Teknik untuk Membuktikan Masyru’iyah

Teknik untuk Membuktikan Masyru’iyah

Pertanyaan: Apa saja prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ketika mengerjakan pengabdian di jalan Allah melalui cara-cara yang disyariatkan (masyru’)?[1]

 

Jawaban: Pertama-tama, seorang mukmin seharusnya tidak hanya memenuhi ketaatannya untuk beribadah sesuai dengan perintah dan anjuran agama, tetapi juga berusaha untuk menerapkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan dalil-dalil syar’i  demi melakukan irsyad dan tablig ataupun ketika membangun hubungan antara manusia. Sensitivitas serta tekadnya untuk meneliti sikap dan perilaku antar manusia sesuai syariat akan mengantarnya meraih pahala. Sebagaimana disampaikan dalam Risalah Nur, muamalah harian seorang manusia yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip agama akan mengubah muamalah tersebut menjadi ibadah (Badiuzzaman, Lamaat, hlm. 116). 

 

Terkait hal ini, sumber referensi utama adalah Al-Qur’an, Sunah, kemudian dalil-dalil syar’i lainnya seperti ijma’[2], qiyas[3], istihsan[4], maslahat[5], urf[6], dan dalil-dalil syar’i lain yang berdasar kepada Al-Qur’an dan Sunah. Sejak masa Asr Saadah[7] hingga hari ini, para fakih yang agung menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dan mengisi kekosongan-kekosongan hukum dengan jalan merujuk kepada dalil-dalil tersebut. Pada saat ini, para ahli sekali lagi menarik hukum dari Al-Qur’an dan Sunah untuk menghasilkan solusi supaya umat manusia dapat menjalankan hidup sesuai tuntunan agama.

 

Namun, daripada selalu membuat ijtihad baru di segala bidang, hal pertama yang lebih baik dilakukan adalah mencari solusi atas masalah yang dihadapi dengan menggunakan ijtihad-ijtihad dari para salafus salihin tulus terdahulu. Ini karena melalui ijtihad dan istinbat-istinbatnya, mereka telah mengisi kekosongan yang harus diisi dan tidak lagi menyisakan kekosongan dari sisi hukum. Ijtihad-ijtihad mereka merupakan sumber penting yang harus kita rujuk dan manfaatkan. Apabila solusi dari masalah yang dihadapi tidak ditemukan di sana, barulah dilakukan metode-metode penarikan hukum oleh orang yang kompeten dengan menerapkan metode pengambilan keputusan yang disebutkan di atas.

 

Meskipun yang menjadi prioritas pertama adalah menyandarkan masalah-masalah yang dihadapi ataupun proyek-proyek yang direncanakan dengan dasar-dasar agama dan mencari kesesuaiannya dengan referensi-referensi dasar, tetapi apabila dirasa tidak memungkinkan, maka setidaknya solusi dan proyek yang direncanakan dibuat agar tidak bertentangan dengan agama. Sebagaimana diketahui, hukum dasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak diperintahkan atau dilarang oleh agama adalah mubah. Wilayah ini amatlah luas. Meskipun terkadang Al-Qur’an dan Sunah membahas bahwa sebagian pekerjaan dan perbuatan hukumnya mubah, tetapi pekerjaan dan perbuatan lain yang tidak dibahas juga masuk dalam wilayah mubah ini. Hukum dasar segala sesuatu adalah mubah. Ini merupakan kaidah fikih yang penting. Jadi, apabila sesuatu belum ada hukumnya baik berupa perintah atau larangan maka dari kaidah yang ada dapat dipahami bahwa hukum dari pekerjaan tersebut adalah mubah. Dalam hal ini berarti seorang mukmin dapat bergerak dengan aman dan memiliki kebebasan untuk berkreasi di wilayah ini.

 

Falsafah Sirah

Metode-metode yang harus diterapkan untuk dapat melakukan istinbat telah diletakkan secara cermat dalam kitab-kitab ushul fiqih. Tidak diragukan lagi bahwa metode-metode yang diatur dalam kitab-kitab ushul fiqih merupakan sumber-sumber dasar yang harus diperhatikan pertama kali. Di samping itu, falsafah sirah juga merupakan sesuatu yang tak boleh diabaikan karena akan membantu kita menemukan solusi atas masalah yang dihadapi ketika kita tidak berhasil menemukan hukum yang secara terbuka dibahas dalam Al-Qur’an dan Sunah. Ia juga akan menyinari kita dalam memahami referensi-referensi dasar. Sikap, perilaku, takrir, bahkan diamnya Rasulullah serta para sahabat dalam menanggapi sebuah peristiwa yang terjadi di masanya masing-masing merupakan referensi yang penting bagi kita. Oleh karena itu, petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan dalam sirah harus dievaluasi dengan sangat baik dengan tetap memperhatikan dalil-dalil primer dan sekunder.

 

Pada hari ini, para relawan hizmet yang membuka kalbunya dan memberikan perhatian kepada semua orang untuk berdialog sedang mengembangkan hubungan sosialnya kepada khalayak dengan latar belakang kultur dan agama yang berbeda. Mereka yang sibuk dengan aktivitas tersebut pada umumnya menjadikan Rumi, Ahmad Yasawi[8], Haji Bektash Veli[9], dan Yunus Emre[10] sebagai inspirasi. Mereka bersosialisasi dengan hati terbuka karena terinspirasi dan juga sebagai ikhtiar untuk mencontoh teladan dari tokoh-tokoh tersebut. Padahal pencapaian paling puncak tokoh-tokoh besar tersebut hanya setara dengan raihan hulubalang dari Sang Nabi yang Agung. Mursyid teragung yang pernah muncul hingga pada hari ini sekalipun ber-ittiba kepada Baginda Nabi. Mereka mengutip pemikiran, sikap, dan takrir Baginda Nabi dalam menghadapi beragam persoalan dan menganggapnya sebagai sebuah pencapaian. Maka dari sisi ini hakikat terpenting bagi kita adalah bagaimana supaya seluruh program dan kegiatan yang dikelola bisa sesuai dengan sikap dan karakter dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apabila kita melihat kehidupan Baginda Nabi dalam membangun dialog dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang agama dan kultur yang berbeda, kita akan menemukan banyak contoh. Oleh karena itu, ketika merancang program-program antar umat beragama dan budaya kita dapat mengambil inspirasinya dari sirah.

 

Dengan pendekatan yang serupa, terdapat banyak strategi dan sikap yang diletakkan dalam rangka pengabdian-pengabdian kepada iman dan Al-Qur’an dewasa ini disiapkan dengan jalan mengambil inspirasinya dari falsafah sirah. Sebagaimana di bidang lainnya, di bidang ini pun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan jalannya yang lurus menjadi sumber teladan. Dapat dikatakan bahwasanya kita telah berusaha semampu akal dan daya usaha kita untuk mencapai cita-cita mulia yang beliau tunjukkan.  Misalnya, melakukan segala daya dan upaya yang luar biasa dalam rangka menyampaikan nilai-nilai mulia yang kita yakini kepada kalbu-kalbu yang membutuhkannya. Namun, dalam menunaikannya jangan sampai kita lalai dalam memperhatikan tata cara dan prinsip-prinsipnya karena hal itu dapat mempersempit ruang gerak kita. Kepercayaan orang lain dapat diraih melalui representasi nilai yang paripurna. Kepercayaan yang telah terbangun ini kemudian disikapi dengan pemanfaatan yang maksimal. Tentu saja sumber referensi semua ini berasal dari proses peneladanan terhadap sikap dan perilaku Rasulullah dalam menyikapi setiap peristiwa.

 

Sayangnya bahasan mengenai falsafah sirah amat jarang ditemukan. Misalnya, saya belum mendengar bahwa falsafah sirah sudah diajarkan sebagai mata pelajaran khusus di madrasah-madrasah, baik di masa lalu maupun di masa kini. Hingga hari ini, falsafah sirah belum dimasukkan dalam sistem pengajaran maupun terliput dalam program-program kurikulum. Meskipun terdapat banyak karya penting yang menulis tentang kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tetapi kajian mengenai latar belakang yang mendasari terjadinya proses tersebut serta evaluasinya dalam kerangka filsafat-filsafat dasar secara umum masih terabaikan. Padahal sirah merupakan dinamika yang sangat penting yang perlu dibaca dan dipahami dengan benar supaya agama dapat dipahami sehingga kaum mukminin pun dapat menjalankan kehidupan beragamanya di atas jalan yang benar.

 

Dalam memahami Al-Qur’an dengan benar sangat penting untuk memiliki penguasaan terhadap bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Namun, apabila ia tidak dibarengi dengan rujukan terhadap pemahaman para sahabat akan suatu peristiwa maka ia bisa menjadi sebab bagi terjadinya beberapa kesalahan. Sesuai dengan yang dikehendaki Sang Pencipta, para sahabat merupakan sosok-sosok yang paling baik dalam memahami Al-Qur’an dan Rasulullah.Untuk itu, pada masa kodifikasi terhadap hukum dan maksud-maksud yang disampaikan dalam Al-Qur’an, yang pertama kali dilakukan sebelum telaah bahasa adalah mengambil rujukan dari pemahaman para sahabat yang dicari pada sumber-sumber acuannya. Ketika menyebutkan kata “dicari” sebenarnya saya juga ingin menyampaikan kegetiran saya. Meskipun saya berusaha untuk tidak mengurangi rasa hormat kepada para salafus salih karena ini merupakan suatu prinsip umum, sayangnya saya tidak bisa mengabaikan catatan saya kepada para ulama yang hidup di masa kodifikasi Al-Qur’an.

 

Urf dan Maslahat

Selain semua itu, inovasi yang merupakan konsekuensi dari berlalunya waktu tidak boleh diabaikan. Kita sendiri tidak pernah hidup entah itu di masa sahabat, tabiin, ataupun tabi’ut tabi’in. Masa di mana kita hidup ini memiliki beberapa kondisi tersendiri yang spesifik. Kita adalah anak-anak dari masa di mana kita hidup. Dalam hal ini, kita harus memperhitungkan konjungtur saat menentukan jalan dan arah hidup kita. Kita harus memahami dengan baik apa yang dituntut oleh masa ini dari diri kita serta menafsirkan hal-hal yang memerlukan interpretasi dengan tepat.

 

Bahkan, para fukaha yang menggunakan urf dan maslahat sebagai sumber referensi penting dalam mengeluarkan fatwa dalam kondisi tertentu juga mendukung pernyataan ini. Sejak Masa Asr Saadah hingga hari ini, dengannya para fakih telah menghasilkan solusi bagi banyak permasalahan. Dengannya mereka mengisi banyak kekosongan di dalam hukum. Islam tidak menentang urf/adat, tradisi, dan praktik yang berlaku di masyarakat yang dimasukinya. Setelah memfilternya dari hukum-hukum agama yang sifatnya muhkam[11], para fakih kemudian memberikan persetujuan untuk mempraktikkannya; sedangkan adat yang tidak lulus filter akan ditinggalkan.

 

Untuk itu, orang-orang yang aktif dalam kegiatan irsyad (dakwah) ketika melaksanakan programnya, selain perlu berpegang pada sumber-sumber dasar dan ketentuan-ketentuan yang diturunkan darinya, mereka juga harus mempertimbangkan adat dan tradisi yang berlaku pada zaman mereka sendiri dan menentukan dengan baik apakah di dalamnya terdapat maslahat atau tidak. Dengan kata lain, keputusan yang akan mereka ambil terkait program yang akan dijalankan harus sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa ta’ala dan sesuai dengan maslahat masyarakat.

  

‘Umum Al-Balwa[12]

Selain harus mempertimbangkan maslahat masyarakat, program yang dirancang juga harus bertujuan untuk mempertemukan hati manusia dengan Sang Pencipta. Dalam pengertian yang lain, demi menjelaskan nilai-nilai luhur yang diyakini kepada orang lain kita perlu menyiapkan lingkungan yang sesuai untuk mewujudkan kemaslahatan agama. Pada posisi tersebut, kita harus menunaikan kewajiban yang diamanahkan kepada kita serta merealisasikan hal-hal yang perlu dikerjakan. Apabila dalam mewujudkan tujuan yang demikian agung diperlukan konsesi atas kehidupan pribadi kita, maka kita pun harus bisa mempertimbangkannya.

 

Beberapa pihak yang tidak memperhitungkan situasi dan kondisi pada masa kita hidup, mereka bisa saja  melontarkan kritiknya terhadap pendekatan yang kita ambil.  Padahal jangankan dalam usaha untuk meraih target-target agung dalam agama melalui pelibatan diri pada kegiatan irsyad (dakwah), tidak melakukan penyesuaian dalam kehidupan muslim sehari-sehari pun dapat menyebabkan seseorang tidak mampu menyelamatkan dirinya dari kontaminasi dosa.

 

Salah satu ayat Al-Qur’an berkata kepada Nabi Muhammad shallalahu alaihi wasallam:

 

 قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

 “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya... (QS An Nur 24:30).”

 

Padahal, bagi seorang muslim yang ingin benar-benar menjalankan perintah ini maka hal tersebut mengharuskannya untuk berdiam diri di rumah dan tidak keluar berbelanja ke pasar. Bahkan untuk menunaikan ibadah sepenting salat fardu di masjid sekalipun terdapat kemungkinan bagi seseorang untuk terjerumus dalam perbuatan haram.

 

Terdapat satu hal yang perlu dipahami, pada saat ini Anda tidak sedang hidup di masa Asr Saadah di mana semua orang bersikap penuh adab, segala jenis pemikiran mendapatkan respek, serta tidak ada perasaan satu orang pun yang disakiti. Oleh karena itu, apabila Anda tidak memberanikan diri untuk mengambil risiko berupa keadaan umum al-balwa yang mengusik sensitivitas Anda dalam beragama, maka Anda tidak akan menemukan kesempatan untuk memperkenalkan diri Anda sehingga dengan demikian Anda pun mempersempit ruang dakwah Anda. Meskipun Anda berusaha bergerak sehati-hati mungkin dalam urusan-urusan ini, Anda tidak boleh mengatai mereka yang Anda saksikan mengerjakan keburukan dalam beberapa masalah furu’ seakan-akan mereka telah melakukan dosa yang amat besar atau telah keluar dari agama. Apabila Anda melakukannya, artinya Anda telah menjadi sebab bagi ditinggalkannya beberapa perintah agama.

 

Apabila kita menguliknya lebih dalam lagi, para relawan hizmet di masa kini telah memfilter dan menginternalisasi nilai-nilai akhlak dan kemanusiaan yang dipraktikkan sejak masa lalu hingga masa sekarang untuk kemudian menyampaikannya kepada kalbu-kalbu yang membutuhkan. Mereka menyebar ke seluruh penjuru dunia demi mengubur kedengkian dan kebencian yang diwariskan sejak masa terdahulu supaya mereka bisa mewariskan dunia yang atmosfernya dipenuhi kasih sayang dan toleransi kepada generasi berikutnya. Mereka pun menemukan beraneka ragam urf dan adat istiadat di negara-negara tujuan. Setiap negeri memiliki lingkungan budaya dengan spesifikasi yang berbeda-beda. Pola kehidupan, watak masyarakat, dan kebiasaannya berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini sedikit demi sedikit akan membuat seseorang merasa kesulitan dalam menjalankan agama dengan beragam cabangnya mili demi mili. Kita juga tidak boleh lupa bahwasanya menjalankan profesi sebagai guru sekolah ataupun dosen universitas tanpa bersinggungan dengan dosa juga amatlah sulit di negara-negara muslim sekalipun.

 

Ketika Anda bekerja untuk memperbaharui jiwa orang lain dengan ilham-ilham yang berasal dari kalbu Anda, mengenalkan mereka dengan warisan budaya agung yang Anda miliki, serta duduk bersama untuk mengambil kebaikan-kebaikan yang mereka miliki, Anda harus mempersiapkan diri untuk melewati jalan-jalan yang dipenuhi lumpur, memanjat tebing-tebing yang curam, serta menyeberangi jembatan-jembatan yang rapuh. Ini sangatlah penting karena tanpa memperhatikan hal tersebut rasanya tidak mungkin Anda mampu meraih cita-cita agung Anda. “Aku bergidik! Jangan sampai mata, telinga, mulut, dan tangan-tanganku terkontaminasi dengan dosa; Ayo kita laksanakan semua perintah agama dengan penuh sensitivitas termasuk adab-adabnya juga.” Pemikiran seperti ini sebenarnya sangatlah baik dan menunjukkan kepekaan seorang mukmin. Namun, apabila dengan situasi yang berkembang dewasa ini kita hanya mengevaluasi segala permasalahan semata-mata melalui kriteria tersebut saja, maka di satu sisi kita akan mengacuhkan masyarakat di mana kita tinggal, di sisi lain karena hal tersebut mengharuskan kita untuk duduk di pojokan dan menjauh dari manusia lainnya sehingga secara otomatis kita pun mengabaikan banyak tugas yang harusnya kita laksanakan di dalam kehidupan bermasyarakat. Barangkali di suatu masa pernah terjadi peristiwa di mana disebabkan pertimbangan-pertimbangan tersebut pihak yang bertanggung jawab meninggalkan ruang ini untuk diisi pihak lain. Apa yang dilakukannya tersebut lalu meninggalkan lubang-lubang yang amat sulit untuk ditutup. Padahal ketika kaum muslimin tidak hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat maka kehidupan masyarakat pun akan jauh dari nilai-nilai agama. Apabila Anda ingin supaya kehidupan masyarakat terbentuk sesuai nilai-nilai Anda yang mulia, maka Anda harus hidup di tengah-tengah masyarakat tersebut.

 

Demikianlah, kaum muslimin yang mau tidak mau harus lewat melalui jalan ini, di satu sisi mesti bersabar menghadapi sebagian unsur-unsur ujian yang berdatangan. Di sisi lainnya, umat muslim harus berusaha menemukan ahwanus syarain[13] أهونَ الشرين (memilih sesuatu yang mudharatnya paling ringan), sebuah ungkapan yang terdapat pada ushul fiqih. Dengan kata lain, mereka harus memilih tindakan mana yang lebih sesuai dengan atau - dengan kata lain - tidak bertentangan dengan aturan agama, dan tindakan mana yang pelaksanaannya lebih diperlukan untuk meraih cita-cita mulia mereka.

 

Jika hal tersebut dilihat dari segi tujuan yang hendak dicapai oleh Islam melalui ketentuan-ketentuan yang diturunkannya, maka akan terlihat bahwasanya tindakan tersebut sebenarnya sesuai dengan semangat agama. Ini karena evaluasi tersebut adalah hasil dari perhitungan untung dan rugi dari suatu masalah di mana tindakan yang diambil merupakan yang paling menguntungkan secara hasil. Secara khusus, prinsip maslahat mursalah[14] yang diterima oleh penganut Mazhab Maliki sebagai dalil hukum yang independen juga didasarkan pada dasar ini.

 

Pada saat yang sama, kriteria ini sesuai dengan hikmah dari turunnya wahyu Al-Qur'an dan pemberlakuan perintah dan larangan dalam Islam secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Setelah ketentuan-ketentuan agama itu selesai dan terinternalisasi secara permanen, tidak ada seorang pun yang berwenang untuk mengubahnya. Kita misalnya tidak bisa mengabaikan aturan-aturan yang berlaku di periode Madinah dengan dalih kita sedang melaksanakan hukum-hukum yang diberlakukan di periode Mekkah. Setelah prinsip-prinsip agama dan hukum-hukum muhkam telah diteguhkan, kita tidak bisa beralih darinya. Namun, kita juga tidak bisa mengabaikan hikmah dari pemberlakuan perintah salat dan zakat yang dimandatkan perlahan-lahan hingga masyarakat kemudian terbiasa dengannya ataupun pelarangan riba dan minuman memabukkan yang baru mencapai final setelah melalui empat tahapan.

 

Selain hal tersebut, saya tidak ingin melewatkan penjelasan berikut ini: Ya, dengan situasi dan kondisi pada masa kita hidup ini terkadang pakaian kita akan kecipratan lumpur.  Kita bisa saja terpaksa mengerjakan hal-hal makruh di masalah-masalah furu’ karena tak mungkin untuk menghindarinya. Pada kondisi yang demikian, kita akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai bagian dari ummul al-balwa dan kemudian melanjutkan langkah kita di jalan kenabian sehingga amanah ini tidak tersia-siakan. Akan tetapi, meskipun secara praktik ia tak bisa terhindarkan setidaknya kita harus memiliki niat dan tekad untuk berjalan menuju akhirat sesuci dan semurni mungkin sebagaimana saat kita dilahirkan oleh ibu kita. Di samping itu, kita tidak boleh bergerak dengan santai karena menganggap beberapa hal merupakan ummul al-balwa. Di satu sisi sebisa mungkin kita harus menghindari cipratan lumpur. Di sisi lain, kita harus merasa prihatin dengan kemalangan yang terjadi di luar kendali kita.

 

Kesimpulannya, oleh karena jalan yang kita titi adalah jalan kenabian maka kita harus menekuni asas-asas dari jalan ini. Sebagaimana tujuan kita adalah sesuatu yang masyru’ lagi halal, sarana dan prasarana yang kita gunakan pun harus merupakan sesuatu yang masyru’ nan halal. Tak ada keraguan bahwasanya jalan pertama untuk mewujudkannya adalah memastikan setiap sikap dan perilaku kita sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah.  Namun, terdapat beragam cara berbeda untuk menentukan kesesuaiannya. Bagi para ahli, langkah menentukan kesesuaian dilakukan dalam bentuk menarik hukum dari rujukan-rujukan dasar. Sedangkan bagi yang lain, mereka melakukannya dengan ittiba kepada hukum-hukum yang dikeluarkan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Demikian pula bertindak sesuai dengan adat dan maslahah yang sesuai dengan semangat agama di mana dua dinamika penting ini merupakan sumber referensi yang memudahkan kita untuk hidup sesuai perkembangan zaman. Ia merupakan salah satu cara untuk memastikan supaya setiap langkah yang kita ambil merupakan langkah yang masyru’ lagi halal. Di samping itu, demi bisa menunaikan tugas li i'la'i kalimatillah (selalu berjuang untuk meninggikan kalimat Allah)  yang menjadi cita-cita terbesar kita sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di masa kini, ketika bergerak kita perlu memperhatikan dharuriyah, maslahat, umum al balwa, tadriji (bertahap), dan ahwanu asy-syarrain, sehingga dengan demikian setiap langkah yang kita ambil merupakan langkah-langkah yang masyru’ lagi mubah.

 

[1]Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/mesruiyeti-tespit-yollari

[2] Ijma', yaitu kesepakatan dari para ulama' mujtahid dalam periode tertentu terhadap ketentuan hukum suatu masalah. Ijma' menempati urutan ketiga dari keempat sumber hukum Islam.

[3] Qiyas, yaitu keputusan menghukumi suatu masalah dengan menyamakan dua hukum yang salah satunya telah ada di zaman Rasulullah dan yang lain belum ada pada zaman Rasulullah, dan tetap berdasarkan nash, karena kesamaan illat. Qiyas memiliki urutan keempat (terakhir) dari semua sumber hukum Islam. Illat sendiri secara bahasa dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan dalam hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang diperhatikan syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.

[4]  Istihsan, yaitu tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya (sedikit pertentangan).

[5]  Maslahah mursalah, yaitu mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka untuk memelihara tujuan-tujuan syara’

[6]  'Urf, yaitu suatu tindakan (perbuatan dan perkataan) yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena sudah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan.

[7] Asr Saadah adalah sebutan bagi masa di mana Rasulullah hidup. Para sejarawan Islam membagi sejarah Islam menjadi Periode Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Seljuk, Usmani, dan seterusnya. Sejarawan Islam menyebut masa permulaan Islam yang dimulai dari Periode Rasulullah sebagai Asr Saadah.  Istilah yang memiliki arti Masa Kebahagiaan benar-benar menggambarkan hari-hari penuh kebahagiaan yang berlalu di periode tersebut. Dengan bimbingan dari Rasulullah, para ashabul kiram mampu memahami semua perintah agama, mengerjakan, dan mengajarkannya kepada masyarakat sekitar. Masyarakat di seluruh penghujung negeri hidup dalam ketenteraman, keamanan, ketertiban, dan stabil. Periode ini adalah periode kebahagiaan dan keceriaan yang menjadi contoh bagi generasi muslim berikutnya. Untuk itu, layak kiranya periode ini disebut sebagai Asr Saadah atau Masa Kebahagiaan.

.

[8]  Khawaja Ahmad Yasawi atau Ahmed Yesevi adalah seorang penyair dan guru sufi dari bangsa Turk serta merupakan salah satu guru tasawuf paling awal yang mempengaruhi perkembangan tarekat sufi di jazirah Turki. Ia merupakan seorang santri penganut mazhab Hanafi seperti gurunya, Yusuf Hamadhani. Ia menulis puisi dengan genre utama membahas persaudaraan antar sesama manusia

[9] Haji Bektash Veli adalah salah satu tokoh sufi yang paling signifikan pengaruhnya di Turki bersama Rumi dan Yunus Emre berkat perannya dalam menyebarkan Islam. Beliau digambarkan sebagai sosok yang rendah hati dan penyayang binatang. Berasal dari Khorasan, beliau kemudian menetap di Anatolia dan mengirimkan murid-muridnya ke segala penjuru dunia. Ajaran toleransi membuatnya dicintai oleh banyak anak manusia dari beragam latar belakang budaya dan agama. Masyarakat Kristiani misalnya memanggilnya dengan sebutan penghormatan, Santo Charalambos.

[10] Yunus Emre adalah penyair Turki yang paling dipuja. Penulis diwan sufi ini lahir pada tahun 1238 M dan meninggal pada tahun 1328 M di Sivrihisar, Eskisehir. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ankara; dia dikirim ke sana untuk belajar oleh Haji Bektash Veli.. UNESCO telah mencanangkan tahun 1991 sebagai “Tahun Cinta Yunus Emre” atau “Yunus Emre’s Year of Love” untuk memperingati “diwans” atau puisi sufinya.

[11] Muhkam adalah yang jelas maknanya dan tidak tersembunyi

[12] ‘Umum al-balwa adalah bencana umum yang sulit dihindari oleh mukalaf karena bersifat merata dan sering terjadi, sehingga mukalaf harus mengerjakan perintah syar’i tidak dengan cara yang sempurna, atau harus meninggalkan larangan syar’i tidak dengan cara yang sempurna, bahkan di suatu kondisi membuat mukalaf meninggalkan perintah syar’i dan mengerjakan larangan syar’i. Ini karena mukalaf akan mendapatkan kesulitan ketika mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan tersebut dengan cara yang sempurna. Umum al-balwa adalah kondisi yang sarat dengan kesukaran, terulangnya kondisi, dan kebutuhan yang tak terelakkan, sehingga menjadi penyebab bagi adanya dispensasi hukum. Memahami ‘umum al-balwa akan membuat seorang cendikia menjadi lebih arif dalam menyimpulkan jawaban hukum tanpa mengabaikan teks-teks syariat beserta maksud-maksudnya. Ahli hukum pada sisi lain dituntut untuk lebih bijak dalam menjawab problematika umat, terutama yang menyangkut kebutuhan publik dan sulit dihindari sebagai pengamalan dari kaidah “sesuatu yang merupakan bencana umum akan diringankan persoalannya” ma’ammat baliyyatuhu khaffat (Dikutip dari artikel ilmiah yang ditulis oleh Harwis Alimuddin berjudul “Metode Penerapan ‘Umum al-Balwa dalam Fikih Kontemporer).

[13] Kaidah ini menurut sejumlah fukaha merupakan kaidah syar’iyyah yang bermakna bolehnya melakukan salah satu dari dua perbuatan yang haram, yaitu perbuatan yang lebih kecil tingkat keharamannya di antara kedua perbuatan itu jika si mukalaf tidak bisa meninggalkan kecuali harus melakukan salah satu dari dua keharaman itu. Si mukalaf berada pada kondisi di mana dia tidak mungkin meninggalkan keduanya sekaligus karena meninggalkan salah satu ataupun keduanya berada di luar kemampuannya dari segala sisi.

 

[14] Maslahah Mursalah adalah kebebasan yang diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan merujuk pada kemaslahatan yang lebih banyak dibandingkan kemudharatan yang akan timbul dari hal tersebut. Maslahah Mursalah berarti prinsip kemaslahatan yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam, suatu perbuatan yang mengandung nilai maslahat atau bermanfaat dan menolak atau mencegah mafsadat ( جلب المصالح ودرء المفاسد ).

 

Dalam studi usul fikih, maslahah mursalah sebagai dalil hukum ini digagas oleh Imam Malik. Para ahli usul fikih masih berbeda pendapat tentang kehujahan maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Secara umum, pengguna maslahah mursalah ini adalah ahli usul fikih dari kalangan mazhab Maliki dan ahli ushul lainnya yang menganggap baik untuk digunakan dalam memecahkan problem umat akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.