Generasi Ideal

Generasi Ideal

Di hari-hari indah masa depan, hari-hari yang dihiasi dengan fajar pagi yang menyenangkan, kita akan melihat hari-hari yang bersih dari segala bentuk kesulitan dan penyakit masyarakat yang saat ini terkesan takkan pernah tersembuhkan. Berbagai bentuk gangguan sosial, rongrongan terhadap nasionalisme, bencana alam, dan berbagai bentuk krisis lain yang menggerogoti tubuh masyarakat kita, tidak mungkin dapat disembuhkan dalam hitungan hari.

Penyelesaian berbagai krisis berat seperti itu selalu bergantung pada kualitas ketajaman mata hati, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang dimiliki masyarakat. Dan sebaliknya, upaya untuk menyingkirkan krisis menggunakan kebijakan politik yang berjangka pendek, tidak memiliki tujuan jelas, dan tidak dapat diharapkan hasilnya, sebenarnya hanya akan membuang-buang waktu.

Kita telah mengetahui, baik dari masa lalu maupun masa kini, bahwa para tokoh spiritual, moral, dan ketajaman mata hati telah berhasil mengurai banyak keruwetan dan mengatasi berbagai krisis dengan begitu mudahnya sehingga melampaui bayangan kita. Semua itu dapat mereka lakukan berkat keluasan wawasan dan kekuatan tekad dengan menggerakkan sumber daya yang ada "hari ini" untuk menghadapi "masa depan".

Sering kali kita mengira bahwa apa yang dilakukan oleh para tokoh itu berada di luar kemampuan manusia biasa, sehingga kita pun sedemikian takjub terhadap mereka. Padahal sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia sejati. Apa yang mereka lakukan itu adalah mendayagunakan semua potensi dan energi yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia dengan sebaik mungkin.

Ya. Mereka memang selalu sibuk mengurus masa kini dan masa depan, dengan menjadikan semua peluang dan kesempatan yang ada menjadi laksana batu yang kemudian mereka bangun menjadi jembatan menuju masa depan. Mereka adalah orang-orang yang seakan selalu menemukan ganjalan di tenggorokan mereka berupa usaha untuk membawa hari ini ke hari depan. Dengan penuh peritungan mereka melakukan semua itu dengan baik setahap demi setahap. Karena tindakan mengurai sebuah kesulitan selalu berhubungan dengan proses menjalani masa kini, bahkan dengan melepaskan diri dari ikatan masa, hingga kita mampu melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan sekaligus, untuk kemudian menyelesaikan segala tantangan yang ada padanya dengan "bersih".

Kepiawaian berpikir yang mampu memprediksi masa depan sejak saat ini dan pemahaman yang menjangkau masa depan inilah yang boleh Anda sebut sebagai "ideal". Akan tetapi tentu tidak dapat dibayangkan bahwa seseorang yang tidak memiliki wawasan dan pemikiran sebaik itu akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi umat. Sosok seperti itu tentu tidak menjanjikan apa-apa bagi masa depan. Tokoh-tokoh sebesar seperti Firaun, Namrud, Napoleon, Caesar, dan sebagainya sebenarnya tidak memberi sumbangsih apa-apa bagi masa depan umat manusia, meski sebenarnya mereka dianggap sebagai tokoh penting bagi sementara orang yang selalu berprasangka baik tapi malas meneliti siapa sebenarnya yang mereka hadapi. Alasannya adalah karena mereka telah meletakkan kebenaran di bawah cengkeraman kekuasaan, membangun landasan hubungan dengan umat manusia berdasarkan prinsip eksploitasi, dan mereka semua telah menghabiskan umur mereka untuk menjadi budak bagi nafsu mereka sendiri.

Sebaliknya, orang-orang yang telah menjadikan Anatolia sebagai satu negara, dimulai sejak masa Khulafa Rasyidin, mereka semua telah meninggalkan begitu banyak warisan yang manfaatnya terus lestari menembus zaman. Tapi tentu saja semua itu hanya dapat dilihat oleh mereka yang tidak pernah tertipu oleh "gerhana" yang datang untuk sementara. Ya. Para tokoh itu memang menjalani sebuah kehidupan penuh arti sebelum akhirnya mereka berpulang ke hadirat Allah s.w.t. Tapi jasa-jasa mereka sama sekali tidak pernah mati di dalam hati setiap orang yang selalu mengenang apa yang mereka wariskan.

Di setiap sudut negeri, kita masih merasakan roh dan semangat para tokoh besar semacam Alp Arslan, Malik Syah, Osman Gazi, Muhammad Fatih, dan sebagainya, terus mengalirkan harapan dan janji kejayaan ke dalam jiwa kita yang hidup saat ini.

Di masa hidupnya, Caesar telah menginjak-injak cita-cita Roma demi memuaskan nafsunya; Napoleon membelenggu dan menghabisi cita-cita Prancis demi memperturutkan ketamakannya; Hitler menghancurkan impian Jerman Raya disebabkan kegilaannya yang berujung pada kematian.

Semua pemikiran "patriotik" sebenarnya selalu terbuka bagi kemungkinan untuk terus berlanjut, sebagaimana sifat kepahlawanan juga menunjukkan integritas dan kesinambungan. Keluhuran seperti ini selalu terjaga dari segala bentuk keburukan dan selalu berkibar terhormat meski harus ditebus dengan nyawa, baik di saat menang maupun kalah. Di bawah panji-panji seperti itulah Sultan Muhammad Fatih berhasil menaklukkan Instanbul dan berteriak di hadapan pasukan barat. Sultan Sulaiman Qanuni kemudian menembus barat dengan panji-panji yang sama untuk menghadapi kebobrokan barat. Dengan darah mereka, para pahlawan dalam pertempuran Çanakkale (Janâq Qal'ah) telah menorehkan kemenangan gemilang seperti yang dulu dicapai pasukan muslim dalam pertempuran Badar. Putra-putra Anatolia telah melunasi hutang mereka dengan menegakkan panji-panji kebenaran selama-lamanya.

Di tangan seorang pemikir, sebuah pemikiran akan mencapai ketinggian yang tak terbayangkan serta menjadi sihir yang berangkai dalam kemenangan demi kemenangan, keberhasilan demi keberhasilan. Jika para pemikir tidak mampu memikul pemikiran yang mereka miliki, niscaya semua pemikiran itu tidak akan pernah dapat berkibar di manapun juga. Alih-alih menjadi ideologi yang dipegang teguh banyak orang, pemikiran yang gagal hanya akan menjadi bendera kecil yang dikelilingi lolongan yang hina. Bendera kecil seperti itu memang mungkin dapat mengumpulkan beberapa bocah ingusan untuk berdemonstrasi di jalan-jalan, tapi ia tidak akan pernah dapat mengakar kuat di tengah masyarakat.

Di atas segalanya, seorang pemikir adalah pahlawan cinta. Karena dia sangat mencintai Allah seperti seorang majenun yang tergila-gila pada kekasihnya. Di bawah bentangan sayap cinta itulah ia akan dapat merasakan hubungan erat antara dirinya dengan segala entitas. Dia pun akan mengayomi semua orang dan segala sesuatu. Dia akan merangkul semua anak negeri ini dengan cinta yang mencapai tingkat 'isyq, mencintai setiap anak sebagai benih bagi masa depan, dan membentuk para pemuda untuk tumbuh menjadi manusia ideal agar mereka dapat mencapai tujuan paling luhur yang dapat dicapai dalam kehidupan manusia. selain itu, dia juga selalu mengarahkan orang-orang tua dengan penuh ketulusan dan penghormatan, selalu membuka pintu dialog dengan semua golongan, merekatkan antargolongan masyarakat dengan membangun jembatan penghubung yang dibangun di atas semua jurang yang memisahkan mereka serta mencari semua kemungkinan titik temu antara mereka.

Seorang pemikir sejati adalah pasti juga seorang bijak bestari (ahl al-hikmah). Dia akan selalu mengobservasi segala sesuatu dengan wawasan rasional yang dimilikinya dengan cermat. Di sisi lain, dia akan menimbang segala sesuatu dengan menggunakan tolok ukur hatinya yang mampu mengukur segala sesuatu secara tepat, untuk kemudian mengujinya dengan timbangan muhâsabah (self-criticism) dan murâqabah (self-supervison), lalu dilanjutkan dengan mengolah dan membentuknya di dalam "tungku" akal-budi. Seorang pemikir sejati, selalu menimbang antara cahaya akal sehat dengan cahaya nurani sebagaimana layaknya dua ekor kuda pacu yang saling berlomba.

Di mana pun ia berada, seorang pemikir sejati adalah contoh sempurna dari rasa tanggung jawab. Dia selalu siap mengorbankan segala anugerah yang telah diterimanya dari Allah s.w.t. tanpa keraguan sedikit pun, demi meraih tujuannya yang tidak lain adalah keridhaan Allah s.w.t. Dia tidak pernah takut pada apapun dan tidak pernah mempersembahkan hatinya kecuali hanya untuk Allah s.w.t. semata. Dia tidak pernah terlalu mendambakan kesenangan dan sekaligus tidak pernah takut pada kesengsaraan. Karena dia adalah seorang pahlawan sejati yang telah mencapai tingkat ketidakpedulian meski seandainya dirinya harus dibakar dalam neraka, asalkan pemikiran dan negerinya dapat berjaya selamanya.

Seorang pemikir sejati selalu menghargai nilai-nilai luhur yang muncul dari hatinya dengan sungguh-sungguh seperti sikapnya terhadap tindakan murâqabah (self-supervision). Dia selalu melaksanakan tanggung jawabnya dengan tulus seperti sikapnya ketika beribadah. Dia selalu hidup sebagai seorang pecinta yang tidak pernah jemu menjaga keteguhan tekad yang bersemayam di dalam hatinya. Dia sangat mengetahui cara berkorban demi mewujudkan cita-citanya, baik dengan nyawanya sendiri maupun orang yang dicintainya, baik harta maupun kehormatan, baik keluarga maupun sanak-famili, baik dengan masa kini maupun masa depan, dan semua itu ia lakukan tanpa keraguan sedikitpun. Pemikirannya yang luhur selalu sejalan dengan kesetiaan untuk menjaga kebenaran dengan sebaik-baiknya.

Seorang pemikir selalu mampu menguasai dirinya yang sekaligus dikuasai oleh Allah s.a.w.. Dia tidak pernah memedulikan pangkat atau kedudukan, karena ia selalu berjuang di kedalaman hatinya untuk melawan popularitas, tamak, narsisme, malas, dan berbagai sifat buruk lain yang menjadi racun mematikan bagi manusia. itulah sebabnya, di selalu berhasil meraih keberhasilan ketika menang dan selalu mampu menjadikan kekalahan sebagai medan latihan untuk mencapai keberhasilan di masa depan.

Dalam menempuh perjalanannya, seorang pemikir sejati selalu menempuh jalan para tokoh besar yang selalu terikat dengan kehendak Allah s.w.t., sehingga ketika dia dihantam oleh badai ambisi pribadinya, rasa cintanya kepada Allah langsung menguat dengan sendirinya; dan ketika topan kedengkian atau kemarahan menyerangnya, aliran cinta langsung terbit di dalam jiwanya. Betapa banyak nikmat yang selalu diincar oleh orang kebanyakan, begitu saja ia abaikan ketika menemukannya dalam perjalan. Dan sebaliknya, betapa banyak kesulitan yang diterimanya dengan lapang dada.

Jika kita membayangkan seorang pemikir sejati dengan menggunakan keluasan cakrawalanya yang mengejutkan pikiran kita, maka kita akan melihatnya berjalan di depan kita seperti layaknya seseorang yang memiliki tekad para nabiyullah. Kita pasti akan melihat sosok seorang manusia yang melampaui manusia biasa melalui deretan pintu yang telah terbuka. Khazanah imajinasi kita memiliki begitu banyak contoh kepahlawan seperti ini. Sangat banyak...

Dengan mudah kita dapat menemukan keikhlasan Uqbah ibn Nafi di padang pasir Afrika, takjub pada keberanian Thariq ibn Ziyad setelah ia berhasil menembus Benteng Heraklius,[1] mengagumi kegigihan Sultan Muhammad Fatih, memeluk Osman Pasha yang menolak menyerah di pertempuran Plevne, dan menghormat di hadapan para singa yang berperang di Çanakkale (Janâq Qal'ah) yang mampu menghadapi peluru dan senjata altileri dengan seyuman.

Saat ini kita tentu tidak sedang membutuhkan ini atau itu. Yang kita butuhkan sekarang ialah orang-orang yang memiliki wawasan luas dan berjiwa besar. Beberapa tahun ke depan, kebangkitan bangsa kita pasti akan terjadi di tangan orang-orang yang kaya dengan spiritualitas, moral, dan pemikiran luhur. Para pemberani yang keberadaan mereka melulu diisi dengan iman, cinta ('isyq), kebijaksanaan, dan ketajaman mata hati (bashîrah). Mereka tidak pernah tuntuk pada semua kesulitan, baik yang muncul dari dalam maupun dari luar, yang terjadi di sepanjang sembilan atau sepuluh abad terakhir. Mereka tetap bergeming. Memang mungkin saja mereka sedikit terguncang atau merasa tertekan, tapi mereka selalu berhasil untuk berdiri kokoh menghadapi segala cobaan. Keteguhan itulah yang membuat mereka selalu mampu menghadapi masa depan. Saat ini, mereka siap untuk menerima "giliran" mereka dengan kekuatan jiwa yang melampaui batas kebiasaan, karena mereka mampu menerawang perjalanan masa dengan pandangan mereka yang tajam.

Ya. Dalam beberapa abad terakhir, cinta, kebijaksanaan, ketajaman mata hati, rasa tanggung jawab, telah jauh meyusut karena berbagai urusan sehari-hari yang remeh telah mengganti posisi ide-ide besar. Tentu saja, kita tidak mungkin mengatakan bahwa kita tidak mampu melakukan "reformasi" apapun pada periode ini. Tapi kita juga harus mengakui bahwa yang saat ini terjadi atas nama "reformasi", sebenarnya tidak lain hanyalah tindakan mengekor dan mengutip pernyataan orang lain. Pola pemikiran seperti ini, yang layak kita sebut sebagai bentuk rongrongan terhadap nasionalisme, ternyata memang lebih banyak bahayanya dibandingkan manfaatnya.

Ketika rakyat berdarah-darah disebabkan hantaman keras yang mengenai tubuh mereka, ternyata penyakit yang mereka derita tidak kunjung dapat diketahui sehingga cara menyembuhkan penyakit itu pun tidak dapat diketahui. Sementara kita semua tahu bahwa teknik pengobatan yang salah hanya akan membuat masyarakat menjadi lumpuh. Padahal sampai hari ini sisa-sisa "demam" yang muncul akibat sakit yang kita derita selama beberapa abad terakhir, telah membuat kita selalu merasa sakit.

Itulah sebabnya, kita akan selalu terperosok pada kesalahan ketika kita mencari obat penyakit yang kita derita. Kita akan merasakan sakit yang bertambah parah. Kita semakin tidak mampu melepaskan diri dari kehancuran. Dan saat ini –seperti yang telah lalu- kita akan selalu mengalami hal buruk seperti ini selama kita tidak mampu menemukan biang keladi yang sebenarnya dari malapetaka yang kita alami; tidak mampu mengobati penyakit yang kita derita, baik pada ranah individu, keluarga, maupun sosial; dan tidak mampu keluar dari "kontaminasi kuman" yang sudah kita alami selama berabad-abad.

Walaupun selama berabad-abad orang-orang yang memegang kendali terus bersikap kepala batu, tapi kita yakin bahwa generasi ideal yang siap menyongsong masa depan dengan perasaan, pemikiran, dan tindakan; yang sangat mencintai tanggung jawab, tanah tumpah darah, dan masyarakat mereka; yang telah siap seperti tali busur untuk menunaikan tanggung jawab mereka, pasti akan mampu melewati segala kesuitan untuk kemudian menciptakan pembaruan di segala bidang.

Mereka pasti akan mampu menyebarkan cinta yang mereka miliki dan ketulusan mereka kepada seluruh masyarakat, yaitu ketika benih yang mereka sebarkan tumbuh menjadi cikal pohon baru. Kelak, inilah yang akan mengenyahkan paham realitas materialisme dan korporealitas untuk kemudian kembali membangun spiritualitas umat yang sejati dengan perspektif yang tepat terhadap alam semesta dan dengan rancangan pergerakannya sendiri.

[1] Yang dimaksud adalah selat Gibraltar