Dua Kuntum Mawar dari Bukit Zamrud: Toleransi dan Dialog

Dua Kuntum Mawar dari Bukit Zamrud: Toleransi dan Dialog

Dialog bisa berarti dua orang atau lebih berkumpul untuk membahas isu-isu tertentu, kemudian menjalin ikatan diantara mereka. Dalam hal ini, kita bisa menyebut dialog sebagai suatu kegiatan yang di tengahnya terdapat kegiatan kemanusiaan.Tidak diragukan lagi, setiap orang dihargai sesuai dengan ketulusan dan niat masing-masing. Jika seseorang melakukan perbuatan secara tulus dan dengan niat baik, maka ia bisa menjadi pemenang bahkan ketika orang lain menganggapnya sebagai pecundang. Rasulullah saw bersabda, “Tiap amal perbuatan dinilai sesuai dengan niatnya,”[1] dan beliau menekankan bahwa niat orang yang beriman lebih penting daripada perbuatannya. Jika perbuatan dilandasi dengan niat baik, maka hasilnya akan menjadi baik. Jadi, apapun yang dilakukan, pertama, seseorang harus tulus dalam niat dan mencari keridhaan Allah. Jadi seseorang tidak boleh bersikap gegabah atau memfitnah kelompok-kelompok yang sedang menjalin hubungan satu sama lain, atas nama cinta, dialog dan toleransi.

Masyarakat tidak bisa menahan goncangan yang lebih besar lagi setelah menderita begitu banyak luka dan mengalami goncangan berkali-kali. Jika konsentrasi kekutan antidemokrasi terus membebani bangsa ini, dan melalui kekuatan dan sarana yang tersedia memaksakan logika dan pendapat, maka bangsa yang mulia ini mungkin tidak dapat pulih kembali dari keterpurukan. Sebagai akibat dari bencana tersebut, tanah yang bak surga ini mungkin akan dipaksa mundur 15 atau 20 tahun ke belakang. Ada kemungkinan kita akan kehilangan beberapa hal. Kita mungkin akan merindukan hal-hal yang hilang tersebut, bahkan jika hal-hal itu berada di antara hal-hal yang kita kritik hari ini. Dalam hal itu, jika kita memulai upaya untuk berdialog dengan keyakinan bahwa “perdamaian itu lebih baik” (Q.S. an-Nisa: 128), maka kita harus menunjukkan bahwa kita berada di pihak perdamaian—baik di dalam maupun di luar negeri. Memang, perdamaian sangat penting dalam Islam; pertempuran dan perang hanya masalah sekunder yang dapat dilakukan karena alasan dan kondisi tertentu. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa jika kita tidak dapat menciptakan lingkungan yang damai—di mana semua orang bisa hidup aman dan damai—di negeri ini, maka tidak mungkin kita bisa melayani masyarakat atau umat manusia dengan baik.

Kesalahpahaman tentang Islam

Jika kita melihat masalah dari perspektif yang berbeda, umat muslim dari waktu ke waktu telah disalahpahami dan sebagai akibatnya mereka menjadi sasaran tekanan dan penghinaan. Kita bahkan telah menyaksikan hak-hak mereka yang paling asasi telah dirampas, misalnya hak mereka untuk bekerja. Penindasan terhadap orang-orang yang beriman ini dilancarkan dengan mengatas namakan kebajikan, seperti humanisme, hak asasi manusia, kemurahan hati, cinta, dan toleransi, yang sebenarnya merupakan karakteristik-karakteristik yang Islami. Namun, karakteristik dan kebajikan ini juga yang sedang digunakan untuk melawan orang-orang yang beriman dan konsep-konsep ini sedang dieksploitasi. Selalu ada sikap seperti ini—sikap yang halus dan menipu—pada sebagian dari mereka yang tidak sudi memberi ruang kepada Islam dan umat Islam untuk eksis, baik di sini maupun di luar negeri. Apa yang telah mereka dakwakan tidaklah benar; muslim sejati tidak akan pernah bersikap fanatik. Meskipun jika memang ada beberapa orang yang seperti itu dalam masyarakat Islam, tidaklah semestinya kita menganggap bahwa semua muslim tidak mengenal tenggang rasa dan toleransi. Sungguh, hingga sekarang, apa sebenarnya kesalahan orang-orang muslim? Kejahatan apa yang telah mereka lakukan? Terhadap siapa? Meskipun niat mereka baik, beberapa orang selalu mendapatkan stereotip yang buruk dan telah dinilai dengan peniliaian yang salah, mereka telah menjadi kambing hitam dengan berbagai tuduhan yang mengatas namakan cinta, toleransi, kebebasan, dan demokrasi. Meskipun pada akhirnya terpaksa menerima semua tuduhan palsu ini, muslim sejati tidak pernah melukai siapa pun. Mereka hanya bisa menghibur diri dengan menyatakan bahwa mereka bukanlah seperti yang dipersalahkan selama ini. Namun, kelompok tertentu tidak pernah berhenti menyerang mereka. Memang, keindahan selalu muncul dari orang-orang muslim yang ikhlas dan tak bersalah, dan dari sumber-sumber suci dan mulia yang ada dalam genggaman mereka. Tidak ada cara lain, dalam al-Qur'an, sunnah, dan tafsir-tafsir yang kita pelajari dari para ulama besar, tidak ada jejak keputusan atau sikap yang bertentangan dengan cinta, toleransi atau dialog—dalam arti ketika menghadapi orang lain atau menyatakan dan mengekspresikan emosi atau pikiran kita. Kita tidak bisa membayangkan agama yang mewariskan kebaikan dan yang yang mengajak semua orang—tanpa kecuali—menuju keselamatan, dianggap sebagai kebalikannya. Ayat-ayat al-Quran berikut mengungkapkan kebenaran ini dengan sempurna:

Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. At-Taghabun: 14)

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)

Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena Dia akan membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. al-Jatsiyah: 14)

Sungguh, al-Qur'an yang kita lihat terukir dalam bentuk cinta. Karenanya, orang-orang yang beriman harus merebut kembali keindahan yang sudah menjadi milik mereka itu dan mengubah citra negatif umat muslim. Citra negatif ini telah disebarkan ke seluruh dunia dan sekarang kita harus dapat menyampaikan aspek-aspek penting Islam kepada mereka yang mengaku beradab, dengan menggunakan prinsip “ajakan yang lembut.”

Syukur yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia-Nya atas kehadiran para pecinta kebenaran dan pahlawan cinta yang telah membawa pesan cinta, toleransi dan dialog ke seluruh dunia dan yang berusaha untuk membangun “citra baru umat Islam” dengan hati penuh cinta.

Mencari Ridha Allah

Saya ingin menekankan bahwa umat muslim tidak akan kehilangan apapun dengan melakukan dialog, cinta, dan toleransi. Umat muslim selalu mencari ridha Allah; ini adalah prestasi terbesar kita semua. Karenanya, hal-hal yang mungkin dianggap sebagai kerugian bagi sebagian orang, bisa jadi merupakan keuntungan bagi umat Islam, sebaliknya ada hal-hal yang dianggap sebagai keuntungan, bisa jadi merupakan kerusakan bagi umat Islam. Lebih dari itu, kita tidak meragukan Islam, kitab suci al-Qur'an dan Rasulullah saw, sosok kebanggaan manusia. Kita percaya bahwa Islam akan terus melaju ke masa depan meskipun menghadapi banyak rintangan; setiap kandungan al-Qur’an telah terbukti kebenarannya; ia adalah kitab yang cukup ampuh untuk menyelesaikan semua masalah di masa depan. Penghulu para nabi, Rasulullah saw, seorang pria yang menurut Bernard Shaw, “bisa menyelesaikan semua masalah semudah meminum kopi,” telah diutus untuk manusia dalam rangka memberikan solusi atas semua masalah sampai hari kiamat. Seperti pada abad-abad sebelumnya, masalah-masalah era kita dan era yang akan datang, yang tampaknya jauh dari solusi yang sehat, akan diselesaikan oleh para arsitek hati dan pikiran yang mendasarkan solusi-solusi mereka pada sumber-sumber suci.

Sungguh, kita tidak perlu khawatir karena kita percaya bahwa al-Qur'an dan penjelasan Nabi saw telah menawarkan solusi yang langgeng untuk segudang masalah. Menurut saya, mereka yang dilengkapi dengan pelita ini tidak akan menderita kerugian, dengan bantuan dan karunia Allah, di manapun di dunia yang mereka singgahi dan dengan siapa saja, mereka bisa masuk ke dalam dialog. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk khawatir. Yang jelas, dalam hal ini kita harus memahami sumber daya yang kita miliki, dan memberdayakan mereka seoptimal mungkin. Selain itu, kita tidak boleh menyalahgunakan mereka dengan mengasosiasikan mereka dengan kesalahan kita sendiri, keinginan jasmani atau duniawi kita. Dengan bantuan mereka kita cari keridhaan Allah dan hari akhirat.

Sungguh, seperti halnya kita yang tidak pernah sedikitpun meragukan al-Qur'an dan Nabi saw, dan sama halnya seperti kita yang tidak pernah meragukan keadilan keduanya, tidak ada alasan bagi seseorang untuk meragukan kita. Tapi, jika masih ada beberapa orang yang takut karena kekhawatiran yang tak beralasan, mereka sama saja dengan meragukan keandalan dinamika dan sumber-sumber yang menjadi sandaran mereka sendiri.

[1] Bukhari, Bad'ul-Wahyi 1, Itk 6; Muslim, Imarat, 155, Abu Dawud, Talak, 11.