Melacak jalan kebenaran

Melacak jalan kebenaran

Tampaknya kondisi tertindas inilah yang dulu telah dinubuatkan oleh Rasulullah s.a.w. ketika beliau bermunajat kepada Allah untuk memohon perlindungan dari "kekerasan orang jahat dan kelemahan orang bertakwa" (jalad al-fâjir wa 'ajz al-taqiy).

Tidak dapat dipungkiri, guncangan pemikiran dan logika nalar kaum muslim –yang merembet pada kelambanan, kejumudan, kontaminasi, dan kerusakan- memang telah menjauhkan umat Islam dari jalan lurus yang telah ditetapkan al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah. Selain itu, semua keburukan tersebut juga telah menghalangi cahaya kebenaran Islam yang universal hingga membuat pancaran sinar Islam tidak mampu menyebar ke penjuru dunia. Telah tampak jelas bahwa untuk memulihkan kondisi krisis parah yang dapat kita lihat telah menimpa kaum muslimin akhir-akhir ini, khususnya pada pemimpin mereka, tidaklah cukup hanya dengan mendirikan sekolah di tengah masyarakat muslim atau pun dengan menyelenggarakan seminar dan tablig akbar semata.

Satu-satunya cara untuk mengangkat harkat umat Islam dari keterpurukan yang tengah mereka alami di tengah kemajuan sains dan teknologi yang berkembang saat ini adalah dengan menemukan kembali jati diri kita yang sebenarnya dan dengan menggali kembali nilai-nilai, pola nalar, dan tatanan hidup rasional yang diajarkan Islam. Selain itu, umat Islam juga harus selalu memiliki gairah, tekad, kesabaran, cita-cita, dan keteguhan hati yang cukup.

Sebaliknya, jika ternyata kita tidak dapat menemukan jati diri kita sebagai umat, maka kita pasti akan sulit untuk keluar dari lubang yang kita telah jatuh di dalamnya, apalagi untuk menghindari lubang yang belum pernah kita hadapi. Dengan melakukan kebodohan seperti itu, maka sebenarnya kita telah membahayakan generasi setelah kita.

Sebab itulah maka tidak ada jalan lain bagi kita selain menghidupkan pemikiran Islam demi mendekatkan realitas kehidupan dengan nilai-nilai Islam yang jernih dan demi meluruskan semua hal dengan pola nalar Islam. Namun untuk mencapai itu, kita harus terlebih dulu melakukan beberapa hal:

Yang pertama adalah sensitivitas serta kesadaran akan semesta, manusia, dan kehidupan dengan pengetahuan yang jernih, tepat, memiliki prinsip serta tujuan yang tetap, saling mendukung satu sama lain, dan terbuka. Semua itu bagaikan sebuah alunan lagu yang terdiri dari berbagai bunyi yang semuanya memiliki ciri khasnya masing-masing. Atau bagaikan sebuah hiasan utama di tengah permadani yang dikelilingi oleh hiasan-hiasan lain yang memiliki hubungan arti dengan hiasan utama tersebut.

Yang kedua, akal dan hukum harus harus menuntun pada pemahaman atas semua kejadian secara holistis, baik dari aspek esensinya maupun dari sisi realitas yang dapat kita analisa dengan segala kandungan makna yang ada di dalamnya. Hal ini serupa dengan sebuah buku puisi yang mengandung banyak makna, atau seperti layaknya sebuah karya seni yang mengandung berjuta warna yang merupakan refleksi dan manifestasi Ilahi yang mampu membuat mata siapapun yang memandangnya terpersona oleh keindahannya.

Yang pasti, dengan ketajaman penglihatan yang mampu memindai hal-hal parsial (al-juziyyât) yang terdapat di balik hal-hal universal (al-kulliyyât), tanpa terpengaruh oleh setiap kenyataan parsial yang muncul. Ketika kita mampu melihat segalanya secara holistis, maka kita akan mampu menemukan benang merah yang menyatukan semua aspek parsial (juziyyât) yang berbeda-beda. Hal itu perlu kita lakukan agar kita tidak kehilangan atau bahkan mungkin mempertentangkan antara suatu tindakan parsial yang kita lakukan dengan tindakan parsial kita yang lain, antara suatu pemikiran parsial yang kita miliki dengan pemikiran parsial kita yang lain, atau antara satu periode tertentu dalam perjalanan sejarah kita dengan periode tertentu yang lain.

Tapi perlu saya ingatkan, Anda tidak boleh menganggap bahwa penjelasan di atas menunjukkan bahwa saya tidak menyukai hal-hal parsial dan spesialisasi. Sebab setiap orang seyogianya memang perlu mendalami kemampuan spesifik tertentu agar yang bersangkutan dapat menguasai hal tersebut dengan sempurna demi tercapainya tujuan yang hendak diraih dalam bidang tersebut. Namun semua itu harus dilakukan dengan baik dan komprehensif di saat orang yang bersangkutan berusaha mencapai keinginannya. Selain itu, dia juga harus mampu menjaga konsentrasi terhadap kesadaran kolektif ini, baik dengan rasa tanggung jawab yang ia miliki, maupun dengan menggunakan ilmu, amal, dan kecerdasan rasional.

Singkatnya, kita memang tidak dapat menyangkal fakta bahwa kita amat membutuhkan cara pandang universal-holisitis dan koprehensif-inklusif baik secara umum maupun secara khusus.

Ya. Saat ini kita memang sangat membutuhkan pola pikir objektif yang mampu menangkap gambaran masa lalu dan masa kini secara bersamaan. Selain itu, pola pikir tersebut juga harus mampu melihat dari dekat seluruh semesta, umat manusia, dan kehidupan secara sekaligus; mampu menjaga keseimbangan; selalu terbuka atas segala penyebab dan alasan kemunculan semua entitas; menguasai dengan baik dinamika semua komunitas yang muncul dan runtuh di tengah masyarakat; mampu menjadi "hakim" yang menunjukkan semua kebenaran dan kesalahan yang terdapat dalam ilmu sosiologi dan psikologi; selalu mengawasi perkembangan semua kebudayaan dunia; mampu membedakan antara tujuan (ghâyah) dan jalan (wasîlah) menuju tujuan tersebut; memiliki hati yang tulus dan pikiran yang istikamah; menghormati cita-cita luhur umat; menguasai hikmah di balik syariat dan apa yang diingini oleh syâri' (Allah); mengetahui landasan hukum agama; dan selalu siap menerima semua inspirasi yang dianugerahkan oleh Tuhan.

Sesungguhnya para ulama dan cendekiawanlah yang telah berperan menjalankan tugas mereka untuk kita. Merekalah yang membuka wawasan kita yang tertutup serta menggerakkan nalar kita yang selama ini jauh dari "langit" nilai-nilai Ilahiah yang selalu berotasi di garis orbit al-Qur`an. Mereka tidak pernah alpa terhadap segala rahasia yang terkandung di balik jagad raya, manusia, dan kehidupan. Mereka selalu menjadi suri teladan bagi umat beragama karena merekalah yang terus mengimplementasikan semua perintah agama secara maksimal. Mereka selalu menjaga hal-hal pokok (ushûl) sembari tetap menempuh jalan kebenaran dengan mengikuti perintah syâri' (Allah) untuk selalu mencari yang mudah, pas, dan toleran. Merekalah yang mengobati semua penyakit akut yang diderita umat Islam selama berabad-abad dengan menggunakan kekuatan ilmu dan perenungan atas otoritas ajaran Islam beserta segala penafsirannya.

Para ulamalah yang telah mengubah semua tempat, baik sekolah maupun masjid, baik jalan umum maupun rumah, menjadi tempat-tempat perenungan terhadap hakikat kebenaran yang terkandung di balik ensitas, kehidupan, dan manusia. Mereka berhasil membuka jendela menuju penglihatan transendental yang telah tertutup selama berabad-abad. Merekalah yang membangun "bala tentara Islam" yang mampu menerapkan ajaran syariat pada seluruh aspek kehidupan. Mereka mampu mengasah sensitifitas pada diri umat hingga mereka mampu menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan tertentu. Dan mereka juga mampu melakukan olah batin dan olah nalar dengan baik.

Mereka itulah yang telah membantu umat Islam untuk melakukan pembaruan serta mengajarkan kepada kita semua landasan terpenting yang dibutuhkan dalam kehidupan akhirat yang kekal.

Sebagian orang memang ada yang menolak dan bahkan membenci pernyataan seperti di atas karena dianggap terlalu melebih-lebihkan posisi ulama dan cendekiawan hingga melanggar tata krama kesopanan terhadap Allah s.w.t. Saya tentu setuju dengan penolakan seperti ini meski hanya pada sisi tertentu, sebab setiap orang memang harus menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing tanpa mengintervensi urusan Allah s.w.t.

Berkenaan dengan hal ini, hanya tugas kitalah yang menjadi tanggung jawab kita. Yaitu dengan melakukan dakwah yang akan menghantarkan umat manusia ke pintu gerbang kebenaran Allah yang Mahabenar. Sikap kita terhadap hal ini dengan cara seperti ini adalah bagian dari hak Allah, sebab Dia adalah sang pencipta (khâliq) sedangkan kita adalah makhluk yang diciptakan oleh-Nya.

Tapi di sisi lain, ada sebuah hal yang harus kita ingat: Allah telah memerintahkan kita untuk menerima sesuatu yang memang menjadi bagian kita dengan sebuah perintah normatif.[1] Yaitu agar kita menjadi penyeru bagi manusia untuk mau berjalan menuju kehendak Allah s.w.t. Bahkan Allah sendiri menyatakan bahwa tugas inilah yang merupakan amal terbesar yang dapat dilakukan oleh manusia.

Berdasarkan tugas dakwah yang kita emban inilah Allah kemudian menentukan pahala dan dosa serta menjadikannya sebagai dasar penghitungan amal kita yang akan diganjar oleh-Nya baik dengan pahala maupun dengan hukuman. Bahkan Allah menjadikan tanggungan jawab dakwah ini sebagai tolok ukur atas kebaikan dan keburukan.

Meskipun hal ini merupakan sebuah perintah normatif yang tidak berarti apa-apa karena tidak mengejawantah dalam realitas, akan tetapi Allah selalu meletakkannya di atas segala norma dan nilai yang ada. Karena kalau tidak demikian, maka kehidupan pasti akan musnah, manusia akan berubah menjadi benda mati, taklif syariat menjadi gugur, dan penciptaan alam semesta menjadi sia-sia. Itulah sebabnya maka kita harus selalu memberi perhatian penuh terhadap perkara yang satu ini serta menjaga segala hal yang berhubungan dengannya.

Dengan apa yang dilakukan-Nya ini, Allah s.w.t. telah menunjukkan salah satu sisi tersembunyi dari rahasia kemahakuasaan-Nya, yaitu dengan menjadikan tugas yang diemban manusia itu sebagai syarat utama bagi kelestarian kehidupan dunia dan akhirat. Dengan tugas ini Allah seakan telah menciptakan sebuah tombol rahasia yang dapat digunakan oleh manusia untuk menyalakan lampu penerang jagad raya. Dalam setitik air terkandung samudera yang luas. Dalam sebutir atom terkandung matahari yang dahsyat. Dan dalam ketiadaan terkandung alam semesta yang tak terkira.

Namun patut diingat bahwa semua hukum sebab-akibat tidak berlaku bagi Allah s.w.t. serta tidak dapat mengikat kehendak Ilahiah yang dimiliki-Nya. Allah Mahamenguasai segala sesuatu. Allah-lah yang Mahamenguasai, Mahaesa, dan Mahamutlak. Semua bentuk hukum sebab-akibat tidak lain hanyalah noktah remeh yang tidak pernah ada tanpa perintah Allah s.w.t.

Dari penjelasan ini, kita dapat mengetahui bahwa manusia manapun pasti akan menerima hukuman jika ia melanggar syariat aturan Allah yang sejalan dengan fitrah mereka. Sebagian besar dari hukuman itu akan mereka terima di dunia, dan sebagian lainnya akan mereka rasakan di akhirat.

Betapa bijaksananya jawaban yang dilontarkan Umar ibn Khaththab r.a.: "Kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain,"[2] ketika keputusan sang khalifah yang dikenal adil itu menolak untuk masuk ke sebuah kota yang terserang wabah penyakit itu dianggap sebagai perlawanan terhadap takdir Allah.

Tak ayal, segala bentuk rancangan tindakan sesuai hasil yang hendak dicapai yang kemudian dianggap sebagai puncak cita-cita hingga membuat seseorang terpaku hanya padanya, pasti akan menimbulkan kesusahan yang luar biasa serta akan menjauhkannya dari sikap hormat kepada Allah –naudzubillah!- karena dia menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu layak bagi dirinya. Namun sebaliknya, sikap pasif menunggu hasil melalui jalan irrasional yang tidak masuk akal juga merupakan sebuah mimpi kosong yang tercela.

Bukankah al-Qur`an telah berulang kali menyatakan "...sebagai balasan dari apa yang mereka perbuat" atau "...sebagai balasan dari apa yang mereka lakukan". Ayat-ayat semacam itu dengan tegas menunjukkan bahwa setiap kebaikan atau keburukan yang menimpa seseorang hanya terjadi disebabkan perbuatan orang yang bersangkutan.

Bukankah Rasulullah s.a.w. telah mengajari kita mengenai keterkaitan yang sangat erat antara "sebab" dan "akibat" atau antara "usaha" dan "hasil". Beliau bersabda: "Tidaklah tergelincir kaki seorang anak Adam pada hari kiamat di hadapan Tuhannya, sampai dia ditanya tentang lima perkara: umurnya, untuk apa dihabiskan; masa mudanya, untuk apa digunakan; hartanya, dari mana didapat dan dipakai untuk apa; dan tentang pengetahuannya, apa saja yang sudah diamalkannya."[3]

Melalui Kitabullah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Islam telah mengatur kehidupan dunia dan akhirat bagi kaum mukminin serta mengatur keyakinan (akidah), amal perbuatan, ibadah, dan akhlak mereka. Seiring dengan itu, Islam juga membisikkan berbagai hal lain yang berasal dari alam keabadian kepada manusia yang masih hidup di dunia menggunakan "telinga" spiritual, akal sehat, dan perasaan yang mereka miliki. Dari situlah manusia dapat membangun kesadaran akan Allah dan akhirat untuk kemudian mereka hidupkan di setiap saat. Hanya dengan menjaga kesadaran itulah manusia dapat memposisikan diri mereka sebagai khalifah Allah s.w.t., memiliki andil dalam kehidupan, serta memahami rahasia yang tersimpan di balik Sunnatullah.

Pada tahap selanjutnya, manusia akan mampu membaca "kitab" alam semesta yang terwujud dari kehendak Allah berikut penjelasan tentangnya dalam wahyu Allah yang termaktub dalam Kitabullah, sebab keduanya memang dua sisi dari satu hal yang sama. Bahkan manusia juga mampu menimbang antara imajinasi dan pikirannya serta antara kehidupan dan tindakannya. Mereka akan mampu memperhatikan dengan baik dunia dan akhirat serta menjaga keseimbangan antara keduanya.

Ya. Islam memang telah melemparkan beberapa elemen yang menjadi bagian dari "pakaiannya" kepada akal, perasaan, roh, dan jasad, hingga membuat "pakaian" yang indah itu pun memiliki dimensi dunia dan akhirat yang bersemayam di kedalaman. Seandainya ada salah seorang di antara manusia yang unggul pada salah satu bagian dari "pakaian" itu, maka tidak ada seorang pun yang dapat menggambarkan Islam hanya berdasarkan keunggulan orang tersebut.

Jadi amatlah mungkin jika Islam yang merupakan anugerah paling universal yang Allah berikan kepada alam semesta, dapat bertansformasi menjadi sebentuk sistem yang efektif dengan adanya kebaikan yang menjadi bagian dari kebaikan-kebaikan awal Islam, sebab Islam bagaikan sebuah indeks yang memuat seluruh entitas. Ia terbentuk dari akal, perasaan, roh, jasad, dan pelbagai lathifah[4] (esensi batiniah). Masalah ini akan saya jelaskan pada bagian selanjutnya.

[1] Yang dimaksud di sini adalah hak manusia untuk memiliki keinginan parsial (al-irâdah al-juz`iyyah). Perintah normatif adalah sebuah perintah yang berada di alam pikiran.
[2] Al-Bukhari, al-Thibb, 30; Muslim, al-Salâm, 98.
[3] Tirmidzi, Shifah al-Qiyâmah, 1.
[4] Dalam dunia tasawuf, lathîfah (jamak: lathâif) diidentifikasi sebagai "esensi lembut (lathîf) yang ada dalam jiwa manusia". Lihat: Sufi Terminology (Amatullah Armstrong: 1995)