Surah an-Naml [27]: 19

وَقَاؿَ رَبّْ أَوْزِعْنِي أَفْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْػعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَفْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَػرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِؾَ الصَّالِحِينَ
Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS An-Naml, 19)

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa di sana ada beberapa kalimat, perbuatan dan ungkapan yang baik yang dipilih oleh Al-Qur’an untuk menggambarkan sesuatu. Adakalanya yang diterangkan membutuhkan keterangan sebanyak beberapa halaman untuk menerangkan sebuah ayat, misalnya pemakaian fiil “an’amta” dalam firman Allah di atas menunjukkan arti, “Tuhanku, Engkau telah memberi aku berbagai karunia, sehingga Engkau menjadikan aku tertunduk kepada-Mu karena kebaikan dan kurnia-Mu.”

Atau dengan kata lain, “Tuhanku, aku tidak menetap sebagai seorang yang dipenjara di dalam penjara ketiadaan, tetapi aku telah keluar di alam wujud. Aku tidak dapat membalikkan wujud dan aku menjadi cermin yang terang bagi siapa saja yang melihatku. Siapa saja yang melihat diriku akan menunjuk kepada kekuasaan-Mu dan karunia-Mu yang Engkau berikan kepadaku. Ketika Engkau memberiku kehidupan, maka Engkau memberi kemudahan bagiku. Kemampuan yang lebih luas untuk menerangkan tentang keagungan-Mu, sehingga aku adakalanya menjadi seorang yang menderita, menjadi seorang yang sendiri atau bagai sebuah gitar yang mengirim nada-nadanya yang bagus, sehingga menjadikan aku sebagai seorang yang bernilai. Bahkan bukan seperti itu saja, tetapi Engkau telah mengangkatku dan menjadikan aku sebagai seorang mukmin, sehingga menjadikan aku mudah untuk menyaksikan segala yang wujud dan mengetahui dari segi pandangan sebagian manusia sebagai seorang yang menyaksikan sejumlah lembaran kitab yang aku baca. Segala karunia-Mu ini adalah merupakan karunia yang sangat besar bagi diriku dan melihat kepada alam semesta tidak dapat aku lakukan, kecuali setelah aku mempunyai kesiapan tersendiri sebagai manusia. Tuhanku, sesungguhnya pandangan yang telah Engkau berikan bagiku menjadikan diriku tidak terikat kepada tempat tertentu, tetapi dengan menggunakan pikiranku, aku dapat berpindah-pindah tempat di berbagai tempat untuk mengenal Dzat-Mu, sifat-Mu dan nama-nama yang indah dan di dalam kepergianku di dalam lingkaran yang sangat luas itu, aku berdiri menjadi kagum ketika berhadapan dengan-Mu.”

Perlu diketahui bahwa ketika Nabi Sulaiman as berkata demikian, bahkan ia lebih menyerapi berbagai makna sesuai dengan kedudukan sebagai seorang nabi yang sangat tinggi ketika ia mengucapkan kalimat, “Yang telah Engkau berikan kepadaku.” Adapun yang kedua dalam masalah ini, ketika beliau mengatakan, “Yang telah Engkau berikan kepadaku.” Seolah-olah ia berkata, “Tuhanku, apa yang akan aku minta setelah ini tidaklah mengubah kebiasaan-Mu Yang Maha Suci, berapa banyak karunia-Mu yang Engkau berikan kepadaku sebelum aku memohon apapun kepada-Mu, karena aku yakin bahwa Engkau akan memberiku apa saja yang aku minta kepada-Mu sekarang ini, karena Engkau Maha Mampu untuk memberi segala permintaanku. Ya Allah, Engkau telah berkenan memberi segala permintaanku sebagai karunia-Mu Yang Maha Suci, bahkan pemberian-Mu lebih besar dari yang pernah aku minta kepada-Mu dan kini aku hanya minta sempurnakanlah pemberian-Mu bagiku.”

Doa semacam itu melupakan doa bagi ibu bapaknya, sehingga ia tidak menyebutkan karunia Allah yang diberikan lewat kedua orang tuanya. Nabi Daud as adalah ayah Nabi Sulaiman as dan ia telah mencapai puncak kedudukan seperti Nabi Ibrahim as. Semua permohonan para nabi yang seperti itu pernah disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebagai pujian bagi para nabi bahwa para nabi adalah orang-orang yang dekat dengan Allah yang senantiasa mengajukan permohonannya hanya kepada Allah. Karena itu, tidak pantas sama sekali jika Nabi Sulaiman as yang datangnya dari sulbi Nabi Daud as untuk melupakan kedua orang tuanya ketika ia memohon kepada Allah atau dengan kata lain, kita katakan bahwa Nabi Sulaiman as sesungguhnya ia mengerti bahwa jika ia tidak mendoakan ibu bapaknya, maka dapat kita nilai sebagai orang biasa. Karena itu, ia tidak pernah melupakan ibu bapaknya.

Untuk mendekati masalah ini, kami katakan bahwa ibu bapak adalah manusia terdekat bagi setiap orang. Karena itu, ibu bapak harus dimohonkan ampunan, seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an jika kita hendak berdoa, maka kita harus menyebut ibu bapak kita dalam doa kita, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut,

رَبَّػنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَػوَْ يَػقُوُ الْحِسَابُ
Artinya, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS Ibrahim, 41)

Sebagai kesimpulannya, setelah seorang memohon untuk dirinya, hendaknya ia memohon juga bagi kedua orang tuanya, karena tata krama seperti itu termasuk tata krama seorang yang mulia, karena seorang yang mulia akan merasa gembira jika orang lain juga merasakan gembira dan jika ia melihat orang lain susah, maka ia pun akan merasa susah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Ibrahim as merasa susah ketika melihat ayahnya yang menyembah berhala, sehingga ia merasa bahwa ayahnya akan mendapat dampak yang negatif di dunia dan di akhirat.[1]

Karena itu, Nabi Sulaiman as juga menyebut kedua orang tuanya dalam doanya, seolah-olah ia berkata, “Kebahagiaan mereka termasuk kebahagiaanku.”

Sebagai contoh yang lain, ada doa permohonan ampun yang diajukan oleh seorang bagi kedua orang tuanya seperti yang kami sebutkan di atas, seperti seorang yang menyebutkan dalam doanya sebagai berikut,

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِوَالِدَيَّ نَصِيْبًا مِنَ التَّسْبِيْحَاتِ وَالْحَمْدِ وَالَِْسْتِغْفَارِ الَّذِيْ أَقُػوُْ بِوِ
Artinya, “Ya Allah, berikan bagi ibu bapakku pahala bertasbih, bertahmid dan istighfar yang aku mohonkan kepada-Mu.”

Nabi Sulaiman as yang mengerti bahasa burung, tentunya ia tidak pernah melupakan ibu bapaknya ketika ia berdoa.

Firman Allah,

وَأَفْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَػرْضَاه
Artinya, “Dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai.” (QS An-Naml, 19)

Kita perlu memahami bahwa firman Allah di atas mengisyaratkan keteguhan iman para nabi yang mulia tentang nasib mereka di hari kemudian, karena mereka sangat takut kepada Allah dan mereka merasa yakin bahwa mereka akan diberi rahmat oleh Allah atau ketika itu Nabi Sulaiman as berdoa bagi dirinya dan bagi ibu bapaknya. Karena itu, ia yakin bahwa untuk mencapai ridha Allah, seorang harus beramal saleh. Karena itu, ia memohon kepada Allah, agar ia diberi kesempatan untuk melakukan berbagai amal-amal saleh, karena amal saleh akan membawa keberuntungan tersendiri bagi pelakunya. Tetapi, di sana ada sebagian amal-amal saleh yang tidak menyebabkan seorang mencapai ridha Allah sedikitpun.

Suatu kali ketika Nabi Sulaiman as melewati suatu lembah yang di bawahnya terdapat semut-semut dan ia mendengar ucapan raja semut kepada rakyatnya, sehingga ia tersenyum dan ia merasa betapa besarnya karunia Allah yang diberikan kepadanya, sampai ia berdoa,

وَقَاؿَ رَبّْ أَوْزِعْنِي أَفْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْػعَمْتَ عَل يَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَفْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَػرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِؾَ الصَّالِحِينَ
Artinya, Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS An-Naml, 19)

Nabi Sulaiman as seperti Nabi Yusuf as ketika ia merasa rindu ingin bertemu kepada Allah, yaitu ketika ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi, maka ia memohon kepada Allah seperti yang dimohonkan oleh Nabi Sulaiman as untuk dirinya dan ibu bapaknya dan ia mohon agar ia dijadikan sebagai orang-orang saleh.

Karena hanya amal saleh yang dapat membahagiakan seorang di dunia dan di akhiratnya kelak. Karena itu, Nabi Yusuf as maupun Nabi Sulaiman as tidak memohon sesuatu kepada Allah, kecuali memohon untuk kebahagiaan keduanya di akhirat, seperti yang disebutkan dalam doa Nabi Sulaiman as di atas,

وَقَاؿَ رَبّْ أَوْزِعْنِي أَفْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْػعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَفْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَػ رضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِؾَ الصَّالِحِينَػوَصَلّْ وَسَلّْمْ عَلَى مَنْ اَرْسَلْتَوُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِوِ وَاَصْحَابِوِ أَجْمَعِيْنَ
Artinya, Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh. Dan limpahkan shalawat dan salam atas Nabi yang Engkau utus untuk membawa rahmat bagi alam semesta beserta segenap keluarga dan sahabatnya.” (QS An-Naml, 19)

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا
“Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.” (QS An-Naml, 19)

Kata “adh-dhahika” yang disebutkan dalam firman Allah di atas tidak berarti bahwa Nabi Sulaiman as tertawa terbahak-bahak dengan suara yang keras, tetapi ia hanya tersenyum setelah mendengar suara ratu semut berbicara kepada rakyatnya, agar mereka segera masuk ke dalam lubang di bawah tanah agar tidak diinjak oleh Sulaiman as dan tentaranya yang sedang lewat di jalan itu.

Yang pertama, firman Allah tersebut menjelaskan kemukjizatan antara Nabi Sulaiman as dengan seekor semut. Kejadian tersebut merupakan mukjizat Allah yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as dari kemurahan Allah kepadanya dan menunjukkan kedudukan Nabi Sulaiman as yang tinggi di sisi Allah. Karena itu, ia tersenyum sebagai tanda syukur kepada Allah atas karunia tersebut, sehingga ia dapat mendengar ucapan seekor semut yang berkata kepada rakyatnya.

Selanjutnya, semut betina itu mengucapkan ucapannya kepada rakyatnya dan Nabi Sulaiman as mengerti dan mendengar ucapannya, sehingga ia tersenyum karenanya. Ucapan semut tersebut mengisyaratkan bahwa Sulaiman as harus bertindak adil dan benar dalam pemerintahannya, seperti yang diucapkan dalam firman Allah,

يَا أَيُّػهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لََ يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَافُ وَجُنُودُهُ وَىُمْ لََ يَشْعُرُوفَ
Artinya, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS An-Naml, 18)

Firman Allah tersebut mengatakan bahwa ia berkata kepada kawankawannya, “Manusia yang berjalan di atas bumi ini akan membahayakan diri kalian, sedang mereka tidak mengetahui dan tidak berpikir tentang kalian, seperti yang berlaku pada kebiasaannya.” Kejadian tersebut menyebabkan Sulaiman as tersenyum, karena Allah telah memberinya mukjizat, sehingga ia dapat mendengar ucapan seekor semut yang ditujukan kepada rakyatnya. Karunia itu hanya dikhususkan bagi Sulaiman as sebagai tanda kenabiannya. Karena itu, ia merasa bahwa ia harus bersyukur atas karunia Allah itu. Karena itulah ia tersenyum sebagai tanda syukurnya kepada Allah.

Tersenyum yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman as tersebut merupakan tanda ridha dari dirinya atas karunia Allah tersebut. Demikian pula, di dalam sejarah Nabi Muhammad Saw. dapat diungkapkan bahwa beliau Saw. juga tersenyum ketika beliau Saw. sedang berpidato pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang berkata, “Ya Rasulullah, musim panas yang telah terjadi di masa ini menyebabkan banyak binatang yang binasa, maka mohonkan kepada Allah agar Allah segera menurunkan ari hujan.” Kemudian beliau Saw. segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa mohon agar diturunkan air hujan. Kata Anas ra, “Pada waktu itu suasana langit sedang cerah karena panas, tiba-tiba berhembuslah angin yang membawa awan, setelah itu awan berkumpul sehingga air hujan turun ke bumi dengan derasnya, sehingga kami pulang dari masjid di tengah hujan dan hujan terus menerus turun hingga berlangsung sampai hari Jum’at berikutnya.”

Ketika beliau Saw. sedang berpidato di hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang yang berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah, rumah-rumah kami banyak yang hancur, maka berdoalah kepada Allah agar Allah segera menghentikan air hujan yang telah berlangsung selama satu minggu.” Maka Rasulullah Saw. segera mengangkat kedua tangannya dan memohon kepada Allah agar menghentikan air hujan. Maka beliau Saw. tersenyum setelah beliau Saw. memohon kepada Allah dan beliau Saw. mengucapkan, “Ya Allah, turunkan hujan di sekitar kami dan jangan diturunkan di atas kami.” Tiba-tiba awan menjauhi kota Madinah dan menurunkan air hujan di dekat kota Madinah. [2]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau Saw. mengangkat kedua tangannya sejajar dengan wajah beliau Saw. seraya berkata, “Ya Allah, turunkan air hujan kepada kami.” [3] Dan beliau Saw. pada waktu itu mengucapkan doanya sambil tersenyum sebagai tanda syukur kepada Allah dan sebagai bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya, karena beliau Saw. adalah seorang nabi yang doanya selalu dikabulkan Allah. [4]

Kami telah menerangkan tentang kedua senyuman yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman as dan yang dilakukan oleh Nabi Saw. dengan kata “tertawa”. Sebenarnya, yang dimaksud tertawa di sini bukanlah tertawa terbahak-bahak, tetapi mempunyai arti tersenyum, sehingga terlihat gigi depannya. Tetapi, ada kemungkinan tidak seorangpun yang berada di sampingnya melihat senyuman Nabi Sulaiman as ketika itu.

Selanjutnya, Al-Qur’an menerangkan,

يَا أَيُّػهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لََ يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَافُ وَجُنُودُهُ وَىُمْ لََ يَشْعُرُوفَ
Artinya, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS An-Naml, 18)

Seolah-olah firman Allah di atas menyerupakan seekor semut bagai seorang pembesar yang derajatnya sama dengan Nabi Sulaiman as yang diperintah untuk menegakkan keadilan bukan terhadap manusia saja, tetapi kepada semua makhluk, meskipun terhadap seekor semut. Ketika itu semut menerangkan bahwa manusia tidak mudah melakukan keadilan secara sempurna, meskipun keadilan itu harus dilakukan terhadap sesama manusia. Karena itu, semut telah memperingatkan Nabi Sulaiman as agar berlaku adil, agar tidak binasa. Bukankah burung Hud-Hud telah memberitahukan kepadanya tentang seorang putri yang menjadi ratu di negeri Yaman atau di kota Saba’ yang mana ia dan kaumnya menyembah matahari dan tidak menyembah Allah, adapun namanya adalah Ratu Bilqis, sehingga burung Hud-Hud merasa heran kepada penguasa dan penduduk negeri Yaman yang tidak menyembah Allah, seperti yang disebutkan dalam firman Allah,

أَلََّ يَسْجُدُوا لِلَّوِ الَّذِي يُخْرِجُ الْخَبْءَ فِي السَّمَاوَاتِ وَالَْْرْضِ وَيَػعْلَمُ مَا تُخْفُوفَ وَمَا تُػعْلِنُوفَ
Artinya, “Agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.” (QS An-Naml, 25)

Padahal matahari bukanlah Tuhan yang sebenarnya, tetapi ia adalah salah satu makhluk yang diciptakan oleh Allah.

Adapun yang perlu dijadikan pelajaran di sini adalah Ratu Bilqis dan ratu semut pada waktu itu keduanya berjenis kelamin wanita, sedangkan seorang wanita biasanya selalu mengalami masa subur.

Kisah ratu semut dan Ratu Bilqis sebagai penguasa negeri Saba’ perlu diambil pelajaran bahwa Nabi Sulaiman as mempunyai sejumlah istri yang diinginkan dari perkawinannya, agar mendapat banyak anak untuk dijadikan sebagai prajurit untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Niat Sulaiman as yang sebaik itu perlu diperhatikan dengan baik.

Menurut kami, dari kisah di atas sebaiknya setiap orang mempunyai kepedulian terhadap makhluk lain, meskipun terhadap seekor binatang. Andaikata kita mempunyai hubungan dengan dunia binatang dan kita mampu memahami perasaan yang ada pada setiap ekor binatang, tentunya kita akan mengetahui berbagai keanehan yang dapat kita ambil dari bahasa binatang.

Demikian pula, Al-Qur’an ada yang menamakan sebagian surat-suratnya dengan nama binatang, seperti surat An-Naml yang berarti seekor semut betina dan surat An-Nahl yang berarti seekor lebah betina. Kedua surat itu mengisyaratkan bahwa alam manusia tidak berbeda jauh dengan alam binatang. Karena itu, manusia harus meniru contoh demokrasi dari kedua macam binatang yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yang kehidupan keduanya hidup di alam demokrasi dan manusia pun harus hidup di alam demokrasi dengan tujuan saling menolong antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, kebanyakan manusia tidak mengerti, sehingga pelajaran yang baik dari kehidupan semut betina dan lebah betina hanya dapat dirasakan oleh seorang yang beriman saja.

Allah telah menerangkan di dalam Al-Qur’an bahwa manusia dapat berbicara dengan binatang secara langsung dan dapat memahami bahasa binatang secara mukjizat, seperti mukjizat para nabi. Sebenarnya, bahasa binatang yang ditujukan kepada seorang nabi adalah bahasa dalam ucapan-ucapan yang dapat dimengerti, sehingga seorang nabi dapat mengerti bahasa seekor binatang.

Seperti yang pernah disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah tersenyum ketika Allah memberinya kemampuan untuk mendengar keluhan seekor binatang kepada beliau Saw., karena hanya Allah yang dapat berbuat di luar kebiasaan bagi siapapun yang dikehendaki-Nya, karena Allah Maha Suci dan Maha Kuasa untuk berbuat apapun yang dikehendaki-Nya.

[1] HR. Bukhari, Al-Anbiya’ 8.
[2] HR. Bukhari, Al-Manaqib 22.
[3] HR. Bukhari, Al-Jum’at 33.
[4] HR. Bukhari, Al-Istisqo’ 14; Abu Daud, Al-Istisqo’2.