Surah Thâhâ [20]: 58-59

فَلَنَأْتِيَنَّكَ بِسِحْرٍ مِّثْلِهِ فَاجْعَلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ مَوْعِدًا لَّا نُخْلِفُهُ نَحْنُ وَلَا أَنتَ مَكَانًا سُوًى. قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
Dan kamipun pasti akan mendatangkan (pula) kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan tidak (pula) kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya). Berkata Musa, “Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.” (QS Thaahaa, 58-59)

Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa berapa banyak rahasia dan cahaya yang menyinari kalbu kita dari sinar firman Allah di atas yang disampaikan oleh Nabi Musa as. Perlu diketahui bahwa sejak kecil Nabi Musa as dipelihara di kalangan Fir’aun dan para pembesarnya di dalam istana. Ia datang ke istana Fir’aun dengan menunjukkan bukti kerasulan, yaitu berupa sebuah tongkat yang ketika dilempar ke tanah, maka tongkat itu akan berubah menjadi ular yang berkelok-kelok jalannya dan tangannya menjadi terang bagi orang-orang yang melihatnya, maka pada waktu itu kalbu Nabi Musa as sangat yakin dengan kemukjizatan yang diberikan Allah kepadanya, sehingga ia tidak merasa rendah kalbu sedikitpun kepada para tukang sihir Fir’aun dan ia merasa bahwa mukjizat Allah akan mengalahkan sihir manusia. Karena itu, dengan kejeniusan sebagai seorang nabi, ia harus dapat mengatasi kepandaian para tukang sihir Fir’aun dengan cara sebagai berikut,

1- Untuk menyebarkan agama Allah kepada orang lain tidak boleh di depan pintu-pintu yang tertutup, tetapi harus disebarkan ke seluruh kalangan, sehingga penduduk Mesir dapat melihat dakwah yang disampaikan oleh para da’i dengan terang.

2- Pemilihan waktu untuk memperagakan perbuatan sihir para tukang sihir Fir’aun sengaja dipilih pada hari upacara atau hari libur bagi semua penduduk Mesir, agar mereka dapat menonton kejadian yang menarik perhatian tersebut.

3- Waktu yang paling cocok untuk menonton kejadian yang paling menarik tersebut adalah waktu Dhuha, yaitu awal siang hari, sehingga para penontonnya sudah tidak mengantuk dan mereka mempunyai kekuatan dan kesadaran sampai mereka dapat menemukan hukum yang benar pada waktu itu.

Selanjutnya, pada kalbu yang telah ditentukan oleh Musa as dan Fir’aun, maka penduduk Mesir ramai-ramai berdatangan ke tempat pertunjukkan untuk melihat keunggulan para tukang sihir Fir’aun dan Musa as, karena seorang yang pandai sihir pada waktu itu diberi tempat yang mulia di kalangan masyarakat Mesir, sehingga para tukang sihir itu bukanlah orang biasa yang tidak mempunyai hubungan erat dengan para pejabat, karena mereka adalah orang-orang yang dapat berhubungan dengan jin dan dapat menerima segala berita ghaib dari jin. Mereka dapat mendatangkan arwah orang-orang yang sudah mati. Ada kemungkinan para tukang sihir Fir’aun itu mengetahui awal mula ilmu Librasikologi atau mereka termasuk kalangan orang-orang yang berilmu pada waktu itu. Karena itu, ketika mereka kalah di hadapan Nabi Musa as, kemudian mereka segera beriman kepada Tuhan Musa as dan Harun as dinilai sebagai kekalahan tentara keimanan.

Memang kejadian itu benar-benar terjadi dan para ahli sihir Fir’aun mengetahui bahwa apa yang disampaikan oleh Musa as adalah suatu mukjizat dari Allah, meskipun para tukang sihir itu diancam oleh Fir’aun dan para pembesarnya bahwa mereka akan dipotong kaki dan tangan secara bersilang. Tetapi setelah mereka beriman kepada Allah, maka mereka menyerah kepada Nabi Musa as sepenuhnya tanpa mengikuti keimanannya dengan perasaan ragu sedikitpun. Boleh dikatakan bahwa pada waktu itu perjuangan Nabi Musa as melawan kekuatan Fir’aun dan bala tentaranya mendapat kemenangan yang gemilang dan memuaskan, sehingga penduduk Mesir pada waktu itu dapat memilih berpihak kepada Musa as ataukah berpihak kepada Fir’aun.

Adapula masalah yang paling pokok yang harus kita perhatikan dari firman Allah di atas, yaitu tempat dan masa yang dipilih oleh Musa as dan Harun as adalah waktu dan tempat yang sangat cocok, sehingga umat Islam dewasa ini dapat menyontoh dari kejadian antara Fir’aun dan bala tentaranya dengan Musa as, seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas.

Sebagai kesimpulannya, seorang muslim tidak boleh mempunyai jiwa putus asa ketika ia melihat kemampuannya yang serba terbatas. Sebaliknya, hendaknya ia menggunakan karunia Allah sebagai alat yang paling bagus untuk menyiarkan agama Islam kepada orang lain. Dengan kata lain hendaknya ia dapat memukul dua burung kecil dengan satu batu yang dilempar kepada kedua burung tersebut.

Seorang da’i yang ingin menyebarkan dakwahnya kepada orang lain, maka ia harus pandai mencari cara-cara yang terbaik untuk menarik perhatian orang lain kepada ajakannya yang baik, seperti yang diterangkan oleh Allah bahwa setiap satu biji yang ditanam akan menghasilkan tujuh atau tujuh puluh atau tujuh ratus biji-biji yang lain sebagai hasilnya. Itulah yang dilakukan Nabi Musa as pada waktu itu di hadapan Fir’aun. Ia yakin kepada Allah dan tawakkalnya sangat besar kepada Allah. Ia sengaja tidak mau melakukan adegan pertandingan antara para ahli sihir Fir’aun dengan mukjizat Nabi Musa as yang tidak dapat dihadiri oleh penduduk Mesir. Ia sengaja melakukannya di tempat yang terbuka dan di waktu yang memberi kesempatan bagi penduduk Mesir untuk berlibur. Karena itu, kemenangannya atas tukang-tukang sihir Fir’aun membawa berkah tersendiri bagi perjuangan Nabi Musa as, yaitu menarik ribuan kalbu penduduk Mesir untuk mengikuti agama yang disampaikan Nabi Musa as.

Perilaku yang dilakukan oleh Musa as, seperti yang disebutkan di dalam Al- Qur’an,[1] maka Nabi Saw. menguatkan kisah itu dengan kisah seorang pemuda yang akan dibunuh oleh sang penguasa ketika ia menolak untuk memeluk agama sang penguasa. Ketika itu Nabi Saw. bercerita bahwa sang pemuda yang menolak agama sang penguasa, maka sang penguasa menyuruh orang lain membawa pemuda itu ke puncak suatu gunung, kemudian mereka disuruh melemparkannya dari atas puncak gunung. Ternyata dengan pertolongan Allah, pemuda itu kembali ke hadapan sang penguasa dengan selamat, sedangkan orang-orang yang disuruh oleh sang penguasa mati semuanya. Adapun di akhir kisah, sang pemuda berkata kepada sang penguasa, “Jika engkau benar-benar hendak membunuhku, maka panggillah semua rakyatmu untuk menyaksikan hari terbunuhnya aku di tanganmu. Sebelum itu, maka ucapkanlah, ‘Dengan menyebut nama Allah Tuhan bagi pemuda ini.’” Kemudian ia melemparkan anak panahnya ke arah pemuda itu, sehingga ia mati. Maka dengan cara itu, rakyat negeri itu semuanya menyatakan beriman kepada Tuhan Yang memiliki pemuda yang terbunuh itu di tangan sang penguasa. Setelah mereka beriman semua, maka sang penguasa menyuruh stafnya untuk menyediakan api unggun di tengah sebuah lubang dan siapapun yang tidak mau meninggalkan agama barunya, maka ia harus dilemparkan ke dalam api unggun itu, sehingga semua rakyatnya dibunuh atau dibakar di atas api unggun itu.[2]

Kejadian seperti yang kami sebutkan di atas dapat diambil pelajaran bahwa seorang da’i harus mempunyai ilmu cara untuk menarik orang ke dalam agamanya, meskipun ia harus mengorbankan dirinya lebih dulu. Tentunya sang pemuda akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, karena ia rela mengorbankan dirinya demi untuk kepentingan agamanya. Selain itu, perilaku pemuda itu dapat diikuti oleh semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut, sehingga mereka tidak takut dimasukkan ke dalam api unggun demi untuk mempertahankan kebenaran yang telah mereka yakini.

Sebagai kesimpulannya, hendaknya setiap muslim mengerti nilai dirinya di sisi Allah, karena Allah telah menciptakan alam semesta ini sengaja hanya untuk manusia dan semuanya ditundukkan untuk kepentingan manusia. Karena itu, setiap muslim yang akan mati, maka janganlah ia mati dalam keadaan yang tidak diridhai oleh Allah. Hendaknya ia berkata kepada dirinya, “Jika aku mati, maka peninggalan yang aku tinggalkan harus berguna bagi orang banyak, terutama ajaran agama yang aku sampaikan kepada mereka.”

[1] HR.Muslim, Az-Zuhud,73.
[2] HR. Tirmidzi, Tafsir Al-Qur’an surat 76.