Poros Ushuluddin

Tanya: Dalam banyak ceramah, Anda sering membahas tentang urgensi Ushuluddin. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ushuluddin?[1]

 

Jawab: Ushuluddin adalah kriteria, prinsip, dan asal yang menjadi pondasi agama. Asas-asas yang memperjelas kerangka iman, disiplin-disiplin yang diletakkan untuk mengenal Sang Pencipta, pertimbangan-pertimbangan umum pada topik hari kebangkitan dan pengumpulan, serta hakikat-hakikat tentang hubungan dengan Allah ta’ala merupakan bahasan-bahasan yang membentuk terminologi Ushuluddin.

 

Benteng-Benteng Iman dan Islam

Pada masa-masa awal, asas-asas tersebut diletakkan oleh Rasulullah sebagai kumpulan asas tanpa sebutan tertentu. Ia pun tidak disampaikan sebagai sebuah disiplin dengan istilah tertentu.  Para alim seperti Imam Maturidi dan Abu Hasan Al Asy’ari telah menyusun hakikat-hakikat ini secara sistematis mulai dari perkara yang paling penting hingga ke perkara yang tingkat urgensinya lebih minim. Mereka juga membuat penjelasan rinci untuk mencegah kesalahan dan penyimpangan dalam memahami dalil.

 

Bagaimana Islam dijalankan dalam kerangka Al-Qur’an dan Sunah, lalu metode apa yang harus digunakan ketika melakukan istinbat hukum dari dua sumber utama tersebut, serta bagaimana menemukan solusi ketika menghadapi berbagai permasalahan yang dibahas dalam ushul fiqih sebelumnya dikenal sebagai kaidah tanpa nama. Pada masa berikutnya, topik-topik ini disusun oleh para alim dari bidang fikih di mana satu per satu kerangkanya diperjelas. Apabila seorang manusia menjalankan hidupnya dalam kerangka disiplin-disiplin dasar ini, selain akan terhindar dari kesalahan ia juga tidak akan terjebak dalam kontradiksi.

 

Oleh karena Islam merupakan agama universal yang menyampaikan pesan-pesannya kepada semua lapisan umat manusia hingga kiamat nanti, maka beberapa penafsiran dan ijtihad dapat dilakukan selama ia terikat pada prinsip-prinsip dasarnya. Namun, sikap menentukan sebagian manath[2] dan illath[3] pada Al-Qur’an dan Sunah untuk kemudian mengklaim secara sembarangan bahwasanya manath-manath tersebut telah berubah sebagaimana yang dilakukan sejarawan adalah tidak benar. Hal tersebut karena pendekatan yang demikian jauh dari rukun-rukun yang diletakkan atas nama Ushuluddin. Ketika seorang manusia mulai menjauh dari disiplin-disiplin dasar tersebut, maka masalah akan menjadi tak jelas juntrungannya. Di sisi lain, sikap seperti ini merupakan bukti bahwa dunia pemikiran seorang manusia sedang mengalami perubahan. Sekali saja mengalami perubahan artinya ia telah terjerumus ke dalam air terjun modifikasi yang tak akan ada habisnya. 

 

Supaya manusia tidak mengalami perubahan yang membuatnya terlempar dari nilai-nilai kemanusiaannya, maka ia harus menggenggam erat pada segala hal yang telah diwariskan kepada kita, khususnya Al-Qur’an dan Sunah. Al-Qur’an adalah kalam Allah. Sambil menyeru kata-kata yang disampaikan oleh Al-Ustaz Said Nursi, “Al-Qur’an sedang membaca alam semesta di masjid agung jagat raya! Mari menyimaknya. Mari menerangi diri dengan cahayanya, beramal dengan hidayahnya, dan menjadikannya sebagai wirid rutin. Ya, segala ucapan hanyalah milik-Nya. Dialah Yang Maha Benar. Dia pula yang memperlihatkan hakikat kebenaran serta menebarkan ayat-ayat cahaya hikmah (Badiuzzaman, Nasihat Spiritual: Mengokohkan Akidah, Menggairahkan Ibadah, Kata Ke-7, hlm. 48)”, perhatian kita tertarik pada kenyataan bahwa Al-Qur’an adalah mentari hidayah yang mendorong kita menuju jalan yang benar, bagaimana pun kondisi kita.

 

Menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan disiplin-disiplin dasar nan berasal dari sumber-sumber suci ini merupakan perbuatan bid’ah. Dalam setiap perbuatan bid’ah terdapat jalan menuju kesesatan[4]. Jika demikian, maka manusia tidak boleh memasuki ranah bid’ah, baik dari sisi pikiran, sikap dan perilaku, ibadah, ataupun dalam memahami serta menafsirkan Al-Qur’an dan Sunah. Ya, hasya wa kalla (sangat tidak mungkin) kita memandang para nabi sebagai kurir wahyu belaka, itu adalah bid’ah. Contoh bid’ah lainnya adalah jika kita menginterpretasikan para ashabul kiram dan salaf saleh dengan kerangka di luar yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunah. Menerima sebagian pendekatan kaum Muktazilah dan Jabariyah yang tidak sesuai dengan Allah ta’ala  pun merupakan bid’ah.

 

Misalnya, menyematkan bahwasanya Allah ta’ala wajib melakukan sesuatu atau bahwasanya semua yang dikerjakan oleh Allah harus sesuai dengan maslahat, sesungguhnya itu adalah kesesatan (maksudnya, setiap yang dilakukan oleh Allah pasti memiliki maslahat, bukan Allah yang wajib atau terikat dengan maslahat, penerj). Karena sebagaimana disampaikan dalam ayat: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki (QS Al Maidah : 1)”; “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya (QS Al Anbiya 23),” Allah melakukan segala sesuatu yang Dia kehendaki dan bertanya kepada makhluk-Nya tentang apa-apa yang mereka lakukan. Namun, tak satu pun makhluk-Nya yang berhak mengevaluasi apa yang dikerjakan oleh Allah ta’ala.

 

Demikianlah, untuk memahami fikih dengan benar maka memahami disiplin-disiplin yang diletakkan oleh ushul fiqih merupakan hal yang sangat penting. Begitu juga memahami ushuluddin dengan baik merupakan cara supaya kita tidak jatuh ke dalam kesesatan pada perkara-perkara iman. Meskipun terdapat perbedaan dalam perkara-perkara furu’, para imam mazhab hingga para ulama yang mengikuti jejak mereka di belakangnya telah meletakkan kaidah-kaidah yang sangat kaya terkait dengan Ushul Fiqih. Dengan cara yang sama, Imam Maturidi dan Imam Abul Hasan Al-Asy’ari serta para alim besar yang mengikuti jejak mereka telah menuliskan karya-karya besar di bidang Ushuluddin. Dengannya, mereka berusaha menjaga kita dari kesalahan. Selama kita mengikuti disiplin-disiplin yang telah diletakkan baik di bidang ushul fiqih maupun di bidang ushuluddin, maka kita akan mampu mengisi ruang-ruang yang terbuka untuk dilakukan ijtihad dan istinbat sembari memperhatikan situasi di masa kita hidup. Demikian juga dalam menyusun penafsiran yang berkembang seiring perkembangan zaman. Namun, apabila seseorang keluar dari apa yang sudah digariskan oleh disiplin-disiplin dasar, meskipun ia mampu membaca kebutuhan zaman dan menafsirkannya dengan baik dan benar, ia tetap tak akan beranjak dari perkara bid’ah. 

 

Tidak menomorduakan baik Ushul maupun Uslub

Di sisi lain, ketika menyampaikan nilai-nilai yang berasal dari akar roh dan makna kita ke seluruh penjuru dunia maupun ketika mengambil inspirasi dari orang lain, apa yang kita lakukan tidak boleh berlawanan dengan disiplin-disiplin dasar. Apabila kita tidak sensitif dan peka dalam perkara-perkara tersebut maka kita bisa jatuh ke dalam kesalahan. Misalnya, ketika kita berusaha menyampaikan beberapa hakikat kepada orang lain bisa jadi kita terancam masuk ke dalam pergaulan yang tidak perlu dan hal-hal mudarat lainnya. Ketika menyampaikan penjelasan, sebenarnya yang sedang kita lakukan adalah berusaha untuk menyenangkan lawan bicara kita. Pertama-tama, kita bisa melakukan kesalahan karena bersimpati dengan lawan bicara yang membuat kita berusaha nampak baik di hadapannya. Dalam hal ini, kita berarti telah salah dalam memilih dan menentukan siapa yang akan duduk di singgasana hati kita. Jika demikian, artinya gerak dan sikap kita bertentangan dengan prinsip-prinsip Ushuluddin.  Padahal  sejak awal, Al-Qur’an telah memerintahkan supaya seorang mukmin hanya mencintai sesama mukmin dan tidak meninggalkan saudaranya sesama mukmin demi berteman dengan orang lain (Baca juga QS Al Imran: 28; An Nisa : 144; Al Maidah : 51).  

 

Namun, sikap memutus hubungan sepenuhnya dengan orang-orang non mukmin dan sikap sepenuhnya berpaling dari mereka yang tidak beriman juga merupakan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar. Ini karena Al-Qur’an menyampaikan bahwasanya ahli kitab tidak semuanya sama, bahwasanya di antara mereka juga ada yang menjadi masyarakat yang benar di mana malam harinya diisi membaca ayat-ayat Allah dan bersujud kepada-Nya (baca di QS Al Imran :113), menyeru kepada hakikat dan kebenaran (baca di QS Al A’raf : 159), serta ketika menyimak pesan-pesan Al-Qur’an mereka jadi tersentuh karena mengenal dan menemukan kebenaran di dalamnya serta meneteskan air mata (baca di Q.S. Al Maidah :83). Untuk itu, kita tidak boleh menyamaratakan semua ahli kitab. Allah ta’ala juga berfirman “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. Mumtahanah: 8)” di mana melalui ayat ini disampaikan bahwasanya tidak ada larangan bagi kita untuk memikat hati mereka dengan jalan berbuat baik kepada ahli kitab. Oleh karena itu, kita perlu menemukan jalan untuk membangun hubungan dengan mereka sesuai dengan posisinya masing-masing. Sikap membangun hubungan baik dan memastikan mereka bisa menjalin komunikasi dengan Anda merupakan perilaku yang layak mendapat pujian.

 

Kepekaan ala Pengrajin Perhiasan dalam Rangka Menampilkan Keindahan

Para pahlawan kasih sayang dan toleransi yang menyebar ke seluruh penjuru dunia telah bertemu dengan banyak orang di berbagai situasi budaya yang berbeda-beda. Mereka menjalin komunikasi dengan orang-orang lokal. Sebelumnya mereka harus membaca dengan baik lawan bicara yang akan ditemui. Mereka harus menguasai informasi tentang pandangan dunia, keyakinan, dan karakter dari lawan bicaranya. Mereka harus memperhitungkan dengan baik reaksi apa yang akan muncul dari setiap pernyataan yang akan disampaikan. Setelah semua perhitungan ini disiapkan dengan matang, baru mereka diperkenankan untuk menyampaikan pernyataan.

 

Namun, terdapat hal lain dimana kita juga perlu peka dengannya, yaitu dengan tidak mengambil langkah yang bertentangan dengan ushuluddin ketika berusaha masuk ke dalam jiwa lawan bicara ataupun ketika berusaha bersikap baik di hadapannya. Misalnya ketika kita menemui lawan bicara yang memiliki latar belakang agama ataupun organisasi bernapas agama tertentu, jika Al-Qur’an dan Sunah tidak membahas agama yang dipandang suci oleh lawan bicara kita, maka respon kita pun perlu dibatasi dalam kerangka itu pula. Namun, kita bisa mencari peluang dengan jalan menyampaikan pandangan Rasulullah ataupun Al-Qur’an terhadap Nabi Musa, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Yahya, dan Isa. Misalnya ketika seorang sahabat berdebat dengan seorang Yahudi tentang topik “siapakah yang lebih utama, Nabi Musa atau Rasulullah”, sahabat itu meresponnya dengan melayangkan tinju ke arah si Yahudi. Rasulullah kemudian bersabda kepadanya: “Janganlah kamu bandingkan aku dengan Musa bin Imran! Di hari kebangkitan, aku akan menyaksikannya duduk di Arsy. Aku tak tahu, apakah karena ia pernah pingsan sehingga ia terjaga dan tidak pingsan lagi (ketika melihat tajali Ilahi di Bukit Thur), ataukah ia dibangkitkan terlebih dahulu[5].” Respon ini dapat kita sampaikan sebagai wujud ketawadukan dan kesempurnaan fadilah dari Rasulullah kepada para nabi ulul azmi. Pelajaran lain yang dapat kita ambil adalah kita tidak boleh merespon dengan cara memprovokasi orang lain dan memancing reaksi negatif dari lawan bicara kita. Kita harus menjauhi sikap dan perilaku yang bisa membuat orang lain memandang rendah identitas kita sebagai seorang muslim. Supaya sikap yang kita ambil selalu berada dalam lingkungan prinsip-prinsip Ushuluddin, maka kita harus menguasai falsafah sirah dan jalan yang dilalui oleh para sahabat.

 

Ya, pada hari ini para aktivis hizmet harus menguasai Al-Qur’an dan Sunah yang merupakan syarah dan hasyiahnya. Kita harus menyelenggarakan seminar-seminar guna memahami disiplin-disiplin dasar yang diletakkan oleh dua referensi suci ini di mana dengannya kita mematangkan manusia dalam menguasai keduanya. Jika tidak, maka kita akan melakukan banyak kecerobohan atau sikap yang diambil justru bertentangan dengan ushuluddin, padahal niat awal kita adalah menjelaskan agama.

 

Pada masa lampau, mereka yang berusaha menjadi penerjemah bagi kebenaran dan hakikat saling bertanya “Dirimu adalah pembunuh bagi berapa nyawa?”. Maksudnya, berapa orang yang pernah memasuki atmosfer Anda, tetapi karena pendekatan yang Anda lakukan kurang bijaksana, mereka kemudian malah menjauhi agama. Supaya kita tidak menjadi pembunuh, maka kita harus memeras otak. Kita harus menemukan jalan dan metode yang paling tepat. Kita tidak boleh melakukan kesalahan sama sekali, baik dari segi ushul maupun dari segi uslub. Kita harus berusaha menyampaikan hakikat kepada lawan bicara dengan jalan yang paling memikat.

 

Dokter yang Tidak Cakap akan Menumbalkan Nyawa, Alim yang Tidak Ahli akan Mengorbankan Agama

Seorang manusia, baik manusia tersebut menduduki posisi sebagai syekh dari suatu majelis tarekat, atau mursyid yang berwenang dalam suatu program dakwah, maupun seorang ustaz yang dikelilingi oleh murid-muridnya, jika ia  tidak mengetahui ushul dan uslub, prinsip-prinsip mendasar dalam Al-Qur’an; asing dengan pesan-pesan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak mampu membaca kriteria yang diwariskan oleh para salaf saleh dengan benar; maka ia senantiasa rentan akan permainan dan tipu daya setan. Setan bisa saja menyeretnya menuju kesesatan baik dengan jalan menunjukkan sebagian hal luar biasa kepadanya atau membisikkan satu kebenaran yang dapat membuatnya menerima sembilan kesalahan.      

 

Padahal orang yang mengetahui ushuluddin sadar bahwa dirinya tidak disokong oleh wahyu. Ia mengetahui bahwa setiap bisikan yang masuk ke dalam telinganya, pantulan yang masuk ke dalam matanya, serta sesuatu yang disuarakan kepada kalbu ataupun kepada indranya harus diuji terlebih dahulu dengan menggunakan kriteria dari Al-Qur’an dan Sunah. Apabila bisikan-bisikan ini sesuai dengan kalam Allah, sunah Rasulullah, ataupun prinsip-prinsip yang ditetapkan para salaf saleh yang sumbernya berasal dari Al-Qur’an dan Sunah, maka ia akan mematuhi dan menerimanya dengan penuh rasa syukur. Jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, maka ia tidak akan menanggapinya. Dari sisi ini, seorang manusia yang tidak mengetahui Ushuluddin amat berbahaya bila diberi kedudukan sebagai mursyid. Menurut Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi, orang yang tidak memiliki ijazah ilmu-ilmu keislaman tidak boleh diberi amanah tugas dakwah. Maksudnya, orang yang layak diberi tugas dakwah adalah mereka yang menguasai ilmu tata bahasa seperti sharaf, nahwu, maani  serta ilmu keislaman lainnya seperti fiqih, ushul fiqih, tafsir, ushul tafsir, hadis, ushul hadis, kalam, dan ushuluddin.

 

Pada masa-masa sebelumnya, supaya seseorang dapat diberi amanah untuk menjalankan tugas sebagai penerjemah bagi hakikat dan kebenaran maka ia harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka yang tidak alim, tidak akan diberi amanah tugas dakwah. Tiba di masa kita hidup sekarang ini, orang-orang menjalankan majelis zikir dan majelis tarekat karena menerimanya sebagai warisan. Hal tersebut dan adanya kekhawatiran akan kehilangan massa telah menjadi sebab bagi diamanahkannya kekhilafahan tarekat kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Hal tersebut tak jauh berbeda dengan mempercayakan pisau bedah kepada seorang medik veteriner supaya ia melakukan operasi bypass kepada seorang pasien jantung. Peristiwa ini familier di telinga masyarakat kita dengan sebutan: “dokter yang tidak cakap akan menumbalkan nyawa, sedangkan alim yang tidak ahli akan mengorbankan agama”.  

 

Oleh karena itu, setiap orang yang ingin menjadi relawan bagi tugas dakwah perlu membekali dirinya dengan ilmu-ilmu keislaman yang cukup. Sangat penting bagi mereka untuk menguasai ushuluddin dan ushul fiqih. Jika tidak, meskipun niat mereka baik dan tulus demi dakwah dan untuk mengundang manusia menuju jalan kebenaran, tanpa disadari mereka bisa terjerumus ke dalam banyak kesalahan dan kekhilafan.

 

Mari kita tutup pembahasan ini dengan syair dari Niyazi Misri[6]:

Jangan beri wewenang kepada setiap mursyid, karena mereka bisa menyesatkan jalannya

Mursyid yang kamil adalah mereka yang jalannya mudah nan sempurna

 

 

[1] Diterjemahkan dari artikel: https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/usuluddin-ekseni

[2] manath artinya sebab, alasan atau 'illah. Sebagaimana kita pahami, bahwa hukum itu ditetapkan bersama sebab, alasan atau 'illahnya (al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman).

[3] 'illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum ashal yang digunakan sebagai dasar hukum

[4]  Baca juga Muslim, Jumat 43; Nasa’i, bab idain, 22; Ibnu Majah, mukaddimah 7

[5]  Bukhari, bab khusumat 1, bab anbiya 31, bab riqaq 43, bab tauhid 31; Muslim, bab fadhail 157

[6] Niyazi Misri atau al-Misri نيازئ مصري adalah pendiri dari Niyaziyah atau Misriyyah, salah satu cabang dari tarekat Khalwatiyah di abad 17. Ia adalah seorang guru tasawuf dan penyair sufi. Lahir di Malatya, Turki pada tahun 1618 M dan dimakamkan di Myrina, Lemnos, Yunani pada tahun 1694 M

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.