Membangun Spiritualitas Kita

Membangun Spiritualitas Kita

Pada bagian lalu kita telah membahas berbagai sifat dan karakter yang dimiliki para "pewaris bumi" secara sekilas. Berikut ini saya ingin menyampaikan penjelasan yang lebih rinci mengenai topik ini.

Sifat-Sifat Para Pewaris Bumi:

Sifat Pertama

Sifat pertama yang dimiliki para pewaris bumi adalah iman yang sempurna. Al-Qur`an telah menyatakan bahwa iman kepada Allah s.w.t. adalah tujuan utama dari penciptaan manusia dengan segala makrifat, mahabbah, kerinduan, dan berbagai sifat rohaniah yang dimiliki oleh makhluk Allah yang satu ini. Sebab itu, maka manusia selalu memikul tanggung jawab (mukallaf) untuk membangun dimensi keimanan dan pemikirannya. Terkadang hal itu dilakukan dengan menempuh berbagai jalan yang dapat mengantarkannya pada kedalaman entitas alam semesta, dan terkadang hal itu dilakukan dengan memungut hikmah yang ditemukan di sekelilingnya untuk kemudian menerapkannya pada dirinya. Ketika itu terjadi, pastilah hakikat penciptaan yang tersembunyi di dalam jiwanya akan muncul ke luar.

Tanpa cahaya keimanan, seseorang tidak akan mampu mengenali dirinya sendiri, mengetahui kedalaman jati dirinya, tujuan penciptaan alam semesta, atau pun mengetahui apa yang terjadi di balik semua yang tampak di hadapannya. Dengan bimbingan cahaya imanlah seseorang akan mampu memahami semua entitas dari segala dimensinya.

Sebaliknya, kekufuran adalah sebuah ketertutupan yang parah. Menurut pandangan seorang kafir, semua entitas yang terhampar di alam semesta berawal dari sebuah ketidakteraturan, kemudian berkembang dalam ketidakpastian yang mengerikan, dan akhirnya hancur tanpa arti apa-apa. Dengan pandangan sesat seperti itu, maka setiap kita sama sekali tidak akan mendapat tempat di dunia, bahkan meski sekedar tempat untuk berdiri di bawah naungan kasih sayang Ilahi yang akan mengantarkan kita menuju cita-cita.

Ketika orang-orang kafir kebingungan, setiap orang yang beriman telah menyadari dan sangat memahami setiap langkah yang diayunkannya, arah mana yang hendak dia tuju, apa yang harus dia lakukan, dan apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai manusia. Seorang manusia beriman melihat segala sesuatu sebagai cahaya benderang dan selalu menjejakkan kakinya dengan keyakinan sempurna. Dia selalu bergerak ke arah cita-citanya tanpa rasa takut dan penuh percaya diri. Dalam perjalanannya, orang beriman akan lima puluh ribu kali menguak tabir wujud dan segala yang tersembunyi di balik tirai entitas. Lima puluh ribu kali dia memeras hikmah dari setiap kejadian yang mereka alami. Seorang mukmin tidak pernah jemu mengetuk pintu yang dilewatinya sembari mencari hubungan dengan segala sesuatu. Ketika apa yang ditemukan atau diketahui olehnya mengalami kebuntuan, maka seorang mukmin akan merasa cukup dengan kebenaran yang dilihatnya atau diketahuinya dari apa yang dialaminya sendiri atau dialami orang lain untuk kemudian kembali melanjutkan perjalanannya.

Di tengah kesetimbangan seperti itu, seorang pengembara dalam keimanan dapat dianggap sebagai pribadi yang telah menemukan sumber energi terpenting bagi kehidupan. Sebuah energi yang berasal dari dimensi lain yang terkandung di dalam kalimat "lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh" (tiada daya dan kekuatan melainkan hanya pada Allah). Pada tahap ini, si mukmin telah sampai pada posisi yang membuatnya tidak membutuhkan sumber energi lain yang diketahui oleh manusia pada umumnya. Dia tidak akan melihat sesuatu pun yang selain Allah s.w.t.; tidak mengenal sesuatu pun yang selain Dia; tidak akan bergerak kecuali hanya ke arah-Nya; dan tidak akan menjalani hidup kecuali hanya dengan menghadapkan jiwa-raganya kepada-Nya. Dengan makrifat dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, seorang mukmin akan berani menghadapi semua kekuatan duniawi. Dia hidup dalam kerinduan hanya kepada Allah. Dia tidak akan pernah terperosok ke dalam kegelapan dan kemalangan, hatta pada kondisi yang benar-benar sulit. Dia akan selalu dapat mengharapkan keberhasilan dalam semua keadaan yang dia hadapi.

Saya cukupkan sampai di sini pembahasan mengenai masalah ini. Anda dapat membaca pembahasan yang lebih mendalam tentang topik ini dalam buku saya Risale-i Nur dan beberapa buku lainnya. Sekarang perkenankan saya untuk membahas sifat kedua.

Sifat Kedua

Sifat kedua yang dimiliki kaum pewaris bumi adalah memiliki cinta membara ('isyq)[1] yang merupakan eliksir (obat serbaguna) bagi kehidupan demi mewujudkan sebuah kebangkitan baru. Siapapun yang mengisi serta menyiapkan hatinya hanya untuk iman dan mengenal (makrifat) Allah, pasti akan merasakan cinta yang dalam terhadap Allah, manusia, dan bahkan seluruh alam semesta.

Orang yang mencintai Allah pasti akan menghabiskan umurnya di tengah kondisi turun-naik cinta, jadzbât,[2] dan spirituliatas yang siap mengayomi seluruh entitas. Sebagaimana layaknya dalam setiap tahapan sejarah, pada saat ini kita sangat membutuhkan individu-individu yang hatinya mengandung 'isyq dan diliputi kerinduan (syauq) kepada Allah dengan pemahaman baru yang "segar" agar dapat mewujudkan kebangkitan sempurna. Tanpa 'isyq, sebuah gerakan atau bahkan sebuah revolusi, tidak akan pernah dapat mencapai tujuannya yang hakiki. Apalagi jika gerakan atau revolusi yang dilakukan itu memiliki hubungan dengan akhirat dan dimensi lain di luar kehidupan duniawi. 'Isyq-lah yang dapat kita tunjukkan ketika kita memuji dan beraudiensi di hadapan Allah s.w.t. yang Mahahadir, Mahaada, dan Mahapencipta. Selain itu kita juga harus memiliki kesadaran atas apa yang menjadi bagian kita dalam "wujud" kita sebagai makhluk yang selalu berada di bawah naungan "wujud" Allah sebagai pencipta yang selalu menyampaikan firman-Nya kepada makhluk. Kita harus selalu berusaha mereguk anugerah dari-Nya, sebab Dialah sumber segala energi serta kekuatan yang tersembunyi namun kekal.

Para pewaris bumi tidak boleh meremehkan sumber kekuatan ini. Mereka harus segera menjalani hidup dengannya. Orang-orang barat telah mengenal 'isyq pada dimensi materi berkat pengetahuan yang disampaikan pada filsuf yang samar dan semu bagai asap. Mereka telah mengecap kenikmatannya dan kemudian hidup di bawah kesemuan itu di sepanjang jalan kehidupan mereka. Sedangkan kita, meski kita tetap memandang pelbagai entitas makhluk, tapi yang menjadi pusat konsentrasi kita adalah Allah yang menjadi "sumber" bagi segala makhluk dengan berbekal tuntunan al-Kitab dan Sunnah.

Kita selalu mewujudkan cinta kepada sang Pencipta (hubb al-khâliq) yang cinta-Nya selalu merasuki hati kita hingga membuat kita merasakan 'isyq dan "demam cinta". Kita selalu mewujudkan berbagai jalan yang dapat menghubungkan kita dengan seluruh entitas wujud demi Allah s.w.t. dengan kembali pada keseimbangan antara dua sumber kekuatan (dunia dan akhirat) sambil selalu terus membuka diri dari alam metafisik.

Semua itu harus dilakukan sebab tempat tumbuh-kembang manusia, posisinya di tengah semesta, tujuan dari eksistensinya, jalan yang ditempuhnya, dan sekaligus ujung jalan pada kedua sumber tersebut bersijalin secara luar biasa dengan pikiran, perasaan, dan harapan manusia itu sendiri. Tanpa kesadaran itu, yang kita rasakan hanyalah keterkejutan. Kedua tujuan yang "putih" ini hanya dapat dimiliki oleh mereka yang hatinya bersih dan terisi 'isyq (cinta), syauq (kerinduan), dan jadzbât. Siapapun yang menemukan dua sumber energi itu pasti tidak akan kembali dengan tangan hampa sebagaimana siapapun yang kembali pada keduanya juga tidak akan pernah "mati".

Namun yang terpenting dari penjelasan ini adalah hendaknya kita kembali pada keikhlasan yang dulu dicontohkan oleh Imam al-Ghazali, Imam Rabbani al-Sirhindi, Syah Waliyullah al-Dahlawi, Bediüzzaman Said Nursi; hendaklah kita mendekati ketekunan Maulana Jalaluddin Rumi, Syaikh Ghalib, Mehmed Akif; mengikuti tindakan Khalid ibn Walid r.a., Uqbah ibn Nafi', Shalahuddin al-Ayyubi, Sultan Muhammad al-Fatih, Sultan Salim II...

Ya. Langkah kita yang kedua adalah menyinergikan 'isyq dan syauq yang mereka miliki –yang tidak terikat waktu dan tempat- dengan seluruh dasar, karakter, dan perangkat yang ada di zaman kita pada satu tempat yang sama. Tujuannya adalah kita dapat sampai pada spirit al-Qur`an (rûh al-qur`ân) yang tidak lekang oleh zaman, untuk kemudian mencapai wilayah metafisika yang ada di alam semesta.

Sifat Ketiga

Sifat ketiga yang dimiliki kaum pewaris bumi adalah menyikapi ilmu dengan penuh pertimbangan, logika, dan perasaan. Sikap inilah yang menjadi kunci jawaban atas kecenderungan manusia yang terkadang terjebak pada asumsi-asumsi "gelap" pada satu masa dalam sejarah. Sebab itulah maka hal ini menjadi satu langkah penting dalam upaya menyelamatkan umat manusia dari kehancuran.

Said Nursi menyatakan bahwa pada akhir zaman, umat manusia akan bergerak dengan segala kemampuan yang mereka miliki, menuju ilmu dan seni. Mereka akan menjadikan ilmu sebagai sumber kekuatan, sehingga hal itu membuat ilmu kembali memiliki posisi sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan. Kefasihan dan kemahiran dalam menyusun kata-kata akan membuat masyarakat umum kembali suka menerima ilmu pengetahuan sebab mereka memberi perhatian besar terhadap hal-hal seperti itu. Ketika semua itu terjadi, maka kehidupan pun kembali ke pangkuan ilmu pengetahuan dan kepetahan susunan kata (fashâhah atau balâghah).[3]

Dan saat ini kita pun melihat inilah tren yang tengah berkembang. Di tengah kabut kegelapan yang merisaukan dan begitu pekat mengepung kita, kita melihat gerak umat manusia menuju kebenaran yang bukan hanya sekedar kebenaran, melainkan kebenaran yang sejati.

Seiring dengan perjalanan kita mengarungi sejarah yang akhirnya mengantar kita pada batas makrifat, kesadaran akan eksistensi, serta rasa percaya diri yang kembai tumbuh pasti dapat membangun kembali puing-puing perasaan batin kita yang hancur berkeping-keping. Dalam kondisi seperti itu, yang harus kita lakukan adalah menyebarluaskan, mengimplementasikan, dan memanfaatkan pemikiran Islam secara maksimal.

Belum hilang dari ingatan kita ketika kita mengalami kekosongan pemikiran Islam dan krisis penghormatan terhadap para ulama yang sulit untuk diobati akibat rancunya tujuan kita sebagai umat, atau disebabkan terjadinya tumpang tindih antarbeberapa bidang ilmu, atau karena tercampuraduknya filsafat dengan ilmu pengetahuan umum. Ketika kita mengalami kekosongan itu, orang-orang "asing" yang tinggal di negeri kita pun langsung mencuri kesempatan dengan mendirikan sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri untuk kemudian mencekoki generasi muda kita dengan pemikiran asing yang mereka susupkan di dalam materi pelajaran yang mereka sampaikan.

Bahkan sialnya, ada sebagian dari kita yang sebenarnya memiliki tujuan membentuk generasi muda yang maju melalui lembaga pendidikan, bahkan termasuk dengan cara "mencium tangan atau kaki", tapi kemudian dipaksa hanyut dalam arus westernisasi. Sebentar kemudian yang terjadi adalah runtuhnya ketaatan pada agama dan musnahnya keimanan. Pada generasi ini, agama dan keimanan pun hancur berkeping-keping. Semuanya sirna, dan kita pun menjadi umat yang rancu dalam pemikiran, konsep, dan kehidupan.

Apakah kita patut terkejut dengan semua itu?! Padahal sekolah-sekolah asing yang bermunculan di negara kita itu tidak pernah henti mengajarkan kebudayaan Amerika, Prancis, dan Inggris kepada anak-anak kita atas dalih ilmu pengetahuan dan pemikiran ilmiah. Sebab itulah kita temukan para pemuda kita gemar bermain-main dengan ideologi Marxisme, Durkheimisme, Leninisme, dan Maoisme dalam berbagai kelompok yang menggantikan jama'ah majelis taklim selepas shalat ashar yang dulu pernah ada.

Bahkan sebagian dari mereka ada yang ikut-ikutan mabuk dengan mimpi kaum komunis dan pada diktator proletar. Sebagian dari mereka terjebak dalam pemikiran Freud, sementara yang lain asyik-masyuk oleh paham eksistensialisme Sartre. Sebagian dari mereka ada yang meneteskan liur ketika mengenal paham yang diajarkan Marcuse, sementara yang lain menghabiskan umurnya untuk mengekor di belakang Camus.[4] Seperti itulah hidup yang kita lewati di negeri ini. Ketika apa yang disebut sebagai "lembaga ilmu pengetahuan" menjadi satu-satunya ikubator bagi generasi penerus bangsa.

Namun ternyata di tengah badai krisis ini, suara-suara kegelapan yang memojokkan agama dan para penganutnya tidak pernah reda. Mereka terus saja mempertontonkan kegilaan barat di depan khalayak, hingga kita pun sulit melupakan masa sulit itu dengan segala boneka murahan yang mereka gunakan. Siapapun yang ikut menyediakan tempat dan kesempatan bagi segala perbuatan yang berlawanan dengan cita-cita rakyat dan negara kita seperti yang mereka lakukan itu pasti akan selalu diingat sebagai para penjahat sejarah.

Sekarang mari kita tinggalkan para dalang kerusakan itu beserta semua malapetaka yang mereka ciptakan. Yang pantas kita lakukan untuk mereka hanyalah menyesali perbuatan mereka dalam hati kita. Kini mari kita bicarakan tentang pemikiran orang-orang yang tengah membangun masa depan kita.

Ya. Kita harus kembali mewujudkan jati diri kita yang baru di bawah naungan pemikiran ilmiah yang kita ajarkan kepada generasi muda kita, lengkap dengan ilmu dan pemikiran yang telah dipadukan dengan baik seperti yang dulu sudah pernah kita lakukan berabad-abad sebelum masyarakat barat melakukannya.

Tak ayal, kerisauan yang sangat kita rasakan bersama disebabkan perjalanan sejarah kita yang malang, degup jantung tak teratur disebabkan penjajahan selama bertahun-tahun, dan reaksi terhadap eksploitasi yang kita alami tentu saja menyebabkan kita menjerit seperti yang dulu dilakukan Nabi Adam a.s., merintih seperti yang dulu dilakukan oleh Nabi Yunus a.s., atau pun meratap seperti yang dulu dilakukan Nabi Ayyub a.s. Namun saat ini kita jauh lebih sial dibandingkan para nabi itu karena hanya beberapa langkah lagi kita akan segera sampai di garis finis perjalanan sejarah sambil membawa semua beban sejarah yang saat ini kita pikul.

Sifat Keempat

Sifat keempat yang harus dimiliki para pewaris bumi adalah kembali menghadapkan pandangan mereka ke arah alam semesta, umat manusia, dan kehidupan, untuk kemudian memisahkan antara yang benar dan yang salah dengan secermat mungkin.

Berkenaan dengan hal ini, saya ingin menjelaskan beberapa hal sebagai berikut:

1- Pada hakikatnya, alam semesta adalah sebuah "kitab" yang telah dibentangkan Allah s.w.t. di depan mata manusia untuk menjadi rujukan abadi selama kita hidup di dunia. Sementara manusia adalah makhluk ringkih yang bertugas mengobservasi segala kedalaman entitas berikut segenap lapisan bumi. Kehidupan tidak lain adalah kristalisasi dari "kitab" entitas ini yang sekaligus merupakan pantulan gema dari firman Ilahi.

Oleh sebab itu, selama ketiga hal ini: alam semesta, manusia, dan kehidupan menampakkan berbagai wajah yang berbeda dari satu hakikat tunggal –yang sekaligus menjadi kebenaran-, maka memisahkan ketiganya adalah sebuah kesalahan dan bahkan penghinaan terhadap entitas wujud semesta serta manusia yang termasuk di dalamnya. Sebab tindakan memisah-misahkan antarmakhluk adalah juga merupakan sebuah tindakan memisahkan berbagai "wajah" kebenaran yang saling bersijalin satu sama lain.

Perlu kita sadari bahwa hukum membaca, memahami, dan menaati penjelasan Allah sang Mahabenar yang menjadi slah satu bagian dari sifat-Nya sebagai Zat yang Mahaberfirman, adalah wajib. Sebagaimana pula halnya mengenal atau bermakrifat tentang Allah sang Mahabenar (al-Haqq) dengan menggunakan segala sesuatu dan segala kejadian yang telah Dia ciptakan dengan ilmu dan kehendak-Nya adalah juga merupakan sebuah kewajiban bagi manusia. Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa menemukan jalan menuju taufik Ilahi adalah sebuah dasar yang tidak dapat diabaikan.

Demikianlah pula al-Qur`an juga merupakan salah satu bukti dari sifat Allah yang Mahaberfirman. Al-Qur`an-lah –pada posisinya sebagai kitab Allah- yang menjadi roh dari segala entitas serta menjadi satu-satunya sumber bagi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan jika al-Qur`an menjadi "roh" bagi segala entitas, maka "kitab" alam semestalah yang menjadi "tubuh" bagi semua realitas ini serta menjadi rangkaian gerak yang secara langsung memengaruhi seluruh kehidupan di dunia dan secara tidak langsung juga memengaruhi kehidupan di akhirat. Semua itu terjadi karena alam semesta menjadi representasi dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sekaligus merangkum semuanya.

Jadi, segala upaya untuk memahami kedua "kitab" ini dan kemudian mengimplementasikan kandungannya dalam kehidupan nyata yang berlanjut pada terwujudnya kehidupan yang selaras dengan keduanya, pasti akan mendatangkan pahala terbaik dari Allah s.w.t.

Dan sebaliknya, segala tindakan yang meremehkan, mengabaikan, menafsirkan kedua kitab tersebut secara sembarangan, dan bahkan sikap menolak mewujudkan kandungan keduanya dalam kehidupan nyata, pasti akan mendatangkan balasan yang buruk dari Allah s.w.t.

2- Peningkatan kualitas seseorang harus dilakukan dengan mengeksplorasi segala potensinya secara mendalam, baik dari segi emosi, pemikiran, maupun kepribadian. Demikian pula halnya peningkatan kualitas seseorang di hadapan Allah dan manusia lainnya juga harus berangkat dari potensinya yang terpendam itu. Semua itu harus dilakukan karena semua sifat luhur yang dimiliki manusia serta kedalaman perasaan (emosi), pemikiran, dan kepribadiannya adalah bagaikan sebuah kartu kredit yang selalu dibutuhkan di mana pun.

Itulah sebabnya, siapapun yang berani menodai keimanannya, mengotori pemikirannya dengan sikap menutup diri dari kebenaran (al-kufr), serta membebani dirinya dengan syak-wasangka yang tidak benar, niscaya tidak akan pernah menjadi manusia yang merefleksikan datangnya pertolongan Allah s.w.t. Selain itu, sosok pribadi seperti itu tidak akan pernah dihormati atau mendapatkan kepercayaan dari orang lain.

Allah s.w.t. dan manusia pada umumnya selalu menilai kualitas seseorang dari sifat-sifat kepribadiannya yang luhur serta selalu menjadikannya sebagai tolok ukur untuk menakar pribadinya. Atas dasar itu, maka sama sekali tidak dapat kita bayangkan bahwa sebuah keberhasilan gemilang dapat terwujud di tangan orang-orang yang miskin nilai-nilai kemanusiaan serta berkepribadian lemah. Walaupun secara lahiriah, orang-orang tersebut terlihat seperti orang-orang mukmin yang saleh.

Dan atas dasar itu pula kita tidak dapat membayangkan bahwa sebuah kegagalan yang parah akan terjadi pada orang-orang yang berkepribadian baik serta memiliki sifat-sifat luhur. Walaupun secara lahiriah, orang-orang tersebut tidak terlihat sebagai orang-orang mukmin yang saleh.

Singkatnya, Allah s.w.t. hanya akan melihat sifat dan karakter seseorang. Sebagaimana halnya manusia pada umumnya –sampai taraf tertentu- juga selalu menilai seseorang berdasarkan kualitas kepribadiannya dan bukan sekedar berdasarkan penampilannya.

3- Semua cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan harus benar dan sesuai syariat.

Semua orang yang menempuh jalan Islam tidak boleh keluar dari aturan syariat ketika mereka ingin mewujudkan cita-cita atau mencapai tujuan tertentu. Dan selain itu, mereka juga harus selalu berusaha bertahan di jalan kebenaran yang menghantarkan mereka pada tujuan tersebut. Tidaklah mungkin keridhaan Allah s.w.t. dapat diraih tanpa keikhlasan dan kejujuran. Sebagaimana halnya juga tidaklah mungkin kita ingin berkhidmat pada Islam dengan mengantarkan kaum muslimin menuju tujuan mereka, tapi jalan yang kita tempuh adalah jalan buatan setan yang terkutuk. Bisa jadi terkadang kita mengira bahwa jalan setan dapat mengantarkan kita pada cita-cita yang hendak kita raih, namun harus disadari bahwa siapapun yang menempuh jalan kebatilan pasti tidak akan mendapatkan perlindungan Allah dan simpati dari manusia, hingga alih-alih mengantarkan pada tujuan, jalan setan itu justru akan memerosokkan pada kesesatan.

Sifat Kelima

Sifat kelima yang harus dimiliki para pewaris bumi adalah memiliki kebebasan dalam berpikir dan selalu menjadikan kebebasan berpikir sebagai salah satu dasar utama tindakannya.

Bagi manusia, kebebasan dan kesadaran akan kebebasan diri adalah salah satu hal yang sangat penting. Berkat kebebasanlah manusia dapat melahirkan cita-cita yang baik sebab kebebasan adalah laksana gerbang ajaib yang dapat membuka pelbagai misteri yang terkandung di dalam diri manusia. Bahkan amatlah sulit bagi kita untuk dapat mengatakan seseorang yang belum memiliki kebebasan sebagai manusia seutuhnya.

Selama bertahun-tahun kita berada di bawah penindasan, baik oleh orang asing maupun oleh bangsa kita sendiri. Para penjajah itu telah menindas kita serta membebani kita dengan berbagai macam beban yang merusak perasaan dan pikiran kita. Anda tentu tidak perlu mengernyitkan dahi terlalu dalam bagaimana mungkin dalam kondisi tertindas seperti itu kita dapat mengembangkan pemikiran, wawasan, kondisi emosional, dan kehidupan kita. Bahkan Anda tidak perlu bertanya apa yang terjadi dengan kepemilikan pribadi pada kondisi terjajah seperti itu. Dalam kondisi terjajah, sudah barang tentu amatlah sulit bagi kita untuk melakukan pengembangan diri, bahkan sekedar untuk menjaga harkat hidup sebagai manusia biasa saja amatlah sukar. Jadi bagaimana mungkin kaum terjajah dapat menerawang ke ketinggian atau melayangkan pandangan mereka ke alam akhirat yang kekal?! Dalam kondisi terjajah, yang muncul hanyalah sosok-sosok manusia lemah yang berkepribadian cacat dengan kondisi emosional yang lumpuh.

Dari lembar perjalanan sejarah yang belum lama berlalu kita dapat mengetahui bahwa keluarga, jalan-jalan raya, lembaga-lembaga pendidikan, dan pusat-pusat kebudayaan justru mengembuskan berbagai kebusukan ke dalam jiwa kita, karena semuanya telah memutarbalikkan segalanya seratus delapan puluh derajat dari kenyataan. Semua hal material diubah menjadi spiritual, semua hal yang berada pada ranah "fisika" dipaksa masuk dalam ranah "metafisika". Pada masa kerancuan ini, setiap kali kita berpikir kita pasti akan keliru, bahkan setiap kali kita ingin merancang apapun, kita pasti akan memproyeksikannya dari perspektif egoisme yang buruk. Pada masa itu, kita tidak mau mengakui adanya begitu banyak keyakinan lain selain keyakinan kita dan tidak mau mengerti adanya jalan hidup lain selain yang kita imani. Dengan sikap dungu seperti itu, kita pun –ketika ada kesempatan- selalu mengandalkan kekuatan fisik di saat harus bergesekan dengan "orang lain". Padahal ketika kita mengedepankan kekuatan fisik, maka berarti kita telah mencekik nafas kebenaran, menghambat pemikiran bebas, dan menindas pihak lain.

Tapi yang lebih menyakitkan, semua ini belum benar-benar hilang hingga saat ini dan saya sendiri tidak tahu apakah ia kelak akan hilang di masa mendatang. Yang terpenting bagi kita –sebagai umat yang tengah menempuh jalan pembaruan- untuk kembali melihat berbagai bentuk gerakan dalam seribu tahun terakhir sejarah kita dan berusaha mewujudkan "gerakan perubahan" yang pernah terjadi selama seratus lima puluh tahun terakhir.

Semua itu sangat perlu untuk segera dilakukan, karena segenap hukum dan aturan yang berlaku saat ini dibangun di atas nilai-nilai sakral yang artifisial; peraturan-peraturan diterapkan berdasarkan pemahaman absurd yang tidak pernah menghasilkan manfaat apa-apa serta jauh dari upaya untuk mewujudkan generasi gemilang yang kita dambakan. Kalau pun ada yang dipersiapkan, maka persiapan itu hanya untuk menghadapi pertarungan di tengah jebakan keserakahan yang mematikan, atau untuk bertikai antargolongan dan berkelahi antarkelompok. Semua itulah biang keladi dari segala pertikaian yang sampai hari ini masih terjadi. Semua itulah yang mengubah perbedaan menjadi perselisihan. Semua itulah yang membuat kini kita melihat kebiadaban terjadi di seluruh penjuru bumi!

Tampaknya dunia akan jauh berbeda dibandingkan apa yang kita lihat hari ini seandainya saja manusia tidak bersikap egois, rakus, dan keras seperti sekarang ini.

Jadi, yang harus kita lakukan saat ini adalah memperluas kebebasan berpikir dan berkehendak dalam mengarungi dunia beserta segala keragaman isinya, baik dalam sikap kita terhadap "orang lain", maupun dalam mengelola sifat egois dan hasrat yang kita miliki untuk meraih apa yang kita ingini. Yang sangat diperlukan saat ini adalah kelapangan dada dengan pemikiran bebas yang terbuka terhadap ilmu dan riset ilmiah agar dapat menemukan keselarasan antara al-Qur`an dan Sunnatullah yang terbentang dalam kehidupan alam semesta.

Di zaman sekarang, tidak ada siapapun yang dapat menemukan keselarasan itu kecuali komunitas orang-orang yang benar-benar cerdas. Karena tidak dapat kita pungkiri bahwa kemampuan untuk melakukan hal itu seorang diri, hanya dapat kita temukan pada para tokoh yang hidup di masa lalu. Sedangkan saat ini, segala ilmu telah bercabang menjadi begitu banyak spesialisasi hingga tidak mungkin dapat dikuasai oleh satu orang saja. Itulah sebabnya, di zaman modern seperti sekarang pengetahuan kolektif telah menggantikan pengetahun individual yang lazim kita temukan di zaman dulu. Demikianlah ringkasan dari sifat keenam[5] yang harus dimiliki oleh para pewaris bumi.

Pemahaman seperti ini tentu tidak dapat kita terapkan begitu saja di tengah masyarakat muslim dalam waktu singkat. Alasannya adalah karena sistem pengajaran tradisional masih mengakar terlalu kuat di tengah masyarakat kita. Sekolah-sekolah tradisional dengan mudah kita temukan di pelosok negeri. Sebagaimana zawiyah-zawiyah pengajian hingga hari ini masih terus membenamkan diri dalam metafisika yang jauh dari kenyataan hidup. Mereka asyik dengan diri mereka masing-masing, menerawang tinggi ke awang-awang. Jadi amarlah sukar bagi kita untuk dapat menyerahkan tanggung jawab untuk memikul berbagai persoalan kehidupan nyata kepada lembaga-lembaga "tradisional" seperti ini.

Pada masa seperti ini, yang mengungkung sistem pendidikan tradisional di tengah kita adalah pemikiran-pemikiran skolastik. Warisan pemikiran kolot masa lalu menjadi satu-satunya sumber udara bagi umat untuk bernafas. Madrasah-masarah kuno dengan pemikiran ortodoks terus saja menutup diri dari ilmu pengetahuan dan pemikiran baru sembari mengharamkan segala bentuk pembaruan dan kemajuan. Zawiyah-zawiyah pengajian kita hanya diisi suara orang-orang yang riuh membaca manaqib tapi kosong dari kecintaan kepada para ulama yang manaqib-nya justru sedang mereka baca. Para ustadz dan tokoh agama sibuk mengingatkan umat untuk tidak melupakan mereka karena mereka mengira bahwa umat telah mengabaikan mereka. Dan yang kemudian terjadi sungguh mengerikan. Pohon umat Islam yang semula kokoh tinggi menjulang, lambat laun roboh terpuruk ke tanah.

Semua itu tidak akan berakhir sampai di tengah umat Islam lahir orang-orang yang menyiapkan jalan untuk melakukan sebuah pergerakan terbaik serta untuk melepaskan himpitan yang mencekik hati dan akal yang dilanjutkan dengan membuka gerbang bagi datangnya ilham dan pemikiran atas kedalaman kondisi jiwa manusia.

Sifat Ketujuh

Sifat ketujuh yang harus dimiliki para pewaris bumi adalah pola pikir matematis. Di masa lalu, masyarakat di Asia Tengah yang kemudian dilanjutkan pula oleh masyarakat barat telah berhasil mewujudkan kebangkitan komunitas mereka dengan menggunakan pola pikir matematika.

Dalam perjalanan sejarahnya, manusia telah menemukan begitu banyak hal misterius yang tersembunyi di balik dunia angka dan bilangan. Jika kita mau mengenyampingkan sikap kaum Hurufi[6] yang ekstrem untuk sementara, kita pasti dapat menemukan fakta yang mengatakan bahwa kalau bukan berkat jasa ilmu matematika, manusia pasti tidak akan pernah menemukan keterkaitan antara manusia dengan segala hal selain mereka. Sebagai sebuah "sumber cahaya", matematika telah menerangi jalan umat manusia yang menghubungkan antara mereka dengan alam semesta dan kehidupan di sekitar mereka. Bahkan kalau bukan atas jasa matematika, kita pasti tidak akan dapat mengetahui apa yang berada di luar jangkauan kita, termasuk untuk mencapai berbagai kemungkinan yang semula sulit untuk dapat kita bayangkan. Singkatnya, tanpa matematika kita akan sulit mencapai tujuan kita.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang mengetahui matematika harus secara serta merta menjadi seorang matematikawan. Tugas seorang ahli matematika adalah memadukan matematika dan pelbagai teori yang terdapat di dalamnya dengan pikirannya, untuk kemudian menerapkan teori-teori tersebut dalam perjalanan pemikiran manusia untuk mendalami rahasia alam semesta. Matematikalah yang selalu menemani semua ilmu dari fisika hingga metafisika; dari materi hingga energi; dari jasmani hingga rohani; bahkan dari syariat hingga tasawuf.

Saat ini kita harus menggunakan metode ganda (dual method) dalam memahami entitas wujud secara holistis. Yang saya maksud dengan "metode ganda" di sini adalah: 1.Pemikiran tasawuf; dan 2.Penelitian ilmiah (riset). Pada saat ini, dunia barat tengah kehabisan nafas untuk mengisi kekosongan dalam jiwa yang tidak pernah mereka ketahui solusinya. Mereka lalu berusaha mengisi kekosongan itu dengan mistisisme. Adapun kita sebagai umat Islam, tentu sama sekali tidak perlu mencari sesuatu yang berasal luar kita atau menggunakan sesuatu yang tidak kita kenal untuk mengisi dunia kita yang telah kaya dengan spirit ajaran Islam di sepanjang masa. Semua sumber energi kita telah ada di dalam khazanah pemikiran dan keimanan kita. Jadi yang perlu kita lakukan adalah memahami dengan baik sumber energi itu seperti yang dulu telah dilakukan para pendahulu kita. Di masa lalu, kita telah menemukan bentuk keselarasan dalam entitas dan sekaligus menemukan penggerak yang menciptakan keselarasan tersebut. Pada saat itu, umat Islam mampu mengetahui berbagai hal karena mereka memiliki pemikiran yang dinamis ketika melihat apapun.

Setelah membaca penjelasan singkat mengenai pola pikir matematis ini, mungkin Anda menganggap bahwa masalah ini terlalu sulit atau bahkan berlebihan untuk dibicarakan. Tapi saya yakin bahwa hal ini sangat penting bagi masa depan kita.

Sekarang saya ingin menyampaikan sifat kedelapan yang harus dimiliki para pewaris bumi, yaitu mereka harus memiliki pola pikir estetis. Namun demi mempertimbangkan satu dan lain hal, saya cukupkan tulisan ini sampai di sini dan cukuplah kiranya Anda renungkan kata-kata Golver: "Masih terlalu banyak pihak yang hingga saat ini belum siap untuk bergabung di jalan yang kita tempuh." Sekian.

[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata isytiak yang berasal dari kata Arab 'isyq diartikan: "perasaan tertarik hati seorang hamba kpd Allah ketika berkomunikasi dengan-Nya untuk mendapatkan kenikmatan".
[2] Secara literal berarti "tarikan", yaitu kondisi ketika seorang hamba "ditarik" oleh "gravitasi" Ilahi untuk mendekat pada-Nya. Lihat: Sufi Terminology, Amatullah Armstrong, 1995.
[3] Lihat "al-Kalimât" karya Said Nursi, hlm. 292.
[4] Albert Camus (1913 –1960) adalah seorang penulis dan filsuf Perancis kelahiran Aljazair. Seringkali ia digolongkan sebagai seorang penulis eksistensialis meski sebenarnya lebih tepat disebut sebagai seorang absurdis. Camus adalah teman dari eksistentialis tersohor Jean Paul Sartre.
[5] Catatan untuk editor: di buku asli memang langsung disebut keenam, poin di bawah ini meloncat dari "sifat kelima" langsung "sifat ketujuh".
[6] Kaum Hurufi adalah sebuah sekte kuno yang mengagungkan huruf dan bilangan.

Pin It
  • Dibuat oleh
Hak Cipta © 2024 Fethullah Gülen Situs Web. Seluruh isi materi yang ada dalam website ini sepenuhnya dilindungi undang-undang.
fgulen.com adalah website resmi Fethullah Gülen Hojaefendi.