Toleransi dan Dialog Menurut al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw

Toleransi dan Dialog Menurut al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw

Al-Qur’an selalu menjadikan ampunan dan toleransi sebagai prinsip dasar. Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan hal ini. Mengenai hal ini, "hamba Tuhan Yang Maha Penyayang" diperkenalkan dengan cara berikut:

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (Q.S. al-Furqan: 63)

Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Q.S. al-Furqan:72)

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,” (Q.S. al-Qashash: 55)

Inti sari ayat-ayat di atas adalah bahwa ketika hamba-hamba Allah yang sejati menjumpai kata-kata atau perilaku kotor dan tak beguna, mereka tak perlu mengatakan kata-kata yang tidak pantas, melainkan lalui saja dengan tetap menjaga martabat. Singkatnya “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing” (Q.S. al-Isra’: 84) dan dengan demikian menampilkan karakternya sendiri. Karakter pahlawan toleransi adalah kelembutan, pertimbangan, dan toleransi. Ketika Allah mengutus Musa dan Harun untuk menemui seorang pria yang mengaku memiliki kekuasaan seperti Tuhan, seperti yang diklaim Firaun, Dia memerintahkan mereka berdua untuk bersikap toleran dan berbicara lemah lembut (Q.S. Tha Ha: 44).

Kehidupan Rasulullah saw, berada dalam orbit ampunan dan kesabaran. Beliau bahkan berperilaku sedemikian rupa terhadap Abu Sufyan, yang menganiaya beliau sepanjang hidupnya. Selama penaklukan Mekah, meskipun Abu Sufyan mengaku masih tidak yakin tentang Islam, Rasulullah saw bersabda, “Mereka yang berlindung di rumah Abu Sufyan aman, seaman mereka yang berlindung di Ka’bah.” Jadi, dalam rangka memberikan perlindungan dan keselamatan, rumah Abu Sufyan telah disebut berdampingan dengan Ka'bah. Pendapat sederhana saya, toleransi seperti itu lebih berharga daripada satu ton emas bagi Abu Sufyan, seorang pria tujuh puluhan tahun, dengan sifat egoisme dan kebangsawanan yang sudah mendarah daging.

Selain diperintahkan untuk bersikap toleran dan menggunakan dialog sebagai dasar, sementara menjalankan tugasnya, Nabi saw dibimbing ke aspek-aspek yang memiliki persamaan dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen):

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. (Q.S. Ali-Imran: 64)

Dalam ayat lain, orang-orang yang hatinya dihiasi dengan keimanan dan cinta diperintahkan untuk berperilaku dengan penuh ampunan dan toleransi, bahkan untuk mereka yang tidak percaya pada akhirat:

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Jatsiyah: 14)

Mereka yang merasa disapa ayat-ayat ini, semua pecinta yang berharap menjadi hamba Allah yang sejati semata-mata karena menjadi manusia, mereka yang telah menyatakan iman dan dengan demikian menjadi muslim dan melakukan tugas agama yang diamanatkan, harus bersikap toleran dan sabar dan tidak mengharap apapun dari orang lain. Mereka harus menggunakan pendekatan Yunus Emre: tidak menyerang orang-orang yang memukul, tidak menanggapi dengan kasar kepada mereka yang mengutuk, dan tidak memendam rasa dendam terhadap orang-orang yang berkhianat.