Dengan apakah kita diuji di dunia ini? Apakah rusaknya persatuan kita ujian pula bagi kita? Apakah para sahabat diuji sebagian mereka dengan sebagian yang lain?

Allah Swt. berfirman, “Demikianlah Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain.”[1] Jadi, manusia memang diuji dengan manusia lainnya. Kita bisa mengurutkan persoalan ini dalam beberapa bagian.

Pertama, di antara manusia diutus seorang nabi. Nabi menjadi ujian bagi manusia di sekitarnya. Hal ini pun terjadi saat diutusnya Rasul saw. Ketika itu sebagian orang berkata, “Bagaimana mungkin anak yatim yang diasuh Abu Talib itu menjadi nabi, sementara ia adalah orang fakir yang tidak memiliki pengikut kuat. Kalau memang ada nabi yang diutus, tentu orangnya adalah Mas’udd ibn Urwah di Thaif atau Walid ibn Mughirah di Mekah.”

Meskipun ketika itu Quraisy merupakan kabilah utama, tetapi ia bukan kabilah terkuat. Menurut mereka, seorang nabi harus diutus dari kabilah terkuat agar kabilah itu bisa membela dan melindunginya. Mereka juga berujar, “Bagaimana mungkin nabi adalah orang yang makan seperti kita dan berjalan di pasar-pasar? Mestinya yang diutus adalah seorang malaikat.” Ujian ini masih terjadi bagi sebagian orang sampai sekarang. Mereka berucap, “Bagaimana mungkin orang yang menikah dengan sembilan wanita adalah nabi?”

Semua ucapan itu dan yang serupa termasuk dalam bagian ini, yaitu bahwa manusia diuji dengan manusia lain. Ujian adalah tujuan datangnya manusia ke dunia. Mereka disaring agar menjadi jelas mana orang-orang baik dan mana orang-orang buruk, agar tampak perbedaan antara intan dan arang, serta agar tampak jelas perbedaan antara manusia berjiwa setan dan manusia berjiwa malaikat. Dengan demikian, terwujudlah tujuan penciptaan dunia. Seandainya tidak ada ujian, tentu tidak berbeda antara jiwa Abu Bakar yang bagai intan dan jiwa Abu Jahal yang hitam bagai arang. Artinya, seandainya tidak ada ujian, tentu hakikat ajaran Muhammad tidak akan bersinar, tidak akan tampak, dan tidak akan menjadi mentari yang menyilaukan mata.

Ketika Rasul saw. berbicara tentang manusia, beliau mengumpamakan mereka dengan barang tambang. Orang terbaik pada masa jahiliah adalah orang terbaik pada masa Islam asalkan mereka memahami ruh agama. Islam menggarap manusia dan melarutkan mereka dalam waktu tertentu pada bejana tertentu, kemudian Islam menyatukan mereka dengan ruh mereka agar sampai kepada jati diri mereka. Dengan kata lain, mereka dikeluarkan dari fitrah mereka menuju hakikat dan dari potensi menjadi aktual. Namun, barang-barang tambang itu senantiasa terpelihara dengan karakteristik masing-masing. Emas tetap berupa emas, perak tetap berupa perak, dan tembaga tetap berupa tembaga. Yang berbeda adalah terlepasnya barang-barang tambang itu dari kotoran sehingga menjadi barang tambang yang murni dan bersih. Ujian dan cobaan adalah proses pembersihan barang tambang itudari segala sesuatu yang menempel padanya dan asing baginya.

Kedua, setan menjadikan keburukan tampak indah dan dengan begitulah ia menyesatkan manusia yang tidak menyadari kesesatan mereka. Bisa jadi di antara manusia yang menjadi alat setan ada orang-orang yang memiliki moral cukup baik. Menghias keburukan sehingga tampak baik dan membuat kebaikan tampak buruk serta menampilkannya dalam bentuk yang kotor dan tidak disukai kadang tampak sederhana. Namun, itu adalah pekerjaan sangat destruktif yang bisa dinisbahkan kepada setan. Karena itu, Allah Swt. menyebut setan dengan “muzayyin (penghias)”.

Selain itu, kita juga diuji dengan hawa nafsu dan dengan nafsu setani yang membangkitkan semangat bersaing. Bahkan, semangat untuk iri dalam kebaikan yang tampak baik dan mendorong manusia untuk bersaing dalam mengabdikan diri pada dakwah, jika kemudian berubah menjadi semangat persaingan murni, ketika itu muncullah ujian.

Misalnya, jika upaya seseorang menjadi sarana bagi datangnya petunjuk kepada manusia secara lebih banyak daripada upaya seseorang lain, lalu orang terakhir ini iri dan dengki kepada orang pertama, maka ia harus menyadari kalau dirinya sudah berada dalam ujian besar.

Meskipun Allah Swt. berfirman, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus,”[2] Dia juga berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kaucintai, namun Allahlah yang memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”[3] Jadi, Allah Swt.-lah yang memberikan petunjuk. Seorang dai hanya membuka jalan, menunjukkan jalan yang lurus, dan menerangi jalan tersebut dengan penerangan yang kuat agar manusia mendatangi jalan itu, menemukan kebenaran, dan tidak menyimpang. Pada akhirnya tetap Allah yang menganugerahkan iman ke dalam hati.

Di antara ujian ini, Allah Swt. menganugerahi salah seorang di antara mereka kefasihan dan kemampuan berbicara sehingga ia bisa menjelaskan hakikat Al-Quran dengan cara terbaik dan terindah. Lalu, sebagian orang lain iri dan tidak senang seraya berkata, “Mengapa aku tidak diberi kemampuan seperti itu?” Ini juga merupakan ujian dan akibatnya sangat buruk.

Benar bahwa Allah Swt. telah memilih seluruh rasul-Nya, namun Dia juga melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya. Allah Swt. berfirman, “Para rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.”[4]

Ayat ini menguatkan penjelasan kami di atas. Allah Swt. memberikan berbagai keistimewaan tertentu kepada sejumlah rasul dan mengangkat kedudukan mereka ke tingkat yang tidak bisa dicapai para nabi lain. Namun, keutamaan kenabian secara umum tidak bisa ditandingi oleh keutamaan lain. Tidak adanya beberapa keutamaan khusus pada sebagian nabi sama sekali tidak membuat kenabian mereka cacat.

Kita bisa mengemukakan contoh lain tentang pertanyaan “mengapa” yang mengandung unsur keluhan dan sikap iri: Mengapa aku tidak bisa memberikan pengabdian yang lebih banyak untuk dakwah? Mengapa aku tidak mampu memberikan bantuan materi yang lebih besar? Mengapa banyak orang yang tidak mau mendengarkanku? Dan ratusan lagi berbagai pertanyaan mengapa. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu merupakan pukulan yang mengancam kesatuan barisan. Allah Swt. sejak awal mengajak kaum mukmin untuk menjauhi seluruh celah yang mengarah kepada perselisihan. Dia berfirman, “Dan janganlah kalian berselisih sebab itu akan membuat kalian gentar.”[5]

Kita akan membahas masalah ini alinea demi alinea.

Ayat di atas tertuju kepada kaum mukmin. Ia memberikan pesan kepada mereka untuk tidak masuk dalam perselisihan apa pun baik secara fisik maupun moral. Tetapi, berusahalah untuk menyatu di satu titik dan jangan sampai kalian jatuh dalam perselisihan meskipun dalam urusan yang positif. Jangan sampai kedengkian, persaingan, dan rasa iri menggiring kalian untuk berselisih. Jika itu terjadi, kalian akan gentar dan kehilangan kekuatan. Buah amal individual tetap dalam tingkat individu. Adapun amal yang dilakukan dalam naungan kesatuan jamaah akan diganjar dengan rahmat Allah Swt. yang menyeluruh. Dengan begitu, setiap individu akan mendapatkan pahala jamaah secara sempurna.

Berbeda dengan buah ibadah individual yang diberikan kepada setiap individu, tangantangan yang terangkat ke langit lewat doa dalam ibadah kolektif, perjuangan kolektif, dan permintaan atas sesuatu yang sama secara kolektif akan menyebabkan turunnya rahmat Ilahi yang meliputi seluruh jamaah. Hal ini tidak mungkin diraih secara individu. Dalam pergerakan individu, hal maksimal yang bisa dilakukan seseorang adalah menjadi pemimpin di keluarganya. Namun, jika barisan dan persatuan umat teguh dan saling menguatkan, umat akan kuat dan berpengaruh. Setiap individu yang tergabung dalam ratusan juta orang yang berada di bawah kubah jamaah akan merasa bahwa dirinya menampilkan kekuatan umat. Dengan kekuatan tersebut, ia pun terlindungi dari berbagai kekuatan luar. Namun, jika individu itu melepaskan diri dari kesatuan dan barisan umat serta berusaha membentuk wadah sendiri, kubah itu pun menjauh darinya. Kubah itu berubah menjadi payung kecil yang diangkat oleh orang itu di atas kepalanya.

Apabila masyarakatnya adalah masyarakat yang baik dan hubungannya dengan Sang Pencipta kuat, orang lain akan menghormati kita. Contohnya adalah apa yang terjadi pada Rasul saw. dan sahabatnya, Abu Bakar r.a. di gua. Allah menjadi yang ketiga bila kita berdua, menjadi yang keempat bila kita bertiga, menjadi yang kelima bila kita berempat, menjadi yang keenam bila kita berlima, menjadi yang ketujuh bila kita berenam, dan seterusnya. Itu karena Allah Swt. menjanjikan kemenangan bagi kaum beriman.

Namun, apabila kita bertindak secara individual atau kalaupun kita berdua namun tidak bekerja sama dan tidak tolong-menolong sebagaimana mestinya, Allah Swt. akan menjauhkan kita dari keberkahan yang diturunkan kepada jamaah. Artinya, dalam kondisi demikian Dia tidak akan menjadi yang ketiga bagi kita dan tidak akan membantu kita. Di sinilah kebersamaan sebagai hasil dari kemajuan. Dengan kata lain, individu pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya harus merupakan individu-individu yang sehat sehingga masyarakat yang terbentuk juga masyarakat yang sehat agar Allah membantu masyarakat itu dan memberikan perlindungan khusus kepadanya. Dengan begitu, seseorang tidak lagi harus memikul beban untuk melindungi diri dalam naungannya sendiri karena ia telah masuk dalam perlindungan langit.

Ya. Jamaah atau masyarakat merupakan faktor yang sangat efektif dan sarana yang penting untuk mendapatkan taufik Ilahi. Seandainya seseorang menghabiskan hidupnya dengan memisahkan diri di tempat tertentu atau di puncak gunung, lalu melewatkan waktunya dengan salat, puasa, menginfakkan seluruh miliknya kepada kaum miskin, menunaikan haji, menangis di depan Hajar Aswad, salat di Mekah dan di Raudah yang suci dengan pahala yang berlipat-lipat, tetap saja pahala dan ganjaran yang ia peroleh dari Allah Swt. hanya pada tingkat individu.

Akan tetapi, begitu ia meletakkan tangannya bersama jamaah, hatinya akan diperluas seluas umatnya. Ketika berbicara tentang Ibrahim a.s., Al-Quran berkata, “Sesungguhnya Ibrahim adalah umat.”[6] Artinya, Al-Quran menyatakan Ibrahim a.s.—seorang individu—sebagai umat yang sempurna untuk menggambarkan perhatiannya yang tinggi.

Betapa karunia dan pertolongan Allah Swt. sangat besar bagi masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang memiliki perhatian tinggi. Meskipun perhatian kaum mukmin tinggi, mereka sering kali tidak mendapatkan taufik saat sebagian mereka diuji dengan sebagian yang lain. Kita melihat pertimbangan pribadi yang kecil dan sepele bisa menjadi penghalang terwujudnya persatuan dan keharmonisan yang merupakan hal suci seperti sucinya Ka’bah. Hal itu tentu saja menghalangi datangnya bantuan Tuhan yang bisa datang setiap waktu.

Para pendahulu kita berkata, “Berbagai kemuliaan akan didapat sesuai dengan kerja keras yang dicurahkan.” Meskipun bukan hadis, perkataan ini memiliki makna yang dalam. Artinya, seluruh kesuksesan—baik materi maupun immateri—sangat terkait dengan usaha dan upaya yang dikerahkan untuk itu. Ya. Siapa yang mengetahui kadar penderitaan yang dialami benih di bawah tanah sampai ujungnya keluar ke atas tanah sebagai tumbuhan? Ia menderita dan mengalami kesulitan saat menerobos tanah dan mempersiapkan diri untuk menerima sinar matahari. Semua upaya dan penderitaan itu tak lain adalah penderitaan kelahiran dan perjuangan untuk mendapatkan eksistensi dan meraih kehidupan baru. Karena itu, ini sangat penting.

Setiap kali berbagai nikmat dan taufik Allah mengalir kepada kita, tugas kita bertambah berat. Kita harus mengetahui bahwa kedudukan tinggi yang Allah berikan kepada kita lewat kemurahan-Nya sama sekali bukan kembali kepada kemuliaan pribadi di antara kita. Kita harus melihatnya sebagai anugerah Ilahi. Kebaikan dan berbagai bentuk keindahan terus berlalu. Ketika berlalu, ia berdiri mengetuk pintu kita karena kita lebih membutuhkannya ketimbang orang lain, sementara kita sendiri tidak bisa menjadi manifestasi dari keindahan itu lewat pribadi kita.

Kita tidak boleh lupa bahwa anugerah dan kemurahan Ilahi yang mengalir dari atas kepala kita dan menembus relung-relung diri kita datang atas nama jamaah. Tidak patut seorang pun merasa bahwa dirinyalah yang berjasa atas hal tersebut.

Ketiga, kepentingan materi adalah juga salah satu bentuk ujian bagi sebuah jamaah. Perselisihan dan permusuhan antarkalangan bersumber dari sisi ini serta dari pemikiran negatif dan destruktif yang mengacu kepada perselisihan di seputar kepentingan materi. Banyak mata yang mengincar posisi tertentu. Ada para pemilik hawa nafsu dan syahwat yang tidak pernah kenyang dan mengharapkan keuntungan pribadi sehingga menimbulkan konflik dan sikap munafik. Akhirnya, persatuan [dan kebersamaan] berubah menjadi perpecahan dan permusuhan, padahal seluruh amal dan pengorbanan harus dilakukan tak lain untuk meraih rida Allah tanpa mengharap balasan atau ucapan terima kasih dari siapa pun. Seandainya hal ini disadari, tentu banyak orang yang lolos dari ujian kepentingan materi yang menjurus kepada perpecahan.

Dengan uraian ini, kami telah menjawab pertanyaan di atas, sebab pertanyaan tersebut terkait dengan ujian yang berhubungan dengan persatuan dan kesatuan barisan. Tidak mungkin kita bisa membatasi berbagai bentuk ujian yang dihadapi manusia. Kita juga tidak bisa merincinya di sini satu per satu. Penanya juga bertanya apakah para sahabat diuji antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Marilah sejenak kita bahas persoalan ini.

Tidak mungkin para sahabat terbebas dari ujian tersebut, karena mereka mendapatkan kedudukan tertinggi dalam kehidupan. Tentu mereka harus menghadapi ujian terberat, apalagi di era ketika muncul sejumlah ijtihad tentang pengelolaan negara. Namun, meskipun ujian itu sangat berat dan hebat, tidak ada sahabat yang menyimpang dari jalan kebenaran. Ketika sebagian mereka mengetahui bahwa mereka tidak berada di atas kebenaran, mereka segera menyarungkan pedangnya meski dalam kondisi yang sama sekali tidak mudah.

Aisyah r.a. memahami kekeliruannya ketika menentang Ali ibn Abu Talib r.a. Ia teringat akan sabda Nabi saw. yang berbicara tentang persoalan itu dan pulang dalam keadaan sangat menyesal.[7]

Zubair ibn Awwam adalah orang yang sangat pemberani. Ketika masuk Islam, usianya baru sembilan tahun. Pamannya memasukkannya dalam sebuah tikar lalu membakar tikar itu seraya memintanya untuk keluar dari Islam. Namun, penyiksaan tersebut sama sekali tidak berhasil membuatnya keluar dari Islam. Rasul saw. bersabda, “Setiap nabi memiliki penolong, dan penolongku adalah Zubair ibn Awwam.”[8] Itu karena beliau melihat keberanian dan keteguhannya.

Zubair adalah anak Shafiah, bibi Rasul saw. Suatu hari Rasul saw. melihat Zubair ibn Awwam r.a. berjalan bersama menantu dan sepupu beliau, Ali ibn Abu Talib r.a., di jalan kota Madinah. Rasul saw., yang diberitahu Allah Swt. tentang masa depan kedua pemuda yang saling mengasihi itu, mengetahui bahwa sepupunya, Zubair, akan menentang menantu dan sepupu beliau juga, Ali. Rasul saw. lalu berkata kepada Zubair, “Demi Allah, engkau akan memeranginya dan berlaku zalim kepadanya.” Bertahun-tahun, Zubair lupa akan ucapan Nabi saw. di atas. Hari demi hari terus berlalu. Barulah dalam Perang Jamal, ketika Zubair berhadap-hadapan dengan Ali ibn Abu Talib r.a., Ali berkata kepadanya, “Wahai Zubair, apakah engkau lupa saat Rasul saw. berpapasan denganmu ketika kita berada di tempat anu lalu beliau bertanya, ‘Wahai Zubair, tidakkah engkau mencintai Ali?’ Engkau kemudian menjawab, ‘Bagaimana mungkin aku tidak mencintai sepupuku, Ali?’ Setelah itu, beliau bersabda, ‘Wahai Zubair, demi Allah, engkau akan memeranginya dan berlaku zalim kepadanya.’“ Mendengar itu, Zubair menjawab, “Ya, demi Allah, aku telah lupa sejak mendengarnya dari Rasulullah saw., kemudian engkau mengingatkannya sekarang. Demi Allah, aku tidak akan membunuhmu.”[9] Ucapan Ali r.a. itu sampai ke kepala Zubair r.a. laksana petir.

Ya. Ia telah ingat akan hadis yang diucapkan Rasul saw. kepada mereka berdua bertahuntahun lalu. Ia pun segera menyarungkan pedangnya lalu memeluk Ali serta meminta maaf kepadanya. Setelah itu, ia menaiki kudanya dan meninggalkan medan perang. Namun, seseorang telah menyerangnya dari belakang dan membunuhnya kemudian memenggal kepalanya dan membawa kepalanya itu ke kemah Ali r.a. Orang itu mengharapkan upah besar dari Ali r.a. Ketika penjaga kemah memberitahu Ali r.a. tentang peristiwa itu, Ali r.a. langsung menangis dan berkata, “Beritahukan kepada pembunuh Zubair bahwa ia akan masuk neraka. Aku mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Setiap nabi memiliki penolong, dan Zubair adalah penolongku.’”[10] Ali r.a. tidak mau berbicara kepada orang-orang di sekitarnya, tetapi ia terus mengulang ucapan yang didengarnya langsung dari Rasul saw. tersebut.

Tidakkah kaulihat bagaimana para sahabat juga mendapatkan ujian? Namun, ketika mereka saling berperang, mereka berperang di jalan kebenaran dengan ijtihad mereka. Ketika menyadari bahwa sikap mereka tidak benar, mereka berhenti untuk kemudian berdamai. Tidak satu pun dari mereka mengkritik takdir. Seandainya itu dilakukan, tentu musibah akan berlipat ganda. Setiap kali menghadapi ujian dari Allah Swt., mereka berusaha untuk sampai kepada kebenaran dalam naungan Al-Quran dan dengan mempergunakan kecerdasan mereka.

Suatu ketika berlangsung percakapan antara Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Dalam percakapan itu, Abu Bakar al-Shiddiq r.a. membuat marah Umar ibn Khattab r.a. Akhirnya, Umar r.a. meninggalkan Abu Bakar r.a. sambil marah. Melihat hal itu, Abu Bakar r.a. segera menyusul Umar r.a. dan meminta maaf kepadanya. Namun, Umar r.a. tidak mau sampai-sampai ia menutup pintu. Akan tetapi, tidak lama kemudian Umar r.a. sangat menyesal. Ia pun mencari Abu Bakar yang sudah pergi kepada Rasulullah saw. dan memberitahu beliau tentang peristiwa itu guna mencari penyelesaian. Rasulullah saw. bersabda, “Teman kalian ini telah menyesal.” Artinya, ia telah lebih dulu berbuat baik.

Tidak lama kemudian Umar ibn Khattab r.a. datang untuk bertanya kepada Rasulullah saw. tentang apa yang dilakukannya agar Abu Bakar r.a. memaafkannya karena ia telah menyakiti Abu Bakar r.a. dengan ucapannya. Mendengar hal itu, Rasulullah saw. marah. Abu Bakar r.a. pun segera berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, akulah yang berbuat zalim.” Rasulullah saw. kemudian menjelaskan kepada seluruh dunia kedudukan Abu Bakar di sisi beliau, “Apakah kalian mau meninggalkan sahabatku?! Apakah kalian mau meninggalkan sahabatku?! Aku telah menyeru, ‘Wahai manusia, aku adalah rasul yang diutus oleh Allah kepada kalian semua.’ Namun, kalian menjawab, ‘Engkau bohong,’ sedangkan Abu Bakar menjawab, ‘Engkau benar.’”[11]

Yang ingin kutegaskan di sini adalah betapa para sahabat berkomitmen pada kebenaran dalam kondisi apa pun dan mau mengakui kesalahan. Para sahabat senantiasa mencari kebenaran dan lebih memilihnya daripada yang lain. Mereka berusaha untuk bersatu dalam segala situasi.

Ali ibn Abu Talib r.a. tidak berbaiat kepada Abu Bakar r.a. selama enam bulan. Di sekitarnya ada para pencintanya yang terus-menerus menghendakinya untuk menjadi khalifah. Enam bulan kemudian dan tidak lama sesudah Fatimah al-Zahra r.a. meninggal dunia, Ali r.a. datang ke masjid Madinah dan menyebutkan di depan hadirin bahwa keengganannya selama enam bulan untuk berbaiat kepada Abu Bakar r.a. bukan karena ia menentangnya dan bahwa kedatangannya pada hari itu bukan karena takut. Sekarang ia yakin bahwa hak untuk memegang tampuk kepemimpinan dan pemerintahan memang ada di tangan Abu Bakar r.a. Karena itu, ia datang untuk berbaiat kepadanya.

Setiap orang harus berkomitmen pada kebenaran. Para sahabat menyandangkan “komitmen pada kebenaran” kepada Umar ibn Khattab r.a., karena ketika seseorang menyebutkan sebuah ayat atau hadis untuk meluruskan pandangannya tentang sebuah persoalan, ia segera meninggalkan pandangan pribadinya itu dan berkomitmen pada kebenaran.

Satu kali pada masa pemerintahannya ia berkhutbah di atas mimbar. Ia meminta kaum muslim untuk tidak berlebihan dalam menetapkan mahar wanita, karena ia berpendapat wajib memberikan keringanan dan kemudahan kepada para pemuda dalam menikah. Ketika turun dari mimbar, seorang wanita Quraisy menghadangnya dengan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, mana yang lebih berhak diikuti: kitab Allah (Al-Quran) atau ucapanmu?” Umar r.a. menjawab, “Kitab Allah.” Wanita itu melanjutkan, “Anda telah melarang orang-orang untuk berlebihan dalam mas kawin wanita padahal Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran, ‘Jika kalian ingin mengganti istri dengan istri lain, sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, janganlah kalian ambil kembali sedikit pun darinya.”[12]

Umar r.a. mendengarkan dengan penuh adab. Sebenarnya, nasihat Umar r.a. tidak salah, namun kepekaan dan keluhuran akhlaknya mendorongnya untuk berkata, “Semua orang lebih paham daripada Umar.” Ia lalu kembali naik ke mimbar dan berkata, “Aku telah melarang kalian untuk berlebihan dalam mahar wanita, maka hendaklah seorang laki-laki berbuat apa yang menurutnya baik terhadap hartanya.”[13]

Tentu saja Umar tidak bodoh dalam urusan agama. Namun, pemahamannya terhadap kebenaran dan komitmennya pada kebenaran sangat mendalam sampai-sampai ketika mendengar ucapan wanita itu, ia tidak mau menakwilkan atau menyanggahnya, tetapi ia menerima kebenaran apa adanya.

Karya-karya besar dan persoalan penting tidak akan bisa diselesaikan kecuali oleh orangorang besar semacam mereka. Semakin kita dekat dengan ruh para sahabat, semakin dekat pula kita dengan taufik Allah Swt.

Beban tertentu pada masa apa pun memerlukan otot-otot yang kuat untuk mengangkatnya, dan diperlukan kekuatan otot yang sama pada masa lain. Tangan yang lemah takkan mampu mengangkat beban.

Sebagaimana untuk menyeimbangkan satu kilogram dibutuhkan satu kilogram lagi, hakikat-hakikat besar yang kemunculannya membutuhkan orang-orang seperti sahabat saat ini pun membutuhkan orang-orang semacam itu agar muncul dan menang. Adapun menantikan kemenangan dan kemunculan hakikat-hakikat itu dari orang-orang lemah yang tidak memiliki daya dan kekuatan, adalah mustahil. Jadi, kita harus seperti sahabat dalam berpegang pada kebenaran, menjaga kesatuan, dan merapatkan barisan agar musuh melihat bahwa pintu-pintu fitnah tertutup di hadapan mereka. Ketika perasaan dan semangat kita mencapai puncaknya, keputusasaan mereka juga mencapai puncaknya. Ini baru bisa terwujud jika kita tidak menyembah hawa nafsu dan berpegang teguh pada kebenaran. Inilah jalan yang mengarah kepada kesatuan dan rapatnya barisan.

[1] Q.S. al-An’âm: 53.
[2] Q.S. al-Syûrâ: 52.
[3] Q.S. al-Qashash: 56.
[4] Q.S. al-Baqarah: 253.
[5] Q.S. al-Anfâl: 46.
[6] Q.S. al-Nahl: 120.
[7] H.R. Ibnu Hibban, al-Hakim, dan Baihaqi.
[8] H.R. Bukhari dan Muslim.
[9] Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, VII, h. 241 – 242.
[10] H.R. Imam Ahmad dan Tabrani.
[11] H.R. Bukhari.
[12] Q.S. al-Nisâ’: 20.
[13] Al-Hindi, Kanz al-Ummâl, XVI, h. 536 – 538.