Semangat Itsar

 

Pertanyaan: Apa peran dan pentingnya sikap itsar dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan? Bagaimana cara untuk menumbuhkan sikap itsar?[1]

 

Jawaban:

Itsar yang memiliki arti mendahulukan kepentingan orang lain daripada kebutuhan diri sendiri adalah salah satu nilai luhur yang kini mulai hilang dari kehidupan kita. Hilangnya nilai ini menjadi salah satu sebab utama dari munculnya kekacauan, pertentangan, perpecahan, serta sikap saling menolak dan tidak bisa menerima kehadiran orang lain. Pudarnya semangat itsar berakar pada rusaknya nilai-nilai hati. Ketika hati mengalami kerusakan, maka seluruh nilai kemanusiaan ikut luntur. Hilangnya itsar menyebabkan jejak-jejak fitrah terbaik manusia akan terhapus dan saat itulah setan lebih leluasa memainkan perannya dalam dunia pikiran manusia. Karena itu, Rasulullah dalam sebuah hadis yang dimulai dengan kalimat: إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ “yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas…”, pada akhir hadis,  beliau menegaskan: أَلَا وإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِي الْقَلْبُ yang artinya, ‘Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari, Iman: 39; Muslim, Musaqat: 107)

 

Karena itu, menjaga hati tetap bersih dari segala debu dan kotoran dengan jalan melakukan muhasabah beberapa kali dalam sehari merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan rohani seseorang. Dalam hal ini, manusia benar-benar harus berhati-hati dan banyak berdoa. Bahkan, seseorang sebisa mungkin harus menjauhkan diri dari khayalan dan pikiran negatif yang dapat meninggalkan bekas buruk dalam hati. Sebab, sebagaimana disebutkan dalam hadis, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menilai manusia bukan dari rupa atau fisiknya, tetapi dari hatinya. (Lihat: Muslim, Birr 32–33; Ibnu Majah, Zuhud 9). Allah tidak memandang berat badan, warna kulit, tinggi badan, atau latar belakang budaya seseorang. Di sisi Allah, yang menjadi ukuran adalah kejernihan dan kesucian hati. Kelak di akhirat nanti timbangan amal pun akan mempertimbangkan berat ringannya hati, yaitu dari sejauh mana hati menghadap kepada-Nya dan sejauh mana ia bergetar karena-Nya. Sebesar itulah nilai seseorang di sisi Allah (Lihat: QS. Asy-Syu‘arâ [26]: 88–89).[2]

 

Periode Emas bagi Semangat Itsar: Asrul Sa‘adah

Pada saat yang sama, orang-orang yang berhati bersih dan suci juga penuh akan rasa kasih dan sayang kepada sesama manusia. Mereka lebih banyak memikirkan bagaimana supaya bisa menghidupi orang lain daripada hidup untuk dirinya sendiri. Inilah hakikat dari semangat itsar. Al-Qur’an menyinggung akhlak mulia ini dalam firman-Nya: وَيُؤْثِرُونَ عَلٰۤى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ “Dan mereka lebih mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9). Pada masa Asrul Sa‘adah, semangat ini hidup dan berkembang di level yang sangat tinggi. Misalnya, ketika Rasulullah ingin menjamu seorang tamu yang kelaparan di rumah beliau, ternyata tidak ada makanan selain air. Maka tamu itu pun dipersilakan singgah di rumah salah seorang sahabat. Namun, sahabat itu pun memiliki makanan yang hanya cukup untuk satu orang saja. Akhirnya, ia dan istrinya menidurkan anak-anak mereka, memadamkan lampu, lalu berpura-pura ikut makan dengan menyendok di atas piring kosong. Sang tamu pun bisa makan dengan tenang dan mengenyangkan perutnya. Sementara itu, tuan rumah dan anggota keluarganya rela menahan lapar demi kesejahteraan tamunya (Bukhari, manaqibul ansar 10, tafsirussurah (59) 6; Muslim, Kitāb al-Ashriba 172, 173).[3]

 

Mehmet Akif melukiskan semangat itsar ini melalui kisah yang terjadi dalam Perang Yarmuk. Dalam pertempuran itu, tiga sahabat mulia yang bernama Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Ayyâsy bin Abi Rabi‘ah raḍiyallâhu ‘anhum mengalami luka parah dan tengah berada di ambang kesyahidan. Saat itu, Haris bin Hisyam meminta air. Seorang sahabat segera membawakan air kepadanya. Ia benar-benar berada di detik-detik akhir kehidupannya. Barangkali energi yang tersisa hanya cukup untuk mengucapkan satu patah kata saja. Namun, ketika hendak minum, ia mendengar Ikrimah juga meminta air. Ia pun memberi isyarat agar air itu dibawa kepada Ikrimah. Saat Ikrimah hendak meminum, ternyata Ayyâsy juga meminta air. Maka Ikrimah pun memberi isyarat agar air itu diserahkan kepada Ayyâsy. Ketika air sampai, Ayyâsy telah gugur syahid. Sahabat itu pun melangkah kembali untuk memberikan air kepada dua yang lain, tetapi keduanya pun telah berpulang ke sisi Allah sebagai syuhada (HR. al-Hakim; Ibn Abdilbarr).

 

Saya sendiri pernah menyaksikan kejadian serupa ketika berada di kamp Buca.[4] Saat makan, piring saya mendapatkan jatah sepotong daging. Tanpa pikir panjang, saya sodorkan piring berisi daging itu kepada seorang tamu yang duduk di sebelah saya. Beliau pun menyodorkannya lagi kepada orang di sampingnya, dan begitu seterusnya. Potongan daging itu berpindah dari orang yang satu ke orang berikutnya. Ia mungkin melewati lebih dari sepuluh orang hingga akhirnya kembali lagi ke piring tamu tersebut. Karena tamu ini merupakan sosok ustaz yang humoris nan penuh makna, beliau kemudian membacakan potongan ayat dalam Surah Yusuf: بِضَاعَتُنَا رُدَّتْ إِلَيْنَا “...barang-barang kita dikembalikan lagi kepada kita…” (QS. Yusuf [12]: 65). Apabila semangat berbagi dan saling mendahulukan orang lain tumbuh dan meluas di tengah-tengah kita, maka ia akan menjadi landasan penting bagi terciptanya suasana damai, persaudaraan, dan ketenteraman hidup bersama dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Mendahulukan Orang Lain dalam Urusan Jabatan dan Kedudukan

Meskipun kisah-kisah tadi merupakan contoh penting dari sikap itsar, tetapi jangan sampai kita memahami bahwa itsar hanya terbatas pada urusan makan, minum, atau pakaian. Itsar juga bisa berlaku dalam hal jabatan, kedudukan, dan amanah. Mendahulukan saudara kita dalam hal jabatan adalah salah satu bentuk itsar yang sangat mulia. Dalam hal ini, Sayidina Umar raḍiyallâhu ‘anhu memberikan teladan yang luar biasa indah. Ketika Rasulullah wafat, para sahabat segera berkumpul untuk memilih seorang pemimpin agar kesatuan umat tidak pecah. Saat itu, Sayidina Abu Bakar raḍiyallâhu ‘anhu mengutarakan keutamaan-keutamaan Sayidina Umar dan menyatakan bahwa ia ingin membaiatnya sebagai khalifah. Namun, Umar langsung memegang tangan Abu Bakar dan berkata, “Kalau ada sosok yang layak memimpin selepas wafatnya Rasulullah, orang itu adalah Abu Bakar.” Lalu ia membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Inilah contoh itsar dalam level yang tinggi di mana seseorang rela menarik diri dari posisi terhormat dan mendahulukan saudaranya untuk memimpin. (Lihat: Bukhari, Kitab Keutamaan Sahabat 5, Kitab Jenazah 3, Kitab Maghazi 83; an-Nasa’i, Kitab Jenazah 11; Ibnu Majah, Kitab Jenazah 65).

 

Perlu ditegaskan, kita sama sekali tidak berada pada posisi yang layak untuk membandingkan keunggulan yang dimiliki Sayidina Abu Bakar dan Umar. Kita tidak memiliki “timbangan” untuk mengukur derajat mereka yang sesungguhnya. Bahkan, seandainya timbangan amal di akhirat dipakai untuk menimbang Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali raḍiyallâhu ‘anhum, mungkin saja timbangan itu akan patah. Keempatnya memiliki kemuliaan yang agung. Dalam hal keutamaan, derajat mereka begitu dekat satu sama lain sehingga satu-satunya kedudukan yang tidak mereka raih hanyalah kenabian. Mereka tidak mungkin meraih derajat itu karena kenabian telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah . Seandainya ada nabi setelah beliau, tentul merekalah sosok-sosoknya.

 

Jadi, Sayidina Abu Bakar melihat Sayidina Umar lebih layak, demikian pula sebaliknya. Tidak pernah terlintas dalam benak mereka ucapan seperti, “Aku lebih pantas, aku lebih mampu, banyak orang yang menginginkanku untuk memimpin.” Tidak. Justru di situlah letak itsar yang agung, yaitu rela mendahulukan orang lain dalam perkara sebesar kepemimpinan yang nilainya jauh di atas urusan-urusan materi.

 

Orang yang memiliki sifat ini alih-alih sibuk dengan kualitas hidupnya sendiri, ia akan terus berusaha menghidupkan orang lain. Ia bahkan bisa berkata, “Tidak mengapa jikalau aku harus gugur asalkan negeri ini terus hidup. Apabila kekekalan kejayaan suatu negeri mensyaratkan kematianku, maka anugerahkanlah nasib itu kepadaku, Ya Rabb!” Inilah potret jiwa besar yang rela berkorban demi kebaikan masyarakat umum. Sebaliknya, orang yang menganggap dirinya sebagai “penyangga bumi”, seakan-akan jika ia tidak ada maka dunia akan runtuh dan kiamat akan tiba, sesungguhnya adalah orang-orang malang yang tak beruntung merasakan keagungan dari semangat itsar.

 

Bersikap Itsar Bahkan di Depan Pintu Surga

Seberapa jauh jangkauan yang dimiliki sikap itsar dapat kita lihat dari potret peristiwa yang akan terjadi di akhirat berikut ini. Diriwayatkan bahwa Rasulullah melalui pandangan gaibnya mengabarkan terjadinya pertemuan antara orang-orang kaya dermawan dengan para ulama di depan pintu surga. Peristiwanya kurang lebih,digambarkan seperti ini:

 

Para ulama berkata kepada para dermawan, “Silakan, kalian lebih dahulu masuk. Karena kalau kalian dahulu tidak membelanjakan harta di jalan Allah, tidak membuka pusat-pusat kajian ilmu pengetahuan, dan tidak menyediakan sarana pendidikan, niscaya kami tidak akan bisa menuntut ilmu dan menemukan jalan yang lurus. Kalianlah yang menjadi sebab bagi terbukanya jalan ilmu sehingga meluaslah cakrawala kami. Kami berhutang budi kepada kalian. Maka, hak untuk masuk surga lebih awal adalah milik kalian. Silakan!” Namun para dermawan menjawab, “Justru kamilah yang berhutang budi kepada kalian. Kalau bukan karena ilmu yang kalian ajarkan, kalau kalian tidak membukakan mata hati kami, kalau bukan karena bimbingan kalian dalam membaca ayat-ayat Allah baik yang tertulis maupun yang terhampar di alam semesta, kalau bukan karena kalian yang telah menunjukkan indahnya mencari rezeki halal dan menginfakkannya di jalan Allah, tentu kami tidak akan mampu menggunakan harta ini untuk kebaikan. Kalianlah yang membimbing kami hingga kami bisa ‘memberi satu dan mendapat seribu’. Karena itu, sebagaimana di dunia, di sini pun kalianlah pihak yang berhak menjadi pemimpin kami. Untuk itu, silakan kalian yang lebih dulu masuk ke surga!” Setelah dialog yang diwarnai dengan rasa hormat antara dua kelompok tersebut, para ulama pun maju terlebih dahulu, diikuti oleh barisan para dermawan. Pada akhirnya, mereka bersama-sama memasuki surga.[5]

 

Kisah ini hendaknya tidak hanya dipahami sebagai berita tentang suatu peristiwa yang akan terjadi di akhirat nanti. Sesungguhnya ia juga menggambarkan kedalaman itsar. Bayangkanlah: orang-orang itu baru saja melewati hisab yang berat dan jembatan yang sulit dilalui. Di depan mereka terbentang surga dengan segala keindahan yang membuat mata terpesona dan hati bergetar, yaitu keindahan yang tak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, ataupun terlintas dalam pikiran manusia. Namun, meskipun berada di ambang surga, mereka tetap bersikap itsar dan mengutamakan orang lain. Dengan gambaran ini, Rasulullah hendak mengajarkan kepada kita bahwa derajat itsar bisa sampai pada tingkat yang setinggi itu.

 

Ada seorang ulama besar sekaligus pewaris para nabi yang hidup di zaman modern. Beliau berkata, “Selama delapan puluh tahun lebih hidup, aku tidak pernah mengenal kesenangan dunia. Hidupku berlalu di medan perang, penjara, dan melewati beragam penderitaan. Tidak ada derita yang tidak kualami. Namun, demi Allah, aku tidak peduli pada surga ataupun takut pada neraka. Aku rela terbakar dalam api neraka asalkan iman bangsaku bisa selamat. Karena berkatnya meskipun jasadku habis terbakar, tetapi hatiku akan merekah menjadi taman mawar.” (Badiuzzaman Said Nursi, Tarihçe-i Hayat, hlm. 616). Seseorang yang mendengar kalimat seperti itu mungkin seperto merasa sedang mendengar gema suara yang berasal dari empat belas abad yang lalu. Mungkin keluasan semangat itsar inilah yang paling dibutuhkan oleh umat kita hari ini. Ia bahkan lebih diperlukan daripada udara yang kita hirup atau air yang kita minum.

 

Rasulullah sendiri mencontohkan itsar terbesar dalam peristiwa Isra Mikraj. Dalam perjalanan tersebut, beliau telah melihat hal-hal yang tak kasat mata, mencapai tempat yang tak terjangkau manusia, melewati batas-batas yang tak bisa ditembus, bahkan berjumpa dengan para nabi besar seperti Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Adam ‘alaihimussalâm. Beliau dimuliakan dan disambut dengan penuh kehormatan, lalu diperlihatkan surga dengan segala kenikmatannya (Baca: H.R. Bukhari, Kitab Permulaan Penciptaan 6, Kitap tentang Para Nabi 43, Kitab Keutamaan Kaum Anshar 42; HR Muslim, Kitab Iman 259, 264). Beliau bahkan menyaksikan keindahan jamaliyah Dzat Allah . Siapa gerangan yang dapat menggambarkan perasaan paling tepat tentang betapa indah dan nikmatnya kesempatan untuk menyaksikan jamaliyah Allah itu? Dalam kitab Bad’ul Amali disebutkan bahwa ketika orang beriman kelak bisa melihat Allah, maka mereka akan melupakan semua kenikmatan surga (Al Ushi, Bad’ul Amali, hlm. 41). Rasulullah , sosok yang telah mendapatkan semua anugerah itu dan mencapai kedudukan di antara wilayah Wajib al-Wujûd (yang hanya dimiliki Allah) dan Mumkin al-Wujûd (makhluk biasa), beliau justru memilih untuk kembali turun ke tengah umat manusia tanpa silau oleh karunia yang beliau saksikan, dengar, dan rasakan, semata-mata agar umatnya pun bisa mengetahui dan meraih nikmat-nikmat tersebut.

 

Terkait hal tersebut, seorang ulama bernama Abdul Quddus berkatai, “Demi Allah, andai aku mencapai derajat itu, aku takkan pernah mau kembali lagi.” Lalu seorang ulama lain menanggapi pernyataan tersebut, “Itulah perbedaan makam antara seorang nabi dan wali. Nabi hidup hanya untuk membuat orang lain hidup, sementara wali bisa saja ingin menikmati perjalanan spiritualnya sendiri.”

 

Selain itu, sebagaimana ketika masih di dunia Rasulullah sallallâhu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha menggenggam tangan umatnya, maka lebih-lebih di akhirat nanti. Siapa gerangan yang mengetahui bahwa ketika beliau mendengar jeritan umatnya yang sedang digiring ke neraka, mungkin beliau akan berlari mendekat sampai ke tepi neraka, mengulurkan tangan, dan berusaha menyelamatkan umatnya dari jilatan api neraka. Semua ini adalah wujud nyata dari sikap itsar dalam berbagai bentuk dan tingkatan yang terpancar sesuai dengan tingginya derajat kenabian beliau.

 

Obat Penawar dari Pertentangan dan Pertikaian

Hari ini, kita sangat membutuhkan semangat itsar. Ia adalah semangat yang erat hubungannya dengan iman, kehidupan hati, kedekatan dengan Allah, kasih sayang, dan keinginan untuk menghidupkan orang lain. Ya, kita memerlukan sosok-sosok pemberani yang mampu menyingkirkan dunia beserta isinya dan tidak terjebak dalam pemenuhan kebutuhan hawa nafsu. Dialah sosok yang hidup hanya untuk menghidupkan orang lain, sosok yang sanggup berdoa: “Ya Allah, jika hidupku bisa menjadi jalan bagi orang lain untuk tetap hidup, maka hidupku ini ada nilainya. Namun, jika ia tidak memberi manfaat bagi sesama dan tak membangkitkan semangat hidup dalam diri mereka, sesungguhnya aku merasa muak dengan kehidupan yang hampa seperti itu. Untuk itu, aku berlindung kepada-Mu dari kehidupan yang demikian. Selamatkanlah diriku dari beban berat yang sia-sia itu.”

 

Sebab, orang-orang yang selalu berkata “diriku” dan mengaitkan segala sesuatu pada kepentingan diri dan egonya, merekalah yang terus-menerus menjerumuskan manusia ke dalam pertentangan. Mereka menyalakan api iri hati, dengki, saling menjatuhkan, dan persaingan tidak sehat sehingga membuat masyarakat tidak bisa hidup bersama dalam ketentraman. Padahal, pekerjaan yang biasa dilakukan oleh satu orang sebenarnya bisa saja dikerjakan oleh ribuan orang lain. Alangkah indahnya jika seseorang memiliki sedikit saja keyakinan kepada Allah. Betapa baiknya bila saat berbicara tentang para sahabat dan Nabi, kita bertekad untuk menapaki jalan mereka meski hanya sedikit. Alangkah sejuknya bila saat untuk mundur nanti tiba, kita mau meletakkan jabatan itu dan berkata, “Silakan, sekarang giliranmu untuk melanjutkan.” Sesungguhnya, bila ada penawar yang bisa menyatukan kembali masyarakat yang tercerai-berai, maka hal itu adalah tumbuhnya kembali jiwa itsar dalam hati.

 

Tanpa itsar, masalah-masalah zaman ini mustahil terpecahkan melalui jalan diplomasi, pendekatan politik, intrik, atau strategi lembaga-lembaga think tank sekalipun. Seandainya cara-cara itu efektif, niscaya masyarakat yang sudah berkali-kali mengalami revolusi dan perubahan besar sejak dulu ini sudah melangkah jauh ke depan. Kenyataannya, sifat kebinatangan masih terus berlangsung. Manusia masih saja saling memangsa bagaikan kanibal. Demi Allah, upaya melempar bom di atas kepala manusia, menggunakan gas beracun, merampas hak hidup orang lain, menyebarkan Islamofobia, atau fobia terhadap kelompok tertentu untuk kemudian menindasnya bukankah sama dengan kanibalisme?  Semua itu hanyalah bentuk lain dari kebiadaban. Satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan kembali menjadi manusia sejati lalu berusaha mewujudkan tuntunan semangat itsar yang merupakan bagian dari anugerah kemuliaan fitrah manusia sebagai makhluk terbaik ciptaan Allah.

 

 

 

[1]  Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/eserleri/kirik-testi/isar-ruhu 

 

[2] (Yaitu) pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak. Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. Asy-Syu‘arâ [26]: 88–89). 

 

[3] Teks ayat (Al-Hasyr: 9) berbicara tentang kaum Ansar yang mendahulukan urusan kaum Muhājirīn meskipun mereka sendiri dalam kesusahan. Terdapat beragam versi asbabun nuzul dari ayat ini:

Yang pertama, Diriwayatkan oleh Ibn Abī Ḥātim dari Ibnu Zubair: Ayat ini turun ketika kaum Anṣār menerima orang-orang Muhājirīn, berbagi rumah, kebun, dan harta mereka, bahkan memberikan bagian ghanīmah (rampasan perang Bani Nadīr) yang seharusnya bisa mereka nikmati sendiri. Ibn Sa‘d dalam Ṭabaqāt menuturkan: kaum Anṣār berkata, “Bagilah hasil rampasan (fai’) antara kami dan saudara-saudara kami kaum Muhājirīn.” Maka Allah menurunkan ayat ini untuk menegaskan keutamaan sikap itsar mereka.

Yang kedua, Dalam sebuah hadis riwayat Bukhārī dan Muslim yang juga dikutip al-Wāhidī dalam Kitabnya yang berjudul Asbābun Nuzūl disampaikan bahwasanya ada suatu malam ada seorang lelaki datang kepada Nabi dan mengadukan perutnya yang lapar. Nabi mengutus seseorang ke rumah istri-istrinya yaitu para Ummul Mu’minīn, tetapi semua menjawab: “Kami tidak punya apa-apa kecuali air.” Nabi kemudian meminta apakah ada sahabat yang berkenan menjamu tamu itu. Nabi bersabda: “Siapakah yang mau menjamu tamuku malam ini? Semoga Allah merahmatinya.” Abu Ṭalḥah pun berdiri dan berkata: “Saya, wahai Rasulullah.” Abu Ṭalḥah membawa tamu ke rumahnya Sampai di rumah, ia bertanya kepada istrinya, Ummu Sulaim, apa ada makanan tersisa di rumah. Ummu Sulaim menjawab: “Kita hanya punya makanan sedikit untuk anak-anak.” Abu Ṭalḥah berkata: “Alihkan perhatian anak-anak dengan sesuatu sampai mereka tertidur. Kemudian sajikan makanan untuk tamu. Saat ia hendak makan, padamkan lampu agar ia merasa kita ikut makan bersamanya, padahal kita berpura-pura saja.” Mereka pun melakukan hal itu: anak-anak ditidurkan, tamu dijamu dengan makanan, lampu dipadamkan, lalu Abu Ṭalḥah dan istrinya berpura-pura ikut makan dalam kegelapan. Akhirnya tamu itu makan dengan tenang, sementara Abu Ṭalḥah dan istrinya tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, Abu Ṭalḥah menemui Rasulullah . Nabi bersabda dengan gembira: “Allah tertawa (atau tersenyum) kagum melihat perbuatan kalian berdua tadi malam.” Peristiwa ini dikaitkan dengan turunnya QS. al-Ḥasyr: 9, tentang sifat itsar kaum Anṣār.

Yang ketiga, adalah riwayat tentang interaksi antara sahabat Sa‘d bin Rabi‘ dan Abdurrahman bin Auf. Diriwayatkan oleh al-Bukhārī: “ketika Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah, Sa‘d bin Rabi‘ menawarkan separuh hartanya. Abdurrahman menolak, ia hanya meminta ditunjukkan pasar. Peristiwa ini juga disebut-sebut terkait turunnya ayat yang memuji sifat itsar kaum Anṣār.

Menurut Ibn Kathīr, ayat ini bukan hanya turun untuk satu peristiwa, melainkan menggambarkan sifat umum kaum Anṣār secara kolektif: mereka mendahulukan Muhājirīn dalam hal rumah, makanan, bahkan rampasan perang, meski mereka sendiri membutuhkan.

  

[4] Kamp Buca di İzmir memiliki makna penting bagi Fethullah Gülen Hojaefendi dan gerakan Hizmet karena menjadi titik awal penyemaian gagasan iman, ilmu, dan pelayanan. Pada akhir 1960-an, Gülen mengadakan kemah musim panas di sana untuk membina para pemuda melalui kajian Al-Qur’an, pembelajaran sains, ibadah, olahraga, dan kebersamaan. Dari suasana sederhana itulah lahir generasi awal yang kelak menyebarkan semangat Hizmet ke seluruh Turki. Bagi Gülen, Buca adalah simbol lahirnya model pendidikan alternatif yang memadukan agama dan ilmu pengetahuan, serta menjadi cikal bakal sekolah-sekolah Hizmet. Bagi komunitasnya, Buca dikenang sebagai ruang pembentukan kader, tempat lahirnya ukhuwah dan keikhlasan, sekaligus fondasi gerakan yang kemudian menjelma menjadi jaringan pendidikan dan kemanusiaan berskala global.

 

[5] Baca di Kirik Testi 15 Yolun Kaderi dan Rûhu'l Beyân Tefsiri İsmail Hakkı Bursevî di jilid 3 halaman 314 (3/314): https://archive.org/details/ruhul-beyan-tefsiri-ismail-hakki-c-1/Ru%CC%82hu%27l%20Beya%CC%82n%20Tefsiri%20I%CC%87smail%20Hakk%C4%B1-c3/page/n135/mode/2up