Bagaimana Cara Menjelaskannya?

Membaca Al Quran

Al Quran dan kesedihan, merupakan dua kata yang seolah-olah saling melengkapi satu sama lain. Al Quran telah turun dengan kesedihan. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengisyaratkan hal ini di dalam haditsnya: “Sebaik-baiknya bacaan Al Quran adalah yang dibaca dengan kesedihan.” Saya secara pribadi meyakini bahwasanya bacaan Al Quran yang tanpa ruh akan membuat diri kita mengalami mati rasa. Untuk bisa memahami dan membangkitkan diri dengan Al Quran, tergantung bagaimana seseorang dapat mendalaminya sesuai dengan kandungan fitri dari Al Quran. Sedangkan bagi mereka yang hanya membaca Al- Quran dari kalimat dan kata-katanya saja, walaupun mendapatkan pahala, tetapi mereka tidak bisa menjadi masyarakat yang berkah. Dengan kata lain, mereka tidak akan bisa mendirikan kehidupan yang sesuai dengan isi Al-Qur’an. Ya, persoalan utama dari hubungan kita dengan Al Quran sebenarnya adalah bagaimana kita bisa mengarahkan diri kita kepada Al Quran dengan kalbu, kesadaran, kemauan, pemahaman, rasa dan karsa yang kita miliki; dan kesangggupan diri kita dengan segenap ego yang dimiliki mau mendengarkan dan menyimakNya. Pengarahan dan pendengaran diri yang seperti inilah yang akan membuat kita mampu mendengarkan apa saja yang sebenarnya difirmankan Allah kepada kita, sehingga kita pun akan menghijau, bagaikan biji yang berkecambah setelah ia disentuh air dan direngkuh oleh cahaya. Setiap kata dan kalimat dari ayat yang kita baca akan menjangkau kedalaman maknawi yang berbeda; Kita akan sampai pada ufuk dimana kita dapat menyaksikan peta ruh kita sekaligus menyaksikan peta langit. 

Menurut pendapatku yang lemah, membaca Al Quran dengan maknanya yang utuh masih belum dipraktikkan. Oleh karena itu, persoalan ini harus ditanggapi dengan penuh keseriusan. Hal ini karena membaca Al Quran sesuai dengan kaidah dan aturan, menyimaknya dari lubuk hati terdalam, menguasai makna dan isinya memiliki urgensi yang sama dengan pemahaman akan kedalamannya. 

Kata-kata adalah cetakan dari makna dan isinya. Ketika cetakannya rusak, maka maknanya akan terjepit dan kedalamannya tak akan bisa dipahami. Misalnya, ketika saya mendengar ada kesalahan dalam pembacaan ayat suci Al Quran, dapat saya katakan bahwa saya merasakan adanya gangguan hebat dalam jiwa, lalu konsentrasi buyar, dan saya pun merasa menjauh dari kedalaman maknanya. Menurut saya, mereka yang sedang menyimak pembacaan ayat suci Al Quran dengan penuh konsenterasi, dan mereka yang ingin menyimaknya dengan harapan bisa merasakan kedalaman maknanya, pun pasti akan merasakan gangguan yang sama ketika berada di posisi saya tersebut. 

Ya, kita seharusnya membaca Al Quran sebagaimana saat Al Quran disampaikan Allah kepada Malaikat Jibril Alaihissalam, atau sebagaimana saat Al Quran disampaikan Malaikat Jibril as kepada Kebanggaan Alam Semesta Shallallahu Alaihi Wasallam, atau sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membacakannya kepada para sahabatnya. Malaikat Jibril Alaihissalam pun setiap tahunnya mengecek bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam lewat muqobalah langsung secara tatap muka untuk memeriksa kembali apakah Al Quran masih terjaga sebagaimana saat ia diturunkan; dan apakah Al Quran telah dijalankan sesuai dengan haknya. Dilihat dari peristiwa ini, muqobalah tersebut bisa dikatakan sebagai ‘ujian.’ Hal tersebut juga merupakan sebuah pesan penting untuk kita. 

Jika Anda berkenan, kami ingin berikan sebuah permisalan. Dalam mendirikan shalat, adalah sangat penting untuk menunaikan setiap rukun shalat sambil merasakannya dengan segenap jiwa, serta kesadaran penuh bahwa kita sedang menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain itu, menjalankan rukun lahiriah yang membentuk shalat seperti rukuk, sujud, qiraat, qiyam, dan duduk tasyahud juga merupakan suatu keharusan. Lewat contoh ini, Anda bisa menyimpulkan bahwa menunaikan hak dari kaidah qiraat Al Quran juga sama pentingnya dengan penunaian rukun lahiriah dari ibadah shalat. 

Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca Al Quran. Pertama, harus belajar dari familmuhsinin, yaituguru yang bacaannya benar. Maksudnya, mutlak hukumnya belajar dari ahlinya. Membaca Al Quran tidak cukup dengan sekedar mengetahui huruf-hurufnya saja. Misalnya, saya menguasai Bahasa Prancis secara otodidak. Tetapi, bagaimana saya melafalkan setiap kata-katanya, hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Dalam masa tertentu, saya juga mempelajari Bahasa Inggris. Suatu hari, almarhum Tuzju Jahid berkata kepadaku: “Hocam, Anda berbicara Bahasa Inggris dengan pelafalan seperti pelafalan dalam Bahasa Turki,” dan pada  hari itu, akhirnya saya menyudahi usaha saya untuk belajar Bahasa Inggris. Pengucapan secara tepat huruf dan setiap katanya yang lazim dikenal dengan makhrojul huruf hanya dapat dikuasai dengan bimbingan secara langsung oleh ahlinya. Kedua, selama proses pembelajaran, pembelajar harus memaksa dirinya agar menguasai teknik pengucapan huruf. Ketika dulu saya masih belajar, Guru kami tidak hanya memaksa kami, tetapi dia juga memaksa dirinya untuk terus mengulanginya hingga benar. Misalnya, untuk mengajarkan huruf ض , beliau sampai harus meletakkan jari ke langit-langit mulutnya. Barangkali, hal ini jika dilihat pertama kali akan terlihat seperti sesuatu yang sulit, tetapi seiring berjalannya waktu, manusia akan terbiasa. Dan yang ketiga, kepekaan telinga. Hal ini bisa dikuasai dengan jalan sering mendengarkan qiraat para hafiz yang bacaan Al Qurannya baik. 

Tetapi sayangnya, kita sudah lupa bagaimana membaca Al Quran dengan tepat dan benar. Bahkan di Madrasah dan Universitas di Jurusan Studi Islam, pendidikan membaca Al Quran pun tidak diberikan dengan sempurna. Mohon jangan tersinggung jika saya katakan pendidikan membaca Al Quran di lembaga pendidikan tersebut tidak diberikan sesuai kriteria Kursus Membaca Al Quran. 

Bagian ini kita tutup dengan riwayat yang disampaikan oleh Al Hafidz Munawi’: “Ada seorang pemuda yang ketika menyempurnakan hafalannya, berusaha mengkhatamkan Al Quran semalam suntuk dalam keadaan terjaga hingga pagi. Pagi harinya, tentu saja ia menghadap kepada gurunya dengan wajah pucat. Sang Guru, yang memiliki kapasitas sebagai seorang mursyid, baik dari segi materi maupun maknawi bertanya kepada teman-temannya yang lain. Jawaban teman-temannya: ‘Ustadz, anak ini setiap malam tidak tidur, ia berusaha mengkhatamkan Al Quran hingga pagi tiba.’ Sang Guru, tidak berkenan dengan cara yang ditempuh muridnya ini. Maka suatu hari, beliau memanggil muridnya untuk menghadap. Sang Guru berkata:’Anakku, Al Quran harus dibaca sebagaimana ia diturunkan. Mulai sekarang, janganlah engkau baca ia seperti biasanya. Bacalah ia seakan engkau sedang membacakannya di hadapanku.’ Anak muda inipun bangkit dan keluar dari ruangan gurunya. Malamnya, ia membaca Al Quran sesuai dengan yang dinasihatkan oleh gurunya. Pagi harinya, ia menemui gurunya dan berkata ’Ustadz, tadi malam saya hanya berhasil menyelesaikan setengah Al Quran.’ Sang Guru berkata ‘Baiklah, kalau begitu malam ini bacalah ia seakan engkau membacakannya di hadapan Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.’ Di dalam hati sang murid, ia bergumam ‘Aku akan berada di hadapan Sosok yang Al Quran diturunkan kepadanya. Aku harus membacanya dengan tartil. Maka di malam itu, ia membaca Al Quran dengan lebih berhati-hati. Keesokan paginya, ia menyampaikan kepada gurunya bahwa ia hanya berhasil menyelesaikan seperempat Al Quran. Sang Guru ketika melihat kemajuan yang dicapai muridnya, sebagaimana halnya ketika seorang mursyid menambah pelajaran untuk murid-muridnya, kembali memberikan nasihat,’Bacalah ia sebagaimana Malaikat al Amin, Jibril, mewahyukannya kepada Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam!’ Keesokan harinya, sang murid berkata ‘Ustadz demi Allah, saya hanya bisa membaca satu surat saja dari Al Quran.’ Sang Ustadz kemudian mengeluarkan langkah terakhirnya. ‘Anakku, kali ini bacalah ia seakan engkau membacanya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang terdapat ribuan hijab di hadapan kita untuk bisa menyaksikannya. Bayangkanlah bahwa Allah sedang menyimak apa yang kamu bacakan. Bayangkanlah bahwa demi dirimu yang juga merupakan salah satu hambaNya, Dia berkenan untuk menyimak qiraat Al Quranmu.’ Keesokan harinya, sang murid datang ke hadapan gurunya sambil menangis. Ia berkata: ‘Ustadz, aku hanya mampu membaca “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Arrahmanir rahim. Maliki yaumiddin.” Tetapi lidahku kelu dan kaku untuk membacakan ayat “Iyyaka na’budu”. Karena ketika aku ingin mengatakan bahwa “Hanya Engkaulah yang kami sembah...” akan tetapi, pada kenyataannya aku menyembah banyak sesembahan, dan betapa aku telah menundukkan diriku kepada banyak hal lain selain DiriNya. Ketika aku membayangkan bahwa aku sedang berada di hadapanNya, sungguh aku tak sanggup untuk membaca “Iyyaka na’budu.”  

Al Hafidz Munawi menyampaikan bahwa pemuda ini tidak hidup lama melainkan wafat satu-dua hari kemudian. Sang Guru, yang telah mengantarkan muridnya sampai ke level ini, ketika menyaksikan keadaan muridnya tersebut saat ia menziarahi makamnya, mendengar suara yang terdengar jelas oleh telingannya: “Ustadz, sesungguhnya aku masih hidup. Aku telah sampai di hadapan Sang Sultan Yang Hayyu dan Qayyum, dan aku sama sekali tidak dihisab olehNya.” 

Ketika aku menyampaikan riwayat ini, sebenarnya aku tidak bermaksud untuk melarang kalian untuk membaca Al Quran jika tidak bisa membaca Al Quran sesuai dengan kriteria di atas.  Akan tetapi ada satu hakikat yang tidak boleh dilupakan. Jika Al Quran tidak bisa memberikan perubahan dalam kehidupan ruhani kita, bagaimana bisa ia dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan masyarakat kita? Kita harus bisa berubah dengan bimbingan Al Quran; kita harus bisa menghadapkan diri kita ke arah ufuk Al Quran; dan kita pun harus memperhatikan Al Quran dengan kedalaman yang dimilikinya, sehingga rahasia Ilahi yang terdapat di dalamnya dapat mengisi relung hati kita. 

Seandainya lewat berbagai wasilah kita dapat berkumpul, mungkin tidak dengan durasi yang lama, cukup 1-10 menit saja kita fokus untuk memperbaikinya; lalu kita hadir di dalam taklim yang diasuh oleh Guru yang bacaannya baik; Yang mahir membimbing yang belum mahir; Al Quran dibaca secara muqabalah dimana satu orang menyimak, satu orang membaca.