Rekonstruksi Ilmu Pengetahuan Berbasis Tauhid

Pertanyaan: Apa saja faktor yang menentukan agar umat Muslim dapat mengejar ketertinggalan dalam bidang ilmu, penelitian, dan pemikiran, serta menyelaraskan diri dengan perkembangan zaman?[1]

 

Jawaban: Selama ini, semangat dedikasi telah banyak dibahas dalam berbagai kesempatan. Keberhasilan orang-orang yang mendedikasikan diri pada iman dan dakwah Al-Qur’an tidak terlepas dari semangat ini. Beberapa sosiolog yang meneliti gerakan sosial juga menyimpulkan bahwa kekuatan gerakan ini bersumber dari totalitas pengabdian. Pada pengabdian semacam ini, seseorang harus benar-benar fokus dan mencurahkan segenap perhatiannya pada suatu tujuan. Ia selalu memikirkan cita-citanya, baik saat duduk maupun berdiri, serta terus merancang strategi untuk mewujudkannya. Bahkan, dalam beberapa kasus, fokus dalam memikirkannya begitu mendalam sehingga terkadang ia muncul saat seseorang mendirikan salat. Secara prinsip, dalam salat seseorang tidak boleh dengan sengaja memikirkan hal-hal di luar ibadah itu sendiri. Salat harus dijalankan dengan penuh khusyuk, tanpa tercampur dengan pikiran lain. Namun, bagi mereka yang mengabdikan diri pada cita-cita besar secara total, terkadang pikiran dan renungan mereka tentang tujuan hidup tetap muncul dalam benak, bahkan saat ia sedang shalat. Dalam kondisi seperti ini, berbagai gagasan dan alternatif solusi bisa muncul begitu saja dalam pikiran mereka. Jika ingin mengistilahkan hal ini, kita bisa menyebutnya sebagai bentuk "lupa" dari orang-orang yang memiliki visi besar. Pada umumnya, orang lalai dalam salat karena memikirkan urusan keluarga, rumah, atau pekerjaan mereka. Namun, ada pula yang justru tenggelam dalam pemikiran luhur, sehingga kekhilafan mereka dalam salat bukan disebabkan oleh dunia, melainkan oleh cita-cita besar yang mereka perjuangkan.

 

Semangat Pengabdian

Kemampuan untuk mencapai tingkat keilmuan dan pemikiran yang tinggi, sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan, pada dasarnya bergantung pada semangat pengabdian seperti ini. Sebab, dalam pengabdian terdapat kekuatan unik yang tidak ditemukan dalam hal lain. Seseorang yang mengabdikan dirinya sepenuh hati pada ilmu, yang terus mengejarnya dengan semangat membara, yang terbakar oleh kecintaan terhadap kebenaran, dan yang mendedikasikan dirinya pada penelitian dengan konsentrasi penuh, akan mampu menempuh jarak yang jauh dalam waktu singkat. Ia akan mencapai cakrawala yang tidak dapat dijangkau oleh orang lain, menemukan kebenaran yang sebelumnya tersembunyi, serta merasakan kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan. Allah pun akan memberikan perhatian khusus kepada mereka yang memiliki semangat pengabdian seperti ini. Mereka yang menjadikan perkara-perkara luhur sebagai kegelisahan dalam hidupnya dan berjuang demi itu, tidak akan dibiarkan tanpa bekal oleh-Nya; justru, Allah akan membimbing mereka, membantu mereka mencapai tujuan, dan di saat mereka menemui jalan buntu, Dia akan memberikan kunci-kunci ajaib yang mampu membuka gerbang yang paling terkunci sekalipun.

 

Singkatnya, dalam menuntut ilmu, niat dan tujuan memiliki peran yang sangat penting. Sayangnya, di zaman ini, banyak orang yang menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai tujuan utama, atau terikat pada kepentingan duniawi lainnya, sehingga mereka kehilangan pandangan luas dan tidak mampu berpikir besar. Cara pandang mereka yang terbatas mempersempit wawasan dan membatasi ruang gerak mereka. Bahkan orang-orang yang sangat berbakat sekalipun, ketika hanya berorientasi pada kesuksesan, karier, dan profesi, akan kehilangan kesempatan untuk melihat kebenaran dalam cakupan yang lebih luas. Hanya mereka yang berkomitmen untuk membangun peradaban dan menghidupkan kembali umat manusia yang akan mampu menemukan cakrawala keilmuan baru serta membawa manfaat besar bagi dunia.

 

Cinta Akan Hakikat

Di balik ilmu dan penelitian, terdapat dorongan kuat berupa cinta akan hakikat. Orang-orang yang jatuh cinta pada hakikat ingin menemukannya, mencapainya, dan mengungkapnya. Misalnya, apakah hakikat manusia? Apa hakikat keberadaan? Apa hakikat kehidupan? Kita sering memberikan tafsiran dan analisis terhadap manusia, alam semesta, serta kehidupan itu sendiri. Namun, seberapa akurat pemahaman kita? Apakah pengetahuan yang kita peroleh tentang alam semesta benar-benar membawa kita pada kebenaran sejati, yaitu kepada Sang Hakikat? Mampukah kita membaca dan memahami makna alam semesta layaknya membaca sebuah buku, kata demi kata, baris demi baris, paragraf demi paragraf? Untuk mencapai pemahaman ini, diperlukan gairah yang mendalam. Diperlukan dorongan batin yang membangkitkan keinginan untuk meneliti, membaca, dan berpikir. Di Barat, dalam batas-batas tertentu, pernah muncul gairah terhadap kebenaran, yang kemudian melahirkan semangat penelitian. Berkat semangat inilah banyak ilmuwan mengabdikan hidup mereka dalam bidang ilmu dan penelitian, menggali lebih dalam misteri alam semesta. Mereka menemukan berbagai fakta penting tentang dunia materi dan kehidupan. Kita dapat melihat contoh-contohnya dalam berbagai dokumenter ilmiah.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat hari ini berakar dari kecintaan terhadap kebenaran dan semangat penelitian. Namun, karena pendekatan mereka didominasi oleh cara pandang positivis dan naturalis, mereka hanya mampu memahami alam dari perspektif duniawi semata. Mereka meneliti keberadaan, tetapi gagal menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, sehingga mereka tidak sampai pada pengenalan terhadap Tuhan. Masa keemasan umat Islam pada abad ketiga, keempat, dan kelima Hijriah juga ditandai dengan gairah besar terhadap ilmu, yang menghasilkan berbagai pencapaian luar biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, energi besar layaknya gaya sentrifugal semakin lama semakin berkurang. Akibatnya, semangat untuk meneliti dan mengembangkan ilmu pun perlahan meredup.

 

Dosa Hidup dalam Ketergantungan dan Cara Bertobat Darinya

Saat ini, memang ada beberapa tanda kebangkitan di bidang ini. Dalam beberapa waktu terakhir, kita juga menyaksikan keberhasilan beberapa teman kita secara individu. Namun, bidang yang mereka teliti bukanlah bagian dari dunia pemikiran mereka sendiri. Mereka mungkin berusaha memahami hakikat alam dengan penuh kesungguhan dan tekad. Akan tetapi, karena blokade ilmu pengetahuan telah dibentuk di atas dasar materialisme dan naturalisme oleh pihak lain, mereka sulit membebaskan diri dari dualisme. Lebih dari itu, menembus kultur keilmuan yang sudah terbentuk dan dari sana berangkat menuju kepada Sang Hakikat tampaknya bukan perkara mudah. Tak sedikit pemikir brilian yang akhirnya goyah, bahkan runtuh, di hadapan arus pemikiran materialisme. Oleh karena itu, masalah ini perlu ditangani dari akar. Jika kita ingin menghasilkan sesuatu yang berarti, kita harus membangun laboratorium dan pusat penelitian sendiri, tanpa terjebak dalam blokade yang telah diciptakan oleh orang lain. Kita harus memahami hukum-hukum alam secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Tanpa pendekatan menyeluruh seperti ini, penelitian yang kita lakukan tidak akan lebih dari sekadar tambal sulam. Akibatnya, kita tidak akan mampu memahami hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia secara mendalam. Begitu pula, kita tidak akan dapat menangkap keterkaitan antara hukum-hukum alam (sunnatullah) dengan syariat yang agung.

Saat ini, negara-negara yang maju dalam ilmu pengetahuan dan materi telah mendominasi kita. Dalam banyak hal, kita hanya bisa berharap pada mereka, bergantung pada mereka, dan bahkan hidup di bawah kendali mereka. Padahal, Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa Allah tidak meridai keadaan ini (QS. An-Nisa: 141). Bediüzzaman Said Nursi juga bertanya, “Mengapa dunia menjadi tempat kemajuan bagi semua orang, tetapi justru menjadi tempat kemunduran bagi kita?”[2] Kemajuan hanya bisa dicapai jika kita melepaskan diri dari rantai ketergantungan dan meraih kemerdekaan sepenuhnya. Dengan kata lain, kita harus segera bertobat dari dosa hidup dalam ketergantungan yang telah berlangsung selama empat abad terakhir. Bentuk tobat ini bukan sekadar ucapan, melainkan tindakan nyata: mendirikan pusat-pusat penelitian kita sendiri, melahirkan generasi yang kompeten di bidangnya, serta berkembang dalam ilmu dan teknologi. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam dosa ini hingga saatnya kita benar-benar bangkit dan berdiri tegak kembali.

 

Jalan Membangkitkan Ketertarikan terhadap Nilai-Nilai Yang Kita Yakini

Perlu diingat bahwa membaca Al-Qur’an dan kitab alam semesta dengan pemahaman yang benar, serta menghidupkan kembali ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perintah kauniyah dan syar’iyah akan mengubah cara pandang orang lain terhadap kita. Jika kita memiliki citra yang cemerlang dan mengesankan dalam bidang ilmu pengetahuan, pemikiran, seni, sastra, dan peradaban, maka pandangan orang terhadap agama dan nilai-nilai yang kita representasikan juga akan berubah.

Meyakinkan orang yang selama ini memandang kita dengan rendah dari segi pengetahuan, pencapaian, wawasan, pendidikan, teknologi, atau kekuatan, bukanlah perkara mudah. Mereka yang selama ini menjadi panutan kita dalam berbagai produk dan inovasi, dan yang kita tiru secara membabi buta, tidak akan tertarik pada kita maupun nilai-nilai yang kita pegang. Bahkan, fakta bahwa nilai-nilai yang kita bawa bersumber dari wahyu dan memiliki dimensi transendental pun belum tentu membuat mereka tergerak. Jika kita hanya sekadar mengirim mahasiswa ke Barat untuk menempuh pendidikan tinggi, meraih gelar doktor atau post-doktoral di universitas mereka, lalu sekadar mengadopsi ilmu dari sana dan merasa puas dengan itu, maka kita perlu melakukan evaluasi ulang atas pendekatan tersebut.

Jika ingin diperhitungkan di dunia, kita harus memastikan bahwa tidak ada sisi yang bisa dikritik dari diri kita. Sebaliknya, kita harus menjadi pribadi yang dihargai dan diakui dalam segala hal. Untuk itu, di satu sisi kita perlu merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan universal dengan sangat baik, sementara di sisi lain kita harus memiliki cakrawala ilmu dan pemikiran yang luas agar dapat menarik perhatian dunia. Jika hal ini tercapai, maka akan ada gelombang migrasi pemikiran menuju nilai-nilai yang kita yakini. Orang-orang akan penasaran dengan rahasia kesuksesan dan ingin memiliki nilai-nilai yang kita anut. Sejarah dunia sudah berkali-kali menunjukkan contoh seperti ini. Mereka yang kini memandang kita dengan rendah akan terus bersikap demikian dan tidak akan memberikan perhatian yang layak terhadap nilai-nilai yang kita pegang hingga kita berhasil mengubah keseimbangan dunia menjadi lebih berpihak kepada kita,.

Saat ini, segala upaya harus dilakukan agar orang-orang mencurahkan dirinya pada ilmu, penelitian, dan pencarian kebenaran dengan penuh dedikasi dan semangat. Jika kita ingin mencetak individu yang memiliki kecintaan mendalam terhadap ilmu dan kebenaran, maka mereka yang memiliki kelapangan rezeki perlu menyediakan lingkungan, fasilitas, dan peluang yang memungkinkan para peneliti serta akademisi untuk berkembang. Namun, perlu disadari bahwa semua ini tidak akan berjalan dengan mudah sejak awal. Dibutuhkan waktu untuk membimbing dan membiasakan orang-orang dengan kebiasaan ini. Seperti kata pepatah, “Keahlian tumbuh karena penghargaan.” Oleh karena itu, kita perlu menemukan individu-individu berbakat dan mengarahkan mereka pada ilmu. Semangat mereka harus dibangkitkan dengan memberikan "madu" dalam bentuk apresiasi terhadap upaya mereka. Begitu mereka mulai menemukan sesuatu sendiri dan merasakan nikmatnya penemuan tersebut, mereka akan terus melangkah lebih jauh. Tetapi kita juga harus menyadari bahwa ini adalah proses yang memakan waktu lama, sehingga kesabaran di tahap awal sangatlah penting.

 

 

[1]  https://herkul.org/kirik-testi/bilimin-tevhid-eksenli-yeniden-insasi/ 

 

[2]  Münazarat, İfâde-i Merâm ve Uzunca Bir Mâzeret, hlm. 87