Jalan Tengah dalam Berdakwah dan Pengaruh dari Ucapan

Hal-Hal Yang Peka Dalam Tarbiyah

Jika keluarga yang akan atau sedang kita bangun adalah rumah tangga yang berada dalam bingkai keridhaan Allah Subhânahu wa ta’âla dan Rasul-Nya, maka insha’ Allahkeluarga kita adalah salah satu keluarga yang menjanjikan masa depan. Dengan kata lain, jika anak-anak yang kita besarkan melanjutkan hidup mereka sebagai ummat di jalan Nabi Muhammad ﷺ, maka masa depan mereka cerah dan orang tuanya adalah termasuk mereka yang berbahagia. Sebaliknya, jika anak-anak yang dibesarkan berkeliaran di jalan-jalan, jika mereka tumbuh menjadi orang yang anti-agama, memusuhi masjid dan ibadah, maka mereka akan mendapatkan ketidakbahagiaan dan orang tuanya harus bersiap-siap mempertanggung jawabkannya. Hasil seperti ini adalah sebuah ketidakadilan, baik bagi anak-anak itu sendiri maupun untuk masyarakat. Tidak seorang pun berhak melakukan ketidakadilan seburuk itu. Kita akan dimintai pertanggung jawaban jika membesarkan anak-anak yang memusuhi Islam, anak-anak yang biasa mengonsumsi makanan dan minuman yang haram dan tidak diperoleh dengan cara yang baik, serta anak-anak yang melanggar aturan-aturan sosial dengan perilaku yang tidak pantas. Tugas terbesar kita adalah membesarkan anak-anak yang memiliki tujuan atau pemikiran pada akar keyakinannya; anak-anak yang matang, memiliki cakrawala jauh ke depan, penuh kasih, dan menghormati kemanusiaan. Tugas penting ini adalah salah satu tugas yang dapat dimulai dengan pembentukan keluarga yang memiliki kesadaran dan kemudian ditopang dengan proses yang mendasarkan pada logika, nalar dan kearifan sepanjang hayat.

Dengan pemikiran ini, keluarga harus dianggap sebagai lembaga atau institusi yang dibangun di atas dasar dan poros semangat keagamaan, akal budi, dan kesadaran serta harus dipertahankan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diridhai Allah Subhânahu wa ta’âla. Nabi Muhammad ﷺ menyatakan bahwa Beliau akan dibuat bangga dengan jumlah pengikutnya yang banyak di akhir zaman. Namun, meskipun jumlahnya besar tidak ada generasi yang berharga di hadapan Allah Subhânahu wa ta’âla, jika mereka tidak mengakui keberadaan Tuhannya. Generasi seperti itu pun tidak akan bernilai di mata Rasulullah ﷺ.

Oleh karena itu, di satu sisi kita harus memberantas akar-akar kecenderungan negatif yang ada dengan ber-tawajjuh kepada Allah, ber-istighfar danmemohon ampunan dengan penyesalan yang tulus, di sisi lain menguatkan kecenderungan pada kebaikan dengan terus aktif dalam perbuatan baik, berharap melalui doa dan amalan baik, dan terus-menerus menghadapkan wajah ke hadirat-Nya sembari terus memenuhi semua tanggung jawab fisik, emosional, maupun lisan yang diperlukan.

Dalam konteks ini, Al Qur’an mengungkapkan sebagai berikut:

Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan (di kedua dunia)" (QS. Al Maidah 5: 100).

Memang benar, jumlah kejahatan dan keburukan di dunia mungkin mengejutkan kita. Namun, harus disadari fakta bahwa kejahatan dan kebajikan tidak pernah setara di hadapan Allah Subhânahu wa ta’âla. Dengan demikian, kita harus selalu menyadari betapa pentingnya membesarkan generasi yang akan mengingatkan surga pada orang tuanya dengan cahaya spiritual mereka sambil berusaha mengikuti yang "thoyyib/baik" dan mencoba menjadi ayah, pendidik, dan muallim yang "thoyyib/baik" pula.

1. Penyakit Wahn (Cinta Dunia dan Takut Mati)

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah ﷺ mengatakan: "Akan datang suatu masa ketika umat lain akan mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, ibarat orang-orang lapar yang bergegas menuju meja makan; mereka akan mencoba merebut makanan dari mulutmu." Yang bisa kita pahami dari hadis ini adalah bahwa orang-orang akan mengerumuni kita, mencuri dari dompet kita, dan mengambil alih semua yang menjadi milik kita, persis seperti orang-orang yang berkerumun di sekitar meja makan. Salah satu Sahabat bertanya kepada beliau, "Apakah hal seperti itu terjadi karena jumlah kami sangat sedikit, ya Rasulullah?" Nabi menjawab pertanyaan Sahabatnya sebagai berikut: "Tidak, sebaliknya jumlah kalian sangat banyak pada saat itu tapi kalian seperti buih di permukaan air laut; dan Allah mencabut rasa takut dari hati musuh kalian; (kalian tidak akan dihargai di hadapan musuh kalian, kalian tidak memiliki wibawa dan tidak bisa membuat orang lain merasakan kekuatan dan nilai penting kalian). Pada saat yang sama, di dalam hatimu akan tertanam wahn (kelemahan jiwa)."

Sahabat yang sama bertanya lagi, "Apa yang dimaksud dengan wahn itu, ya Rasulullah?"

Nabi kemudian berkata, "Wahn berarti cinta kepada kehidupan duniawi (dengan sifat sementaranya), mengutamakan kehidupan ini dan takut mati."[1]

Memang benar, jika suatu masyarakat menetapkan tujuannya dalam melihat dunia berdasarkan arah yang hanya akan memuaskan nafsunya saja, kalbu dan jiwanya pun telah pula ditujukan ke sana, apalagi jika jika ke-Ridhoan Allah pun telah ditinggalkan dan lebih mementingkan dunia berikut isinya dibandingkan Allah, maka walaupun lisannya mengucapkan Lâ ilâha illallah sekalipun namun kalbu dan jiwanya tidak bisa dianggap dalam istiqomah. Inilah yang dimaksud Rasulullah ketika beliau mengatakan, "Dalam hati kalian tertanam wahn dan kalian akan dikalahkan oleh musuh-musuh." Di hadis yang lain ungkapan “Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh kalian” disampaikan dalam bentuk “amal ma’ruf nahyi anil munkar tidak lagi dilakukan”; penjelasan tentang Kitab, dan hari kebangkitan pun diabaikan.

Jika demikian, menumbuhkan generasi yang memiliki iman yang kuat dan kemauan yang tangguh baik secara materi maupun spiritual, generasi yang berkomitmen dan memiliki basirah untuk tidak menyerah kepada daya tarik dunia yang sementara, generasi yang tidak ada tempat di hatinya untuk rasa cinta kepada dunia atau rasa takut kepada kematian (wahn), serta generasi yang berani berdiri kokoh menentang musuh-musuhnya haruslah menjadi tujuan terbesar yang ingin kita capai.

2. Tugas Seorang Wanita

Nabi Muhammad ﷺ pernah berkata, "Allah Subhânahu wa ta’âla tidak pernah semarah ketika Dia marah tentang pengabaian hak-hak perempuan dan anak-anak". Dengan begitu, yang paling membuat Allah marah adalah kondisi perempuan dan anak-anak. Ketika seorang wanita melalaikan tugasnya dan justru terlena pada berbagai fantasi di luar kewajibannya, melalaikan anak-anaknya bahkan dari sejak usia dini, hanya memikirkan kepentingan nafsu dan materi saja maka hal-hal ini harus dikhawatirkan sebagai sebab datangnya kemurkaan Allah.

Ya, sebuah generasi yang dengan iradah atau usahanya sendiri terperosok, jatuh dan menderita dalam gelimang dosa dan menjadi celaka karena diperbudak oleh keinginan duniawi saja adalah generasi lemah yang juga hanya akan mendatangkan murka Allah saja. Jika demikian, tugas pertama dan terpenting bagi setiap kepala keluarga adalah memilih pendamping (istri) dari kalangan muslimat, mukminât, qanitât, sâdikât, sâbirât, hâsyiât, muttasaddikât, sâimat, hâfizât, zâkirat[2], dan sâlihât[3] (kriteria wanita muslim, beriman, setia, sabar, saleh, dapat dipercaya, dan bertakwa sebagaimana yang ada di QS. Ahzab ayat 35). Seorang pendamping adalah seorang teman seumur hidup yang juga seorang muallim dan murabbiyah (guru yang salehah), yang dengannya seseorang dapat membahas setiap masalah; kesemuanya ini adalah syarat penting bagi kebahagiaan duniawi dan ukhrawi sebuah keluarga. Memang, sangatlah penting untuk memiliki pasangan dengan pikiran dan hati yang penuh pengertian sehingga seseorang dapat mengungkapkan perasaan duniawi maupun ukhrawinya yang terdalam. Sehingga anak-anak yang ada di dalam keluarga tersebut akan dibesarkan di bawah pengawasan seorang ibu yang menjadi juga seorang muallim maupun murrabi bagi anak-anaknya.

3. Mengedepankan Kualitas

Al Qur’an menjelaskan betapa tidak pentingnya kuantitas dan jumlah yang banyak, sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di banyak medan peperangan, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai (QS. At-Taubah 9:25).

Rasulullah ﷺ memimpin peperangan Hunain setelah penaklukan Mekkah terjadi. Dalam pertempuran pertama, umat Islam tidak bisa melawan sebaik ketika mereka sebelumnya melawan kekuatan Hawazin. Pada hari itu, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, kaum Muslim berpikir bahwa "tak ada yang bisa menahan kekuatan tentara ini," dan mereka sangat bergantung kepada pertolongan Ilahi. Namun, ketika mereka berhadap-hadapan dengan pasukan pemanah Hawazin, mereka sangat terkejut dengan perubahan peristiwa yang terjadi. Seperti yang ditunjukkan dalam peristiwa ini, jumlah yang banyak bukanlah segalanya, meskipun inilah yang dipikirkan para Sahabat pada masa itu.

Sesungguhnya, hal yang paling penting adalah kualitas, kedalaman, dan kematangan. Ketika para Sahabat percaya dan yakin kepada Allah Subhânahu wa ta’âla, maka keterkejutan hanya sementara, dan mundur dari medan perang adalah dosa bagi mereka. Ayat Al Qur’an itu menegaskan bahwa tidak ada tempat dan tidak ada waktu di mana jumlah dan kuantitas memegang peranan penting. Umat Islam harus menegaskan keinginan mereka dan memberi penekanan pada kedalaman dan kualitas batin daripada banyaknya jumlah mereka, di mana pun mereka tinggal. Daripada meributkan jumlahnya lebih baik jika segala sesuatu itu haruslah dihubungkan, dengan keridhoan, kecintaan, kedalaman jiwanya pada Allah.

Meskipun jumlah ummat Muhammad sedikit dan berada dalam keadaan lemah, namun jika kita selalu mengacu kepada Allah dan selalu berada dalam semangat untuk menjelaskan pesan-pesan Ilahi kepada setiap orang, maka dengan taufik dan inayah pertolongan Allah Subhânahu wa ta’âla kemenangan dan kesuksesan akan didapatkan. Namun sebaliknya jika kita hanya berdiam diri di dalam rumah dan melupakan hubungan dengan Allah, walaupun jumlah kita amat besar sekalipun maka tidak akan bernilai apapun. 

4. Tugas Orang tua terhadap Anak

a) Mempersiapkan Lingkungan Tarbiyah

Untuk memastikan tarbiyah terbaik bagi anak-anak, kita harus juga menciptakan lingkungan atau suasana tarbiyah terbaik pula bagi mereka. Setiap anak dibentuk sesuai dengan lingkungannya, dalam artian anak adalah produk dari ruang tempat ia tinggal. Keluarga adalah lingkungan tarbiyah yang utama, diikuti oleh sekolah, dan teman-teman sebayanya.

Jika kita tidak benar-benar mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi lingkungan tempat mereka akan mengadu nasib, dan jika kita gagal mengembangkan kemampuan mereka, maka suatu hari nanti pasti anak-anak  tersebut dapat "tertular virus". Bahkan tidak diragukan lagi, suatu hari nanti, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak cocok akan menjadi rusak moralnya. Oleh karena itu, dimulai dari keluarga kita sendiri, persiapkanlah lingkungan yang tepat bagi setiap tahap dan setiap bagian kehidupannya untuk memastikan tarbiyah yang sempurna bagi seorang anak; sekali saja ada kesalahan, maka waktu tidak akan dapat diputar kembali.

b) Tidak Memberikan Suapan Makanan yang Haram

Sangatlah penting untuk memberi makan bayi dengan makanan dan minuman halal yang didapatkan dengan cara yang baik  bahkan sejak masa awal pembuahan dan tahap embrio saat bayi masih di dalam kandungan sekalipun. Kita harus selalu ingat bahwa dikarenakan kita harus selalu berada dalam hubungan kita sebagai hamba kepada Allah, jika terjadi gangguan dalam hubungan kita dengan Allah Subhânahu wa ta’âla selama tahap perkembangan anak, maka hal tersebut mungkin akan berdampak negatif – meskipun hanya sementara – pada kepribadian anak dan hal seperti ini sudah sangat sering kita lihat di sekitar kita. Sesuatu yang haram dan terlarang dalam pembuluh darah ibu – dan hal yang sama berlaku juga untuk ayah – di kemudian hari mungkin dapat menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada anak.

c) Perlindungan dari ‘Pandangan yang Buruk/Jahat’

Sebagaimana setelah anak lahir kita sebagai orang tua akan berupaya keras untuk berhati-hati terhadap makanan, minuman, pakaian dan gizinya maka sangatlah penting juga untuk melindungi anak dari pandangan yang ‘buruk dan jahat’.

Misalnya, Kita harus benar-benar mempertimbangkan jika ada pandangan dari seseorang yang berpikiran kotor, berperasaan buruk, suka berkata kasar, berdosa, dan bersifat jahat, karena hal tersebut dapat merusak jiwa atau ruhani anak yang masih halus.

Ini adalah salah satu tugas kita sebagai orang tua terhadap anak yang harus kita penuhi sebagai ungkapan atas hubungan kita dengan Allah Subhânahu wa ta’âla dan agama. Jika kita memenuhi tugas ini dengan penuh kehati-hatian, maka kita mungkin bisa menjadi masyarakat yang bersih seperti para malaikat.

d) Menata Lingkungan Keluarga

Rasulullah ﷺ pernah berkata, "Kata pertama yang diucapkan seorang anak haruslah Lâ ilâha illallah (Tiada tuhan selain Allah)."[4]

Tentu saja biasanya kata pertama yang diucapkan seorang anak pada usia dua tahun adalah "ayah" atau "ibu", namun kita harus mencoba mendorongnya mengucapkan “Allah” sebagai kata pertamanya[5], karena Allah-lah yang Awwal, Allah-lah yang Azali, dan Dia-lah yang abadi. Kemudian, setelah membangun pondasi yang solid ini, pada tahap berikutnya konsep lain dapat ditambahkan, seperti konsep tanah air, bangsa, cinta, dan rasa hormat sesuai dengan usia dan tingkat pemahamannya. Jika anak masih dalam tahap tarbiyah dasar, maka ia perlu diberi informasi yang sesuai dan diarahkan pada tingkatan ini. Jika anak tersebut sudah bersekolah di tingkat SMU dan membaca filsafat, ilmu sosial, dan ilmu humaniora, maka ia harus menerima informasi dari sumber-sumber yang benar di bidang ini.

Jika di sebuah rumah ada rasa penghormatan kepada Allah dan hal tersebut sering menjadi subjek diskusi, maka kita telah berfokus pada target memotivasi anak-anak kita untuk mengucapkan kata pertama mereka seperti yang kita harapkan. Bahkan, seharusnya dalam lingkungan keluarga harus selalu ada yang berdoa, bersujud, dan ruku’ dalam kesehariannya yang disaksikan oleh anak. Singkatnya, dalam lingkungan keluarga harus ada dan ditunjukkan perasaan kagum pada Allah Subhânahu wa ta’âla. Dalam lingkungan keluarga seperti itu, semuanya tertata dan selalu ada diskusi mengenai Allah sehingga memudahkan anak untuk mengucapkan kata "Allah" sebagai kata pertamanya.

e) Mengatur Kadar Cinta

Kita seharusnya tidak menunjukkan cinta pada anak-anak kita melebihi cinta yang kita rasakan terhadap Allah. Sedalam apapun cinta kita pada anak, tidak boleh setara atau melebihi (ifrat) cinta kita kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah pada salah satu ayat Al Quran.

Jika kita mencintai anak melebihi cinta kepada Allah, maka tanpa sengaja kita mungkin telah menyekutukan Allah Subhânahu wa ta’âla, dan dengan demikian berarti telah terlibat dalam bentuk kemusyrikan. Tidak ada keraguan bahwa hal itu akan menjadi kesalahan besar karena kita mencintai anak secara berlebihan hingga sampai pada tingkat melupakan Tuhan dalam prosesnya. Terlebih lagi, cinta berlebihan seperti itu akan menyebabkan kita menunjukkan perilaku yang tidak terkendali, dan ini berbahaya bagi anak. Mungkin inilah yang disebut sebagai "cinta terlarang" di hadirat Allah. Semua cinta yang tidak terkendali yang ditujukan pada manusia – yang seharusnya ditujukan kepada Tuhan – maka keadaan seperti ini tentu saja bisa merusak hubungan antara kita dengan Allah Subhânahu wa ta’âla.

Tidak berlebihan dalam cinta sangat penting untuk beberapa alasan berikut ini:

  1. Penguasa atau Sultan di hati kita adalah Allah Subhânahu wa ta’âla. Tidak ada cinta lain yang boleh menggantikan posisi cinta kepada Allah di dalam hati kita.
  2. Tidak sedikitpun boleh ada keraguan bahwa anak-anak kita adalah amanah yang dipercayakan oleh Tuhan bagi kita. Cinta dan kasih sayang yang kita rasakan untuk anak-anak itu adalah semacam bagian bonus dan hadiah yang diberikan kepada kita untuk membantu agar perawatan dari amanah yang dipercayakan itu menjadi lebih mudah. Bahkan, cinta orang tua kepada anaknya pun adalah karunia yang diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Memberi. Cinta dan kasih sayang diberikan kepada kita agar kita dapat merawat anak yang dipercayakan kepada kita sebagai orang tuanya dengan cara terbaik.

f) Menjadi Contoh yang Baik

Saat berhadapan dengan anak-anak yang menjadi tanggung jawab kita untuk membesarkannya, maka perasaan, pemikiran, kata-kata, kehidupan spiritual, dan perilaku kita, kesemuanya haruslah berkaitan dengan tujuan menjadi contoh yang baik bagi mereka. Jika kita ingin anak-anak tumbuh dengan cara yang terbaik, maka masalah ini harus menjadi perhatian sepenuhnya. Sebagai contoh, jika ingin anak-anak rajin salat, maka sebelumnya orang tua harus memberi mereka contoh yang baik terlebih dahulu dengan salatnya, sedemikian rupa sehingga mereka bisa melihat dan meniru kita. Anak harus secara jelas dapat melihat adab terbaik yang kita tunjukkan saat salat sebagai adab kita saat menghadap Allah Subhânahu wa ta’âla. Orang tua harus selalu mengatakan kebenaran dan menghindari kebohongan apa pun yang terjadi. Jika kita tidak ingin mendengar mereka berbicara buruk atau berkata kasar, maka kita pun harus menahan diri untuk tidak melakukan hal yang sama agar di kamus ingatan mereka tidak tercatat kata-kata yang tidak ingin kita dengar. Jika ingin anak-anak menjadi orang yang sopan dan menjalani hidup dengan jujur, menjaga iffah-nya dengan menghormati kesucian dan kesopanan dirinya, maka semua kualitas tersebut harus pula dihidupkan dalam keluarga tersebut, dan ‘ksatria’  pertama atas semua perilaku tersebut haruslah diri kita sendiri sebagai orang tuanya.

Jika ingin anak-anak membaca Al Qur’an dan mendalami pemahaman atas hakikat kebenaran yang terkandung di dalamnya, maka pada pagi dan petangnya, di rumah tersebut harus selalu terdengar diskusi atas tema-tema yang terkandung dalam Qur'an. Kita harus menunjukkan adab dan rasa hormat yang besar kepada ketinggian kedudukan Al Qur'an tersebut agar anak-anak tidak terdorong melakukan yang sebaliknya.

Singkatnya, tarbiyah yang paling efektif dan berpengaruh adalah lewat kata-kata, perasaan, gairah kalbu, serta perilaku yang tepat di sebuah rumah dan cara ini mutlak harus dipertimbangkan oleh setiap orang tua. Jika orang tua hanya ‘membayar’ orang lain untuk mendidik anak-anaknya dan memberi tahu orang tersebut untuk "mengajarkan beberapa hal kepada anak-anak" saja tanpa pernah terlibat langsung dengan mereka, maka kita tidak akan bisa mengajarinya apa pun.

g) Mendorong Anak Memiliki Rasa Berterima Kasih dan Rasa Cinta kepada Allah

Ketika anak-anak masih duduk di sekolah dasar atau pada beberapa anak masih akan berlanjut satu, dua tahun setelah masa itu yaitu sebelum mereka akil baligh, bagi mereka belum diwajibkan menunaikan ibadah-ibadah wajib. Oleh karena itu, berbagai kekurangan  atas shalat, puasa maupun ibadah-ibadah lainnya pada masa usia ini tidak boleh terlalu dipermasalahkan, tidak boleh dicela ataupun dihukum karena kekurangan semacam itu.

Meskipun demikian, harus selalu difahami bahwa apa pun yang kita ajarkan pada seorang anak di usia ini, yaitu pada usia sebelum anak mampu bertanggung jawab tersebut, segala sesuatu yang mereka pelajari akan mengendap dalam ingatan, pikiran dan hatinya seumur hidup. Inilah alasannya mengapa kita perlu meningkatkan dan menguatkan rasa berterima kasih kita terhadap mereka pada masa ini. Mereka harus  disadarkan bahwa semua yang telah mereka terima dalam hidup ini adalah anugrah dari Ilahi dan karenanya mereka harus diajarkan untuk berterima kasih kepada Allah dan orang-orang yang membantu tersedianya semua berkah tersebut.

Rasa penghargaan dan rasa syukur ini akan diperdalam sesuai berjalannya waktu, agar anak akan menjadi seorang muttasyakir yaitu orang yang selalu memuji Allah sebagai bentuk syukur atas berkah-Nya, sementara ia juga menjadi pribadi yang pandai berterima kasih kepada orang-orang di sekelilingnya ketika mereka melakukan perbuatan baik. Bahkan, kita harus meningkatkan keinginan dalam diri anak kita untuk melakukan perbuatan baik dan tau cara menghargai perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya, sebagaimana seorang ahli batu permata yang bisa mengetahui satu per satu nilai dari berlian dan permata yang dilihatnya. Jika seorang anak telah memiliki kemampuan ini maka ia akan menjadi seorang Ma’bud-u Mutlak yaitu seorang hamba Allah yang sebenarnya sehingga mereka akan dapat memahami bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari ke-Maha Indah-an dan Kebesaran kekuasaan-Nya. Akhirnya, seseorang yang menerima tarbiyah seperti ini akan dapat mengakui kebesaran Allah Subhânahu wa ta’âla dan menghargai setiap bantuan orang lain yang ditujukan padanya. Pada waktunya, perilaku menghargai yang berkembang dalam diri anak akan mendarah daging sehingga menjadi ciri kepribadiannya seterusnya. Setelah dewasa, ia akan selalu berterima kasih dan mengucap syukur untuk setiap nikmat yang didapatnya.

Hal penting lain yang harus ditekankan berkaitan dengan hal ini adalah kita harus mengajarkan anak-anak kita tentang kebaikan Allah Subhânahu wa ta’âla yang dengan kasih sayang,sifat Rahman dan Rahim-Nya telah memberikan segala kemurahan melalui semua nikmat dari-Nya. Kita harus menjelaskan pada mereka tentang bagaimana Allah Subhânahu wa ta’âla telah memberi pada manusia nikmat makanan, memelihara, membesarkan dan bagaimana besar rasa kasih yang diberikan pada kita. Kita harus mengatakan bahwa “Dia-lah yang Maha Pengasih yang selalu menjaga kita, menjauhkan dari segala bahaya, dan merupakan Penjaga dan Pelindung terbaik” agar rasa percaya, keyakinan, dan kepasrahan anak pada Allah akan semakin membara. Selanjutnya, kita harus meningkatkan hubungan anak-anak dengan Allah, membantu mereka membangun hubungan itu dengan menjelaskan kepada mereka menggunakan bahasa yang sesuai dengan usia mereka, bahwa bahkan makhluk terkecil sekalipun di alam semesta ini dapat bertahan hidup berkat kebaikan, belas kasih dan Rahmat-Nya.

Melalui proses tarbiyah seperti ini, alam semesta akan muncul dalam pikiran anak-anak sebagai sebuah kesatuan yang terus menerus membuat mereka mengingat sifat-sifat Allah yang Pemurah dan Penyayang. Mereka akan mendengar dan merasakan bahwa setiap berkah nikmat yang ada di rumahnya ada ‘Pemilik Sejati’nya, sehingga di masa yang paling cemerlang dari seorang anak ini ia telah akan mampu memenuhi seluruh kalbunya dengan rasa syukur atas semua nikmat yang diterimanya dan rumah kita akan menjadi seperti sebuah tempat suci bagi kesyukuran.

Meskipun demikian, semua hal ini harus disampaikan pada anak-anak dengan cara yang sesuai dengan usia mereka, misalnya:

Jika Dia tidak memberi, pohon delima tidak akan berbuah
Jika bukan Dia pemiliknya, hewan-hewan takkan menghasilkan susu
Jika tak ada kasih-Nya, setitik hujan pun akan turun dari langit
Jika Dia bukan Sang Maha Penyayang, rumput pun tak akan tumbuh di bumi
Jika tanpa kehendak-Nya, kita tidak akan bisa bicara
Jika tak ada kemampuan dari-Nya, kita tidak akan bisa melihat
Jika Dia tidak menghendakinya, kita tidak akan mampu mendengar
Lambung takkan berfungsi, ginjal kan berhenti bekerja...
Jika Dia tidak menghendakinya
Ya, Dia-lah Penguasa dan Pemilik semua ini, anakku
Kita tidak bisa melakukan semua itu; segala sesuatu berasal dari-Nya
Dan segala sesuatu berada dalam kekuasaan dan pengawasan-Nya.
Oleh karena itu anakku, Dia akan menambah semua berkah ini
Jika hati kita berlimpah dengan cinta kepada-Nya,
Untuk-Nya, yang menyiapkan dan memberi semua berkah ini kepada kita.
Tetapi, jika kita tidak berterima kasih
Dia akan memotong kenikmatan ini dari kita
Ataupun Dia akan mengambil kembali dari tangan kita
Kemampuan untuk memanfaatkan kesemuanya itu
(lihat QS. Ibrahim 14: 7).

Metode seperti itu berfungsi seperti sebuah rehabilitasi. Kita bisa menyampaikan semua pesan dan prinsip itu kepada anak-anak kita baik melalui perilaku, kata-kata, penampilan, maupun semangat yang kita tunjukkan pada mereka.

h) Menjelaskan dengan Bahasa Perilaku atau Perbuatan

Cara yang paling berpengaruh dalam ta’lim dan tarbiyah adalah dengan apa yang  tercermin dalam sikap dan perilaku kita. Tidak ada keraguan bahwa keteraturan kehidupan di sebuah keluarga amat penting dalam menanamkan sebuah pemikiran pada anak-anak.

Jika memungkinkan, lakukanlah shalat tahajjud saat anak-anak juga bangun, karena kita tidak bisa membayangkan betapa hal itu dapat mempengaruhi dan berkontribusi pada pertumbuhan pemikiran bawah sadar mereka, jika mereka menyaksikkan dengan mata yang penuh rasa ingin tahu itu, dalam gelap gulitanya malam orang tuanya sedang beribadah dan merintih berdoa dalam kenikmatan meraih cinta-Nya dengan penuh ke-khusyu’an, sebagaimana yang dahulu juga dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Anak akan bertanya-tanya dalam hatinya mengapa ayahku-ibuku menangis, mengapa kita terlihat begitu sedih, dan mengapa ada rasa pilu ketika ayah atau ibunya berdoa. Jika pada akhirnya mereka menanyakan hal ini dalam lingkup keluarga, kita harus memberi tahukan pada anak bahwa semua hal itu terjadi karena rasa kagum yang begitu dalam ketika seorang hamba menghadap Allah, karena rasa khawatir jika harus kehilangan berkah-Nya dan harus menghadapi cobaan. Seiring dengan kekhawatiran ini, ungkapkanlah dengan harapan dan kasih sayang bahwa kita amat menghormati Allah dan tekankan bahwa kita berada di bawah pengawasan dan pemeliharaan-Nya. Kita harus berusaha membuat anak memahami cara hidup yang telah kita tetapkan ini, berikut juga kedalaman batin yang kita rasakan. Jika kita mencoba menjelaskan kepada anak tentang hal-hal yang belum berakar di hati dan jiwa kita sendiri, atau hal-hal yang belum tertanam dalam diri kita, maka tidak akan didapat keberhasilan dalam menanamkan kepercayaan atau memberi pengaruh positif kepada anak.

Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. pernah menerima pertanyaan berikut: "Bagaimanakah akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah?" Aisyah menjawab, "Apakah kamu membaca Al Qur’an? Akhlak Beliau adalah Al Qur’an."[6]

Jika kita tarik pesan dalam hadis Nabi ini, kita dapat memahami posisi akhlak Nabi Muhammad ﷺ sebagai berikut: Rasulullah memiliki gaya hidup dan bentuk kehidupan, yaitu kehidupan insan kamil yang dijelaskan dalam Al Qur’an.

Pada hakikatnya, ketika Nabi membawa pesan dari Qur'an kepada kita, beliau menyampaikan pesan yang sudah tertanam dalam diri dan menjadi gaya hidup beliau. Ada Al Qur’an yang telah dihidupkan dalam kepribadian Beliau (pesan yang terkandung dalam kepribadian Rasulullah) dan sebuah kehidupan untuk dibaca. Karena itulah pesan yang beliau sampaikan dengan kata-kata dan perilaku teladan memiliki dampak pada hati nurani yang murni dan diterima oleh semua orang. Mereka menerima pesan itu dan berusaha mewujudkannya beserta dengan prinsip-prinsipnya ke dalam tindakan dan perilaku dalam kehidupan nyata.

Oleh karena itu, perilaku dan kata-kata kita tidak boleh bertentangan satu sama lain. Jika tidak ada kesesuaian antara tindakan dan kata-kata maka itulah yang disebut sebagai kemunafikan perilaku. Perbedaan antara dunia batin dan perilaku kita akan membawa anak pada sifat munafik, riya, dan hipokrit. Dalam Al Qur’an keadaan seperti itu diungkapkan dengan sebutan muzabzab[7], selalu berpindah pandangan, mudah goyah dan tidak teguh menjalankan prinsip.

Ketika kita menjelaskan kepada anak tentang berkah nikmat yang diberikan Allah Subhânahu wa ta’âla, maka mereka akan bersama-sama dengan kita menghadapkan wajah ke hadirat Allah dengan perasaan penuh penghargaan dan rasa syukur. Dari bibir mereka akan terucap kata-kata: "Segala puji bagi-Nya yang telah menciptakan dan menjadikan kita sebagai manusia, Dia yang telah memberkati kita dengan karunia yang tak ada akhirnya, memberkahi kita dengan kesehatan, memberikan pada kita orangtua, menganugerahi dengan makanan berbeda setiap hari, menciptakan udara, air, tanah, pepohonan, dan Dia-lah yang telah mengaruniai manfaat semua itu kepada kita, beribu-ribu rasa syukur kami panjatkan pada-Nya, Allah ﷻ."

Terlebih lagi jika mampu menanamkan pemahaman-pemahaman tersebut di setiap kesempatan, terus mendiskusikannya dan berdialog dengan anak-anak tentang hal ini di rumah, maka semuanya ini akan memberikan keindahan tersendiri dalam keluarga. Sikap kasih sayang dalam mendidik dan mengasuh anak memiliki tempat tersendiri pada prinsip tarbiyah pada seorang anak. Sebuah riwayat mengisahkan bahwa Rasulullah ﷺ memperlakukan pelayan pribadinya dengan kebaikan hati dan kasih sayang yang melampaui kasih sayang orangtuanya.

Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik r.a. mengisahkan peristiwa berikut ini: "Aku melayani Rasulullah selama sepuluh tahun; aku tidak ingat beliau pernah berkata ‘Mengapa kau tidak melakukannya?’ ketika aku tidak melakukan sesuatu yang seharusnya kulakukan. Aku juga tidak ingat beliau pernah berkata ‘Mengapa kau melakukannya?’ ketika aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan. Beliau tidak pernah menghukum atau memperlakukanku dengan buruk."[8] Ya, bahkan beliau memperlakukan orang lain dengan kelembutan dan kebaikan hati, serta berhubungan dengan mereka jauh lebih baik daripada yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Beliau ﷺ sangat baik, penuh kasih dan amat sepenuh hati bersikap terhadap anak-anak dan cucu-cucunya. Hanya Beliau-lah yang bisa mencapai tingkatan cinta seperti ini.

i) Kasih Sayang

Jika anak-anak harus takut pada sesuatu, biarkanlah perasaan itu hadir karena rasa takut akan kehilangan kasih sayang orangtua, dan bukannya rasa takut kepada hukuman fisik, ancaman, atau pukulan dari ayah-ibunya. Jika kerutan di wajah ayah dan ekspresi sedih di wajah ibu dilihat anak sebagai sanksi terbesar, dan jika hal itu bisa mengembalikan mereka ke jalur yang benar, maka hukuman seperti ini sudah cukup, bahkan mungkin lebih dari cukup. Namun, kepercayaan anak-anak kepada orang tuanya dan rasa yakin dalam diri mereka bahwa ayah-ibunya ikut pula merasakan kesedihan dan penderitaan mereka sangatlah penting. Karena itu, cobalah untuk menangis pula saat mereka menangis, atau setidaknya mencoba untuk ikut merasakan kesedihan itu serta menyatakan hal ini padanya. Ungkapkan kesedihan kita dan berbagi rasa sakit ketika anak-anak sedang menderita, sebagaimana langit dan arsy menangisi sebagian manusia.[9] Dengan cara ini, kedudukan kita sebagai orang tua akan lebih mulia di hadapan mereka dan kata-kata kita akan lebih berpengaruh kepada anak-anak tersebut. Dengan cara ini, seorang ayah dan ibu akan mampu memasuki hati anak-anaknya sedemikian rupa sehingga tidak akan ada kekuatan yang dapat menyingkirkan keberadaan kita dari sana. Setelah itu, semua kata-kata yang kita ucapkan pada mereka akan berdampak di  hati dan pikiran mereka.

Ya, jika kita ingin mereka tumbuh seperti malaikat dan jika kita mengharapkan mereka kelak akan mewakili orang tuanya dengan bentuk terbaiknya di masa depan, maka tujuan yang amat tinggi seperti ini hanya dapat dicapai melalui metode ini.

j) Otoritas

Kekosongan otoritas atau wewenang di sebuah rumah juga merupakan hal yang penting. Jika tidak ada otoritas yang akan membawa keseimbangan di sebuah rumah, maka keluarga akan mengalami kekacauan dan anak-anak akan jatuh ke dalam dilema. Al Qur’an menjelaskan tentang wewenang, tanggung jawab, dan ketertiban sebagai berikut:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (pelindung) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan (jika perlu) pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS. An-Nisa 4:34).

Laki-laki, pada masalah-masalah tertentu, bertanggung jawab dalam membangun harmoni dan keseimbangan secara umum pada keluarganya. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia memiliki tanggung jawab paling tinggi dalam sebagian besar permasalahan di rumahnya. Sebenarnya anak-anak memerlukan figur yang bertanggung jawab di dekatnya. Seorang anak yang menyaksikan rasa tanggung jawab ditunjukkan secara terbuka di rumahnya tidak akan memiliki kehidupan yang berantakkan dan tidak bertanggung jawab nantinya. Sebaliknya, jika pada sebuah rumah terdapat dua orang yang bertanggung jawab dan ada dua perintah berbeda yang datang dari dua individu yang berlawanan maka keadaan ini hanya akan membingungkan anak.

Bahkan, saat anak merasa takut pada salah satu dari orang tuanya maka ia harus mempunyai tempat berlindung pada yang lainnya dan tempat berlindung terbaik haruslah pelukan ibunya. Jika peran orangtua dibagi dengan pembagian seperti ini, maka anak-anak akan melihat disiplin dan otoritas dalam diri ayah, sedangkan pada diri ibu, mereka akan menemukan kelembutan dan kasih sayang. Dengan demikian, meskipun terkadang mereka akan merasa takut, mereka tetap memiliki harapan, dan tidak akan pernah merasa kesepian. Sebaliknya pada keluarga yang tidak memiliki prinsip seperti ini, yaitu jika kehidupan keluarga tidak dibangun di atas penyatuan semacam itu maka tidak akan ada pembagian kerja, sementara kontradiksi akan terus terjadi. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan ibu yang menjadi pemimpin memakai caranya sendiri dan ayah yang menjadi pemimpin ke arah berbeda, akan tumbuh tanpa kepekaan, tak berperasaan, kasar, dan tak tahu arah.

Menurut pendapat kami, bagi hadirnya generasi ideal, harus ada pula lingkungan rumah yang ideal. Oleh karenanya, sebuah keluarga atau rumah harus terlebih dahulu memiliki hubungan dengan Allah Subhânahu wa ta’âla. Jika orangtua atau salah satu dari mereka, berperan sebagai khalifah Allah, maka dikarenakan semua dikaitkan pada hubungan dengan-Nya, anggota keluarganya pun akan menjadi orang-orang yang benar, terhormat, dan bisa menguasai  masalah-masalahnya. Pada rumah seperti ini permasalahan tidak akan menjadi topik utama.

5. Mengajarkan Anak Berakhlak Mulia

a) Adab Berbicara

Masalah pertama yang perlu dibahas di sini adalah tentang menanamkan secara langsung akhlak tertinggi Ilahi (akhlak termulia dan yang paling mulia dari Sang Maha Haq, Allah Subhânahu wa ta’âla). Semua pikiran, perilaku, dan bahkan diskusi kita dengan pasangan harus selalu berpusat pada pemikiran-pemikiran yang kita harapkan pada masa selanjutnya akan menempati pikiran bawah sadar anak.

Tentu saja, di sebuah rumah akan juga dibicarakan dan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan dunia. Akan tetapi, ketika kita mendiskusikan masalah-masalah tersebut di hadapan anak harus ada perhatian khusus pada fakta bahwa anak-anak berada di sana. Jika memungkinkan, masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan anak-anak dan yang tidak konstruktif bagi mereka tidak dibahas di depan mereka. Apalagi pembicaraan tentang masalah yang akan membuat anak-anak depresi harus sangat dihindari agar jangan sampai didengar oleh mereka. Anak-anak tidak boleh terpapar masalah yang berada di luar kapasitas kemampuannya. Masalah-masalah yang dapat memberi kesan negatif atau sebaliknya, pada pikiran dan hati mereka harus dipertimbangkan dengan cermat. Ketika anak-anak berada di sekitar kita, percakapan, debat, dan diskusi, baik di rumah atau di kantor, harus dilakukan dengan mempertimbangkan kehadiran mereka tersebut.

Setiap diskusi atau percakapan yang dilakukan di depan anak-anak sebisa mungkin haruslah berpusat kepada Allah, keimanan kita kepada-Nya, pada berkah nikmat-Nya, dan pada agama. Secara prinsip, orang tua harus mendiskusikan hanya masalah-masalah, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang kita kehendaki untuk ditiru oleh anak-anak di masa depan, sehingga mereka akan tumbuh dengan memiliki kesadaran tentang apa yang harus menjadi perhatian utamanya dan apa yang tidak. Jika semua saran dan nasihat ini kita anggap sebagai resep bagi kehidupan yang sehat, maka sebagian besar masalah yang mungkin dihadapi oleh anak-anak di masa datang akan teratasi. Tentu saja akan ada masalah lain yang timbul di masa depan sesuai dengan masanya; ketika saatnya tiba, masalah itu pun juga akan dibahas pula.

b) Takaran dalam Kasih dan Rasa Sayang

Masalah lain yang ingin kami bahas di sini adalah mengembangkan rasa kasih dan sayang dalam diri anak-anak, bagaimana mengasuh mereka agar bisa menjadi para pahlawan kasih sayang. Sekali lagi, cara paling singkat dan yang paling efektif adalah dengan menjadi contoh langsung bagi mereka dalam hal ini. Sebagai contoh, jika sang ayah bersegera membukakan pintu bagi orang yang datang ke rumah didampingi sang ibu, kedua orangtua ini bergegas memberi bantuan kepada orang lain dan mendengarkan masalah orang itu dengan penuh kasih sayang ketika mereka datang meminta bantuan. Sikap penuh perhatian, cara mendengarkan keluhan mereka dengan penuh kehangatan dan semua perilaku penuh kasih sayang tersebut akan menjadi pelajaran paling berpengaruh dalam menumbuhkan kebaikan hati dan belas kasih pada diri anak-anak kita.

Rasa kasih sayang juga diturunkan dari orangtua kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, beberapa anak lebih mudah menangis dibandingkan dengan yang lain, bahkan sejak mereka masih sangat kecil. Keadaan ini adalah tanda bahwa anak tersebut akan menjadi orang yang lebih sensitif, lembut dan peka di kemudian hari. Sebaliknya, beberapa anak berpura-pura menangis hanya karena mereka ingin mendapatkan perhatian dari orangtua mereka atau mereka ingin mencapai suatu tujuan. Namun, tangisan yang berasal dari kepekaan dan kelembutan selalu berbeda. Jika kita ingin anak-anak kita bermurah hati, lembut, dan penuh kasih, maka kita harus memberikan lingkungan keluarga yang hangat, lembut dan penuh kasih pula bagi mereka.

Anak-anak yang dibesarkan dalam rasa kikir, pelit, cinta dunia, dan materialisme, bergantung pada keadaan tertentu, akan pula menjadi orang yang kejam, ambisius, suka mencari keuntungan, egois serta menyukai materi. Jika seorang anak tidak dibesarkan mengikuti prinsip-prinsip dan nilai-nilai akhlak Ilahi, maka hal tersebut akan memiliki konsekuensi yang tidak menguntungkan baik di kemudian hari dalam kehidupan di dunia ini maupun kelak di akhirat nanti.

Ya, sifat pengasih dan rasa sayang itu sangat penting. Kemurahan hati dan kebajikan adalah ekspresi dari kondisi spiritualitas tersebut. Pahlawan bagi kasih sayang akan selalu menjadi pemenang, sementara yang tak memiliki perasaan seperti itu adalah para pecundang. Seorang yang pemurah hati mungkin masih bisa masuk surga, meskipun ia fasik. Sementara seorang yang kikir walaupun seorang mukmin sekalipun akan sulit untuk masuki surga. Oleh karena itu, rasa kasih sayang dan simpati harus dikembangkan dalam diri anak-anak kita, kemurahan hati dan kesediaan untuk membantu harus dikuatkan sehingga mereka tidak akan terlena pada dunia ini dan melupakan sesama dan Tuhannya, hanyut dalam dunia material. Kita harus mengajarkan anak-anak cara memberi dan bermurah hati agar mereka kemudian akan pula bermurah hati ketika beranjak dewasa, mengikuti jalan Allah dengan hati, jiwa, dan pikiran mereka. Perlu diingatkan sekali lagi bahwa upaya apapun untuk menanamkan ide tentang kemurahan hati tidak akan efektif jika tidak didukung oleh kata-kata dan perbuatan. Ketika kita menjelaskan hal itu dengan perilaku kita, yaitu dengan memberikan contoh, maka kata-kata kita akan menjadi efektif seperti tarikan nafas para malaikat.

c) Hadiah atau Penghargaan

Hal khusus lain yang harus diperhatikankan adalah memberikan penghargaan atau hadiah bagi anak-anak sesuai dengan proporsi pencapaian mereka. Saya khusus menggunakan istilah "proporsi" di sini karena akan lebih tepat untuk memberikan hadiah yang lebih besar bagi keberhasilan yang lebih signifikan, sebanding dengan nilai pentingnya, dan hadiah kecil untuk prestasi kecil, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Bahkan, menghargai setiap prestasi adalah salah satu syarat penting dari akhlak Ilahi, baik yang terkait dengan urusan agama maupun urusan duniawi.

Dari perspektif ini, dalam batasan tertentu "ayah-ibu" menjadi pula seorang pemikir, orang bijak, dan pendidik. Merekalah yang akan mengetahui, memahami, berpikir dengan cermat, merawat, merangkul dan yang akan selalu berada di sekitar anak-anaknya. Jika orangtua tidak menunjukkan atau memberikan prioritas kepada anak-anaknya sebanyak perhatian yang mereka berikan untuk rumah, mobil dan semua harta miliknya, maka perasaan dan pemikiran anak-anak tersebut akan terasa tumpul bahkan terasa kerdil. Dengan demikian untuk ‘mengkondisikan anak-anak kita bagi setiap keadaan’, kita wajib kembali pada prinsip-prinsip dasar dari prinsip-prinsip yang telah sebelumnya kita bahas, yaitu rasa marhamah (belas kasih), rasa kasih sayang, rasa berterima kasih, kepatuhan yang diiringi dengan ketaatan atas semua nikmat yang diberikan Sang Haq Allah ﷻ, yang merupakan Sang Pelindung paling hakiki, yang Maha Memiliki.

Sumber dasar ini adalah akhlak Ilahi. Di akhirat, Allah Allah Subhânahu wa ta’âla menjanjikan surga sebagai hadiah bagi mereka yang telah melakukan perbuatan baik dan hukuman bagi mereka yang telah melakukan perbuatan buruk di dunia ini. Mengenai janji ini, Al Qur’an menjelaskan sebagai berikut:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim 14: 7).

Maka berusaha menunjukkan sikap dan perilaku dengan penuh pengukuran dan kehati-hatian saat berada di sekitar anak agar mereka mampu meraih ahlak tertinggi dari akhlak Ilahi ﷻ; agar Allah tidak akan menghukum kita dengan kesendirian kelak.

d) Mempersiapkan Anak bagi Masa Depannya

Ada satu hal terakhir yang semoga bermanfaat untuk dibahas berkaitan dengan konteks ini, yaitu: memperlakukan dan mendidik anak-anak dengan mempertimbangkan lingkungan sosial, usia, dan latar belakang pendidikan serta budaya kita masing-masing. Bagi seorang anak yang baru berusia lima tahun, maka informasi yang berkaitan dengan hal-hal agama yang akan kita sampaikan dan ajarkan kepadanya harus juga dipilih menurut pemahamannya, sebagaimana kita memilihkan baginya makanan dan gizi yang sesuai dengan usianya tersebut. Demikian juga, informasi yang akan disampaikan ketika anak tersebut telah berusia tujuh tahun akan berbeda pula dengan saat ia menginjak umur sepuluh tahun.

Meskipun demikian, ada satu masalah penting di sini terkait dengan apa yang kita ajarkan. Apa pun yang kita ajarkan tidak hanya harus dikaitkan dengan usia dan zaman anak, tetapi juga dengan periode yang akan datang. Anak-anak akan belajar dan memahami zaman mereka sendiri dengan mengalaminya. Dalam hal ini, apa yang diajarkan oleh guru dan rekan-rekan mereka mungkin sudah cukup. Namun, tingkatan di mana kita akan mencoba mengajarkan tarbiyah akhlak kepada mereka harus setingkat lebih tinggi dari apa yang telah mereka pelajari dari sekolah dan dari lingkungan sekitar.

Ali bin Abu Thalib ra. pernah berkata, "Ajarilah anak-anakmu, bukan dengan pengetahuan dan budaya dari zamanmu, melainkan adab dan moral pada zaman selanjutnya; anak-anak diciptakan untuk hidup bukan dalam masa engkau hidup, tetapi untuk periode waktu yang berbeda." Jika prinsip ini ditafsirkan dari perspektif pengetahuan dan budaya umum, seseorang bisa berpendapat bahwa membatasi diri dengan informasi dan pembelajaran pada masa sekarang adalah sesuatu yang sempit, akan datang sebuh generasi yang akan mampu melampaui kita dan meninggalkan kita di belakang jika kita tidak bergerak maju. Ketika prinsip ini diterapkan dalam proses taklim dan tarbiyah pada seorang anak, maka ia akan berhasil dengan mudah melampaui masanya dengan berpegang pada suatu batasan atau garis yang menjadi prinsipnya ia akan pula mampu merengkuh masa depan. Ya, seorang anak harus diperkenalkan pada tarbiyah yang akan disampaikan padanya saat kelak berusia tujuh tahun ketika usianya masih  enam tahun, dan tarbiyah yang tepat bagi anak berusia delapan tahun harus pula diperkenalkan padanya saat usianya masih tujuh tahun.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa tingkatan tarbiyah akhlak agama yang diberikan hingga anak berusia lima tahun harus dilanjutkan dan maju setahap demi setahap sampai anak tersebut mencapai masa pubertas, yaitu sekitar usia lima belas tahun. Materi tarbiyah harus dipilih dengan hati-hati menurut tingkat usia anak, agar anak tidak kesulitan dalam memahami dan mencernanya. Jika kita baru mencoba akan mendidik remaja berusia dua puluh tahun dengan tarbiyah yang seharusnya diberikan pada saat ia berusia lima belas tahun, maka pemahaman agama, iman, dan nilai-nilai akhlak bahkan segala yang ada pada anak tersebut telah menjadi kacau. Sebagaimana tubuh dan sel-sel kita yang membutuhkan zat makanan dan rezeki yang berbeda-beda sesuai masanya maka sama seperti itu pula perangkat-perangkat halus atau latifah yang ada pada seorang anak seperti pikiran, akal, perasaan, kesadaran, pemahaman dan kalbunya pun pada tahapan tertentu akan membutuhkan juga nutrisi dengan takaran yang sesuai bagi tahap perkembangannya.

Jika kita mencoba mengajarkan sesuatu kepada seseorang yang berada dalam asuhan kita tanpa sebelumnya memahami kehidupan sosial, pemikiran dan kapasitasnya, secara emosional kita telah mendorong dan menjauhkan mereka. Pada masa ini, adalah benar-benar inayah atau pertolongan Allah jika ada beberapa anak muda yang masih berhasil mempertahankan keimanan, perasaan dan kalbunya meskipun mereka telah mengalami asuhan dan pendidikan yang salah atau keliru. Dalam beberapa kasus, orang yang pernah mengalami  akan memiliki ketertinggalan dalam kemampuan mental yaitu mereka telah mencapai tingkat usia dua puluh lima tahun, namun hidup seperti anak berusia sepuluh atau lima belas tahun, jauh di belakang periodenya sendiri. Orang -orang seperti ini mungkin pada akhirnya akan mengalami krisis iman dan menolak agamanya sendiri jika suatu hari ia bertemu dengan sebuah teori maupun ide keagamaan atau sosial yang berada di atas tingkat pemahamannya, semoga Allah menjaga kita semua dari hal-hal seperti ini.

Agama memberikan beberapa pedoman mengenai ketentuan tarbiyah dan bimbingan akhlak bagi seorang anak dalam rangka tarbiyah itu sendiri sesuai dengan usia, atau setidaknya satu-dua masa di atasnya: Jika menunaikan salat itu wajib bagi remaja berusia sekitar lima belas tahun, maka shalat harus sudah diajarkan padanya saat berusia sepuluh tahun. Demikian pula, puasa harus juga sudah diperkenalkan dan diajarkan pada seorang anak sebelum tugas itu menjadi wajib baginya, hal ini akan memberi waktu bagi mereka untuk membiasakan diri. Prinsip ini dapat diperluas bagi semua hal lain yang ingin diajarkan pada seorang anak sehingga anak telah dibentuk sejak usia dini.

Saya ingin menunjukkan dengan sebuah pernyataan tegas dan tanpa keraguan bahwa pendekatan kami terhadap masalah ini diambil dari perspektif Al Qur’an dan hadis Nabi dan setidaknya berkaitan dengan asumsi yang kuat atas hal tersebut. Kami percaya bahwa apa saja yang ingin kita ajarkan pada anak-anak harus dimulai sejak usia dini agar lebih berpengaruh pada jiwa mereka. Ini adalah metode yang lebih efektif. Jika kita berharap mereka akan mampu melaksanakan tugas agama yang diwajibkan bagi dirinya pada saat mereka telah mencapai usia yang ditetapkan, maka kita harus mengajarkan semua kewajiban agama tersebut sejak awal. Mengenai hal ini, kami telah menyaksikan hasil positif dari pendekatan ini berkali-kali.

Di sini saya ingin menyebutkan beberapa karakteristik dan sifat yang dimiliki usia tertentu, terinspirasi oleh pandangan Imam Jafar:

“Masa kanak-kanak berlangsung hingga usia tujuh tahun, seorang anak meniru apa pun yang dilihatnya dan suka untuk memainkan berbagai macam permainan. Bahkan, orang tua pun ikut bermain dengan anak dan menikmatinya juga; begitupun anak juga menikmati saat bermain dengan orang tuanya. Anak mempelajari apa pun yang kita lakukan dan akan menirunya. Hampir seluruh hidupnya pada periode ini terdiri dari proses bermain dan meniru. Setelah itu akan datang masa belajar, sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Dalam periode ini, kita harus sering melakukan rehabilitasi agar memotivasi mereka dalam memahami nilai-nilai agama dan kebangsaan yang ingin kita  tanamkan sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan kognisinya. Ini adalah periode bagi anak untuk mempelajari Kitabullah, yaitu Al Qur’an, suatu proses yang membutuhkan banyak waktu. Setelah itu adalah periode memahami apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan pun dimulai yaitu masa bagi seorang anak untuk belajar tentang halal dan haram dengan akal, nalar dan perasaannya, masa ini juga membutuhkan banyak waktu.

Menurut pendapat Imam Jafar, pemahaman kemampuan agama dan sosial seseorang harus sudah lengkap ketika mereka mencapai usia dua puluh satu tahun. Di sini tersirat bahwa bukan hal yang mudah untuk mengajarkan seseorang hal-hal baru mengenai nilai-nilai dan aspek spiritual kehidupan setelah usia ini. Oleh karena itu, penanaman dan tarbiyah tentang masalah keagamaan kepada seseorang harus dilakukan sebelum usia dua puluh satu tahun karena setelah itu akan lebih sulit baginya menerima apa yang disampaikan padanya. Hingga usia ini seorang anak harus sudah menyerap dan menginternalisasi nilai-nilai agama bersama dengan aspek-aspek praktis, pandangan, akal dan nalarnya sebagai satu kesatuan, karena hal ini membantunya untuk memiliki landasan agama yang kuat. Diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah ﷺ berkata, "Ajarilah anak-anakmu cara menunaikan salat sejak usia tujuh tahun."[10] Sebelum usia tujuh tahun, seorang anak akan meniru apa yang orang tuanya lakukan karena rasa ingin tahu. Selagi rasa ingin tahu itu ada, tugas kita setelah hal itu adalah menggamit tangannya sambil menjelaskan arti, makna dan tujuan dari semua tindakan ibadah kita kepada anak. Jika perlu, dorong atau peringatkan anak tentang konsekuensi dari tindakan-tindakan tertentu. Ini berarti bahwa menjelaskan atau mengajarkan sesuatu dengan memberikan contoh dan menggunakan metode perilaku yang benar dan penting dilakukan ketika anak masih sangat muda. Di kemudian hari setelah anak mencapai usia tertentu, hal-hal tersebut perlu dijelaskan lagi kepada anak secara lebih terperinci, sesuai dengan tingkat pemahamannya. Dengan penjelasan dan bukti-bukti yang diberikan kepada anak, seseorang bisa berargumentasi bahwa anak-anak bisa dianggap sudah dewasa di mata Allah ketika mereka mencapai usia enam, delapan, atau paling lambat sepuluh tahun, dan harus dihormati karenanya. Anak-anak harus diperlakukan dengan hati-hati dan segala sesuatu harus dipikirkan dan diperhitungkan dengan kesabaran seorang nabi. Perhatian dan kesabaran yang sama harus juga ditunjukkan ketika membiasakan anak-anak beribadah.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berkata, "Hayâ (rasa malu) adalah rukun penting dari iman."[11] Dalam hadis Nabi yang lain, beliau berkata, "Seseorang yang tidak memiliki hayâ (rasa malu)berarti tidak memiliki iman."[12] Oleh karena itu, jika kita menginginkan adanya sebuah generasi yang memiliki hayâ (rasa malu), beradab, serta berakhlak  maka latihlah mereka tentang hal-hal tersebut sejak mereka kecil, sehingga saat mereka berangkat dewasa semua nilai tersebut telah tertanam dalam dirinya, dan telah menjadi sifat bagi dirinya dengan nilai-nilai akhlak Al Qur’an yang dengannya ia akan memberi teladan yang baik kepada orang lain dengan perilaku mereka.



[1] H.R. Abu Dawud, "Malahim" 5; Musnad, 2/359; 5/278.

[2] Lihat Al-Ahzab 33:35.

[3] Sahih Muslim, "Rada" 59; Sunan ibn Maja, "Nikah" 5.

[4] Abd al-Razzaq, Musannaf, 4/334.

[5] Al-Haythami, Al-Majma al-Zawaid, 8/159.

[6] Sahih Muslim, "Musafirin" 139; Sunan ibn Majah, "Ahkam" 14; Musnad, 6/91.

[7] Lihat An-Nisa 4: 143. Muzabzab berarti orang yang berada dalam keadaan ragu atau goyah.

[8] Sahih al-Bukhari, "Adab" 39; Sahih Muslim, "Fadail" 13; Tirmidzi, "Birr" 69.

[9] Alam besar berhubungan dengan alam kecil dan ada ke-paralelan di antara keduanya. Mungkin, jika seorang Muslim sedang bersedih, maka alam semesta dengan rahmat-Nya pun merasakan hal yang sama. Nama-nama Rahmân dan Rahîm milik Allah ﷻ, adalah sumber dari semua bentuk rasa kasih, cinta, kedalaman kalbu, dan rasa sayang. Ketika seorang Mukmin bersedih maka Rahmat akan mengarah padanya dalam bentuk yang mungkin tidak kita ketahui, dengan kata lain ikut merasakan kepedihan itu. 

[10] Sunan at-Tirmidzi, "Salat" 182.

[11] Sahih Muslim, "Iman" 57, 58; Sahih al-Bukhari, "Iman" 3; Sunan Abu Dawud, "Sunnah" 14; Sunan an-Nasa'i, "Iman" 16; Sunan ibn Majah, "Mukaddimah" 9.

[12] Ali Al-Muttaqi, al-Kanz al-Ummal, 3/119.