Yang Diperlukan untuk Menjadi Seorang Mu’min?

Yang Diperlukan untuk Menjadi Seorang Mu’min?

Hari ini, di atas segalanya, kita membutuhkan sebuah generasi yang bersungguh-sungguh dalam memenuhi kewajiban mereka terhadap Allah. Kita juga membutuhkan orang-orang yang ideal yang dapat membimbing masyarakat, kita membutuhkan petunjuk jalan yang ideal yang akan menyelamatkan manusia dari jurang terkutuk ateisme, kebodohan, kesalahan, dan anarki dan yang akan memimpin mereka menuju iman, wawasan, tujuan yang benar, dan perdamaian. Di setiap era depresi, ada pemikiran-pemikiran yang mencerahkan massa yang menderita depresi agama, intelektual, sosial, keuangan, dan moral; pemikiran-pemikiran ini telah menafsir ulang umat manusia, alam semesta dan kehidupan secara keseluruhan, dan mereka bahkan menafsir ulang latar belakang keberadaan, menyingkirkan hambatan dalam proses berpikir kita. Berkali-kali orang-orang membuat baju baru dari kain kafan, berkali-kali mereka telah menafsir ulang banyak hal dan fenomena. Mereka telah membaca kitab kehidupan—sebuah kitab yang dalam persepsi pikiran yang dangkal telah pudar warnanya, tidak mengkilap lagi dan redup—bagaikan musik, merasakannya sampai merasuk sedalam-dalamnya; mereka telah mengamatinya seperti dalam sebuah pameran. Mereka telah mengungkap kebenaran yang tersembunyi di dalam hati alam semesta dengan menganalisa setiap permasalahan musim demi musim, paragraf demi paragraf.

Karakteristik yang paling penting dari orang-orang yang berjasa tersebut adalah keimanan mereka dan upaya yang mereka lakukan untuk membuat orang lain ikut merasakan keimanan itu. Dengan iman dan upaya-upaya ini mereka percaya bahwa mereka akan mampu mengatasi segalanya dan mencapai Tuhan, dan mereka percaya bahwa mereka dapat mencapai kedamaian sejati, dapat mengubah dunia menjadi surga dan meningkatkan standar mereka di taman Firdaus. Indahnya tujuan mereka membuat mereka memandang hidup dan pengabdian untuk berbuat baik sebagai suatu perjalanan melintasi lembah-lembah surga.

Sebenarnya, apapun keanehan atau kompleksitasnya, tidak ada sistem, doktrin, atau filsafat lain yang telah memiliki pengaruh positif pada keimanan terhadap umat manusia. Ketika keimanan merasuki hati manusia di dalam bingkainya sendiri, pikiran mereka tentang alam semesta, benda, dan Tuhan semua tiba-tiba berubah, mendalam dan mencapai keluasan yang memungkinkan mereka untuk mengevaluasi semua kehidupan seolah-olah itu adalah halaman-halaman buku terbuka. Semua yang ada di sekeliling yang telah dilihat oleh orang-orang seperti itu, hal-hal yang sampai hari itu tidak membuat mereka tertarik, segala sesuatu yang sampai hari itu tak bernyawa dan tak berarti, tiba-tiba menjadi penting dan sekarang muncul sebagai teman, sahabat dan semuanya merangkul mereka. Dalam suasana hati yang hangat, orang-orang bisa merasakan sendiri ada di mana peringkat nilai mereka, mereka memahami bahwa mereka adalah bagian kehidupan yang sadar dan unik; mereka mencapai misteri dari jalan yang panjang, berliku-liku antara halaman dan baris dalam alam semesta, mereka merasa hampir menangkap rahasia yang terletak di balik tabir dari segala sesuatu; dan kemudian mereka dibebaskan dari penjara sempit dunia tiga dimensi ini, menemukan diri dalam keabadian yang membentang.

Memang, semua orang mu’min, melalui pikiran-pikiran yang mengalir di kedalaman identitas mereka dan sesuai dengan derajat iman mereka, menjadi tak terbatas dalam batas-batas mereka, meskipun mereka terikat oleh ruang dan waktu, mereka menjadi teladan bagi makhluk yang tidak terbatas, mencapai jajaran makhluk yang berada di atas dan di luar jangkauan ruang, mendengarkan melodi para malaikat. Makhluk ini, diciptakan dari air, dari apa yang tampaknya menjadi onggokan tak berbentuk—apa yang tampaknya menjadi makhluk yang tidak berarti, tapi kenyataannya benar-benar hebat—memperoleh posisi yang begitu penting sehingga bumi menjadi panggung untuk penemuan ruh Tuhan yang terkandung dalam jiwanya. Dan, mereka menjadi makhluk-makhluk semacam itu sehingga mereka tidak layak lagi berada diantara langit dan bumi, menjadi transenden dan mencapai ruang diantara dua kutub.

Mereka berjalan di antara kita; duduk bersama kita; kaki mereka melangkah di mana kaki kita melangkah dan mereka menempatkan kepala mereka ketika shalat di tempat yang sama dengan kita, tapi mereka berhasil menyatukan kaki dan kepala mereka, sehingga menjadi sebuah lingkaran, mereka sujud di hadapan Tuhan, menempatkan diri di sisi-Nya seperti lereng di jalan untuk mendekati-Nya dan mencapai cakrawala menjadi salah satu yang paling dekat dengan Allah dalam satu langkah. Mereka mengepakkan sayap mereka di langit yang sama dengan para malaikat dan hidup seperti makhluk surgawi dalam keadaan manusia. Hati yang demikian ini selalu melampaui individualitas dengan pengembangan dan perluasan perasaan yang ramah, mereka menjadi kepribadian kolektif dan merangkul semua orang beriman, mereka mau menolong semua orang dan menghormati penciptaan secara keseluruhan dengan perasaan tulus. Mereka melihat warna, memperhatikan bentuk, dan sadar akan suara visi suci dalam segala hal dan semua orang yang mereka hadapi, mereka mendengarkan suara dari surga pada setiap frekuensi dan merasa seolah-olah mereka dapat mendengar kepakan sayap-sayap malaikat. Mereka melihat, merasakan, dan mendengarkan seremoni keindahan yang megah: dari gelegar guntur yang menakutkan ke kicau burung yang belum pernah terdengar sebelumnya, dari terjangan ombak laut hingga suara lembut dari sungai yang menginspirasi perasaan keabadian, dari dengung magis dari hutan yang terpencil hingga aksen dari puncak-puncak yang menakjubkan yang tampaknya akan mencapai ke langit, dari angin magis yang tampaknya membelai bukit-bukit hijau dengan aroma yang menawan yang mengucur dari kebun dan tersebar ke mana-mana; mereka mengatakan “ini pasti kehidupan”. Mereka mencoba memberikan nilai pada nafas mereka dengan doa-doa dan melalui verbalisasi dan merenungkan asmaa’ul husna.

Mereka membuka dan menutup mata, dahi mereka selalu menyentuh lantai, menanti sosok yang akrab yang akan muncul dari ambang pintu yang mereka harap akan terbuka, dan melihat ke sisi lain dari pintu itu dengan penuh harap, menunggu saat-saat bahagia itu ketika rasa kehilangan dan kerinduan akan lenyap dan perdamaian serta kedekatan akan menyelimuti jiwa mereka seperti jimat suci. Mereka mencoba menemukan kepuasan untuk keinginan penyatuan kembali dalam jiwa mereka. Mereka terus berlari kepada-Nya, kadang-kadang terbang, kadang-kadang merangkak di tanah, menyatu dengan semua orang dan segala sesuatu. Mereka mengalami sukacita “malam pengantin”[1] di bawah bayangan penyatuan di setiap pemberhentian, memadamkan salah satu dari banyak api kerinduan di setiap kesempatan dan pada saat itu mereka turun dengan api baru, dan mulai terbakar. Siapa yang tahu berapa kali mereka akan menemukan diri mereka dikelilingi dengan nafas “kedekatan dengan Tuhan” dan berapa kali hati mereka akan terluka oleh kesepian dan tragedi karena orang-orang yang tidak bisa merasakan inspirasi ini.

Memang, jiwa yang telah memperluas cakrawala seperti ini merasa diri mereka selalu di jalan menuju alam baru, selalu gigih dalam resolusi dan tekad untuk melampaui norma-norma manusia. Mereka memikirkan kemampuan apa lagi yang akan mereka kuasai dan keberhasilan apa yang akan mereka capai dengan iman dan kekuatan di balik iman itu. Mereka terus berlari tanpa merasa lelah, dengan cakrawala mereka dan prospek selalu terbuka, dan hati mereka damai. Di setiap pemberhentian hubungan mereka dengan lingkungan mereka tumbuh dan semakin dalam. Mereka mungkin menyadari atau tidak menyadari hal itu, tetapi ketika mereka mendengarkan jiwa mereka, mereka melihat diri mereka di sisi gunung kedamaian yang tidak akan pernah berakhir, meskipun mereka menyaksikan berbagai motif kerinduan dan kesepian pada orang lain, mereka tidak pernah merasakan penderitaan di jalan, atau ingin pulang karena mereka tahu dari mana mereka berasal, dan mengapa dan di mana mereka menuju, dan mereka menyadari semua hukum tabur dan tuai di dunia, dan mereka menyadari bahwa mereka berjalan di jalur tertentu dengan tujuan yang pasti. Mereka tidak merasakan keletihan di jalan maupun mengalami ketakutan, kekhawatiran, atau penderitaan yang orang lain alami. Mereka percaya pada Tuhan, berjalan dengan harapan dan merasakan kegembiraan mencapai puncak dan menggapai mimpi-mimpi di langit biru hari esok.

Memang, di sepanjang jalan yang dilangkahi dunia, para pahlawan iman yang santun ini membuat jalan ke derajat iman seolah-olah mereka berjalan di sepanjang lembah surga, tidak menghirup apapun selain nafas perdamaian, di sisi lain, melalui afiliasi mereka dengan Tuhan, mereka dapat menantang seluruh alam semesta, mereka bisa mengatasi kesulitan, dan mereka tidak jatuh dalam keputusasaan meskipun mereka menyaksikan kerusakan di mana-mana. Mereka tidak mundur ketakutan bahkan ketika neraka muncul di hadapan mereka. Mereka selalu menengadahkan kepala tinggi-tinggi dan tidak pernah membungkuk kecuali di hadapan Allah. Mereka tidak mengakui apapun kepada siapapun, mereka tidak mengharapkan apapun dari siapapun, tidak juga mereka membuat diri berhutang budi kepada siapa pun. Ketika mereka menang dan mencapai keberhasilan satu demi satu, mereka gemetaran merasa takut menyadari bahwa ini adalah sebenarnya ujian kesetiaan dan kepatuhan kepada Tuhan, sementara pada saat yang sama mereka merendahkan dengan rasa syukur dan meneteskan air mata kebahagiaan. Mereka tahu bagaimana untuk bersabar ketika gagal dan bertekad keras. Mereka memulai perjalanan mereka dari awal lagi dengan kemauan yang dipertajam. Mereka tidak menjadi sombong atau kufur dalam menghadapi karunia dan tidak jatuh ke dalam keputusasaan ketika mereka menderita kekurangan.

Mereka berhati seperti hati Nabi dalam bergaul dengan orang lain. Mereka mencintai dan merangkul semua orang; mereka menutup mata terhadap kekhilafan orang lain, sementara pada saat yang sama mereka mempertanyakan sekecil apapun kesalahan mereka sendiri. Mereka memaafkan kesalahan orang-orang di sekitar mereka, tidak hanya dalam kondisi normal, tetapi juga pada saat-saat ketika mereka marah; mereka tahu bagaimana hidup damai bahkan dengan orang yang paling mudah tersinggung jiwanya. Bahkan, Islam menyarankan pengikutnya untuk memaafkan sebanyak mungkin, dan tidak terjerumus dalam perasaan benci atau dendam; dalam hal apapun, tak terbayangkan bahwa mereka yang sadar sedang berada di jalan menuju Allah akan bisa mengambil cara lain. Untuk berperilaku dalam cara lain atau untuk berpikir dengan cara lain adalah hal yang mustahil; sebaliknya, dalam semua tindakan mereka, mereka mencari cara-cara yang bisa memberikan kemaslahatan kepada orang lain, mereka menginginkan kebaikan orang lain, dan mereka mencoba untuk menjaga cinta tetap hidup dalam hati mereka, melancarkan pertempuran yang tidak pernah berakhir terhadap dendam dan kebencian. Mereka merasakan panas dari kesalahan dan dosa mereka sendiri, terbakar dengan penyesalan, dan mereka menangkap pikiran jahat di dalam diri mereka pada kerongkongannya beberapa kali setiap hari. Mereka mulai bekerja dengan suka rela dan menyiapkan tanah untuk menyemai bibit yang baik dan keindahan di mana-mana. Mengikuti jejak Rabi’ah al-‘Adawiyah mereka menerima semua orang dan segala sesuatu sebagai sirup manis, meskipun mungkin sebenarnya racun, bahkan ketika mereka didekati dengan kebencian, mereka menyambut dengan senyum, dan mereka mengusir pasukan terbesar dengan senjata yang tak kenal lelah, yaitu cinta.

Allah mencintai orang-orang ini, dan mereka mencintai Allah. Mereka selalu haru dengan kegembiraan cinta dan mengalami kelezatan perasaan dicintai yang memesona. Sayap kerendahan hati mereka selalu bersandar di tanah dan mereka perlu menjadi tanah dalam rangka mencapai sukacita melahirkan mawar. Mereka menghormati orang lain seperti menghargai kehormatan mereka sendiri; mereka tidak pernah membiarkan kesenangan mereka, kasih sayang, kelembutan, dan kehalusan untuk ditafsirkan sebagai kelemahan. Mereka tidak pernah memperhatikan kecaman atau penilaian orang lain, karena mereka hidup sesuai dengan iman mereka; mereka hanya menjaga untuk tidak membiarkan peta pikiran mereka sendiri kehilangan kilau, karena mereka telah memutuskan untuk menjadi orang-orang mu’min yang baik.

[1] Istilah yang digunakan Rumi untuk mengungkapkan kematian.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.