Berdakwah Sesuai Fitrah

Berdakwah Sesuai Fitrah

Ber-amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan oleh seorang da'i tidak boleh bertentangan ketentuan fitrah. Bahkan hendaknya ia menjadikan fitrah sebagai bagian dari tugas sucinya itu. Karena fitrah sangat cocok dengan ayat-ayat ciptaan, jadi amar ma'ruf nahi munkar harus cocok dengan fitrah, karena manusia mempunyai berbagai keistimewaan yang cocok dengan fitrahnya. Jika dakwah sang da'i bertentangan dengan fitrah manusia, tentu pembicaraannya tidak akan dimengerti oleh para pendengarnya, meskipun ia sangat pandai berbicara. Bisa jadi para pendengarnya mengira ia berbicara khayalan.

Misalnya saja setiap orang pasti mempunyai rasa cinta kepada sesamanya, maka ia sangat salah kalau ia meniadakan atau tidak mengakui adanya perasaan suci tersebut. Karenanya tidak dikatakan kepada seorang, “Janganlah kamu mencintai orang lain.” Jika dikatakan kepadanya, ucapan itu tidak berguna sedikit pun, karena ia bertentangan dengan fitrahnya.

Seorang da'i seharusnya menyampaikan dalam dakwahnya, “hendaknya kalian memiliki rasa cinta kepada siapapun yang layak dicintainya, apalagi mencintai sesuatu yang kekal dan tidak mencintai sesuatu yang lenyap. Jika seorang mencintai sesuatu yang akan lenyap tentunya ia akan berkorban perasaan dengan sia-sia. Akan tetapi jika menujukan cintanya kepada Allah, ia mencapai kedudukan tertinggi di sisi Allah. Karenanya jika seorang da'i mengajak para pendengarnya untuk mencintai Allah yang akan langgeng wujudnya, maka ia menganjurkan mereka mencintai semua orang, tanpa ada yang dilarang, seperti yang dikatakan seorang penyair, “Cintailah semua makhluk demi untuk memuliakan Sang Khalik.”

Selain itu, setiap orang juga mempunyai perasaan membangkan yang terkadang menyebakan satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Contohnya berbagai pergolakan dan demonstrasi yang terjadi dewasa ini, karena ada perasaan tidak puas terhadap suatu kondisi yang menyebabkan masyarakat pun murka. Perasaan murka pada lahiriyahnya memunculkan sifat-sifat negatif, tetapi perasaan tersebut tetap ada di hati setiap manusia. Allah telah melengkapi hati manusia dengan perasaaan membangkang, sehingga seorang yang diberi perasaan ini mengarahkan kepada kemunkaran, maka ia bisa terus menerus berada dalam kebenaran.

Jika manusia tidak mempunyai sifat membangkan mungkin ia akan kembali pada kesesatan, ketika ia merasa hidupnya tertekan. Karena itu, jika seorang memfokuskan sifat membangkangnya terhadap segala kemunkaran, sehingga ia membela kebenaran, maka sifat menantang itu akan menghasilkan hal positif. Karenanya kita tidak boleh berkata kepada siapapun, “Tinggalkan sifat membangkangmu.” Tetapi hendaknya kita katakan kepada setiap orang, “Kuatkan perasaan membangkangmu terhadap setiap kebaikan, agar kamu selalu berada di jalan yang lurus, yaitu jalan menuju Allah.

Selain itu, setiap orang mempunyai keinginan kekal abadi, padahal tidak ada satu pun makhluk yang kekal abadi. Semuanya ada awal dan akhir. Kehidupan seorang diawali dengan ditempatkannya sperma di rahim wanita dan kematian akan datang setiap saat dari segala penjuru. Namun, tetap saja hati manusia menyimpan keinginan untuk hidup kekal dan abadi di hatinya. Perasaan ini tidak akan diadakan oleh Allah di hati setiap orang, kecuali ada tujuan tertentu yang telah dirancang oleh Allah. Salah satunya agar manusia sukses dalam hidup keabadiannya.

Oleh karena itu, setiap orang wajib menggunakan perasaan itu pada tempatnya yang tepat, yaitu menginginkan kekal abadi di dalam surga di sisi Allah. Kalau manusia tidak menggunakan perasan tersebut untuk mencapai surga dan ridha Allah, maka ia akan berakibat buruk di dunia dan di akhiratnya. Jika perasaan seorang sedang bingung, maka segala perilakunya tidak akan lurus dan berimbang.

Selain itu, pada diri setiap orang mempunyai perasaan senang kepada kedudukan dan ingin selalu berprestasi. Perasaan tersebut tidak dapat dibendung oleh siapapun. Karena itu setiap da'i harus bisa mengungkap perasaan tersebut dan menunjukkannya kepada jalan yang benar, agar semua nasihatnya tidak bertentangan dengan kemauan para pendengarnya. Allah sengaja memberi perasaan tersebut kepada setiap orang, agar ia mempunyai tujuan dan kehendak yang mulia, yaitu ingin mencapai surga dan ridha Allah.

Sesungguhnya perjuangan yang berat untuk mencapai surga dan ridha Allah sangat sulit. Oleh karena itu, setiap da'i harus berkorban dalam menyampaikan pesan-pesan baiknya kepada para pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh para nabi, para shidiq, para syuhada', dan para mursyid yang saleh. Seharusnya setiap da'i mempunyai perasaan suci dan mulia guna menyampaikan dakwahnya. Jika seorang da'i tidak mempunyai perasaan suci dan mulia ketika menyampaikan pesan-pesan baiknya, maka ia tidak pantas disebut sebagai seorang da'i yang sejati.;

Nabi Nuh as. telah menyampaikan dakwahnya selama sembilan ratus lima puluh tahun, selama itu ia senantiasa menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan, tetapi ia menghadapinya dengan ikhlas suci dan mulia.

Nabi Ibrahim as. juga menyampaikan dakwahnya selama berpuluh-puluh tahun dan ia mendapat berbagai tantangan dan kesulitan, sehingga ia dilemparkan ke dalam api unggun. Demikian pula Nabi Musa as. mendapat tantangan dari Fir'aun dan kaumnya, dan mendapat tantangan dari Bani Israil, tetapi ia menyampaikan dakwahnya dengan penuh kesabaran.

Demikian pula Nabi Yahya as. menyampaikan dakwahnya dengan sabar dan ikhlas, tetapi ia dicoba sampai tubuhnya dibelah dua dengan sepotong gergaji. Demikian pula dengan Nabi „Isa as. juga menjalankan tugas suci dan ia mengalami cobaan yang sama dengan nabi-nabi yang lain, sehingga ia tidak pernah terlihat tersenyum di dalam wajahnya.

Perlu diketahui bahwa menyampaikan pesan-pesan yang baik dan melarang mereka dari kemunkaran merupakan tugas suci yang amat berat. Karena itu, seorang yang tidak sabar ketika menjalankan tugas sucinya, maka ia tidak dapat menempuh jalan yang pernah ditempuh dengan para nabi dan rasul terdahulu, bahkan mungkin ketika ia mendapatkan berbagai tantangan, maka niat sucinya akan kendur.

Disebutkan bahwa Harits Ibnu Harits berkata, “Aku pernah berkata kepada ayahku ketika kami berada di Mina, “Siapakah mereka?”

“Mereka adalah orang-orang Arab yang diajak masuk Islam oleh Nabi Saw., tetapi mereka menyakiti beliau Saw., sehingga setelah orang banyak bubar, maka ada seorang wanita yang datang kepada beliau Saw. membawa sebejana air dan sehelai kain, ia terlihat menangis. beliau Saw. menerima air itu, kemudian beliau Saw. minum dari padanya dan berwudhu. Setelah itu beliau Saw. berkata, “Wahai puteriku jangan kamu khawatir terhadap keselamatan ayahmu ini.” Tanyaku kepada ayahku, “Siapakah wanita ini?” jawab ayahku, “Ia adalah puteri beliau Saw. yang bernama Zainab.”[1]

Berbagai tragedi dan kesulitan yang dilihat oleh Harits ibnu Harits ketika itu adalah termasuk salah satu dari kisah Nabi Saw. ketika berdakwah di kota Mekah, bahkan segalanya beliau alami dengan sabar.

Disebutkan pula bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan shalat di seputar Ka'bah tiba-tiba datanglah Ubay ibn Abi Muaith dari belakang, maka ia menjerat leher beliau Saw. dengan sebuah kain. Ketika berita itu diketahui oleh Abu Bakar, maka ia berkata, “Apakah engkau hendak membunuh seorang yang beriman kepada Allah?” kemudian ia mencegah perbuatan Ubay tersebut.

Disebutkan juga bahwa Abu Bakar berulang kali pingsan di lorong-lorong kota Mekah karena dipukuli oleh kaum musyrikin Quraisy di kota itu. Pada suatu hari wajahnya dipukul dengan sepasang sandal yang tajam, sehingga wajah Abu Bakar luka parah, untungnya ketika itu tubuh Abu Bakar diselamatkan oleh kaumnya karena mereka mengira bahwa ia pasti akan mati. Ketika ia siuman maka ucapan pertama kali yang ia katakan adalah sebagai berikut, Bagaimanakan nasib Rasulullah Saw.?”[2]

Penyiksaan terhadap umat Islam di tahun-tahun pertama, juga dialami oleh „Ammar ibn Yasir ra bersama ayah dan ibunya. Demikian pula Bilal ibn Tuhanah ra. juga mengalami siksaan yang sangat pedih. Ia diletakkan di padang pasir pada tengah hari yang sangat panas dan tanpa baju, kemudian di dadanya diletakkan sebuah batu besar. Akan tetapi ia bersabar menghadapi siksaan yang sekeras itu. Demikian pula Talha ibn „Ubadillah ra., ia disiksa oleh ibunya sendiri dengan mengikat dirinya dan mengelilingkannya di seluruh kota Mekah.[3]

Bahkan siksaan yang lebih pedih dirasakan Zubair ibn Awwam ra., yang pernah dibakar dengan sehelai Tikar.[4] Jadi, semua sahabat Nabi pernah mengalami siksaan dari kaum Quraisy di awal era penyebaran agama Islam di kota Makkah.

Siksaan yang sekeras itu juga pernah dialami oleh „Abdullah ibn Hudzafah al-Sahmi ketika ia ditawan oleh tentara Romawi. Ia disiksa dan dipaksa masuk agama Kristen, tetapi ia menolaknya dengan kerasa sehingga kaisar romawi berkata kepadanya, “Kalau kamu mau masuk agama Kristen, maka aku akan membagi kerajaanku menjadi dua antara aku denganmu.” Ketika „Abdullah ibn Huzaifah menolaknya, maka ia disalib dan dilempari anak panah, tetapi ia tetap bertahan. Kemudian ia dimasukkan ke dalam air panas, sehingga tulang-tulangnya meleleh. Kemudian ia diperintah melompat dari tempat yang tinggi jika ia tidak mau masuk kristen, ketika ia digiring ke tempat yang tinggi, maka ia menangis. ketika ditanya, “Mengapa engkau menangis?” jawabnya, “Aku menangis karena aku berharap mempunyai seratus jiwa sepertiku dan masing-masingnya disiksa sekeras ini di jalan Allah.” Sehingga Kaisar Romawi merasa kagum kepadanya, seraya berkata, “Kalau kamu mau mencium kepalaku, maka aku akan membebaskan dirimu dariku.” Jawab „Abdullah, “Aku mau mencium kepalamu asalkan kamu membebaskan aku dan seluruh umat Islam yang kamu tawan di sini.” Setelah ia mencium kepala Kaisar Romawi, maka sang kaisar membebaskan „Abdullah ibn Huzaifah dan kawan-kawannya, sehingga ketika mereka bertemu dengan „Umar dan melaporkan kejadian itu, maka „Umar mencium kepala „Abdullah ibn Huzaifah.[5]

Dalam riwayat yang lain disebutkan pula bahwa ketika „Abdullah ibn Huzaifah digiring ke tempat yang tinggi karena hendak dibunuh, maka ia terlihat tersenyum, sehingga salah seorang pendeta Kristen berkata kepada para prajurit, “Berilah aku kesempatan untuk berbicara kepadanya, mungkin ia akan masuk ke agama Kristen.” Setelah sang pendeta diberi kesempatan, maka ia berbicara, “Wahai hamba Allah ketahuilah bahwa aku ingin mengajakmu masuk Kristen, agar engkau selamat dari pembunuhan dan engkau bahagia di akhirat.”

Dengan rendah hati, „Abdullah ibn Huzaifah berkata, “Wahai pastur yang mulia, aku tidak tahu bagaimana cara berterimakasih kepadamu pada waktu ini, andaikata agamaku membolehkan aku mencimmu, pasti aku akan cium tanganmu, karena engkau akan menyelamatkan aku dari kesulitan yang besar. Ketahuilah bahwa aku amat berat kalau aku mati sebelum aku memberi pengertian kepadamu tentang agama Islam. Kini kamu telah memberiku kesempatan untuk menerangkan Islam kepadamu. Jika aku dapat memberimu pengertian sedikit saja tentang Islam, meskipun aku mati sekarang juga aku tidak akan keberatan, karena keteranganku akan menyelamatkan dirimu di akhirat kelak.”

Mendengar ucapan „Abdullah ibn Huzaifah di atas, maka orang-orang yang ada di sekitarnya merasa kagum, sehingga mulut mereka terbuka lebar karena heran. Karena mereka mengetahui betapa pentingnya umat Islam untuk berdakwah dan mengajak orang kepada kebaikan. Memang demikian seharusnya, setiap da'i harus mempunyai semangat yang kuat untuk menegakkan kebaikan dan melarang kemunkaran, sehingga sinar dakwah Islamiyah tidak pernah mati sesaat pun dan itulah tujuan para da'i ketika mengajak orang lain ke jalan yang benar, mereka rela menghadapi segala kesulitan dan cobaan, asalkan mereka dapat mengajak orang lain ke jalan yang benar.

Mari kita lanjutkan pengamalan yang lain yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. selama berdakwah kepada kaumnya di Madinah. Beliau Saw. pernah mengalami mendapat kekayaan yang berlimpah ruah dari harta rampasan perang, tetapi beliau Saw. melewati hidupnya dengan lapar dan tidak mau makan sesuap pun untuk mengenyangkan perutnya.

Abu Hurairah ra. pernah mengatakan, “Aku pernah mengunjungi Nabi Saw., ketika beliau Saw. sedang shalat sambil duduk. Aku bertanya, “Ya Rasulullah Saw. mengapa engkau shalat duduk, adakah suatu derita yang kamu rasakan?” Sabda beliau Saw., “Wahai Abu Hurairah, aku tidak menderita apapun selain merasa lapar.” Maka kata Abu Hurairah, “Aku menangis karenanya.” Sabda beliau Saw., “Janganlah kamu menangis, karena kesulitan di hari kiamat yang dialami oleh seorang akan melupakan dirinya dari lapar, ketika ia menghadapi perhitungan dari Allah.”[6]

Besarnya kemauan para da'i Islam untuk mengajak kaumnya ke jalan yang benar pernah disebutkan oleh Lukman dalam wasiatnya kepada puteranya sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah berikut ini, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah),” (QS Luqmân [31]: 17).

Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa seorang mukmin yang rajin melaksanakan shalat menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemunkaran, maka ia akan menghadapi berbagai macam tantangan. Kesimpulannya setiap orang yang melakukan salah satu dari kebaikan, maka ia akan menghadapi satu tantangan, jika ia melakukan dua kebaikan, maka ia akan menghadapi dua tantangan, di saat itu ia benar-benar telah menempuh jalan kebenaran menuju Allah.

Sebenarnya di sini terdapat tiga nasihat, yaitu mendirikan shalat, menegakkan amar maruf nahi munkar, dan bersabar. Jika seorang telah melaksanakan tiga nasihat ini, maka ia telah menjadi orang paling sempurna. Saya yakin bahwa inilah jalan yang ditempuh oleh orang-orang besar. Oleh karena itu orang-orang yang ingin mencapai kemuliaan yang sangat tinggi, maka hendaklah ia mau menempuh ke tiga nasihat ini. Hendaknya ia selalu meminta perlindungan Allah dari segala langkah yang salah.

Saya telah menerangkan, bahwa seorang da'i tidak boleh bertentangan dengan undang-undang fitrah ketika ia menyampaikan pesan-pesan baiknya, hendaknya ia menerangkan pesan-pesan baiknya dengan cara yang arif dan bijaksana.

Adapun contoh yang terbaik bagi setiap da'i adalah pribadi Nabi Saw.. segala sifat mulia yang ada diri beliau Saw. menunjukkan bahwa beliau Saw. adalah seorang nabi yang senantiasa mengajak umatnya ke jalan Allah dan mencegah mereka dari kemunkaran. Beliau Saw. selalu berbicara dengan bahasa dan gaya yang dapat dimengerti oleh umatnya, sedikitpun beliau tidak pernah menggunakan bahasa dan gaya yang tidak mengerti. Itulah cara yang ditempuh oleh beliau Saw. sepanjang hidupnya. Teladan yang lain Beliau Saw. menggunakan kepandaian sahabat Hasan ibn Tsabit dalam berpuisi untuk menjawab berbagai puisi orang-orang kafir yang menjelek-jelekkan Islam dan Nabinya, sehingga setiap bait-puisi Hasan ibn Tsabit bagai anak panah yang menghunjam dada setiap orang kafir. Beliau Saw. tidak mau menggunakan Hasan ibn Tsabit sebagai prajurit di medan perang, karena beliau Saw. tahu bahwa Hasan ibn Tsabit tidak mahir untuk perang di medan juang.

Demikian pula, ketika beliau Saw. mengutus sahabat Mush'ab ibn Umair, Mu'adz ibn Jabal, Ali ibn Abi Thalib dan sahabat-sahabat yang lain untuk berdakwah, karena beliau Saw. amat arif, sehingga beliau Saw. tidak memilih orang-orang yang tidak layak untuk berdakwah. Andaikata beliau Saw. memilih sahabat Khalid untuk berdakwah, tentunya hasilnya tidak semanis yang mereka capai. Karena Khalid memang dijadikan oleh Allah sebagai pahlawan di medan perang, sehingga ia selalu berhasil bila berjuang di medan perang dan memimpin pasukan Islam.

Sesungguhnya kepandaian untuk memilih tenaga yang cocok untuk berdakwah sangat dibutuhkan oleh setiap da'i, terutama untuk memilih masalah apa yang akan dibicarakan dihadapan umatnya. Tentunya pengetahuan seperti itu terkait erat dengan pengetahuan fitrah manusia dari dekat. Ketika ada orang-orang yang akan dipilih untuk berdakwah, sedangkan mereka tidak mampu untuk melakukannya dengan baik, sehingga pemilihan itu adalah salah, maka hasilnya akan nihil.

Di samping itu, perlu diketahui pula bahwa setiap da'i harus mengetahui pula wacana apa saja yang ia miliki, agar dakwahnya tidak gagal.

[1] Lihat lebih lanjut dalam kitab Asad al-Ghâbah, karya Imam Ibnul Atsir, Jilid 1, halaman 436.
[2] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, karya Imam Ibnu Katsir, Jilid 3, halaman 29.
[3] Lihat lebih lanjut dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam, Jilid 1, halaman 339.
[4] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Ishâbah, karya Imam Ibnu Hajar, Jilid 1, halaman 545. Juga dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 9, halaman 151.
[5] Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Ishâbah, karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Jilid 2, halaman 296-297. Juga dalam kitab Asad al-Ghâbah, karya Imam Ibnul Atsir, Jilid 3, halaman 212.
[6] Hilyatul Aulia, Abu Nuaim, 7/109, Kanzul Ummal, Al Hindi, 7/199.