَهِّرِينَ وَيُحِبُّ التَّوَّابِينَ حِبُّ اللهَ إِنَّ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” (QS Al Baqarah 222).”

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa membersihkan diri dari kotoran materi dan maknawi adalah wasilah bagi dicapainya cinta Allah. Lafadz لتَّوَّابِينَ” memiliki makna “orang-orang yang sungguh-sungguh dan banyak bertaubat.” Makna ini menggambarkan bahwa pekerjaan ini dilakukan dengan berlebih-lebihan. Dengan kata lain, mereka bersemangat sekali dan serius untuk bertaubat, hingga membuat semua anggota tubuhnya merasakan penyesalannya, dan dengan cucuran air matanya membersihkan dosa-dosanya. Bahkan mereka bertaubat tidak hanya sekali, setiap dosa yang dilakukan senantiasa diikuti dengan taubat, dan dengan taubatnya itu seorang hamba bagaikan berlari ke kolam taubat dan membersihkan noda-noda dosa dalam tubuhnya.

Pertanyaan: Apakah yang harus diperhatikan agar tidak membuat orang putus asa dalam bertaubat?

Jawab: Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus membedakan jawaban untuk anak-anak dan untuk mukallaf. Untuk anak-anak, kita harus senantiasa memotivasi dan menumbuhkan harapannya dengan memberikan kabar gembira. Daripada menakuti mereka dengan hukuman dan siksa Allah, lebih baik menggambarkan di pikiran mereka tentang balasan yang akan didapat di akhirat jika mereka melakukan suatu kebajikan. Untuk meraih tujuan ini, sebelumnya kita harus mengajarkan kepada mereka cinta kepada Allah dan RasulNya. Dengan cinta tersebut maka akan diraihlah kebahagiaan di akhirat. Pendeknya, bagaimana anak menerima kabar gembira, motivasi, dan cintanya kepada Allah dan Rasulullah dengan cara yang termudah, seperti itulah kita menangani anak.

Sedangkan untuk para mukallaf tentu saja diberikan perlakuan yang berbeda, yakni menempatkannya secara berimbang. Inzar (menunggu) dan tabsyir (memberi kabar gembira); tarhib (menakuti) dan targhib (memotivasi); khauf (takut kepada Allah) dan raja (berharap kepada Allah); harus diletakkan pada posisi yang seimbang. Di satu sisi kita tidak menghilangkan harapan manusia terhadap adanya pintu taubat dan di sisi lain tidak membiarkan manusia meremehkan perbuatan dosa. Kita harus menunjukkan keburukan dan kejinya perbuatan dosa, khususnya kesembronoan dalam topik halal dan haram, tidak serius dalam menghindari perbuatan maksiat, dan sulitnya hidup sebagai orang salih di zaman seperti ini. Kita harus sensitif menghindarinya karena dosa-dosa tersebut dapat mematikan latifah yang kita miliki. Padahal latifah ini menjadi sebab bagi dapat disaksikannya Keesaan dan Kebesaran Allah di akhirat nanti. Oleh karena itu, di umur yang pendek dan fana ini, untuk kelezatan dan kenikmatan sederhana serta sementara ini, apakah logis jika kita memadamkan latifah yang sangat berharga bagi diciptakannya kehidupan abadi nanti? Walaupun menghidupkan latifah-latifah ini dengan jalan taubat[4], inabah, dan aubah masih dapat dilakukan, akan tetapi beberapa latifah khusus ketika mati ia tidak dapat diraih kembali.

Di samping itu, hal yang lebih berbahaya khususnya terjadi pada orang-orang yang memiliki derajat maknawi tinggi. Jika ia sengaja melakukan dosa, maka apa yang dilakukannya itu akan mendatangkan kecemasan besar untuknya.

Oleh sebab itu, kita tidak boleh memandang ampunan Allah berharga murah. Sebaliknya, kita harus memahami bahwa ampunan Allah bisa didapatkan dengan amal salih dan ketaatan ibadah yang tulus. Kalau tidak-dan ini tidak mungkin-kedermawanan yang dilakukan manusia akan dianggap lebih unggul dari sifat Kemaha Pemurahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala; serta kasih sayang dan cinta yang ditunjukkan manusia akan dikira lebih utama dibandingkan dengan sifat Maha Pemurah dan Maha Pengasihnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika dianggap demikian maka sungguh sikap tersebut adalah sikap yang tidak beradab.

Sampai disini, adalah sangat penting membentuk kepekaan manusia terhadap apa yang halal dan apa yang haram. Demikian pekanya, sampai-sampai seseorang akan berpikir bahwa Allah akan menghisab langkah kaki yang diinjakkannya ke sebuah karpet wakaf. Oleh karena itu, topik pembentukan kepekaan ini harus dijelaskan dengan serius. Jika topik ini tidak dijelaskan dengan kepekaan yang diperlukan, artinya kita memutuskan jalan datangnya karunia dan ikram dari Allah.

Akhirnya, untuk mendapatkan hasil yang berimbang dalam topik ini, di satu sisi kita harus memperkuat harapan bahwa rahmat Allah tidak memiliki batas sebagai asas, di sisi lainnya kita harus menunjukkan wajah dosa yang buruk. Hendaklah diingat bahwa melakukan perbuatan maksiat dapat membuat latifah meredup.  Setelah perbuatan dosa dilakukan, taubat kita tidak dapat menjamin latifah tersebut dapat diraih kembali. Demikian pentingnya asas ini, maka kebutuhan akan bimbingan, pendampingan, dan tablig selalu menjadi kebutuhan.



[1] Level taubatnya kaum awam.

[2] Level taubat para anbiya’.

[3] Hakka yonelis, menuju yang Sang Haq; level taubatnya para auliya’.

[4] Taubat: meninggalkan dosa dan mengarahkan dirinya menuju jalan Allah

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.