Tetap Pada Keaslian dan Menghindari Kekacauan

Pertanyaan: Peristiwa-peristiwa memprihatinkan yang terjadi di luar sana serta beberapa musibah yang terjadi betul-betul telah membuat kita sibuk di mana kesibukan ini berpotensi menjauhkan diri dari nilai-nilai yang kita yakini. Dalam hal ini apa saja yang perlu diperhatikan dalam rangka menjaga keistikamahan kalbu?[1]

 

Jawaban: Pertama-tama yang perlu disampaikan adalah apapun kejadian yang terjadi di luar maka terjadilah. Bagi seorang mukmin yang terpenting adalah hubungannya dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Pertama-tama, ia harus kembali melihat pada dirinya sendiri: memperhatikan supaya hubungan antara kalbunya dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak terputus dan ia harus selalu berusaha terhubung dengan sumber cahaya. Al-Qur’an berkata, يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak akan membahayakanmu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu semua akan kembali, kemudian Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS al Maidah, 5:105). Ayat ini mengajak kaum mukminin untuk fokus kepada diri mereka sendiri, khususnya fokus dalam usaha untuk memperbaikinya. Oleh karena itu, beberapa kali dalam sehari manusia harus memeriksa diri dan mengontrol nafsunya, apakah telah berada di jalan yang benar atau tidak.

 

Tidak diragukan lagi, manusia akan membutuhkan beberapa kriteria untuk memeriksa apakah seseorang berada di jalur yang benar. Kriteria pertama yaitu perintah Al-Qur'an dan Sunah. Kedua, ijtihad yang dikemukakan oleh Salafus Salihin di mana ia bersandar dari dua sumber  suci ini. Ketiga, ijma yang telah disepakati. Berikutnya, ketentuan lain yang mereka kemukakan dengan dalil-dalil seperti istihsan dan maslahat. Demi memahami dan menafsirkan agama, mereka telah mengerahkan upaya luar biasa sehingga hampir tidak meninggalkan titik gelap dalam permasalahan ini.

 

Menjaga Keistikamahan

Jika seorang manusia masih tidak bisa istikamah meskipun sumber-sumber tadi telah menyinarinya dengan terang benderang dan ia tetap memilih untuk berada dalam kegelapan yang muncul di beberapa tempat, itu berarti dia sendiri yang memilih kegelapan itu. Pada dasarnya inilah makna yang hendak disampaikan oleh ayat, ‘Jagalah dirimu!’. Maksudnya, penyebab sebenarnya dari berbagai macam masalah yang kita hadapi adalah kekurangan kita sendiri. Jika kita bisa melakukan muhasabah dengan baik maka akan terlihat betapa banyak kesalahan yang dilakukan.

 

Misalnya, salah satu kekurangan tersebut adalah ketika manusia mengutamakan keinginan dan kemauannya daripada perintah-perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah berfirman, كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ * وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ “Tidak! Bahkan kamu sangat mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat” (QS al Qiyamah 75: 20-21). Ayat suci ini menekankan pada adanya celah dalam tabiat manusia. Pada ayat lainnya diungkap betapa besar kecintaan manusia pada dunia: وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ “dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan” (QS al Aadiyat 100:8). Karena secara fitrah manusia terlahir untuk menyukai dunia dan kelezatan yang tersedia sehingga terkadang semua itu lebih diutamakan daripada perintah agama padahal ia adalah seorang mukmin. Bahkan adakala yang menjadi motivasinya saat melayani agama adalah karena ia mendapat rasa hormat yang ditujukan kepadanya, bukan karena rida ilahi atau barangkali keuntungan ukhrawi. Orang yang demikian tidak akan melindungi pengabdian agama ketika alih-alih menerima pujian, melainkan justru penolakan dan bahkan penganiayaan yang didapatinya. Dalam kondisi demikian, orang ini malah akan mengambil sikap yang negatif terhadap agama.

 

Tidak diragukan lagi, hal-hal yang merugikan bagi seorang mukmin di antaranya adalah: 1)  menganggap dirinya sedang mengabdi pada agamanya padahal ia sedang mengabdi pada dirinya sendiri, 2) memanjakan diri dan membuatnya angkuh dengan pengaruh tepuk tangan orang-orang yang lalai dan bodoh di sekelilingnya, 3) menuntut pujian dan penghargaan yang ditujukan kepadanya, seolah-olah pencapaian itu adalah milik dan haknya sendiri. Cara supaya tetap selamat dari hal ini adalah dengan mencoba konsisten menjadi manusia yang Allah ciptakan berpotensi menjadi ahsanu taqwim (sebaik-baik manusia), yaitu mengikuti jalan manusia sejati dan selalu melawan hawa nafsunya di garis yang tidak keluar dari keistikamahan. Jika seseorang dapat mencapai hal ini, maka seperti yang dinyatakan oleh ayat tersebut  (QS al Maidah, 5:105), orang yang sesat tidak akan pernah dapat mencelakakannya.

 

Pusatkan Perhatian Untuk Memperbaiki Dirimu!

Jika kita menginginkan ketentraman di dalam masyarakat, pertama-tama kita harus berusaha memperbaiki diri dan mencapai tingkatan manusia yang hakiki. Karena kita tidak bisa menunggu orang lain menjadi baik sampai kita benar-benar baik. Perintah pertama yang datang kepada Baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam adalah ayat, اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” (QS. Al ‘Alaq, 96/1). Demikian juga, berikut ini dinyatakan dalam ayat-ayat yang diturunkan kemudian:يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ * وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ *  وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ * وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ “Wahai orang yang berkemul (berselimut)! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Al Muddassir, 74:1-7) Dengan kata lain, Allah Yang Mahakuasa pertama-tama menyapa Nabi al-Akram Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata kepadanya, "Pertama-tama, lihatlah dirimu sendiri dan mulailah dengan dirimu sendiri!"

 

Pada hakikatnya, selain posisinya sebagai seorang nabi, beliau adalah seorang hamba yang terpercaya. Beliau dengan sempurna mewakili sifat-sifat Anbiya’ul A’dham seperti ismah, iffah, fathanah, dan tabligh. Faktanya, beliau shallallahu alaihi wasallam naik ke atas Bukit Abu Qubays untuk mengajak umatnya masuk Islam dan berkata, “Jika saya mengatakan bahwa ada musuh yang datang dari balik bukit itu, apakah Anda percaya padaku?" Semua orang yang hadir memberikan jawaban positif.

 

Oleh karena itu, di satu sisi, kita dapat mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran kepada umatnya tentang sosok dalam diri beliau. Yaitu, jika kita ingin dapat dipercaya di mata orang lain, kita harus setia dan dapat dipercaya, menanamkan rasa aman dan dapat percaya pada setiap orang, dan rendah hati dengan sepenuh jiwa. Karena orang yang tidak dalam posisi ini tidak mungkin bisa dipercaya. Orang-orang yang berlawanan dengan iffah (kesucian) dan ismah (kemaksuman) maka mereka akan kehilangan kredibilitas dan integritasnya di mata orang lain.

 

Dalam hal ini, mungkin ada ledakan yang berbeda di masyarakat. Beberapa tiran dan orang zalim, ketika mereka mempunyai kekuatan untuk menguasai, mereka dapat menyerang orang-orang yang dilihat sebagai lawan dan menghancurkannya. Terkadang, mereka juga dapat menyebabkan peristiwa lain yang akan mengarahkan masyarakat mereka pada huru-hara. Namun, yang menjadi tanggung jawab bagi seluruh kaum Muslim dalam menghadapi semua ini adalah fokus dengan diri mereka sendiri dan senantiasa sibuk mengoreksi diri daripada menyalahkan si fulan atau fulanah. Daripada mengeluhkan orang-orang zalim yang memimpin mereka, pertama-tama mereka harus berpikir, "Mengapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengirimkan orang-orang zalim ini kepada kita?" Karena tidak ada gunanya mereka ikut campur urusan orang lain sampai akhirnya mereka betul-betul berada pada jalan yang benar. Karena sebagaimana dalam sebuah hadis, كَمَا تَكُونُوا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ "Sebagaimana keadaan diri kalian, maka seperti itulah kalian akan dipimpin.” (HR. Baihaqi, uabü'l-îmân 6/22) menyatakan, bahwa kualitas para pemimpin akan berbanding lurus dengan kualitas orang-orang yang dipimpinnya.

 

Kualitas krim susu akan sesuai dengan kualitas dari susu itu sendiri. Menurut sebuah kisah, ketika Hajjaj diingatkan akan keadilan Sayyidina Umar bin Khaththab, dia berkata kepada orang-orang di sekitarnya, "Apabila kalian menjadi seperti orang-orang yang di sekitar Umar, maka aku pun akan bertindak seperti Umar."  Dengan kata lain, Hajjaj ingin mengingatkan bahwasanya kualitas dirinya sesuai dengan kualitas mereka yaitu masyarakat yang dipimpinnya.

 

Jalan Menuju Kemanusiaan yang Hakiki

Di sisi lain, tidak ada keraguan bahwa seseorang yang awalnya tidak sibuk dengan dirinya dan tidak berusaha untuk memperbaiki dirinya sendiri seiring berjalannya waktu hubungannya dengan Allah pun akan terputus. Selang tak berapa lama kemudian gerhana akan terjadi di antara hatinya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena orang seperti itu terkadang terbawa oleh egonya, terkadang tenggelam dalam pikiran ‘aku bisa’, dan terkadang ia pun akan bertindak dengan rasa kepemilikan pribadinya. Oleh karena itu, bahkan di tempat-tempat di mana dia berpikir bahwa dia melakukan sesuatu atas nama agama pun, dia akan mengambilnya untuk kepentingan pribadi. Jika orang seperti itu mendapatkan kekuasaan dan kekuatan, maka dia akan bertindak seperti tiran. Sebab, sebagaimana ego, pengetahuan, dan kekayaan bisa membutakan manusia, begitu pula kekuasaan dan kekuatan. Apalagi jika ada faktor-faktor seperti masyarakat yang mengikutinya dengan taklid buta, bertepuk tangan, dan menyanjung-nyanjungnya, maka dapat dipastikan orang tersebut akan teracuni dan buta. Orang seperti itu, yang telah terkena kebutaan maknawi, tidak akan dapat melihat hakikat yang bahkan sangat jelas dapat dilihat. Dia tidak akan dapat membedakan antara yang benar dan yang salah.

 

Dalam hal ini, seseorang harus peka terhadap kehidupan spiritual dan kalbunya. Ia tidak boleh membiarkan egonya, perasaan hewani, dendam dan kebenciannya, ataupun lalai sehingga pertimbangan lain masuk di antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, ia tidak boleh membiarkan hubungannya terputus hingga sampai pada taraf yang tidak mungkin diperbaiki lagi. Terlebih lagi, ia harus menjauhi segala macam muhlikaat (unsur-unsur yang membawa kepada kehancuran) yang disebutkan Imam Ghazali dalam karyanya yang berjudul Ihya ulûmid-din, dan juga harus berpegang teguh pada apa pun yang disebutkannya di dalam munjiyaat (amalan yang membawa keselamatan). Karena, sebagaimana muhlikaat yang menyebabkan beberapa tirai penghalang masuk di antara Allah dan hamba-Nya, munjiyaat juga merupakan sarana untuk menghilangkan penghalang tersebut dan membuat kalbu bisa bertemu kembali dengan Sang Ilahi.

 

Dalam hal ini, tugas manusia adalah menjauhi semua hal negatif tersebut seperti mereka melarikan diri dari ular dan kelabang. Karena pada dasarnya, inilah jalan bagi manusia untuk melejit menjadi manusia hakiki. Abul Fath al-Busti mengatakan, أَقْـبِـلْ عَلَى النَّفْسِ وَاسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا فَأَنْـتَ بِالنَّفْسِ لاَبِالْجِسْـمِ إنْـسَانُ “Menghadaplah ke dalam jiwamu dan sempurnakan fadhilahnya! Karena kau adalah manusia dengan jiwamu, bukan tubuhmu.” Dia menarik perhatian pada hakikat ini. Jadi, ketika seseorang kehilangan ini, dia juga akan kehilangan kemanusiaannya.

 

Saya ingin menambahkan satu hal khusus dalam tanda kurung di sini. Jika seseorang tidak memperhatikan ini, apakah dia akan terjatuh ke dalam neraka? Tidak, tidak ada yang berhak membuat klaim seperti itu. Karena hal ini bertentangan dengan luasnya rahmat Allah. Kita akan tetap berharap dengan sungguh-sungguh dan berhusnuzan bahwa Allah akan memaafkan serta mengadili amalan-amalan kita meskipun kecil dan sedikit dengan rahmat-Nya. Namun, di sisi lain kita tak boleh lupa akan tugas dan tanggung jawab untuk mempersembahkan rasa takzim kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menunjukkan penghambaan yang tanpa cela kepada-Nya di mana itu merupakan hak-Nya. Dari sudut pandang ini, kita harus terus-menerus melihat substansi kemanusiaan kita, mencari jalan menuju keselamatan, dan juga menjauhi sebab-sebab kehancuran.

 

Jika kita tidak bisa mengendalikan keadaan kita sendiri, tidak tahu di mana kita berdiri, tidak tahu di mana kita harus berhenti, maka yang akan terjadi adalah tergantikannya tempat dan arah gerakan kita oleh sikap dan perilaku orang lain. Beberapa orang beriman yang telah kalah pada perasaan hasad dan persaingan mungkin bisa menentang gagasan kita. Beberapa yang lain juga mungkin berbalik melawan kita karena keingkaran dan kekufuran mereka. Kedua belah pihak mungkin mengatur beberapa konspirasi kepada kita. Selain perlu untuk menyadari trik dan konspirasi para pendengki serta mengembangkan strategi yang masuk akal dan alternatif untuk menangkis mereka; di sisi lain jika kita terus-menerus sibuk dengan mereka, terlibat dalam paranoia mereka, dan apabila langkah yang kita ambil hanya berdasar pada khayalan dan kemungkinan belaka, maka tindakan kita akan bertentangan dengan ayat, “Jagalah dirimu!” seperti dibahas tersebut. Akibatnya, seperti halnya kita tak mampu menyelamatkan diri dari bahayanya mereka, kita juga tidak dapat menemukan kesempatan untuk mengoreksi diri kita sendiri, dan kita tidak bisa melakukan tugas utama yang harus kita lakukan.

 

Tugas Utama Kita

Jadi, sebenarnya apa pekerjaan utama kita? Jika kita mempunyai kemampuan, seharusnya kita bisa menunjukkan jalan keselamatan abadi kepada seluruh umat manusia. Kita perlu membimbing mereka menuju surga dan memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam neraka Jahanam. Untuk itu, kita perlu menunjukkan usaha dan upaya yang serius. Allah Yang Mahakuasa mungkin telah menetapkan Neraka bagi sebagian orang, karena dengan pengetahuan-Nya yang azali, Allah Maha Mengetahui siapa akan melakukan perbuatan apa. Tidak seorang pun yang bisa mencegah hal ini. Tapi ini tidak menjadi perhatian kita. Tugas kita adalah bertekad dan berikrar untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari neraka, hingga manusia yang terakhir.

 

Pada dasarnya, hidup harus terfokus dengan tujuan seperti ini. Berusaha dengan segenap jiwa supaya orang lain tidak kehilangan kebahagiaan abadi mereka dan supaya mereka menjalani hidupnya dengan kekhawatiran akan kehancuran abadi nanti adalah sebuah jalan kenabian. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah menyatakan kedudukan Potret Kebanggaan Umat Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengkhawatirkan kondisi umatnya, لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekah) tidak beriman.” (QS. asy-Syu’ara, 26:3) Izinkan saya menyimpulkan bahwa peringatan ilahi dalam ayat ini adalah peristiwa di antara Allah dan hamba-Nya yang paling dicintai. Zat yang mengutus beliau sebagai nabi cocok untuk menyampaikan hal-hal ini demi menyeimbangkan kesedihan dan penderitaannya. Namun, tidak tepat bagi kita untuk mengatakan kata ataupun memiliki pemikiran seperti itu kepadanya (yaitu bahwasanya Allah telah menegur Rasulullah, penerj.).

 

Poin yang ingin saya fokuskan di sini adalah hal berikut: Ayat-ayat ini, di satu sisi, meluruskan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam terkait responnya terhadap beriman atau tidaknya umat manusia. Di sisi lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menghargai dan memuliakan beliau. Pada ayat tersebut ada makna tersembunyi yang secara implisit menyampaikan pesan: “Dirimu adalah sosok yang sangat mulia karena dirimu tidak hidup untuk dirimu sendiri; Hampir saja dirimu menyiksa diri sendiri demi keselamatan orang lain.”

 

Inilah semangat untuk menghidupkan orang lain. Ini adalah tugas terpenting para peniti jalan nabi. Biarkan orang lain dengan paranoianya menyusun beragam rencana untuk menghalangi pengikut jalan nabi. Karena jalan hidup mereka tidak jauh dari keserakahan akan jabatan, keinginan untuk kepentingan diri sendiri, dan harapan untuk melanggengkan kekuasaannya, mereka kemudian berpikir bahwasanya orang lain memiliki jalan hidup seperti mereka. Biar saja mereka membuat lima puluh rencana alternatif yang berbeda untuk menghancurkan pesaing mereka dalam meraih tahta kekuasaan. Semua ini seharusnya tidak mempengaruhi para pengikut jalan nabi dan tidak menghalangi mereka untuk meniti jalannya sendiri. Mereka harus fokus membuat orang lain cinta pada Allah dan Sang Kebanggaan umat manusia Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka pun harus merencanakan semua strategi mereka ke arah ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam salah satu haditsnya: حَبِّبُوا اللهَ إِلٰى عِبَادِهِ يُحْبِبْكُمُ اللهُ “Buatlah hamba-hamba Allah supaya mencintai-Nya agar Allah juga mencintaimu.” (Thabarani, Al-Mu'jam Al-Kabir 8/90, 91) Hadis ini juga menunjukkan cara supaya kita dicintai oleh Allah yaitu dengan membuat hamba-hamba-Nya mencintai-Nya. Karena mencintai umatnya seperti Majnun adalah unsur dasar dan sarana bagi diraihnya kebangkitan abadi.

 

Sayangnya, ketidakmampuan umat Islam untuk memenuhi kewajibannya dengan baik telah menyebabkan terjadinya masa fathrah bagi umat manusia dalam jangka waktu tertentu. Mereka tidak bisa menyebar ke segala penjuru dunia seperti halnya para sahabat dan para Hawari yang telah menyampaikan nilai-nilai yang diyakininya kepada orang-orang yang membutuhkan setelah berhasil menepikan kesenangan materi dan kecintaan duniawi. Mereka tidak bisa pergi untuk memperkenalkan keagungan serta kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada umat manusia. Mereka tidak mampu menggapai hati umat manusia karena tidak menampilkan representasi yang sempurna dalam sikap dan perilakunya. Mereka tidak dapat menunjukkan bahwa Cahaya Abadi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sumber cahaya yang akan menerangi seluruh dunia. Mereka tidak dapat menghapus pikiran negatif tentang Rasulullah dan tidak mampu membuat orang-orang berkata ‘Inilah sosok manusia yang sangat agung!’. Akibatnya, mereka menyebabkan terjadinya sebuah periode fathrah bagi umat manusia, yang mana pengaruhnya masih dirasakan sampai sekarang. Tentunya  kelalaian, ketidakpekaan, dan prasangka orang-orang yang tidak beriman juga mempengaruhi hal tersebut. Yang terpenting adalah apakah umat Islam melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan atau tidak.

 

Para sahabat telah menyebar ke hampir sepertiga wilayah dunia dan dalam waktu yang sangat singkat telah menerangi dunia yang terombang-ambing dalam kegelapan total. Mereka berhasil bertahta di hati umat ke mana pun mereka pergi. Mereka berhasil menarik perhatian umat manusia kepada nilai-nilai yang diyakininya dengan sangat serius. Keberhasilan ini tidak diraih dengan gaya koboi atau pun dengan kekuatan mereka; Mereka berhasil melakukannya berkat kekuatan iman, ketulusan, dan tamsil. Jika kita bisa merasakan indahnya agama sekalipun belum sepenuhnya, itu bisa kita rasakan berkat pengaruh kekuatan gaya sentrifugal[2]. Demikian kuatnya gaya sentrifugal yang tercipta oleh aktivitas para sahabat di masa itu sehingga kekuatannya masih dapat kita rasakan hingga hari ini.

 

Sehubungan dengan itu, sekali lagi saya ingin menyampaikan hal ini: Tidak peduli siapapun mereka, entah mereka adalah orang yang pernah dekat dengan Anda, orang yang pernah sujud bersama Anda, maupun orang yang bersimpuh di hadapan Allah dengan penuh kekhusyukan, atau barangkali mereka adalah orang yang selalu menentang Anda, biarkan saja mereka hendak berpikir apa tentang Anda, biarkan mereka merencanakan rencana apa pun berdasarkan paranoia mereka, pertama-tama tugas dan fokus Anda hanyalah untuk membuat umat manusia mencintai Allah dan Rasulullah terlebih dahulu. Jika sudah, tugas Anda berikutnya adalah membuat orang saling mencintai karena Allah dan Rasulullah serta berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian di seluruh dunia.

 

Keseimbangan Antara Kasih Sayang dan Husnuzan

Selain menjalankan tugas-tugas mereka sendiri dengan sepenuh hati, para pahlawan berdedikasi tersebut harus berusaha untuk menyeimbangkan dirinya ketika berurusan dengan orang lain. Misalnya, jika cinta dan kasih sayang perlu ditunjukkan kepada seseorang atau jika perlu membuat sebuah hubungan yang benar-benar erat maka pastikanlah yang berada pada urutan pertama adalah Allah dan Rasul-Nya. Urutan berikutnya adalah Khulafaur Rasyidin, kemudian disusul para sahabat. Sayangnya, kita telah kehilangan banyak nilai. Kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya pun masih jalan di tempat. Pernahkah Anda melihat ada orang yang pingsan dan jatuh saat nama Sayyidina Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam disebutkan layaknya terjadi di zaman dahulu? Mereka telah mencuri cinta kita kepada Allah; Mereka mencuri cinta kita kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengikat semua kemampuan cinta kita pada dunia dan diri kita sendiri. Karena itu, kita telah menjadi orang yang kehilangan cinta dan mahabah.

 

Kita tidak mencintai hal-hal yang seharusnya dicintai sedalam yang diharapkan untuk dicintai. Terkadang kita menyalahgunakan cinta ini. Kita membuat kesalahan tanpa menyadarinya. Misalnya, kita lebih memprioritaskan kebaikan dari manusia, lalu kita berusaha membalas kebaikan ini sepenuh jiwa. Hal ini dapat menyentuh ghairatullah[3]. Bagaimanapun, Allah telah memberi kita tamparan kasih sayang supaya kesadaran kita kembali. Kita menerima ‘tamparan tanpa ampun sebagai hukuman atas mahabbah dan cinta yang tidak sah’. Di sisi lain, Allah menunjukkan kepada kita bahwa orang yang kita cintai tersebut bisa jadi tidak cukup layak untuk mendapatkan banyak perhatian dan penghargaan seperti yang kita sangka sebelumnya. Artinya, menjaga keseimbangan dalam menunjukkan rasa kasih sayang dan tidak berlaku zalim kepada sesama merupakan faktor yang sangat penting.

 

Hal lain di mana kita juga harus menjaga keseimbangan dalam menjaga hubungan dengan sesama adalah berkenaan dengan praduga dan prasangka kita terhadap mereka. Menurut Badiuzzaman, seorang mukmin selama bisa berhusnuzan tidak sepantasnya dia bersuuzan.  Kita tidak boleh membuat rencana dan program berdasarkan khayalan dan imajinasi kita terhadapnya. Kita tidak boleh membuat perhitungan bahwasanya setiap orang akan berbuat keburukan. Karena itu semua adalah suuzan. Suuzan adalah sebuah dosa besar yang bisa membuat seseorang jatuh tersungkur. Namun, jika beberapa kali kaki Anda dijebak dengan sandungan, jika beberapa kali Anda didorong ke dalam jebakan, maka saat itu Anda perlu mengambil langkah antisipasi sembari tetap menjaga husnuzan Anda. Jika ada seseorang yang menikam Anda dari belakang, tentunya Anda bisa lagi berdiri di depan mereka.

 

Singkatnya, tugas utama kita adalah sibuk dengan usaha untuk mencapai cita-cita agung kita sendiri. Supaya tujuan agung ini tercapai, orang-orang yang berdedikasi harus melepaskan diri dari segala kekusutan. Mereka harus menjauhi segala sesuatu yang bisa mengganggu dedikasi, usaha, dan pikiran mereka. Mereka tidak perlu menyibukkan diri dengan kebohongan yang disebarkan di beragam media ataupun platform-platform lainnya. Apabila kebohongan-kebohongan tersebut membuatnya tidak nyenyak tidur sehingga muncul sebagai penghalang-penghalang suci, hal itu pun jangan sampai membuat mereka lupa untuk mengerjakan tugas super wajib yang urgensinya berada di atas segalanya. Para ksatria hati, dengan segala kekuatan jiwa dan seluruh organ pikirannya harus fokus kepada PR-PR mereka sendiri dan istikamah dalam meniti jalan tersebut. Seperti yang disampaikan Al-Ustaz Said Nursi: “Kita hanya memiliki dua tangan. Andai saja kita memiliki empat tangan, ia tetap hanya cukup digunakan untuk mengerjakan urusan ini (khidmah).”

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/oze-bagli-kalma-ve-daginikliktan-siyrilma

 

[2] Lawan dari gaya sentripetal adalah sentrifugal. Jika gaya sentripetal mendekati pusat lingkaran, maka sentrifugal menjauhi pusat lingkaran. Fungsi gaya sentrifugal ini adalah untuk mengimbangi gaya sentripetal sehingga benda yang melakukan gerak melingkar berada dalam keadaan setimbang. Contohnya adalah peristiwa yang kita rasakan saat menaiki komedi putar atau permainan ontang-anting.

[3] Tentang apa itu ghairatullah sudah pernah dibahas di artikel: https://fgulen.com/id/karya-karya/irama-derita/ghairatullah

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.