Kita Dan Sejarah Yang Terulang

Pendidikan Agama Bagi Anak

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pernikahan adalah urusan yang sangat serius dalam Islam dan harus disikapi juga dengan takaran keseriusan pula. Oleh karena secara mendasar ayah dan ibu adalah juga seorang muallim dan muallimah (pendidik) bagi anak-anaknya, maka para calon pasangan yang berencana untuk menikah harus telah memiliki usia yang cukup pula merealisasikan misi penting ini dalam mahligai pernikahannya.

Imam Jafar mewajibkan murid-muridnya untuk menunda pernikahan mereka. Dan Abu Hanifah tidak mengizinkan muridnya, Imam Abu Yusuf, untuk menikah selama periode tertentu, beliau berpesan kepadanya hal berikut: "Sebelumnya kau harus menyelesaikan terlebih dahulu tingkatan taklim dan tarbiyah lalu pelajarilah baik-baik semua hal yang perlu kau pelajari hingga masanya kau menikah. Jika tidak, pendidikanmu tidak akan lengkap. Selain itu, kau harus memiliki pekerjaan untuk membiayai keluargamu secara halal. Setelah kau memenuhi persyaratan ini, maka garis hidupmu akan lebih jelas." Inilah nasihat Abu Hanifah kepada muridnya yang masih muda – murid yang kemudian mendapat gelar Syaikh al-Islam pada masa dinasti Abbasiyah.

Kedua ulama besar ini yang satu adalah pendiri dan tokoh besar dalam ilmu hukum Islam Abu Hanifah, imam bagi madzhab Hanafi sementara yang satu lagi adalah juga seorang imam dari keturunan Rasulullah ﷺ, hal khusus yang ingin disampaikan oleh keduanya adalah institusi pernikahan adalah sebuah lembaga yang amat serius dan penting. Dalam hal ini, ketika ada pasangan yang hendak menikah, pertanyaan berikut ini harus dijadikan pertimbangan: "Apakah orang ini telah sampai pada tingkatan mampu mendidik anak-anak seperti halnya seorang muallim, seorang murabbi? Apakah secara umur dan kematangan ia sudah cukup dewasa untuk berbagi hidup dengan pasangannya? Apakah ia telah memiliki kemampuan untuk mempersiapkan anak-anaknya kelak sesuai dengan jalan yang kita inginkan?"

Jika pasangan yang hendak menikah mampu menjawab “ya” bagi semua pertanyaan ini dengan sebuah keyakinan, maka berarti mereka sudah siap untuk menikah. Namun, jika mereka tidak mampu mengendalikan diri sendiri, jika mereka tidak bisa bergaul dengan orang-orang di sekitar mereka bahkan hanya dengan tiga-lima orang saja mereka selalu berselisih, jika setiap hari mereka menyebabkan masalah, maka mereka tidak bisa dikatakan siap menikah dan membesarkan anak-anaknya.

 Memberikan kontribusi terhadap masa depan umat Islam yang jaya –yang seharusnya menjadi tujuan setiap individu– bergantung pada keberadaan individu yang ideal dan keluarga yang ideal. Tujuan mulia seperti itu hanya dapat diwujudkan oleh orang-orang yang hatinya semurni Ka'bah, nilai martabatnya sebesar Gunung Everest, dan spiritualitasnya menjangkau jauh menjulang hingga ke Sidratul Muntaha. Ini bukanlah tugas yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang menduakan hatinya terhadap Yang Maha Kuasa, bukan pula oleh mereka yang dahinya berdebu dan kalbunya berkarat. Generasi yang dibesarkan dengan baik dan tercerahkan, yang telah mencapai kedewasaan baik di dalam dan di luar dirinyalah yang –berkat karunia dan pertolongan Allah  Subhânahu wa ta’âla– akan merealisasikan cita-cita mulia memajukan ummat ini. Saya ingin mengulangi perkataan Rasulullah ﷺ kepada Khabbab bin Arat: "Allah akan mengabulkannya, tetapi sebelumnya kalian harus memenuhi terlebih dahulu sebab-sebabnya."[1]

Beberapa bait puisi dari yang saya hormati Alvarlı Efe[2] menyatakan dengan indah apa yang kami coba katakan:

Jika kau mengalir bagaikan sungai,
menangis seperti Ayyub,
hatimu benar-benar pedih,
Mungkinkah Dia takkan menegurmu?
Jika engkau mendekati pintu Sang Haq
Siap menyerahkan semua yang kau miliki,
Dan melayani seperti perintah-Nya,
Tidakkah Allah akan memberikan balasannya?

Ya, jika air mata kita berlinang dan kita mengerahkan diri serta mampu menanyakan: “adakah lagi tempat lain di dunia yang harus dituju?”, mampu mengambil setiap pesan baru di setiap pemberhentian, di setiap persinggahan, sekali lagi merasakan Inayah Allah dan tanpa terjerat apapun tetap lurus menuju pada-Nya. Iman dan keyakinan kita pada Allah berada di seputaran poros ini. Dengan husnudzan kita pada-Nya yang tak pernah mengecewakan kita, maka keyakinan yang mutlak dan iman yang kuat akan terus ada.

 Satu hal yang sedikit ingin disinggung bahwa hal khusus yang sebenarnya ingin kami sampaikan adalah mentarbiyah sebuah generasi harus dilakukan bersama-sama dengan menumbuhkan pula dalam diri mereka jiwa patriotik pada bangsanya. Perlu diingatkan bahwa pada bagian sebelumnya kita banyak membahas tentang keberadaan sebuah rumah adalah bagaikan sebuah maktab, tempat mematangkan tarbiyah anak-anaknya, serta pentingnya orangtua menjadi contoh terlebih dahulu atas semua perilaku kasih sayang, cinta dan kelembutan yang diinginkannya ada pada seorang anak.

1. Membesarkan Anak dengan Multi Talenta

Jika kita ingin anak menjadi pemberani, maka jangan menakut-nakuti mereka

dengan makhluk-mahluk rekaan seperti vampir, hantu, peri, raksasa, dan lain-lain. Besarkanlah mereka menjadi individu kuat dengan iman yang teguh, yang akan memungkinkan mereka menghadapi kesulitan apapun.

Jika kita benar-benar berharap anak-anak memiliki iman yang kuat, maka semua semua sikap dan perilaku yang menunjukkan kepekaan kita dalam hal tertentu, cara tidur hingga bangun, kekhusyu’an sujud, ruku’ dan semua gerakan dalam beribadah, rintihan kita saat berdoa, hingga cara kita memuliakan orang lain yang berada dalam kesulitan, kesemuanya ini harus mencerminkan iman kita kepada Allah dan hati anak-anak harus dipenuhi dengan semua gambaran ini. Ya, kita harus selalu berusaha menjadi gambaran ideal yang kita ingin mereka lihat dan menghindari segala bentuk perilaku apapun yang mungkin akan membuat mereka tidak menghormati kita.

Kita harus selalu berusaha menjaga martabat dan tetap terhormat di mata mereka sehingga apa yang kita katakan kepada mereka akan mempengaruhi hatinya dan mereka tidak akan melawan keinginan kita. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa seorang ayah yang tidak punya keseriusan mungkin bisa menjadi teman anak-anaknya; tapi dia tidak akan pernah bisa menjadi muallim dan murabbi bagi mereka, dan ia tidak akan bisa mentarbiyah mereka seperti yang diinginkannya.

Rumah kita harus selalu mencerminkan suasana sebuah tempat ibadah sekaligus sebuah maktab (pusat pendidikan), dengan cara ini kita bisa memenuhi kebutuhan rohani, kalbu dan jiwa mereka sekaligus, sehingga menyelamatkan mereka agar tidak menjadi budak dari keinginan material semata.

2. Membiasakan Anak-Anak Akrab dengan Masjid Sejak Usia Dini

Di Era Kebahagiaan yaitu pada periode semasa Rasulullah ﷺ masih hidup, anak-anak bebas pergi ke masjid setiap saat mereka menginginkannya, tidak peduli berapa pun usia mereka. Sangat disayangkan bahwa saat ini ada sebagian orang yang berfikir bahwa mengajak anak-anak pergi bersama ke masjid  seolah-olah akan melanggar kesucian tempat ibadah tersebut. Demikian juga, itu sangat disayangkan bahwa di dalam banyak masjid, kita melihat orang-orang tua mengusir anak-anak pergi, sehingga membuat mereka takut dengan masjid.

Sayangnya, orang-orang yang berpikiran sempit itu mengira mereka sedang menjaga martabat masjid dengan cara mengerutkan kening dan menaikkan alisnya pada tindakan anak-anak itu. Sebenarnya, yang mereka lakukan justru bertentangan dengan sunnah Rasul ﷺ dan hanya membuat anak-anak takut dengan masjid. Beliau mengatakan kepada umat Muslim bahwa posisi berdiri dalam salat di masjid adalah laki-laki harus berdiri di bagian depan, jika ada di belakangnya adalah kaum khuntsa kemudian anak laki-laki kecil, dan disusul perempuan dan anak perempuan.[3]

Jika aturan penempatan posisi ini diikuti, maka anak-anak akan menyaksikan kesenangan orang-oranga di sekitarnya dalam beribadah dan dengan melihat semangat orang-orang dewasa itu mereka pun akan menjadi lebih bersemangat menjalankan praktik agamanya. Jadi, alih-alih menakut-nakuti mereka agar pergi, jika memungkinkan kita justru harus mendorong mereka dengan hadiah-hadiah kecil agar mereka rajin menunaikan salat. Buatlah mereka mencintai masjid dan tamannya serta selalu menjaga kesucian tempat ibadah yang juga akan tercermin dalam sikap mereka. Suatu ketika saat Rasulullah ﷺ salat berjamaah di masjid, cucu Beliau, Umamah naik ke atas  punggungnya, Ia meletakkan cucunya itu di lantai ketika Beliau bersujud, dan akan menaikkanya kembali ke pundaknya sebelum beliau berdiri.[4] Tindakan ini sangat penting karena merupakan contoh yang diberikan Rasulullah, panduan utama kita.

 Nabi yang mulia tidak pernah menunjukkan ekspresi atau sikap keras mengenai masalah anak-anak agar dijauhkan dari masjid. Oleh karena itu, sudut indah dari lingkungan kita harus disediakan untuk masjid dan rumah kita harus menjadi tempat beribadah pula sehingga setiap anak-anak membuka matanya, yang dilihatnya adalah selalu setiap aspek yang akan mengingatkannya pada Allah, mereka akan merasakan  kehidupan dalam nuansa ladunniyah dan iradah yang kuat, dengan kalbunya yang kuat ini mereka akan memilih dan menapaki jalannya sendiri. Jika kita ingin secara khusus membahas tentang Salat, jika sang ayah menggandeng tangan anaknya, membawanya ke samping sajadah sang ibu, mampu menginspirasi kalbunya pada mihrab keabadian dengan kedalaman kekhusyu’an rasa kehambaan yang tercermin dalam tiap gerakan salat yang dilihatnya, maka bisa dikatakan keadaan ini adalah sebuah prestasi besar bagi keluarga itu. Sesungguhnya salat memiliki nilai yang sangat penting dalam menghadapkan diri kita kepada Allah Subhânahu wa ta’âla.

3. Menjawab Pertanyaan yang Ada Dalam Pikiran Anak Sejak Awal

Anak-anak mungkin memiliki beberapa pertanyaan tentang salat dan masalah-masalah agama lainnya. Pada anak-anak dengan kepribadian tertutup (introvert) biasanya terlalu malu untuk bertanya kepada orangtua mereka tentang pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Namun dengan berbagai cara dan trik, sangatlah penting agar anak-anak bisa membuka diri dan mengajukan pertanyaan yang ada di pikiran mereka mengenai topik ini. Jika dibiarkan tidak terjawab, maka pertanyaan-pertanyaan itu akan tumbuh membesar bersama anak, dan dalam jangka waktu yang lebih lama, keraguan dan kebimbangan tersebut akan berubah menjadi ular berbisa ataupun kalajengking yang akan meracuni hati mereka.

Bahkan terkadang, keraguan dalam batin seorang anak dapat menjadi luka yang cepat menyebar, dan suatu hari nanti bisa menyebabkan keruntuhan spiritual dalam diri anak tetapi sayangnya seringkali kita tidak memahami situasi ini sampai keadaan sudah terlambat. Anak mungkin saja tampak pergi bersama kita ke masjid setiap hari, mengucapkan “Lâ ilâha illallah”, menyebut Tahmid, Tasbih dan Tahlil namun sebenarnya ia sedang terjatuh dalam keraguan batin dan terperangkap dalam jerat bisikan syaitan. Ketika orang tua mengirimkan anak-anaknya belajar di universitas agar mereka mendapatkan atau mencapai status sosial dan kesuksesan, jika pertanyaan dan permasalahan yang ada di benak anak tersebut tidak ditangani sebelumnya maka tidak akan dapat dihindari mereka akan mengadopsi beberapa pemikiran, perilaku dan sikap yang tidak sesuai dengan agama kita dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tentang agama yang lama menggelanyut di benaknya tanpa ada yang menjawabnya. Dari sudut pandang ini, anak tidak boleh dibiarkan kosong mental, kalbu dan jiwanya serta harus selalu dinutrisi sesuai dengan usia perkembangan mereka. Di masa lalu, anak-anak biasa dipercayakan kepada seorang murabbi atau murabbiyah. Mereka memberikan pemahaman sedikit demi sedikit tentang ladunniyah (ilmu tentang ketuhanan, mengenal hakikat Allah dan kebesaran Ilahi -red) sambil berusaha masuk ke dalam jiwa anak-anak, dengan cara ini beban derita yang dirasakan anak-anak sedikit demi sedikit terobati. Sebenarnya, tarbiyah seperti ini seharusnya diberikan oleh orangtua mereka sendiri. Namun jika tidak bisa, orang tua bisa mencari seorang murabbi yang kompeten dalam hal ini dan sebagaimana bisa pula orang tua menugaskan perawatan rumah dan kebersihannya pada seseorang yang terpercaya maka dalam hal ini orang tua juga harus memastikan bahwa tanggung jawab tarbiyah bagi anak akan juga terpenuhi. Hal ini harus dilakukan dan dipastikan jangan sampai anak-anak akan tersesat dan lambat laun menuju kepada kerusakan. Akidah yang kuat, kesadaran tentang penghambaan yang benar-benar telah mendarah daging, dan akhlak sempurna yang sepenuhnya telah menjadi tabiat bagi seorang anak hanya bisa diwujudkan melalui kepekaan sepenuhnya dengan takaran seperti ini.

4. Beribadah dan Berdoa di Depan Anak-Anak Kita

Di rumah kita harus ada tempat dan waktu khusus untuk beribadah. Jika memungkinkan ibadah shalat lima waktu dikerjakan secara berjamaah di rumah atau lebih baik lagi gandenglah tangan kecil mereka dan ajaklah anak-anak bersama pergi ke masjid. Pilihan terakhir ini akan menjadi lebih  bermanfaat lagi  terutama pada hari-hari tertentu ketika ibu sedang tidak menunaikan shalat (selama periode menstruasi, dan lain-lain). Karena jika seorang anak kecil melihat ibunya tidak menunaikan salat pada hari-hari itu (dikarenakan adanya halangan), namun ia tidak memahaminya maka bisa jadi mereka akan berpikir: "berarti shalat atau tidak itu tidak menjadi masalah". Itulah mengapa mengajak anak-anak kita shalat di masjid, terutama pada hari-hari seperti itu, dapat juga dianggap sebuah usaha rehabilitasi. Namun, ada juga cara lain untuk mengisi kekosongan pada hari-hari itu: “Pada masa ketika wanita sedang tidak berkewajiban menunaikan shalat, seorang ibu sebaiknya tetap berwudhu seperti biasa, lalu duduk di atas sajadahnya sambil menengadahkan tangannya kepada Yang Maha Kuasa, dan berdoa kepada-Nya. Jika sang ibu melakukan ini, ia mendapatkan kebaikan karena telah menunaikan ibadah serta menyelamatkan anak-anaknya dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi.” Cara semacam ini juga dianjurkan dalam buku-buku Fiqih.[5] Dari sisi 

tarbiyah hal semacam ini sangat penting. Oleh karena dengan cara ini, di rumah anak akan selalu melihat kepala yang selalu bersujud, mata yang menangis, dan tangan-tangan yang menegadah untuk berdoa. Anak akan selalu mengamati adanya kehati-hatian, kesensitifan dan kesadaran  penghambaan yang dalam di rumahnya. Oleh karenanya pada saat-saat dimana seorang wanita karena kekhususan keadaannya tidak bisa beribadah, kadang kala ada baiknya ayah mengajak mereka ke Masjid untuk memperdalam rasa keagamaan mereka agar jiwa mereka tidak menjadi bingung hingga saatnya mereka cukup dewasa untuk bisa memahami kondisi tersebut.

Akan datang suatu masa ketika adzan terdengar, anaklah yang akan memperingatkan kita seperti sebuah alarm sambil berkata: "Ayah/Ibu, sudah waktunya shalat!" Anak-anak inilah yang kelak sewaktu kita sedang sibuk dengan pekerjaan, tiba-tiba mereka mendengar suara takbir “Allahu Akbar” di telinganya, maka dialah yang akan mengajak orang tuanya untuk segera salat. Saat itu kita dapat memetik buah usaha kita selama ini.

Selain itu, luangkan waktu khusus setiap hari untuk berdoa kepada Allah bersama anak. Tunjukkan pada anak dengan contoh langsung secara nyata di depannya bagaimana kita memanjatkan doa-doa kepada Yang Mahakuasa, memohon kepada-Nya, dan menunjukkan padanya bahwa Sang Pencipta Allah Ta'ala-lah yang selalu menjadi tempat berlindung terbaik, pada waktu yang telah disepakati bersama sebelumnya. Adalah lebih baik jika kita berdoa dengan bersuara, secara terbuka di sampingnya. Para Sahabat dapat mengetahui redaksi doa-doa yang dipanjatkan Rasulullah ﷺ ketika beliau berdoa dengan cara ini. Sebagian besar doa Beliau diriwayatkan oleh istrinya, Aisyah r.a. tetapi ada juga yang diriwayatkan oleh Ali r.a., Hasan r.a. dan Husain r.a.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita boleh memperdengarkan doa yang kita baca pada orang yang ada di sekitar kita dengan tujuan mengajarkan doa tersebut pada mereka. Jika Kita ingin anak-anak menjadi orang yang halus dan bergetar hatinya ketika nama Allah disebut, gemetar tubuh dan bibirnya saat mengucapkan doa, maka terlebih dahulu ia harus melihat contoh ini dari orang tuanya.

Dalam hidup saya, ada beberapa kenangan yang selalu membuat saya gemetar ketika teringat padanya. Kenangan  akan indahnya hubungan ke-hambaan yang ditunjukkan nenek saya kepada Allah telah memberi pengaruh besar kepada saya. Saya masih kecil ketika nenek meninggal, tetapi saya masih ingat betul bagaimana beliau sering tampak gemetar ketika almarhum ayah saya membacakan ayat-ayat Al Qur’an atau saat dijelaskan hal-hal yang berkaitan tentang Islam. Beliau begitu sensitif tentang hal-hal itu sehingga jika ada yang menyebutkan "Allahﷻ" dengan antusias di dekatnya, maka rona wajahnya akan berubah, dan akan tetap begitu sepanjang hari. Ahlak luar biasa yang saya saksikan saat kecil ini memiliki pengaruh yang besar pada diri saya. Ya, meskipun nenek saya buta huruf, tidak bersekolah dan hanya mencoba mengamalkan (menghidupkan) seberapa ilmu yang diketahuinya ini telah amat berpengaruh pada jiwa saya dengan ibadah yang dilakukan dari hatinya, air mata dan rintihan dalam dirinya yang tampak amat tulus pada Allah. Saya pernah mendengar beberapa orang berilmu yang berkhotbah dengan antusias di hadapan saya, tetapi tidak satupun dari mereka bisa mempengaruhi saya seperti cara nenek dulu melakukannya. Sepertinya secara umum semua hal tentang menjadi seorang Muslim saya dapatkan dari ketulusan ayah-ibu dan nenek saya tersebut.

Jadi, kembali ke pembahasan kita, orangtua harus amat berhati-hati dengan tindak tanduk dan perilaku mereka di rumah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada jam-jam tertentu pemandangan bahwa orang tua menumpahkan isi hatinya kepada Yang Maha Kuasa, dengan bisikan lembut menunduk memohonkan Rahmat di pintu-Nya, berdoa dengan berurai air mata menunjukkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta, akan mempengaruhi seorang anak lebih dalam dari apa pun juga. Yang terpenting di sini anak harus menyaksikan ini dengan mata kepalanya sendiri. Kenangan tentang pemandangan yang dilihatnya saat orang tuanya merintih menangis mengkhawatirkan akhiratnya, berharap kuat dalam doa-doanya akan terpatri dalam benak anak dan menjadi ingatan yang tak terlupakan. Sebenarnya memang kita harus berdoa seolah-olah melihat Yang Maha Kuasa, dengan penuh kesadaran bahwa Dia selalu ada. Cara kita berdiri, ruku’, sujud, dan duduk selama salat, semua harus mengingatkan kepada-Nya. Kondisi Kita di hadapan Allah ﷻ dapat digambarkan seperti ini: Bayangkanlah diri Kita seolah-olah sedang berada di hadapan Dzat Allah Subhânahu wa ta’âla, seolah-olah Dia berkata: "Hamba-Ku! Berdirilah dan perhitungkan perbuatanmu di dunia!" lalu kita berdiri dengan patuh dan penuh hormat, menunggu ampunan-Nya. Keadaan salat dengan benar-benar merasakan keagungan-Nya dan sepenuhnya mengakui betapa kecilnya diri kita,  adalah peringatan terbaik bagi diri kita sendiri maupun siapapun di sekitar kita yang menyaksikannya. Dalam sebuah hadits dhaif Rasulullah menyatakan: "Aku mengalami saat kebersamaan dengan Allah yang pada saat itu, baik malaikat mukarrabin maupun makhluk lain tak bisa mendekatiku."[6]

Ya, kita harus memiliki momen seperti itu, momen yang diterangi oleh-Nya dan anak-anak akan terinspirasi dengan kenangan yang akan menjadi modal bagi ibadah mereka kelak. Di masa depan, setiap kali anak-anak kita menghadapi bahaya yang dapat merusak iman dan ibadah mereka, kenangan akan bagaimana ayah-ibunya berdoa tersebut akan menyelamatkan mereka, seperti ban penyelamat yang akan menjawab teriakan permintaan tolong dan akan meraih tangannya yang hampir tenggelam.

 Jangan ragukan tentang cara ini karena dalam Surat Yusuf, secara tidak langsung, Al Qur’an menyinggung fakta psikologis seperti itu. Kita tahu bahwa Nabi Yusuf bukanlah orang yang akan tergoda oleh seorang wanita. Namun, Qur'an menyatakan sebagai berikut:

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah agar kami memalingkan darinya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya, Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih (Yusuf 12: 24).

Meskipun menjadi fakta yang diperdebatkan, menurut beberapa mufassir yang menjelaskan secara terperinci, ‘tanda’ yang dilihat Yusuf dan disebutkan di ayat tersebut adalah citra ayahnya, Nabi Yaqub, yang menutup mulut dengan tangannya dan memanggil "Yusuf!" dengan nada terkejut. Peristiwa ini membuat Yusuf, yang merupakan seorang teladan dalam kesucian, tersadar dan membuatnya berseru, "Aku berlindung kepada Allah!" (QS.Yusuf 12:23)

Demikianlah, mata orang tua yang penuh air mata dan memohon perlindungan dengan tulus kepada Allah akan berperan penting dalam kehidupan masa depan anak untuk membantu mencegah kehancuran yang mungkin terjadi pada mereka. Ketika mereka bertemu dengan segala jenis godaan, maka gambaran yang hidup di alam bawah

sadar anak adalah bayangan kita sebagai orang tuanya yang berkata, "Anakku, apa yang kamu lakukan?" yang akan menjadikan kita selalu sebagai panduan dan perilaku kita itu akan menjadi seperti uluran tangan yang mengangkatnya dari kubangan dosa, menggenggam tangan mereka untuk menjauhkannya dari berbagai bahaya.

 

5. Rasa Hormat terhadap Al Qur’an

Membaca Al Qur’an dan mengajarkannya pada anak-anak juga merupakan salah satu hal penting lainnya. Akan tetapi hal khusus lain yang tak kalah pentingnya adalah perasaan yang menunjukkan bahwa Al Qur’an adalah ‘Kalamullah’ saat ayat-ayatnya dibacakan. Salah satu masalah umum yang banyak kita temui pada masa ini adalah bahwa – sayangnya– ayat Al Qur’an dibaca oleh beberapa orang namun tidak lebih dari sekedar suara bacaan saja tertahan di tenggorokan namun tidak turun ke hatinya. Jika  Kita bisa memberi contoh yang baik dengan membaca Qur'an dan melakukannya seolah-olah sedang membacanya di hadapan Sang Rabb semesta alam atau di samping jiwa Rasulullah ﷺ, maka bacaan seperti ini akan mampu menaklukkan hati orang-orang di sekitar kita yang mendengarnya. Jika saat seorang ibu atau ayah membaca Al Qur’an seraya air matanya tak berhenti mengalir di pipi, maka seorang anak yang menyaksikan pemandangan ini akan belajar banyak hal darinya. Menurut saya seseorang yang membaca Al Qur’an dengan datar tanpa diliputi perasaan terdalam dari jiwanya dapat membuat kita menjadi tidak sensitif atau menjadi pribadi yang tak berperasaan.

Sebuah hadis menyatakan bahwa: "Orang yang membaca Al Qur’an dengan cara yang paling indah adalah mereka yang melantunkannya dalam kesedihan."[7] Hadis yang lain menyatakan: "Al Qur’an diturunkan dengan kesedihan."[8]

Mengingat Al Qur’an membahas banyak tema yang berkaitan dengan permasalahan manusia (tentu saja tiada keraguan tentang hal ini), maka kita pun melantunkannya dengan menyiraatkan kesedihan akan hal ini. Akan tetapi salah satu dasar terpenting untuk mencapai tingkatan ini adalah adanya pemahaman atas ayat-ayat Al Qur’an yang dibaca tersebut. Namun jikapun Kita belum mengerti apa yang dikatakan oleh Al Qur’an sekalipun kita harus tetap menghormatinya, karena kitab tersebut adalah firman Allah. Jika kita terus berupaya memahami maknanya, maka hal ini menjadi indikasi adanya rasa hormat yang lebih tinggi terhadap kitab suci Al Qur’an. Selain itu, anakpun akan merasakan ajaran Al Qur’an lebih dalam di hati dan pikirannya, dengan cara ini pula ia dapat memenuhi dahaga spiritualnya dan menutupi kekosongan yang dirasakan oleh jiwanya pada tingkatan tertentu.

Mereka yang merasa cukup puas hanya dengan pemahaman makna harfiah saja dari Al Qur’an tanpa pemahaman yang baik dapat dianggap memiliki pemahaman agama yang kurang. Adapun orang-orang yang tidak sedikit pun memiliki hubungan dengan Al Qur’an berada dalam kerugian yang besar. Semoga ada manfaatnya jika kami ingatkan sekali lagi betapa pentingnya mempelajari makna dari ayat-ayat suci Al Qur’an secara mendalam dan mengajarkan apa yang telah kita pelajari tersebut pada anak-anak kita akan mendatangkan pahala besar yang dijanjikan Al Qur’an.

Berkaitan dengan hadis yang disebutkan di atas, Hafiz Munawi menceritakan peristiwa berikut: "Seorang anak lelaki hendak menyelesaikan hafalan Qur'annya. Ia melewatkan waktu malamnya untuk mengkhatamkan  Al Qur’an dan menunaikan salat, hingga di pagi hari ia menemui gurunya dengan wajah pucat dan lelah. Gurunya adalah yang merupakan seorang ulama besar itu bertanya kepada murid-muridnya tentang anak lelaki itu. Murid-muridnya menjawab, 'Wahai tuan guru, anak lelaki itu terus membaca Al Qur’an hingga khatam tanpa tidur sampai pagi menjelang, dan di pagi hari ia langsung datang kemari untuk menerima pelajaran dari Anda tanpa beristirahat sedikitpun.’ Sang guru tidak ingin muridnya membaca Al Qur’an dengan cara itu, lalu dipanggilnya anak lelaki itu seraya berkata: ‘Al Qur'an yang mulia harus dibaca dengan cara yang sama seperti ketika ia diturunkan, anakku.’ Dan ia menambahkan, 'Mulai sekarang jangan lagi kau baca dengan caramu semalam. Bacalah Al Qur’an seolah-olah aku ada di hadapanmu dan bacalah seakan kau sedang mengulang pelajaran di hadapan ustad yang menjadi gurumu.’ Anak lelaki itu pergi dan malam itu, ia membaca Qur'an seperti apa yang dikatakan sang guru kepadanya. Pagi harinya, ia menemui gurunya dan berkata, 'Guru, saya hanya berhasil membaca separuh dari Al Qur'an itu.’ Lalu sang guru pun berpesan kembali padanya: 'Baiklah anakku, malam ini, aku ingin kau membaca Al Qur’an seolah-olah kau sedang membacanya di hadapan Rasulullah ﷺ.'"

"Kali ini, murid tersebut membaca Al Qur’an dengan lebih berhati-hati. Ia menyemangati dirinya sendiri sambil berkata: 'Aku akan membaca Al Qur’an di hadapan Nabi yang kepadanya Qur’an ini diturunkan.’ Pagi harinya, ia mengatakan kepada gurunya bahwa ia hanya mampu membaca seperempat bagian saja dari Al Qur’an tersebut. Melihat kemajuan yang dialami anak laki-laki itu, sebagaimana seorang mursid yang sedikit demi sedikit menambahkan pelajaran yang akan diajarkan pada muridnya, sang guru lalu berkata, 'Nah, kali ini kau akan membaca Al Qur’an sambil membayangkan ketika malaikat Jibril a.s. menyampaikannya kepada Rasulullah ﷺ.' Hari berikutnya, murid itu kembali dan berkata kepada gurunya, 'wahai Guruku, aku bersumpah demi Allah, semalam aku hanya berhasil membaca satu surat saja tadi malam.’ Dan akhirnya, gurunya berkata, ‘Anakku, sekarang bacalah seolah-olah kau membacanya di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, yang berada di balik ribuan hijab. Bayangkanlah Allah Subhânahu wa ta’âla mendengarkan apa yang kau baca, menyimak apa yang sebelumnya diturunkannya untukmu, sebagai ummat manusia.’ Paginya, murid itu datang menemui gurunya dan menangis, ‘Wahai Guruku, aku membaca Alhamdulillahi rabbi’l-âlamîn (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), lalu kulanjutkan hingga mâliki yawmi’d-dîn  (Penguasa hari kiamat) tapi saya tidak bisa mampu mengatakan ‘iyyaka na’budu (Hanya kepada-Mu kami menyembah)’. Saya menyadari bahwa seringkali saya menyembah pada begitu banyak hal, saya membungkuk dan tunduk di hadapan banyak hal hingga saya tidak berani mengatakan ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah ketika saya bayangkan bahwa saya sedang mengucapkan itu di hadapan Tuhan.’"

Hafiz Munawi mengatakan bahwa anak itu tidak hidup terlalu lama dan ia meninggal beberapa hari kemudian. Guru bijaksana yang telah membantunya mencapai hingga tingkatan itu berdiri di samping makamnya, melihat dan mendengarkan keadaan anak muda itu. Kemudian, ia mendengarkan suara anak itu berseru dari kubur, "Wahai Guruku, aku telah mencapai tingkatan ‘tayyim’ sehingga aku bisa melalui keadaan di sini tanpa hisab."

Membaca Al Qur’an sambil merenungkan makna ayat-ayatnya, berhati-hati pada setiap kata, dan sikap penuh rasa hormat kepadanya sebagai ‘firman Allah’ sangatlah penting untuk membuka hati dan batin kita. Perasaan yang tulus seperti ini akan menarik orang yang membaca maupun yang mendengarkannya pada iklim Qur'ani dan mampu membuka lebar pintu-pintu langit.

Dengan menjelaskan cerita ini, bukan berarti saya mengatakan "jangan membaca Qur'an jika Anda tidak mampu memiliki perasaan seperti ini." Akan tetapi saya ingin menyampaikan bahwa memperhatikan apa yang Qur'an katakan kepada kita akan memiliki pengaruh besar bagi jiwa kita dan pentingnya memiliki hubungan yang kuat dengan Al Qur’an adalah yang ingin saya tekankan. Jangan berharap Qur’an akan berpengaruh pada kehidupan individual dan sosial kita jika kita tersebut tidak memberikan transformasi bagi jiwa kita. Kita harus bisa berubah dengan Al Qur’an, kita harus memalingkan wajah pada cakrawala Qur’an, dan kita harus merasakan dengan kuat kedalamannya; dengan cara itulah Qur’an akan membuka tabir rahasianya kepada mata hati kita.

Kembali pada cerita yang telah dikisahkan sebelumnya. Anak muda itu tidak mati. Ia telah mencapai Tuhan-nya. Jantungnya berhenti berdetak dikarenakan kegembiraan yang disebabkan oleh ayat-ayat Al Qur’an yang telah membangunkan jiwanya yang bersih dan ia berjalan menuju Rabb-nya. Tentu saja, ia akan hidup pada keabadian. Anak itu tidak mampu melewati ayat iyyaka na’budu (Hanya kepada-Mu kami menyembah)," sehingga ia terus mengulanginya hingga fajar. Suatu ketika, ada cerita orang lain yang mengalami hal  serupa di Ka'bah. Ketika kepalanya menyentuh dinding Ka'bah,  orang itu berkata, "Ya, Rabbi" dan ia pun berhenti, tertegun .... Ia tidak mampu melanjutkan lebih jauh, terpaku oleh pemikiran: "Apakah kau mampu mengatakan kata itu? Lalu kenapa kau masih belum mampu menyingkirkan kemunafikan?" Namun demikian, apa yang orang itu alami tidak mudah untuk diungkapkan dengan perasaan tidak pula bisa dijelaskan kepada orang lain. Selama beberapa saat orang itu berada dalam keadaan cinta yang teramat dalam. Bahkan setelahnya, orang itu sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya.

Kesimpulannya, jika kita mampu menjaga garis batasan seperti ini di rumah kita dan  bisa menunjukkan sikap yang mencerminkan kesetiaan kalbu kita pada Al Qur’an, serta keberadaan kita dalam lingkaran Rasulullah Muhammad ﷺ, maka orang-orang yang berada jauh maupun dekat dengan kita akan mekar dengan indahnya, seperti hujan  bulan April yang mendatangkan hijaunya pepohonan musim semi. Di sekitar kita akan terus menerus menjadi ‘ba’su ba’dal maut’, dan bahkan para malaikatpun akan iri dengan kehidupan seperti ini.

a) Tidak Membuat Anak Membenci Agama

Pada masa sebelum kita, pesan-pesan bahwa agama kabar gembira dan memudahkan kehidupan manusia belum benar-benar disampaikan kepada generasi muda di negara kita maupun di negara-negara muslim lainnya, bahkan mungkin pesan ini sangat jauh dari mereka. Ketika kita memandang situasi itu dengan hati yang bersih dan akal sehat, maka kita bisa melihat bahwa penyebabnya adalah ketidaktahuan dan ketidakpedulian tentang "makna".

Pada masa sekarang, orang-orang beriman mengatakan bahwa "Kami beriman kepada Allahﷻ," tetapi sayangnya mereka tidak sepenuhnya sadar tentang makna yang melekat pada pernyataan itu. Mereka belum mampu mengkoordinasikan hubungan antara dunia luar dan dunia batinnya sehingga gagal memahami ketinggiann konsep-konsep agama dengan benar. Betapa menyedihkannya bahwa saat di sekolah-sekolah diajarkan pelajaran agama, kesempatan seperti ini hanya dipakai oleh para pengajarnya untuk menghafalkan ayat-ayat Al Qur’an pada anak-anak murid yang belum memiliki simpati pada agamanya, bahkan karena metode pendidikan yang keliru, ‘rasa hormat’ yang baru ada sedikit pada agamanya pun dimusnahkan.  Saat hal ini dilakukan tentu saja tidak ada yang benar-benar sengaja melakukannya agar anak membenci agamanya, namun sayangnya hal ini adalah salah satu kesalahan yang terus terulang dari waktu ke waktu.

Bahkan secara pribadi saya sekarang pun tidak bisa berkata bahwa kita telah benar-benar memanfaatkan dengan baik kesempatan yang diberikan Allah pada kita. Saat anak-anak datang pada kita dengan pertanyaan tentang agama yang terlintas di pikiran mereka, ketika tugas utama kita seharusnya adalah menjawab semua keraguannya, membuatnya mencintai agamanya, serta mengisi hati mereka dengan kasih Allah Subhânahu wa ta’âla dan Rasulullah Muhammad ﷺ sesuai dengan akal dan nalar mereka, sayangnya justru kita malah mengesampingkan perasaan yang kelak akan menjadi penyemangat bagi tugas mereka di masa depan ini dan malah membuat mereka takut. Ya, jika agama diibaratkan hanya sebagai serangkaian formalitas dan anak-anak hanya dipaksakan untuk menghafalkan beberapa hal saja maka -Naudzubillahi min dzalik- mereka bisa saja justru berbalik membenci agamanya, jikapun mereka mengikuti satu pelajaran agama mungkin cara ini akan membuat mereka menolak untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sebagaimana seorang anak berusia 6 bulan tidak boleh diberikan makanan orang dewasa maka begitu pula hingga usia tertentu seorang anak sebaiknya tidak dipaksakan untuk menghafal dengan cara yang mengintimidasi mereka. Sebaliknya, setelah anak benar-benar memahami dan sadar tentang imannya maka ia akan dengan sendirinya berusaha untuk menghafal hal-hal yang memang seharusnya diketahuinya. Pendekatan kita seharusnya adalah dalam kerangka membuat mereka mencintai, memikirkan, menyukai dan mengenal Islam secara utuh, dan membuat Islam tertanam dalam dirinya. Jika kita tidak memilih cara ini dan justru menakuti anak-anak yang belum berdosa itu dengan jumlah hafalan yang banyak, maka hal ini sadar atau tidak telah membuat alam bawah sadar anak membenci agamanya yang kemudian justru dapat menjadi ancaman bagi jalan pengabdiannya bagi agamanya sendiri kelak di kemudian hari.  

Orang-orang yang beriman seharusnya peka terhadap hal ini dan berusaha membuat agama menjadi hal yang menyenangkan dalam setiap aspeknya. Sebaiknya kita mencoba membuka hati dan pikiran anak-anak pada makna spiritualitasnya dan bukannya justru memusingkan mereka pada hitungan jumlah dan hafalan yang banyak. Ajaklah anak untuk mencintai Al Qur’an dengan kedalamannya, begitu besarnya rasa cinta itu sehingga akan mendorong mereka untuk ingin mempelajari, memahami konsep-konsep Ilahi dan menjadikan dirinya mencapai kondisi terbaik sebagai seorang Muslim. Sehingga selanjutnya mereka sendirilah yang akan memohon kepada Rabb-nya: "Ya, Allah yang Mahakuasa! Anugerahi hambamu ini kemampuan untuk memahami agama, mampukan aku untuk mempelajari tujuan Ilahi dalam semua penciptaan, penuhi aku dengan kebenaran Al Qur’an". Beginilah seharusnya pemikiran mereka kelak akan terbentuk dan seluruh kehidupannya akan selalu terikat pada perspektif ini.

b) Menjalankan Rutinitas Ibadah Fardhu dan Sunnah

“dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang mmeberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.”(QS. Tâhâ 20: 132) 

Dalam kondisi apapun orangtua harus menunaikan kewajiban agamanya dengan baik tanpa kurang sedikitpun, sehingga anak-anak tidak melihat ada alasan apapun yang bisa mengurangi rasa penghambaan mereka kepada Tuhan. Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan doa-doa khusus yang beliau panjatkan ketika beliau bangun di malam hari. Beliau akan memenuhi membaca doa-doa tersebut di waktu lain jika sekiranya Ia melewatkan membaca doa-doa tersebut di malam hari, meskipun ibadah itu bukanlah ibadah wajib. Dengan cara ini, Beliau ingin menunjukkan dengan jelas bahwa setiap praktik ibadah di rumah ataupun di luar rumah tidak boleh ditinggalkan walau dengan alasan apapun.

Para sahabat Nabi menyadari bahwa ibadah apapun yang telah mulai mereka kerjakan, haruslah diteruskan dengan cara yang sama. Abdullah bin Amr bin Âs, yang merupakan salah satu ahli ibadah (seorang zuhd dan âbid) pada masa itu, ingin berpuasa setiap hari dan menghabiskan waktunya setiap malam dengan beribadah hingga subuh. Selanjutnya, ketika telah dinikahkan seringkali ia tidak mendekati istrinya selama berhari-hari. Ketika istri Abdullah bin Amr mengeluh kepada Rasulullah melalui perantaraan ayah mertuanya, Abdullah bin Amr bin Âs pun dipanggil menemui Rasulullah ﷺ dan ia ditegur karena telah mengabaikan istrinya. Hari itu, Rasulullah ﷺ menyuruhnya mengurangi ibadah sunnah tengah malamnya; namun Abdullah bin Amr bersikeras untuk tetap beribadah dan berkata, "Ya Rasulullah, bahkan saya mampu melakukan lebih dari itu." Pada akhirnya, Rasulullah ﷺ berhasil meyakinkannya untuk sehari berpuasa sehari tidak dan tidur selama sepertiga malam, dan memanfaatkan sisa waktu malam lainnya untuk beribadah. Hal ini diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.[9] Di kemudian hari, Sahabat yang mulia ini berkata kepada yang lain, "Seharusnya dulu aku menyetujui apa yang dikatakan oleh Rasulullah kepadaku. Ternyata sungguh sulit mempertahankan ibadah seperti yang kulakukan setelah mencapai usia tua seperti ini. Meskipun begitu, aku tidak ingin meninggalkan ibadah sunnah yang telah kubiasakan sejak dulu. Aku ingin Rasulullah mendapati diriku kelak, persis seperti ketika Beliau meninggalkanku dahulu."[10]

Abdullah bin Amr adalah teladan yang baik; seseorang tidak boleh meninggalkan ibadah yang telah terbiasa dilakukannya. Dalam sebuah hadis sahih Rasulullah  ﷺ menyatakan bahwa “Ibadah yang paling berharga ialah yang terus-menerus dikerjakan walaupun sedikit.” [11] Namun sekiranya Kita tidak mampu mengerjakan ibadah sunnah yang banyak, maka setidaknya tetaplah menunaikan ibadah wajib dengan tambahan sunnah semampu kita secara teratur sehingga anak akan memiliki citra yang baik tentang orang tuanya dalam hal ini. Jika hanya mampu melakukan shalat-shalat wajib dan sunnah, maka setidaknya jangan sampai ada yang kurang atau tertinggal. Jika Kita sudah mulai melakukan salat sunnah tahajjud misalnya, maka teruslah usahakan untuk rutin melakukannya. Jika dianggap perlu, orang tua bahkan seharusnya salat witir malam di hadapan anak dan bangun tengah malam bersama mereka untuk melaksanan ibadah-ibadah malam dengan mereka agar lebih berbekas di kalbunya. Jika orang tua terbiasa menunaikan ibadah-ibadah salat sunnah seperti dhuha, isyrâq, ataupun awwâbin maka usahakan agar terus melakukannya secara berkesinambungan agar anak tidak merasa bahwa sebuah kebiasaan baik bisa juga terkadang “ditinggalkan atau diabaikan”. Dengan demikian, anak akan mementingkan ibadahnya dan keseriusan dalam beribadah akan terpetakan di dalam hatinya. Ya, anaklah yang nanti akan berkata: “Ayah, kok tadi salat isyrâq tapi sekarang tidak salat dhuha?” Selain itu amat penting untuk menunjukkan ke-khusyu’an yang dalam dan rasa hormat yang besar pada ibadah-ibadah yang kita lakukan tersebut. Hal ini harus dilakukan agar hal-hal positif ini benar-benar tertanam dan berkembang di alam bawah sadarnya.

Tentu saja sejauh ini, apa yang telah kita bahas hanya akan menarik bagi mereka yang juga memiliki cara berpikir yang sama dengan kami. Inilah jalan yang harus kita pilih jika kita ingin anak-anak kita menjadi Muslim yang peka, berperasaan halus, sholeh, memiliki kesadaran, terpelajar dan mau menekuni keislamannya. Setiap tujuan hanya dapat dicapai melalui jalannya masing-masing, maka jika kita berjalan dengan prinsip ini semoga hasilnya pun akan didapatkan. Dengan kata lain, jika menginginkan anak menemukan cara hidup dan jalan yang benar maka kita sebagai orang tuanya harus pula memiliki sebuah jalan dan cara hidup juga. Pemikiran dan sikap kita harus selalu selaras agar anakpun akan selalu dipenuhi dengan pemikiran yang sama pula karena senantiasa menyaksikan hal tersebut. Sesungguhnya memenuhi semua ini adalah sebuah syarat duniawi untuk mendapatkan akhirat dan bagi tercapainya kebahagiaan dunia-akhirat anak. Walaupun semua ini tampak seperti saran dari seorang hakim atau ahli nutrisi yang seringkali diabaikan orang, namun walaupun sulit harus tetap diusahakan untuk dapat menerapkannya. Seperti obat yang  harus diminum pagi dan petang tanpa terlupa sekalipun. Dengan cara ini, kita akan memiliki kehidupan yang seimbang, bersikap dengan perhitungan dan akan ada hakim yang adil bagi rumah kita.    

Anak harus memiliki rasa hormat, sikap yang khusyu’, adab serta ketenangan; mereka harus menyaksikan dan merasakan semua perasaan ini dari tatapan mata kita, perasaan kita, cara kita tidur, duduk maupun berdiri serta memenuhi jiwanya dengan semua ini.

c) Menghormati Konsep-Konsep yang Dimuliakan dalam Islam

Ada konsep-konsep tertentu yang mengandung kesucian atau kemuliaan dalam pemahaman kita. Ada makna yang amat mulia pula di balik pemahaman-pemahaman ini. Bagi kita, pemahaman atau konsep tentang “Allah  Subhânahu wa ta’âla” adalah sebuah kemuliaan dan sekaligus salah satu dari rukun iman. Seseorang yang tidak percaya pada Allah  Subhânahu wa ta’âla tidak mungkin memiliki kehidupan dalam iman atau Islam. Satu hal yang tidak boleh pernah dilupakan adalah tentang tanggung jawab orang tua untuk memberikan pemahaman tentang gagasan-gagasan yang mulia dan suci ini pada pemikirannya, menempatkannya di kalbu mereka serta menumpahkannya pada dunia imajinasi anak ketika usia mereka sudah mencukupi (biasanya usia di antara 7-9 tahun dianggap sebagai usia yang ideal). Keberadaan Rasulullah ﷺ akan hidup dalam dunia imajinasi anak jika hal tersebut selalu menjadi pembahasan dan pokok pembicaraan di rumah. Bisa dibayangkan jika topik utama percakapan di rumah adalah para selebritas yang tampil di TV – film dan pandangan anak hanya selalu tertumpu pada layar televisi atau film, maka tentu saja dunia imajinasi anak hanya akan dikuasai oleh artis-artis tersebut. Anak dengan mudah akan menghafal nama-nama bintang film, olahragawan, musisi, dan selebriti lainnya, tetapi ia bahkan tidak bisa menghafal nama-nama Para  Sahabat Nabi yang Mulia. Seluruh kemampuan ingatan dan alam bawah sadarnya hanya akan dipenuhi oleh hal-hal yang walaupun mungkin diperlukan namun karena hanya akan mendatangkan ‘khayalan pada kefasikan’ saja maka menjadi tidak berguna.

Pemikiran dan tindakan kita tentang segala sesuatu yang dianggap suci atau mulia dalam agama harus selalu diungkapkan dengan penuh rasa takzim dan hormat. Misalnya, Ka'bah adalah tempat suci bagi kita. Ketika kita mengungkapkan perasaan tentang Ka'bah di dekat anak maka nyatakanlah dengan bentuk penghormatan terbaik. Ketika kita melangkah ke perbatasan di dekat Ka'bah atau mendekati Madinah al-Munawwarah, maka tapakkanlah kaki kita ke tanah suci itu dengan langkah penuh hormat. Bahkan kita harus mengatakan "Ini bukan tempat untuk berjalan dengan sepatu atau mengendarai tunggangan", sebagaimana yang selalu dikatakan oleh Imam Malik. Setiap kali imam besar itu mencapai perbatasan Madinah, ketika beliau datang dari tempat yang jauh untuk mengajarkan hadis di Masjid Nabawi (Masjid Nabi) atau masjid yang lain, maka beliau akan turun dari tunggangan hewan yang dikendarainya dan mengatakan bahwa begitulah cara seseorang harus berperilaku di dalam kota mulia itu. Tentu saja, setiap anak yang bisa melihat perilaku semacam ini akan sangat menghormati Ar-Raudhah[12] dan Pemiliknya ﷺ.

Hal yang sama juga berlaku bagi Al Qur’an. Al Qur’an menyatakan: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati  (Al-Haj 22:32).” Sumber penghormatan kepada syiar suci berasal dari ketaqwaan hati. Sementara ketaqwaan hati hanya mungkin timbul dari hati yang mengenal Allah ﷻ, menghadapkan wajah kepada Allah yang diketahui akan Kebesaran-Nya dengan penuh rasa hormat, berlindung kepada-Nya, mematuhi-Nya dan dengan memahami secara utuh tentang ‘Hakikat Uluhiyah’. Menghormati syiar-syiar Allah adalah sesuatu yang sangat penting. Misalnya, Masjid yang merupakan salah satu tempat bagi syiar-Nya harus memiliki tempat yang mulia dalam pikiran anak sehingga ia akan berpikir bahwa semua jalan menuju Allah akan dimulai dari masjid. Ketika suara indah muadzin memanggil dari menara masjid, menyerukan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar), maka perhatian seorang anak seharusnya tertuju padanya dan ketika kalimat “Allahu Akbar” terdengar ia seharusnya mengulangi kata-kata yang didengarnya tersebut. Ketika adzan berakhir, mereka seharusnya menengadahkan tangan seraya melafalkan doa: Allahumma rabba hâdzihi’d-da’wati’t-tâmmati wa’sh-shalâti’l-qâimati, âti sayyidanâ Muhammadani’l-washîlata wa’l-fadzilata wa’b’ashu maqâmam mahmûdani’lladzii wa’adtah innaka lâ tukhliful-miâd. (Ya Allah! Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini dan salat yang akan didirikan; berikanlah junjungan kami, Nabi Muhammad ﷺ, wasilah, keutamaan, kemuliaan, dan derajat yang tinggi; dan angkatlah ia ke tempat yang terpuji, yang telah Engkau janjikan kepadanya).[13]

Kesimpulannya, jika kita yakin pada Allah dan benar-benar mencintai-Nya serta jika di dalam diri kita ada ketakwaan dan rasa hormat terhadap syiar Islam, maka kita harus memenuhi sanubari anak-anak kita dengan perasaan ini, menunjukkan kepada mereka kebesaran Tuhan, membuat mereka mencintai-Nya dan menunjukkan pada mereka bahwa Ia bukan hanya Mâbud-u Mutlak (Satu-satunya yang patut disembah) namun juga Mahbub, Maksud dan Matlub-u Mutlak (satu-satunya yang patut dicintai, dituju dan diinginkan) sehingga seluruh rasa ke-egoan yang ada dalam diri anak akan lenyap. Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Thabrani dan diriwayatkan oleh Abu Umama, Rasulullah ﷺ mengatakan: "Buatlah hamba-hamba-Nya mencintai Allah, sehingga Allah juga akan mencintaimu."[14] Allah ﷻ hanya dapat dicintai jika kita benar-benar mengenal-Nya, karena manusia akan ramah kepada sesuatu yang diakrabinya dan memusuhi sesuatu yang asing baginya. Orang yang tak beragama atau ateis memusuhi Allah karena ketidaktahuan mereka tentang-Nya, seandainya orang-orang itu mengenal Allah dengan baik, mereka akan mencintai-Nya.

Di dalam Al Qur'an, Allah berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (Surah Adz-dzariyat 51: 56). Ibnu Abbas dan Mujahid ra. menafsirkan kata liya’budûn (kecuali untuk beribadah kepada-Ku) pada ayat di atas sebagai liya’rifûn (sehingga mereka mengenal dan mengetahui tentang-Ku)[15]. Ini berarti jika seseorang mengenal Allah maka ia akan mampu memenuhi tugasnya sebagai seorang hamba namun jika tidak, maka ia tidak akan tahu berterima kasih kepada Tuhannya. Jadi, pertama-tama kita harus membuat anak mengenal Allah. Setelah mereka mengenal-Nya hati mereka akan dipenuhi oleh perasaan itu maka mereka akan memiliki rasa hormat yang dalam kepada Allah. Akan tetapi ada cara yang berbeda-beda untuk memperkenalkan Allah pada setiap tahapannya, yaitu cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan usia anak. Bagi anak-anak yang masih kecil, menceritakan pada anak bahwa makan malam yang tersedia di meja makan berasal dari Allah akan cukup untuk menegaskan maksud kita tanpa harus disertai dalil dan cukup dengan penjelasan abstrak saja. Setelah anak tumbuh lebih besar adalah bijaksana untuk memberi tahu mereka bahwa hujan, yang dibutuhkan oleh semua manusia, hewan, dan tumbuhan, turun dari langit karena berkah dan Inayah-Nya, rinai tetes hujan yang membasahi kepala kita itu mengalir dari limpahan kasih dan Rahmat-Nya. Bagi anak yang lebih dewasa, kita perlu memberi tahu tentang fakta-fakta fisik yang lebih rumit, tentang hukum  penguapan air laut terjadi, penjelasan tentang bagaimana hujan tercurah turun dalam titik-titik air kecil, dan menekankan pada mereka bahwa semua itu bukanlah sebuah kebetulan namun segala sesuatu terjadi melalui anugerah-Nya. Adapun untuk anak-anak yang memerlukan pemahaman lebih lanjut, kita dapat memberi tahu mereka tentang Allah, menggunakan fakta-fakta yang dinyatakan oleh ilmu pengetahuan kontemporer sehingga mereka akan lebih mencintai-Nya.

Suatu kali, pada sebuah hadis Rasulullah  ﷺ menyatakan: "Cintailah Allah karena Dia memberikan banyak nikmat kepadamu, cintailah aku dikarenakan aku adalah Rasul-Nya dan cintalah keluargaku karena kau mencintaiku."[16]

Tidaklah sulit untuk membuat anak-anak Anda mencintai Rasulullah dan para Sahabatnya, asalkan kita menemukan metode yang tepat. Jika saja yang kita hadiahkan bagi mereka adalah buku kumpulan kisah hidup Nabi yang diberkahi untuk dibaca dan bukan buku-buku lain yang tidak penting, atau setidaknya memberi mereka buku Muhammad Yusuf Kandahlawî yaitu Hayatu's-Sahaba (Kehidupan Para Sahabat), sebuah buku referensi yang sangat baik. Jika kita memberi mereka buku yang dengannya anak-anak memiliki kesempatan untuk belajar tentang Rasulullah, Para Sahabatnya, dan tentang anak-anak Para Sahabat, mengenal mereka dan menjadikan masing-masing darinya sebagai pahlawan di mata mereka. Anak-anak akan mencontoh dan berusaha menyerupai mereka, menjadi berani seperti Sahabat Hamzah ra., bersifat ksatria dan pandai seperti Khalifah Ali ra., siddik atau setia seperti Khalifah Abu Bakar ra., dan mereka akan selalu mencoba untuk adil dan bijaksana seperti Al Fâruk, Umar bin Khatab ra. Semoga beribu-ribu Ridha dan Ridwan dari Allah ﷻ meliputi mereka semua....!

Ya, sangat penting untuk selalu menempatkan Al Qur’an, siyar atau kisah Nabi Muhammad ﷺ dan buku-buku lain tentang epik kepahlawanan Para Sahabat di tempat yang paling terhormat di rumah kita, mengarahkan agar hati anak-anak kita mendapatkan nutrisi darinya, membuka mata dan kalbu mereka dengan kisah-kisah para pahlawan bangsa dan pendahulu kita hingga membuat mereka lebih mencintai mereka.

Sampai di sini saya ingin menarik sebuah poin penting untuk menjadi bahan pemikiran bagi Anda. Walaupun penting bagi kita untuk tetap menggunakan bentuk-bentuk pemikiran filosofi dan jalan nalar saat menghadapi keragu-raguan ataupun ketidak yakinan yang mungkin timbul terhadap akidah dikarenakan logika yang mengacu pada berbagai dalil-dalil, namun bertahan pada nalar yang abstrak terkadang juga dapat memadamkan nyala kalbu seseorang dan membawanya pada keputus asaan. Setelah seseorang melakukan semua kewajiban-kewajibannya yang berkaitan dengan akal dan fikiran serta setelah memenuhi semua fungsi-fungsi yang berhubungan dengannya maka ia akan mulai mencari tau bagaimana caranya agar semua perasaan dan pemikiran tersebut bisa dipraktikkan pada kehidupan nyata. Oleh karena itu, walaupun kita menjelaskan keberadaan Allah ﷻ menggunakan bahasa fisika, kimia, astronomi dan mengaitkannya pada ribuan dalil-dalil yang ada di alam semesta maupun yang ada pada diri kita sendiri, dan meskipun kita bisa membawa mereka naik ke atas langit melalui sebuah tangga nurani yang diturunkan dari langit sekalipun, namun kita jika kita gagal memberikan contoh-contoh praktis dari kehidupan, maka di dalam pikirannya anak akan memahami semua pemikiran agama tersebut hanya seperti pandangan teoritis atau filosofis semata.

Jika kita ingin menjelaskan tentang hukum-hukum yang bersumber dari nilai agama dan kualitas kebangsaan pada anak kita maka kita harus mampu menerangkan dengan jelas bahwa yang sedang kita bicarakan tersebut benar-benar terjadi pada periode tertentu dalam sejarah, jika tidak mungkin saja kisah itu hanya akan terdengar seperti sebuah dongeng bagi mereka. Inilah sebabnya mengapa kita harus menunjukkan kepada anak-anak bahwa prinsip-prinsip tersebut pernah dipraktikkan dan akan dapat dipraktikkan lagi.

Sampai saat ini, kadang-kadang orang berkata, "Apa yang dikatakan tentang Para Sahabat mungkin benar, tapi hal itu mungkin hanya terjadi sekali saja dan tidak mungkin terulangi atau sangat sulit untuk bisa terjadi lagi, bahka terlihat seperti sesuatu yang utopia belaka." Pikiran negatif seperti ini mirip sebuah epidemi penyakit yang seringkali menyebar ke mana-mana. Namun apa salahnya jika kita berfikir bahwa saat kita melihat para pemuda hari ini yang mengenal Sang Pencipta Mahaagung dan Rasul-Nya; yang mengasihi mereka secara mendalam, kita seharusnya bisa meyakini bahwa akan ada lagi komunitas pemuda yang gaya hidupnya menyerupai Para Sahabat yang mulia itu. Mengingat petunjuk dan kabar gembira yang diberikan dalam Al Qur’an dan didukung oleh hadis Rasulullah ﷺ, kita bisa mempercaya tentang akan munculnya komunitas yang dijelaskan oleh Rasulullah sebagai "ghuraba,"[17] orang-orang yang dianggap sebagai orang asing di tanah mereka sendiri karena kepercayaan dan gaya hidup mereka serupa dengan Para Sahabat di masa Rasulullah dan bertujuan menyampaikan nilai-nilai Islam yang mulia.

Sebagai orang tua, kesalehan dalam hati kita, ketaqwaan, rasa cinta, dan penghormatan yang kita miliki bagi Allah Subhânahu wa ta’âla, juga perilaku penuh takzim yang kita tunjukkan terhadap masjid dan ibadah akan terlihat oleh anak sebagai tanda-tanda bercahaya yang mengundangnya mengikuti jalan Allah dan mereka akan menganggap orang tuanya sebagai seorang hamba-Nya yang suci.

Adzan adalah salah satu simbol terpenting  dari perasaan-perasaan mulia seorang muslim dan sarana untuk berkonsentrasi sebelum salat. Pada saat yang sama, adzan juga merupakan panggilan dan undangan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk memenuhi tugas mereka, sebagai pengingat akan keagungan-Nya. Jika kita berhasil membesarkan anak-anak dengan perasaan seperti ini di dalam hati mereka, maka setiap kali mereka mendengar suara adzan berkumandang, perasaan haru akan memnuhi lubuk hatinya, air mata akan menggenang di pelupuk matanya, akan timbul perasaan bersemangat, dan penuh cinta pada Allah Subhânahu wa ta’âla, dan semuanya ini akan menggetarkan tubuh mereka. Tugas suci dan mulia ini telah dilakukan dengan baik oleh generasi Muslim sebelumnya dan diajarkan pula pada kita dan generasi sebelum kita walaupun berbagai halangan dan kesulitan menghadang mereka, maka – dengan izin dan kehendak Allah, inshâ Allah – akan kita lakukan dan tegakkan lagi dengan semangat yang sama bagi anak-anak kita, generasi di masa depan. Ya, kita akan mengumandangkan ajaran agama, mengajarkan pada generasi yang akan membawa masa depannya ini  untuk memberi penghormatan kepada pilar-pilar Islam, mengajak semua orang untuk mencintai Allah, Rasul dan Al Qur’anul Karim.

Sebagai penutup dari bagian ini saya ingin menyampaikan bahwa kewajiban agama harus benar-benar terpenuhi di rumah; keraguan atau kebimbangan tentang agama dan keimanan yang mungkin muncul dalam pikiran anak-anak  harus dihilangkan sedini mungkin. Di rumah kita harus ada waktu-waktu tertentu dalam satu hari yang diperuntukkan atau dikhususkan untuk ber-taqarubb, berdoa dan mendekatkan diri kepada Ilahi, saat Rahmat Ilahi mengalir dalam kelimpahan, saat mata kita dipenuhi pengharapan yang manis diliputi rasa raja’(penantian datangnya kebaikan-kebaikan dan harapan terhadap ampunan dari maksiat melalui tobat)pada-Nya dan hati kita akan meluap dengan kesedihan karena kerinduan pada-Nya. Pada jam-jam tersebut seolah-olah kehadiran Rasulullah ﷺ akan dirasakan di rumah melalui perilaku dan sikap ibu, ayah bahkan anak-anak di rumah tersebut.

Nilai-nilai yang akan anak dapatkan dengan cara ini begitu besar dan tak ternilai sehingga dalam kehidupan masa depannya, ia akan menikmati buah dari upaya orang tuanya ini dan kelak mereka akan berdoa bagi kita dalam rasa penuh kesyukuran dan berterima kasih.

Menghormati pilar-pilar suci agama berarti menerima kebesaran Dzat yang Maha Agung dan kebesaran nilai-nilai yang dipegang erat oleh Islam baik dengan ucapan maupun perbuatan. Cinta kepada Yang Maha Mulia akan mekar di hati mereka yang muda seiring dengan ucapan "Allahu Akbar" saat adzan bergema. Cinta ini akan berkibar seperti bendera di dunia spiritual mereka, bagai kain sutra yang menyelimuti kalbu mereka dan saat itu semua terjadi Anda sebagai orang tua mereka akan tersenyum penuh syukur karena berkah Ilahi tersebut.



[1] Sahih al-Bukhari, "Manaqib" 25; "Ikrah" 1.

[2] Muhammad Lutfi Efendi (1868-1956), yang dikenal sebagai Alvarlı Efe, adalah ulama sufi yang terhormat dan salah satu guru Fethullah Gülen.

[3] Wahbi Zuhayli, Ensiklopedia Fiqih Islam, 2/352-353

[4] Nasai, Sahih, 13; Muwatta; Salat 85

[5] Ibn Abidin, Raddu’l-Muhtar, 1/291

[6] Al-Ajluni, Kasyfu’l-Khafa, 2/173-174

[7] Munawi, Fayzu’l-Kadir, 2/529.

[8] Ibnu Majah, "Iqama" 176.

[9] Bukhari, Shaum, 55; Fazâilu’l-Qur’an,34; Muslim, Shiyâm, 182.

[10] Abu Nuaim, Hilya, 1/285-286.

[11] Bukhari, Iman 32; Riqa’, 18; Muslim, Musafirin 216,218; Munafiqin, 78; Abu Daud, Tatawu 27; Nasa’i, qiyamullail, 19; Ibnu Majah, Zuhd 28.

[12] Tempat antara makam Nabi Muhammad dan mimbar masjid beliau yang disebut "sebuah taman dari surga", seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis (Fath al-Bari, 1888).

[13] Bukhari, Adzan, 8; Tafsiru Sura(17) 11; Tirmidzi, Salât 43; Nasai, Adzan 38; Ibnu Majjah, Adzan 4.

[14] Thabrani, Mu’jam al-Kabir, 8/90; Ali al-Muttaki, Kanzu’l-Ummal, 15/777.

[15] Kurtubî, al-Jâmiu li Ahkâmi’l-Qur’an, 17/55.

[16] Kurthubî, al-Jâmiu li Ahkâmi’l-Qur’an, 17/55.

[17] Muslin, Iman 232; Tirmidzi, Iman 13

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.