Pendidikan Agama Bagi Anak

Keikhlasan: Ruh dari Segala Amal Perbuatan

Pertanyaan: Dalam salah satu hadis, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang mulia, bersabda:

أَخْلِصُوا أَعْمَالَكُمْ لِلهِ فَإِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا خَلَصَ لَهُ

“Ikhlaslah dalam semua amal perbuatan kalian, sesungguhnya Allah tidak menerima amal, kecuali amal yang ikhlas.”[1] Bagaimana kita dapat mencapai kebaikan ini yang telah disampaikan Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam, dan menjadi tersadar dan fokus akan “hanya mengharap ridhoNya dalam segala amal kita?”

Jawab: Seorang yang benar-benar beriman yang cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, harus mengharap ridhoNya dalam segala perilaku dan perbuatannya; dia tidak seharusnya melihat kepada sosok dirinya sendiri, bahkan hanya untuk sekejap; dia tidak seharusnya berucap “Aku berbicara, Aku melakukan, Aku berhasil...” dan dia tidak mengungkit-ungkit amal baik termasuk dari ingatannya. Terutama ketika dia sedang dalam mengajak orang lain dalam kebenaran, seorang mukmin hendaknya tidak pernah berusaha untuk memamerkan dirinya. Dimana saja ketika ia sedang berbicara atas nama kebenaran, perkataannya harus memantulkan suara yang ada di dalam kalbunya. Saat ia berhasil pada tujuannya, tidak pernah terbesit sekecil apapun dalam pikirannya keberhasilan ini adalah hasil jerih payahnya.

Lisan yang Tidak Berjiwa Oleh Karena Bertentangan dengan Kalbunya

Sebuah kesadaran seperti yang disebutkan di atas tentu saja adalah sesuatu yang tidak bisa diraih hanya dalam sekejap mata. Seseorang harus secara terus menerus menghilangkan ego dirinya dan mencapai derajat berkata, “Apakah diriku benar-benar ada,” dan pada akhirnya mencapai sebuah tingkatan melupakan dirinya. Jika tidak, maka pengaruh dari perbuatan baiknya hanya akan terbatas pada lingkup yang kecil, dan tidak akan berbuah manis. Meskipun pada awalnya nampak hasilnya, sifatnya hanya sementara dan manfaatnya tidak akan berjangka panjang.

Tidak mencapai sepersepuluh dari zikir-zikir pada masjid-masjid saat ini –misalnya membaca surat Ikhlas tiga kali sebelum solat– ada pada zaman Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam. Di negeri-negeri muslim hari ini, adzan berkumandang dari menara-menara bergema ke seluruh penjuru daratan. Penceramah silih berganti bertugas di masjid-masjid maupun pada acara di TV; mereka berceramah non-stop. Akan tetapi, ceramah dan ayat-ayat yang dibacakan tidak menyentuh kalbu masyarakat; tidak membekas di hati mereka. Masyarakat tidak dibawa ke jalan mengenal Allah tidak seperti pada zamannya Rasul yang penuh berkah, oleh karena kata-kata yang keluar dari lisannya bertentangan dengan kalbunya. Jika seseorang hanya sekedar memperlihatkan kehebatannya, bahkan ketika sedang mengucapkan اَللهُ أَكْبَرُ “Allahu Akbar,” dan berusaha menarik perhatian dengan suara dan nada yang ia buat, dan berbicara tentang Allah dan Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam untuk memperlihatkan betapa hebatnya dia dalam berbicara, maka dia hanyalah seorang yang secara diam-diam berdusta.

Kedalaman Iman

Situasi yang dijelaskan di atas adalah sebuah hal besar bagi orang-orang yang telah menaruh kalbunya dalam keimanan. Jika mereka entah bagaimana selama ini selalu menganggap kecil hal ini dan tidak berdiri di tengah-tengah topik ini, maka apa yang mereka harus lakukan pertama kali adalah melihat ke dalam jiwanya dan memperbaikinya sebagai syarat untuk memperdalam keimanannya. Sebenarnya, para sahabat pada zaman dahulu melakukan tabiat dan pemahaman ini. Ketika mereka bertemu satu sama lain, mereka akan berkata, سَاعَةً تَعَالَ نُؤْمِنْ “Marilah kita bersama dalam iman kepada Allah untuk satu jam ke depan.”[2] Dengan kata lain, “Iman telah menyelamatkan kita sejauh ini. Tetapi kita tidak tahu apakah kita masih beriman esok hari. Oleh karena itu, marilah kita periksa iman kita sekali lagi.” Jika anda perhatikan, para sahabat tidak berkata “Marilah kita perbarui iman kita,” tetapi “Marilah kita bersama dalam iman kepada Allah untuk satu jam ke depan.” Maka hal ini bermakna, seperti yang telah Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam sampaikan kepada Abu Dharr al-Ghifari, جَدِّدِ السَّفِينَةَ فَإِنَّ الْبَحْرَ عَمِيقٌ “Rawat dan perbaiki kapalmu sekali lagi karena lautan semakin dalam,”[3] berlayar ke lautan yang baru setiap hari.

Selayaknya seorang pemuda yang hendak bepergian jauh akan memeriksa semua bagian mobilnya dari mesin hingga roda, seseorang harus serupa dalam memperbaiki aspek-aspek dirinya yang membutuhkan pemulihan sebagai syarat tanggung jawab dan kewajiban kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan sebuah fokus yang baru, seseorang harus memperbaiki imannya sekali lagi. Seorang yang akan berlayar di lautan hidup ini, yang sangat dalam, dapat tenggelam kapan saja. Apa yang telah menunggu kita di depan adalah sebuah perjalanan panjang yang bermula di alam kubur dan akan berakhir di Surga atau Neraka. Oleh karena itu, seseorang harus mempersiapkan dengan baik sebelum melangkah di perjalanan yang berat ini.

Kemudian, Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam bersada: وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيد “Persiapkan bekalmu dengan matang, untuk perjalanan yang sangat panjang ini.” Perbekalan yang seseorang siapkan harus lebih dari cukup agar bisa melewati Jembatan Sirat dan masuk Surga. Jembatan Sirat bukanlah seperti jembatan-jembatan di dunia kita sekarang. Tidak mudah untuk melewatinya. Berdasar yang Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam sampaikan dalam pembahasan ini, Jembatan Sirat akan terasa panjang seperti hidup kita di dunia. Seseorang akan bisa masuk surga setelah berhasil melewati tantangan ini.

Sebagai tambahan untuk mendapat bekal yang akan ia butuhkan selama perjalanan ini, seseorang harus selalu menjauhkan diri dari segala larangan dan dosa karena akan menjadi balasan dan siksaan untuk dirinya. Rasulullah menyampaikan hal ini dengan bersabda, وَخَفِّفِ الْحِمْلَ فَإِنَّ الْعَقَبَةَ كَئُودٌ “Ringankanlah bebanmu, untuk tanjakan yang akan sangat terjal.” Seseorang harus berusaha ketika ia masuk kubur, melewati masa-masa di alam barzah, dan berdiri di Hari Pengadilan dengan amat banyak catatan buruk yang harus dipertanggung jawabkan, dan menghindari tercabik oleh besi tajam di Jembatan Sirat.

Sebagai bagian terahir dalam nasihatnya kali ini, Rasulululah Shallallahu Alaihi Wasallam:

 وَأَخْلِصِ الْعَمَلَ فَإِنَّ النَّاقِدَ بَصِيرٌ

“Ikhlaslah dalam segala perbuatanmu dan hanya berharap ridhonya; kepada Allah, yang amat teliti perhitunganNya, mengawasi segala perbuatanmu.” Bediuzaaman menyampaikan hal ini di “Cahaya Ketiga” sebagaimana berikut: “Segala hal yang kalian perbuat seharusnya untuk Allah, bertemu orang lain untuk Allah, dan bekerja demi Allah. Bertindak dalam lingkup, ‘untuk Allah, demi Allah, dan karena Allah’”[4] Allah yang Maha Kuasa dengan cermat menilai perbuatanmu dan mengambil catatan amal baik dan burukmu; Dia mengawasimu setiap saat. Dia mengetahui segala yang tersembunyi. Dia mengawasi segala sesuatu.

Terus Menerus Mengkritisi Diri

Kehidupan dunia ini harus dipahami dengan batasan-batasannya. Dalam masalah ini tidak ada ruang untuk kelalaian, keacuhan, melupakan atau sikap masa bodoh. Salah satu tokoh soleh, Aswad ibn Yazid an-Nakhai, menekankan, اَلْأَمْرُ جِدٌّ، اَلْأَمْرُ جِدٌّ “Permasalahan ini tidak seperti yang kamu bayangkan; hal ini sangat serius!”[5] Alias, permasalahan ini bukan sesuatu yang sederhana dan biasa untuk dihadapi dengan remeh dan sembrono. Ini adalah tentang keselamatan dari siksa abadi. Oleh karena itu, seseorang harus mengevaluasi sholatnya, puasa dan semua ibadah dengan kesadaran ini, dan harus terus menerus mengkitisi dirinya.

Dalam hal ini, ketika menjelaskan sebuah topik tertentu, doa dari penceramah, misalnya, “Semoga Allah yang Maha Kuasa menjadikan kita berbicara benar, menyampaikan dengan efektif; semoga Dia memberikan kekuatan di kata-kata kita dan membuatnya diterima di kalbu-kalbu mereka,” hanyalah salah satu aspek pada permasalahan ini. Aspek lainnya adalah membebaskan diri dari egoisme dan menggantinya dengan keikhlasan. Seseorang harus berdoa,“Ya Ilahi, jadikanlah semua perkataanku terucap dalam ketaatan untuk mencapai ridhoMu.” Dengan kata lain, sebagaimana AlQuran ajarkan melalui permohonan Nabi Musa a.s.: “Berkata Musa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Ya Tuhanku, lapangkalah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS Ta-Ha 20:25-28), kita harus menirunya dalam doa kita sehari-hari. Selain itu, kita hendaknya juga tidak mengabaikan mengucapkan, مَعَ رِضَاكَ يَا رَبِّ “Ya Tuhanku, bawalah kami ke dalam ridhaMu.”

Monumen Ikhlas

Untuk mengurai lebih jelas, seseorang harus senantiasa berdoa, “Tajamkan lisanku dengan ridhaMu, berikan karunia padanya dengan izinMu. Jadikanlah lisanku mendapat kedalaman yang tak berhingga dengan karuniaMu, keagunganMu, dan kasihMu. Jika tidak, aku hanyalah fana, segala hal akan berakhir ketika hamba masuk ke alam baka. Jika Engkau tidak hadir dalam apa yang aku lakukan dan kerjakan, maka hampa tidak mengandung apapun.” Seseorang harus dengan sungguh-sungguh mengucapkan doa ini 50-100 kali per hari.

Almarhum Nurettin Topcu berkata bahwa mereka yang sedang memamerkan dirinya ketika sedang membacakan ayat-ayat suci adalah “Aktor kerongkongan,” dimana dia sangat tegas terhadap keikhlasan dan istiqomah untuk menekankan pentingnya ikhlas.

Sikap yang mengagumkan diambil Bediuzzaman pada permasalahan ini patut mendapat penghormatan. Dia tidak berharap untuk mendapatkan suatu apapun tanpa keikhlasan; dia menghempaskan segala apapun yang tidak datang dari dasar hatinya, dan menginjaknya. Pada masa kita ada sebuah kebutuhan atas lusinan monumen ikhlas, yang akan merubah wajah dunia. Meskipun mereka yang melaksanakan tugasnya demi mendapatkan keuntungan duniawi, apresiasi dan pujian mungkin berhasil secara sementara, mereka yang demikian tidak pernah berhasil secara abadi, dan mereka tidak akan pernah mampu melakukannya.

Umayyah, Abbasiyah, Khwarezmia, Ayyubiyyah, Seljuk, dan Usmani yang muncul setelah era Kebanggaan Umat Manusia dan era Khulafaur Rasyidin, telah memenuhi pengabdiannya kepada Islam. Khususnya pada masa tertentu, mereka berbakti sebagai tamsil (contoh) Masa Kebahagiaan, dan kemudian mereka meninggalkan dunia ini dengan terhormat. Hanya saja, mereka tidak pernah mencapai kesuksesan era Khulafaur Rasyidin. Penyebab yang harus digarisbawahi adalah khalifah yang diberkati tersebut menjalankan keikhlasan dari hati yang terdalam. Apa yang dibutuhkan umat manusia hari ini bukanlah penampakan luar, formalitas, kerakyatan, apresiasi, tepuk tangan atau tuntutan yang besar, akan tetapi perwujudan praktik ke-Islaman yang sebenar-benarnya dan tanda-tandanya nampak di kepribadian setiap muslim.



[1] Bkz.: ed-Dârakutnî, es-Sünen 1/51; el-Beyhakî, Şuabü’l-îmân 5/33

[2] Ahmed İbn Hanbel, el-Müsned 3/265; İbn Hacer, el-İsâbe 4/83

[3] ed-Deylemî, el-Müsned 5/339

[4] Bediüzzaman, Lem’alar s.21 (Üçüncü Lem’a, Üçüncü Nükte)

[5] Ebû Nuaym, Hilyetü’l-evliyâ 2/104