Surah âli ‘Imrân [3]: 40

قَالَ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلاَمٌ وَقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَأَتِي عَاقِرٌ قَالَ كَذَلِكَ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Zakaria as berkata,‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?’” (QS Âli ‘Imrân [3]: 40).

Firman Allah di atas menyebutkan bahwa Nabi Zakaria ‘Alaihissalâm memohon kepada Allah untuk diberi seorang anak yang baik, seperti yang disebutkan dalam firman Allah berikut, “Seraya berkata,‘Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik’” (QS Âli ‘Imrân [3]: 38).

Ketika ia menerima berita gembira bahwa doanya akan dikabulkan, maka ia menerima berita itu dengan kegembiraan dan kekaguman, sehingga ia mengucapkan, “Bagaimana aku bisa mendapat anak” (QS Âli ‘Imrân [3]: 40).

Seolah-olah beliau terperanjat dengan dikabulkannya doa beliau dan seolaholah kedua kejadian itu nampak bertentangan. Tetapi sebenarnya perkiraan seperti itu tidak pernah ada, karena Zakariya as telah bersungguh-sungguh ketika beliau mengajukan permohonannya kepada Allah, agar Allah memberinya anak yang baik. Karena berbagai sebab dapat dikalahkan oleh doa seorang, apalagi doa beliau adalah mohon diberi anak yang saleh, agar dapat meneruskan risalah kenabiannya. Akan tetapi, ketika ia memasuki alam kesadaran, maka ia memasuki alam sebabsebab, sehingga ia penuh berharap diberi anak dan ia bergembira dengan dikabulkannya doanya, sehingga ia berkata, “Zakaria berkata,‘Ya Rabbku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?” (QS Âli ‘Imrân [3]: 40).

Di sana ada sesuatu yang penting untuk dikemukakan tentang masalah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian kitab-kitab tafsir yang lama bahwa ucapan Zakaria ‘Alaihissalâm, “Bagaimana aku bisa mendapat anak” (QS Âli ‘Imrân [3]: 40).

Seolah-olah ia merasa heran dalam do’anya itu. Tetapi, menurutku ia memakai ungkapan yang menunjukkan bahwa ia terkejut dan kagum terhadap kemampuan Allah untuk memberinya seorang anak yang baik ketika ia dalam usia yang sudah lanjut dan istrinya adalah seorang wanita yang mandul. Perlu diketahui bahwa maqam kewalian yang tertinggi adalah maqam kekaguman terhadap sesuatu yang akan terjadi secara tidak masuk akal. Tetapi perasaan tersebut dapat timbul pada diri seorang nabi, karena ia merasa bahwa dirinya telah mencapai usia lanjut dan istrinya adalah seorang wanita yang mandul. Pokoknya, ia terkejut dengan berita dikabulkannya doanya. Dan Al-Qur’an mengungkapkan perasaan Zakaria as dengan kalimat yang persis dengan keadaannya pada waktu itu.

Padahal, menurut logika kami seorang wanita yang telah melebihi batas usianya dan ia tidak dapat mengalami haid bulanan, maka ia tidak akan dapat mempunyai anak sampai kapanpun. Kejadian di atas merupakan suatu kejadian yang luar biasa yang bertentangan dengan berbagai kejadian yang ada. Karena itu, Nabi Zakaria as menunjukkan perasaan kegembiraannya dan kekagumannya dalam satu waktu secara bersamaan.

Kemudian firman Allah di atas diakhiri dengan memutuskan keheranan Nabi Zakaria as dan dijawab sebagai berikut, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya” (QS Âli ‘Imrân [3]: 40).

Firman Allah di atas menunjukkan bahwa ada sejumlah kejadian yang di luar kemampuan akal seperti yang dialami oleh Siti Maryam ketika ia diberitahu bahwa ia akan mendapat seorang anak oleh Malaikat Jibril ‘Alaihissalâm meskipun ia tidak bersuami dan tidak pernah disentuh seorang laki-lakipun. Pokoknya, kejadian yang dialami oleh Nabi Zakaria ‘Alaihissalâm, dan istrinya dan kejadian yang dialami Siti Maryam yang mengandung meskipun tidak pernah disentuh seorang laki-lakipun merupakan kejadian yang luar biasa dan itulah kehendak Allah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun, karena jika Allah menentukan sesuatu yang akan terjadi, maka sesuatu itu pasti akan terjadi dan Allah tidak terikat dengan sebab musabab apapun, karena ia dapat menjadikan segala sesuatu tanpa didahului contoh apapun pada waktu sebelumnya.